Beranda / Urban / Belenggu Hasrat Dendam Membara / BAB 4 PERTEMUAN YANG TIDAK DIRENCANAKAN

Share

BAB 4 PERTEMUAN YANG TIDAK DIRENCANAKAN

Penulis: Michaella Kim
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-13 08:25:40

Setiap huruf yang tertulis di dalam berkas itu tak ada yang terlewat dari pemindaian mata Ethan, tak perlu waktu lebih dari lima menit untuk Ethan dapat menemukan sebuah rancangan besar yang telah ayahnya persiapkan untuknya.

“Graham.”

“Tuan?”

“Ini memang senjata balas dendam,” ujar Ethan dengan suara beratnya. “Kau pergilah, persiapkan semuanya.”

Graham mengangguk, kemudian menyodorkan sebuah ponsel. “Ponsel ini sudah di modifikasi agar tidak dapat dilacak dan disadap. Nomor saya ada di dalamnya, hubungi saya kapan saja Anda siap.”

Beberapa saat setelah Graham pergi, Ethan menyusul keluar. Uap hangat dari pintu kedai yang tertutup di belakangnya perlahan lenyap tertelan udara dingin.

Ia menatap amplop di tangannya lalu menggenggamnya erat. Helaan napasnya terdengar panjang. Hujan mulai turun lagi, tipis, nyaris seperti kabut. Ethan mulai berjalan, tidak berlari, tidak pula mencari tempat berteduh.

“Lucu,” katanya sambil menatap langit. Dulu ia selalu menghindari hujan. Sekarang, biarlah, mungkin begini rasanya disucikan.

Jalan itu mulai sepi, beberapa para pejalan kaki tampak sibuk menepi. Ia menatap sekeliling, lalu menatap lampu merah di ujung jalan. Timur menjadi tujuannya saat ini.

Ethan melangkah perlahan, hening sejenak, hanya suara hujan yang menetes di trotoar. Wajah ayahnya terbayang di benaknya, kemudian ia berbisik lirih, “Dad tahu, kepergian Dad waktu itu membuatku hancur. Tapi sekarang aku mengerti.” Ia mengangguk pelan. “Kali ini, aku tidak akan membiarkan pengorbananmu sia-sia.”

Namun, langkah kakinya masih terasa berat. Bukan hanya karena kelelahan atau dingin yang menggigit, melainkan karena beban yang belum bisa ia lepaskan. Wajah Iris, tawa Marcus, bayangan lima tahun yang direnggut darinya. Ia sempat ragu apakah ia siap untuk kembali menantang dunia yang dulu menginjaknya sampai hancur.

Ketika hujan menjadi semakin deras, orang-orang mulai berlari menutup kepala dengan koran, jaket, atau tas mereka. Namun Ethan terus berjalan, menunduk, menembus arus manusia yang terburu-buru. Tepat ketika ia hendak menyeberang jalan di persimpangan, sebuah mobil sport merah melaju kencang dan berhenti mendadak di depannya.

Ban mobil itu berdecit keras, menyebabkan cipratan air yang mengenai celana Ethan, membuat orang-orang di sekitar berteriak kaget.

Seorang pria berjas berteriak dari trotoar, “Hei! Kau mau bunuh diri, hah?!”

Yang lain menimpali, “Kalau mau mati, jangan di tengah jalan, dasar gembel!”

“Jangan sampai mayatmu nanti membuat orang lain repot!”

Ethan berdiri mematung di zebra cross, air hujan menetes dari rambutnya. Ia tidak berniat menjawab mereka. Bagi dia, tidak ada gunanya. Dia sudah terlalu terbiasa dengan hinaan semacam itu. Ethan bahkan sudah berniat ingin melanjutkan menyeberang.

Tapi, pintu mobil itu terbuka.

Seorang wanita muda keluar dengan gerakan cepat, sambil menegur sopirnya, “Kau tidak lihat ada orang di depanmu?! Kalau kau tidak bisa menyetir, keluar saja dari mobilku!”

Suaranya jelas, tajam, tapi tidak dibuat-buat.

“Maafkan aku, Nona,” jawab sopir itu ketakutan.

