MasukPagi itu, Ethan sedang berjalan dengan langkah cepat melewati trotoar Manhattan yang penuh dengan orang-orang kantoran berlalu lalang. Udara masih dingin, tapi pikirannya jauh lebih dingin lagi. Hari ini, ia fokus pada satu hal, yakni tentang situasi perusahaan yang masih sah atas namanya, miliknya. Satu-satunya warisan dari mendiang sang ayah yang tidak diketahui oleh Marcus Cross.
Kantor yang ia tuju saat itu hanyalah ruang sempit di lantai dua sebuah gedung tua. Bukan gedung ilegal seperti Cross Group. Tapi justru di ruangan sederhana inilah Graham menunggunya.
Saat Ethan masuk, Graham mengangkat kepala dari tumpukan berkas di atas meja kerjanya. “Selamat pagi, Tuan Deighton.”
“Pagi.” Ethan duduk, mengusap rambutnya yang masih sedikit basah karena hujan pagi. “Apa kita bisa mulai sekarang?” tanyanya dengan nada berat.
“Sudah mulai sejak semalam, Tuan,” jawab Graham sambil menutup map. “Saya punya beberapa hal yang perlu Anda lihat.”
Ia menggeser sebuah folder ke arah Ethan. Di dalamnya ada dokumen perusahaan, bernama Deighton & Miles Group. Tampak seperti hanya sebuah perusahaan kecil, tapi izin dan aksesnya, Ethan bisa menemukan sesuatu yang sangat besar di dalamnya.
“Perusahaan ini masih punya izin impor-ekspor aktif. Kami juga menemukan rekening luar negeri yang tidak pernah tersentuh oleh Cross Group,” jelas Graham dengan nada pasti. “Ayah Anda, Tuan Besar Deighton, telah menyembunyikannya dengan sangat rapi.”
Ethan menatap dokumen itu lebih lama. “Sampai Marcus tidak tahu sama sekali?” tanyanya tanpa menoleh.
Graham mengangguk. “Bahkan dia tidak tahu bahwa perusahaan ini masih punya akses ke jaringan pelabuhan lama milik Deighton.” Ia menatap Ethan dengan tatapan teguh, seperti sedang mengingatkan bahwa ini adalah suatu kekayaan yang tak ternilai. “Ini adalah pintu masuk Anda, Tuan Ethan. Pintu pertama Anda.”
Ethan menarik napas panjang. Bukan napas lega, tapi napas seseorang yang baru menyadari betapa berat langkah pertama ini. Namun, Ethan adalah seorang Deighton. Maka ia takkan mudah ditaklukkan.
“Aku sungguh tidak menyangka masih ada yang tersisa,” ujarnya.
“Marcus tidak bisa mengambil semuanya, Tuan.” Nada bicara Graham sangat tenang, tapi jelas ia begitu yakin bahwa nama besar Deighton yang sempat redup akan segera bersinar lagi.
Namun, sebelum pembahasan mereka berlanjut, ponsel Ethan, ponsel khusus yang diberikan oleh Graham kemarin, bergetar.
Satu buah pesan singkat masuk dan hanya satu kalimat.
“Jangan abaikan Celeste Morel. Dunia ini tidak sekecil yang kau kira.”
Pesan itu datang tanpa nama pengirimnya, tidak ada nomor dan anehnya tidak ada jejak yang bisa dilacak.
Seolah pesan itu masuk begitu saja lewat udara.
Ethan mematung beberapa detik, wajahnya mengeras. “Graham, kau mengirim ini?”
Graham mengangkat alis, bahkan terlihat sedikit tersinggung. “Tidak, Tuan Deighton. Saya tidak bermain kode-kodean seperti ini.”
Ethan menutup ponsel itu perlahan, tapi jari-jarinya terasa dingin. Celeste Morel? Pikirnya.
Wanita yang nyaris menabraknya kemarin, yang wajah serta namanya cukup membuat Ethan berpikir beberapa saat.
Wanita yang menawarkan segelas kopi sebagai permintaan maaf. Dan tatapan matanya yang memandang Ethan bukan sebagai pria miskin yang rendah, melainkan seperti tatapan seorang, teman?