Lalu wanita itu menoleh ke Ethan, dan disitulah waktu seakan berhenti.

Wanita cantik itu mengenakan mantel wol putih yang basah di bagian bahunya, rambut hitam panjangnya menempel di leher karena hujan. Tatapan matanya tegas tapi tidak keras, dan di dalamnya ada sesuatu yang jarang Ethan lihat belakangan ini, seperti rasa ingin tahu, dan empati.

“Kau tidak apa-apa?” tanya wanita itu pelan.

Ethan menatapnya, diam. Tidak yakin harus menjawab apa.

“Aku baik-baik saja,” katanya singkat, suaranya serak.

Wanita itu memperhatikan wajah Ethan dengan raut bingung, seolah ada sesuatu yang dikenalnya tapi tidak bisa diingat. “Apa kau yakin? Tadi kelihatan nyaris mengenaimu, kau tahu.”

Ethan hanya mengangguk. “Aku sudah pernah kena yang lebih parah,” jawabnya tanpa sadar, nada getir di suaranya membuat wanita itu terdiam sesaat.

Ia menatap Ethan beberapa detik lebih lama, lalu tersenyum kecil. “Baiklah, kalau begitu." Ia membuka tas kecilnya, mengeluarkan sesuatu, dan meletakkannya di tangan Ethan, sebuah kartu nama elegan berwarna gading dengan tinta timbul. ”Kalau suatu hari kau butuh bantuan, mungkin sekadar kopi, percayalah aku tahu di mana tempat yang lebih enak.”

Ethan mengernyit, menatap kartu itu tanpa banyak ekspresi. “Aku tidak butuh belas kasihan,” katanya pelan.

Wanita itu tidak tersinggung. Ia hanya tersenyum samar. “Bagus. Aku juga tidak sedang memberi belas kasihan.” Lalu ia berbalik, masuk ke dalam mobil, dan pergi.

Ethan masih berdiri di tengah jalan yang kini sepi, memandangi mobil itu bergerak menjauh di antara lampu-lampu lalu lintas. Lalu ia melihat sebuah nama di kartu itu, Celeste Morel.

Ia membalik kartu itu, tapi tak ada yang lain tertulis selain nomor telepon dan alamat kantor di pusat kota. Ia menyimpannya di saku jaket, berpikir untuk membuangnya nanti. Entah mengapa, jarinya seolah menahannya.

Tatapan wanita itu tadi, tidak sama seperti tatapan orang lain. Tidak ada pandangan jijik, tidak ada rasa takut, tidak ada penghinaan. Hanya rasa penasaran dan sedikit, entah apa, penghormatan terhadapnya, mungkin.

Malamnya, Ethan kembali ke motel. Lampu kamarnya redup, udara lembab, dan dari luar jendela terdengar suara hujan yang belum berhenti. Ia pun melempar jaketnya ke kursi dan menyalakan laptop. Dokumen dari Graham masih terbuka di layar, angka-angka dan sertifikat digital yang bisa membuka jalan bagi kebangkitannya. Tapi pikirannya malah teralih pada satu hal kecil, pada sebuah kartu nama yang masih ada di sakunya.

Ia mengeluarkannya lagi, menatap nama itu di bawah cahaya kuning redup sekali lagi.

Celeste Morel.

Suara wanita tadi terngiang di kepala Ethan. “Kalau suatu hari kau butuh bantuan.”

Ethan mendengus kecil. “Hanya orang bodoh yang masih percaya pada bantuan,” gumamnya.

Tapi tangannya tidak kunjung melempar kartu itu ke tempat sampah.

Ia berjalan ke jendela, menatap lampu-lampu kota di kejauhan. Manhattan berkilau, penuh kehidupan, sementara dirinya berdiri di kamar kecil yang bahkan tidak punya pemanas. Tapi kali ini, rasa sakit itu tidak sepenuhnya menyakitkan lagi. Ada sedikit rasa hidup.

Dia kembali mengingat cara wanita bernama Celeste itu menatapnya, tatapan yang membuatnya merasa seperti seseorang lagi, bukan seperti seseorang yang gagal.

“Celeste Morel,” ucapnya pelan, mencoba mengingat di mana dia pernah mendengar nama itu. Namun, tidak ada hasil. Mungkin hanya kebetulan bertemu.

Ia menarik napas panjang, berbalik lagi, dan kembali ke meja. Dengan gerakan malas, ia hampir melempar kartu itu ke tong sampah. Tapi sebelum jari-jarinya melepaskan, matanya menangkap satu detail kecil di pojok bawah kartu.

Tulisan kecil, samar, hampir tak terlihat karena terciprat air hujan.

“Ward Foundation–Board Partner, Cross Group.”

Jantung Ethan seolah berhenti berdetak sesaat.

Matanya membesar, dan tangan yang memegang kartu itu perlahan mengepal. “Cross Group,” geramnya.

Hanya dengan menatap tulisan nama itu saja, Ethan langsung bisa mendengar tawa Marcus di kepalanya, dan bisa melihat bayangan Iris di pesta mewah mereka. Semuanya kembali menghantam hatinya.

“Jadi begitu, ya,” katanya pelan, nada suaranya rendah tapi bergetar. “Bahkan orang yang tampak bersih pun masih terhubung dengan mereka.”

Ia menatap kartu itu sekali lagi, lalu meletakkannya di meja, bukan membuangnya, tapi menatapnya dengan pandangan dingin dan penuh perhitungan.

Tekad Ethan tetap bergerak menuju perang dengan Marcus. Tapi pertemuan singkat tadi, tanpa di sadari, akan menjadi benih kecil yang kelak mengubah arah hidupnya meski bukan dia yang akan memulai perubahan itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Belenggu Hasrat Dendam Membara   BAB 5. BENIH YANG MULAI BERGERAK

    Pagi itu, Ethan sedang berjalan dengan langkah cepat melewati trotoar Manhattan yang penuh dengan orang-orang kantoran berlalu lalang. Udara masih dingin, tapi pikirannya jauh lebih dingin lagi. Hari ini, ia fokus pada satu hal, yakni tentang situasi perusahaan yang masih sah atas namanya, miliknya. Satu-satunya warisan dari mendiang sang ayah yang tidak diketahui oleh Marcus Cross.Kantor yang ia tuju saat itu hanyalah ruang sempit di lantai dua sebuah gedung tua. Bukan gedung ilegal seperti Cross Group. Tapi justru di ruangan sederhana inilah Graham menunggunya.Saat Ethan masuk, Graham mengangkat kepala dari tumpukan berkas di atas meja kerjanya. “Selamat pagi, Tuan Deighton.”“Pagi.” Ethan duduk, mengusap rambutnya yang masih sedikit basah karena hujan pagi. “Apa kita bisa mulai sekarang?” tanyanya dengan nada berat.“Sudah mulai sejak semalam, Tuan,” jawab Graham sambil menutup map. “Saya punya beberapa hal yang perlu Anda lihat.”Ia menggeser sebuah folder ke arah Ethan. Di dala

  • Belenggu Hasrat Dendam Membara   BAB 4 PERTEMUAN YANG TIDAK DIRENCANAKAN

    Setiap huruf yang tertulis di dalam berkas itu tak ada yang terlewat dari pemindaian mata Ethan, tak perlu waktu lebih dari lima menit untuk Ethan dapat menemukan sebuah rancangan besar yang telah ayahnya persiapkan untuknya.“Graham.”“Tuan?”“Ini memang senjata balas dendam,” ujar Ethan dengan suara beratnya. “Kau pergilah, persiapkan semuanya.”Graham mengangguk, kemudian menyodorkan sebuah ponsel. “Ponsel ini sudah di modifikasi agar tidak dapat dilacak dan disadap. Nomor saya ada di dalamnya, hubungi saya kapan saja Anda siap.”Beberapa saat setelah Graham pergi, Ethan menyusul keluar. Uap hangat dari pintu kedai yang tertutup di belakangnya perlahan lenyap tertelan udara dingin.Ia menatap amplop di tangannya lalu menggenggamnya erat. Helaan napasnya terdengar panjang. Hujan mulai turun lagi, tipis, nyaris seperti kabut. Ethan mulai berjalan, tidak berlari, tidak pula mencari tempat berteduh.“Lucu,” katanya sambil menatap langit. Dulu ia selalu menghindari hujan. Sekarang, biar