Apakah semuanya kebetulan dalam dua hari?
Ethan tidak percaya pada kebetulan.
Namun, ia tidak mungkin membahas Celeste Morel di tengah pembahasan strategi besar yang kini disusun.
Ia memilih melanjutkan pembahasan mereka meski pikirannya sesekali terarah pada pesan tentang Celeste Morel.
Mengapa orang asing membawa nama Celeste Morel? Siapa sebenarnya Celeste Morel?
Sore harinya, di pusat kota Manhattan.
Untuk mengaktifkan legalitas Deighton & Miles Group, Ethan perlu verifikasi langsung di bank yang bekerja sama dengan perusahaan itu. Karena itu, pada sore ini ia berdiri di lobi kaca Bank Hesler, tempat banyak perusahaan besar mengurus transaksi internasional.
Saat itu ia datang dengan mengenakan kemeja biru polos yang baru ia beli dari toko diskon. Rambutnya rapi seadanya, meski tetap terlihat lusuh, tetapi Ethan sangat tampan. Ia duduk di kursi tunggu, memegang map tipis dan menatap antrean panjang di depan counter.
Untuk menyibukkan diri, ia mencoba membaca ulang berkas yang diberikan oleh Graham, tapi pikirannya terus terganggu oleh isi pesan misterius tadi.
Celeste Morel.
Selain Iris, Celeste adalah wanita kedua yang mampu membuat Ethan membayangkan wajahnya. Tapi dalam hal yang berbeda.
Ia mencoba menepis pikiran itu. Fokus pada urusan penting saat ini. Demi kehidupan baru, dan masa depan.
Namun tiba-tiba, suara lembut tapi tegas terdengar dari arah pintu masuk.
“Aku ingin laporan transaksi bulan ini, dan jangan beri alasan lagi. Kalau dokumen masih tercecer, aku sendiri yang akan audit kantor kalian.”
Ethan refleks menoleh.
Di sana, berdiri beberapa meter darinya. Wanita itu, yang sejak pagi menguntit dalam pikirannya, Celeste Morel.
Namun berbeda dari saat kemarin. Sekarang wanita itu mengenakan setelan profesional warna navy. Rambut cokelat gelapnya diikat rapi. Sepatu haknya mengetuk lantai marmer dengan ritme pasti.
Ia selalu tampak seperti wanita berkelas yang percaya diri. Seperti seseorang yang memimpin ruangan.
Dua pria berjas di sampingnya mengangguk-angguk gugup, tampak jelas mereka adalah bawahan atau mitra bisnisnya. Di dada mereka, terpasang sebuah pin emas berbentuk huruf C.
Ethan langsung dapat mengenalinya. Pin resmi dari Cross Group.
Darah Ethan terasa berhenti mengalir sesaat. Ia sudah tahu sejak kemarin, dan ia kesal karena dalam waktu beberapa detik tadi ia sempat memuji penampilan wanita itu.
“Dia pasti orang kepercayaan Marcus, dan sengaja membuat alur pertemuan kami kemarin untuk tujuan tertentu. Cih!” gumam Ethan dalam hati.
Ethan bersandar sedikit, sambil menunduk agar Celeste tidak melihatnya. Namun, seolah hidup punya ide lain, Celeste tiba-tiba menoleh.
Tak dapat terelakkan lagi. Mata mereka bertemu. Raut terkejut muncul di wajah Celeste.
Ia benar-benar mengenali Ethan.
Reaksinya seperti bukan hanya sekadar berkata, “Oh, pria itu.”
Namun lebih seperti, “Hei, aku bertemu dengan pria ini lagi.” Ada sedikit rasa penasaran sekaligus antusias.
Ethan tidak bergerak, hanya diam berwajah datar.
Celeste memberi isyarat kecil dengan jarinya, seperti meminta Ethan untuk menunggunya sebentar.
Isyarat itu kecil, elegan, nyaris tidak terlihat oleh orang lain. Tapi Ethan langsung mengerti.
Salah satu pria Cross Group itu menyadari tatapan Celeste dan bertanya, “Ada sesuatu, Nona Morel?”
Dengan cepat Celeste mengubah ekspresinya menjadi dingin dan profesional. “Tidak. Lanjutkan ke ruang rapat. Saya akan menyusul.”