  • Belenggu Hasrat Dendam Membara   BAB 3. ORANG YANG MENUNGGU LIMA TAHUN

    Pagi hari yang membeku, Ethan terbangun bukan dengan rasa hancur seperti dulu, tapi dengan kesadaran dan tujuan baru.Meskipun hanya bisa terpejam kurang dari satu jam saja, Ethan harus bergegas, seseorang di luar sana telah menunggu dirinya atas permintaan ayahnya. Rasa sakit semalam telah menempa semangatnya untuk tak lagi berdiam diri.Ia mandi dengan air dingin yang bahkan motel itu tidak bisa panaskan, tapi baginya situasi ini bukan hal baru. Ketika masih di penjara, ia bahkan sering dibiarkan berdiri di lapangan sementara salju turun.Sambil menggigil, Ethan bergegas memakai pakaian yang bahkan masih setengah basah.Ia menyempatkan sejenak untuk mengecek laptopnya, kemudian mendengus. “Untung kau masih menyala, kalau tidak, setelah ini kau akan berakhir di tong sampah,” ujarnya sedikit geli, seperti sedang berbicara dengan teman. Setidaknya, benda itu yang saat ini membantunya menemukan harga dirinya.Setelah yakin tak ada barang yang tertinggal, ia lalu keluar menuju kota.Etha

  • Belenggu Hasrat Dendam Membara   BAB 2. HUJAN TIDAK BISA MENEMBUS API

    Derasnya hujan malam itu tak menyurutkan niat Ethan untuk melangkah. Melewati beberapa restoran, bar dengan kaca jendela besar yang memantulkan penampilan kacaunya.Jaket lusuh yang menempel di tubuhnya sudah tak sanggup lagi menahan air. Kini sekujur tubuhnya basah, tapi air dingin itu sama sekali tak membuatnya terusik. Setiap langkah kakinya di atas trotoar itu seperti membawa tekad yang kuat. Hatinya sudah mengeras, dan Ethan merasa waktu lima tahun itu harus dibayar setimpal.Meskipun bayangan dari pesta itu masih menari di kepalanya. Juga tawa tamu-tamu yang sombong, serta tatapan jijik mereka. Dan Iris, dengan mata yang dulu ia hafal setiap kedipnya, kini bahkan tak mau menatap balik.Ia berjalan terus, dengan isi kepala yang sibuk menolak kekalahan. Lima tahun lalu, ia keluar dari mobil sportnya dengan setelan Armi. Kini ia bahkan tak punya sepatu tanpa bolong. Ironi ini terasa begitu sempurna malam itu.Akhirnya, Ethan menemukan sebuah motel murah, yang akan menjadi tempat ti

  • Belenggu Hasrat Dendam Membara   BAB 1. LIMA TAHUN YANG TERBUANG

    “Lima tahun,” gumamnya pelan. “Dan kau masih di sini, Ethan. Masih hidup.”Ethan Deighton menarik kerah jaketnya lebih tinggi. Langkahnya mengarah ke sebuah rumah milik seseorang yang dulu membuat setiap malamnya berarti. Iris Valeska. Nama yang selalu menjadi pelarian dalam kepalanya ketika suara jeruji besi bergesek di malam hari. Wanita yang dulu menatap mata Ethan dengan penuh keyakinan, lalu memintanya untuk diam dan mengaku bersalah agar reputasinya tidak hancur.Ethan menuruti. Karena cinta, katanya waktu itu.Dan cinta itulah yang kini menuntunnya menembus dinginnya kota New York, ke rumah megah dengan pagar besi tinggi di ujung jalan.Lampu-lampu di sana berkilau, memantul di salju seperti permata. Ada tenda putih besar berdiri di halaman, dengan musik jazz mengalun lembut dan suara tamu bercampur tawa serta denting gelas.Hati Ethan berdegub cepat. Ia menatap pesta itu lama, lalu tersenyum kecil. “Dia tahu aku bebas hari ini,” pikirnya. “Dia pasti menyiapkan ini.”Namun lang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status