Dua pria itu pun menurut tanpa bertanya.
Ethan tetap duduk, tapi jantungnya berdetak keras meski wajahnya tetap datar. Ia juga tidak tahu mengapa ia menunggu. Tapi tatapan Celeste tadi bukan tatapan main-main. Ada sesuatu yang harus ia dengar.
Kemudian Celeste mulai berjalan perlahan mendekati Ethan. Tidak secara langsung. Seolah tidak ingin menarik perhatian dari siapapun. Bahkan kamera pengintai.
Ketika ia sampai di depan Ethan, ia bicara pelan. Nyaris berbisik.
“Kita bertemu lagi,” katanya. Ada sedikit tawa kecil yang terdengar seperti kelegaan. “Dunia memang kecil.”
Ethan menatapnya datar. “Terlalu kecil hingga membuatku gerah,” balasnya.
Celeste mengangguk, tak pernah ada raut wajah tersinggung yang terlihat. “Aku harus rapat. Tunggu aku. Ada hal yang perlu kubicarakan padamu.”
“Kenapa aku harus–“
“Ini penting,” Celeste memotong cepat.
Ethan menatapnya lama. Ada sesuatu di mata Celeste, bukan rasa takut, bukan juga rasa bersalah. Wanita ini sangat tak terbaca. Namun, sepertinya Ethan harus menunggunya.
Akhirnya Ethan hanya menjawab singkat, “Sepuluh menit.”
Celeste tersenyum kecil, lalu pergi.
Ethan menatap punggung Celeste yang menjauh, perasaannya campur aduk.
Satu bagian dirinya ingin menjauh dari apapun yang berhubungan dengan Cross. Tapi bagian lain tahu betul bahwa dalam perang, informasi adalah senjata.
Celeste Morel jelas membawa sesuatu. Ethan yakin, pertemuan mereka kemarin memang bukanlah kebetulan.
Sebuah pesan singkat yang menyebut nama Celeste Morel pagi tadi juga harus memberinya jawaban saat ini juga.
Ethan menggertakkan giginya. “Baiklah, kita lihat siapa kau sebenarnya?”
Pagi itu, Ethan sedang berjalan dengan langkah cepat melewati trotoar Manhattan yang penuh dengan orang-orang kantoran berlalu lalang. Udara masih dingin, tapi pikirannya jauh lebih dingin lagi. Hari ini, ia fokus pada satu hal, yakni tentang situasi perusahaan yang masih sah atas namanya, miliknya. Satu-satunya warisan dari mendiang sang ayah yang tidak diketahui oleh Marcus Cross.Kantor yang ia tuju saat itu hanyalah ruang sempit di lantai dua sebuah gedung tua. Bukan gedung ilegal seperti Cross Group. Tapi justru di ruangan sederhana inilah Graham menunggunya.Saat Ethan masuk, Graham mengangkat kepala dari tumpukan berkas di atas meja kerjanya. “Selamat pagi, Tuan Deighton.”“Pagi.” Ethan duduk, mengusap rambutnya yang masih sedikit basah karena hujan pagi. “Apa kita bisa mulai sekarang?” tanyanya dengan nada berat.“Sudah mulai sejak semalam, Tuan,” jawab Graham sambil menutup map. “Saya punya beberapa hal yang perlu Anda lihat.”Ia menggeser sebuah folder ke arah Ethan. Di dala
Setiap huruf yang tertulis di dalam berkas itu tak ada yang terlewat dari pemindaian mata Ethan, tak perlu waktu lebih dari lima menit untuk Ethan dapat menemukan sebuah rancangan besar yang telah ayahnya persiapkan untuknya.“Graham.”“Tuan?”“Ini memang senjata balas dendam,” ujar Ethan dengan suara beratnya. “Kau pergilah, persiapkan semuanya.”Graham mengangguk, kemudian menyodorkan sebuah ponsel. “Ponsel ini sudah di modifikasi agar tidak dapat dilacak dan disadap. Nomor saya ada di dalamnya, hubungi saya kapan saja Anda siap.”Beberapa saat setelah Graham pergi, Ethan menyusul keluar. Uap hangat dari pintu kedai yang tertutup di belakangnya perlahan lenyap tertelan udara dingin.Ia menatap amplop di tangannya lalu menggenggamnya erat. Helaan napasnya terdengar panjang. Hujan mulai turun lagi, tipis, nyaris seperti kabut. Ethan mulai berjalan, tidak berlari, tidak pula mencari tempat berteduh.“Lucu,” katanya sambil menatap langit. Dulu ia selalu menghindari hujan. Sekarang, biar
Pagi hari yang membeku, Ethan terbangun bukan dengan rasa hancur seperti dulu, tapi dengan kesadaran dan tujuan baru.Meskipun hanya bisa terpejam kurang dari satu jam saja, Ethan harus bergegas, seseorang di luar sana telah menunggu dirinya atas permintaan ayahnya. Rasa sakit semalam telah menempa semangatnya untuk tak lagi berdiam diri.Ia mandi dengan air dingin yang bahkan motel itu tidak bisa panaskan, tapi baginya situasi ini bukan hal baru. Ketika masih di penjara, ia bahkan sering dibiarkan berdiri di lapangan sementara salju turun.Sambil menggigil, Ethan bergegas memakai pakaian yang bahkan masih setengah basah.Ia menyempatkan sejenak untuk mengecek laptopnya, kemudian mendengus. “Untung kau masih menyala, kalau tidak, setelah ini kau akan berakhir di tong sampah,” ujarnya sedikit geli, seperti sedang berbicara dengan teman. Setidaknya, benda itu yang saat ini membantunya menemukan harga dirinya.Setelah yakin tak ada barang yang tertinggal, ia lalu keluar menuju kota.Etha
Derasnya hujan malam itu tak menyurutkan niat Ethan untuk melangkah. Melewati beberapa restoran, bar dengan kaca jendela besar yang memantulkan penampilan kacaunya.Jaket lusuh yang menempel di tubuhnya sudah tak sanggup lagi menahan air. Kini sekujur tubuhnya basah, tapi air dingin itu sama sekali tak membuatnya terusik. Setiap langkah kakinya di atas trotoar itu seperti membawa tekad yang kuat. Hatinya sudah mengeras, dan Ethan merasa waktu lima tahun itu harus dibayar setimpal.Meskipun bayangan dari pesta itu masih menari di kepalanya. Juga tawa tamu-tamu yang sombong, serta tatapan jijik mereka. Dan Iris, dengan mata yang dulu ia hafal setiap kedipnya, kini bahkan tak mau menatap balik.Ia berjalan terus, dengan isi kepala yang sibuk menolak kekalahan. Lima tahun lalu, ia keluar dari mobil sportnya dengan setelan Armi. Kini ia bahkan tak punya sepatu tanpa bolong. Ironi ini terasa begitu sempurna malam itu.Akhirnya, Ethan menemukan sebuah motel murah, yang akan menjadi tempat ti
“Lima tahun,” gumamnya pelan. “Dan kau masih di sini, Ethan. Masih hidup.”Ethan Deighton menarik kerah jaketnya lebih tinggi. Langkahnya mengarah ke sebuah rumah milik seseorang yang dulu membuat setiap malamnya berarti. Iris Valeska. Nama yang selalu menjadi pelarian dalam kepalanya ketika suara jeruji besi bergesek di malam hari. Wanita yang dulu menatap mata Ethan dengan penuh keyakinan, lalu memintanya untuk diam dan mengaku bersalah agar reputasinya tidak hancur.Ethan menuruti. Karena cinta, katanya waktu itu.Dan cinta itulah yang kini menuntunnya menembus dinginnya kota New York, ke rumah megah dengan pagar besi tinggi di ujung jalan.Lampu-lampu di sana berkilau, memantul di salju seperti permata. Ada tenda putih besar berdiri di halaman, dengan musik jazz mengalun lembut dan suara tamu bercampur tawa serta denting gelas.Hati Ethan berdegub cepat. Ia menatap pesta itu lama, lalu tersenyum kecil. “Dia tahu aku bebas hari ini,” pikirnya. “Dia pasti menyiapkan ini.”Namun lang







