“Kau terlambat. Haruskah kau terlambat di hari penting ini, Neuro?”
Suara dingin itu memotong suasana seperti pedang tipis yang menusuk tanpa ampun. Neuro menghentikan langkahnya, napasnya tercekat sejenak sebelum perlahan ia membalikkan tubuhnya.
Suara itu, tegas dan penuh nada mengejek, datang dari arah Daniel, kakak keduanya, yang kini berdiri dengan tangan terlipat, menatapnya dengan tatapan penuh kebencian yang telah ia kenal sejak kecil.
Astaga! Apa lagi ini?
Neuro menarik napas panjang, menahan rasa malas yang mulai menguasai pikirannya. Hubungannya dengan Daniel selalu buruk—tidak, lebih dari buruk.
Sejak ia ingat, Daniel memperlakukannya seolah ia adalah noda yang tak diinginkan di kehidupan keluarga mereka.
“Kenapa aku harus peduli pada hari penting ini?” batinnya, meskipun ia tahu ia tidak bisa melontarkan itu secara langsung.
Daniel, seperti biasanya, berdiri dengan postur arogan yang mencerminkan kepribadiannya yang keras. “Kebahagiaanku lenyap sejak kau lahir,” itulah mantra yang selalu Daniel lontarkan setiap kali ada kesempatan.
Neuro sudah hampir kebal mendengarnya, tetapi dampaknya tetap menusuk, menggoreskan luka kecil yang tak terlihat di hatinya.
“Aku tidak mau berdebat denganmu di sini, Kak,” jawab Neuro, suaranya datar, seperti permukaan danau tanpa riak.
“Oh, ini bukan debat, Adikku. Ini peringatan,” sahut Daniel, suaranya menyusup seperti racun ke telinga Neuro. “Jangan membuat masalah atau mencoba menarik perhatian Ayah hanya untuk merebut perusahaan dariku.”
Neuro mendengus, hampir tidak percaya bahwa Daniel masih mengulang lagu lama ini. Sudah berapa kali ia menjelaskan?
Ia tidak peduli tentang perusahaan atau apa pun yang Daniel pikirkan. Namun, kata-kata itu seolah tidak pernah mencapai hati Daniel, tenggelam di dasar lautan prasangka yang telah lama tertanam.
“Terserah,” gumam Neuro akhirnya, mengangkat bahu. Ia memilih menyerah pada debat ini, bukan karena kalah, tetapi karena lelah.
Berbicara dengan Daniel sama seperti mencoba berbicara dengan tembok batu, hanya menghasilkan gema tanpa jawaban.
Ia melangkah pergi, langkahnya lebar, seolah ingin menjauh dari semua energi negatif yang Daniel pancarkan. Tapi pikirannya masih terasa berat, beban yang selalu ia rasakan setiap kali harus berhadapan dengan kakaknya.
Matanya memicing saat ia menangkap sosok ayahnya di seberang ruangan, berdiri anggun dengan senyum ramah, tengah berbincang dengan sepasang tamu yang membelakanginya.
Sosok itu—Robert—mendominasi ruangan dengan kehadirannya yang kharismatik, dan panggilan hangatnya memecahkan sejenak beban di hati Neuro.
“Neuro, kemari!”
Senyum terulas di wajah Neuro, sebuah senyuman lebar yang terasa hampir seperti pelarian.
Dengan cepat ia merapikan jasnya, memastikan setiap lipatan rapi sebelum melangkah ke arah ayahnya. Langkahnya penuh percaya diri, tetapi ada rasa penasaran yang menggantung di udara.
Tamu ini pasti seseorang yang penting jika sampai Robert memperkenalkannya secara langsung.
Namun, semua rasa penasaran itu seketika berubah menjadi kejutan saat matanya menangkap sosok wanita yang berdiri di samping pria itu.
Tubuh Neuro membeku, langkahnya terhenti di tengah jalan. Matanya membelalak, penuh keterkejutan.
Wanita itu… tubuhnya merapat sempurna di lengan pria di sebelahnya, dan ia tersenyum kecil, senyuman yang tampak tenang tetapi penuh arti.
Rambutnya kini berbeda, lebih rapi dan elegan, penampilannya pun begitu anggun. Tapi Neuro tahu—seribu persen ia tahu—bahwa ia tidak mungkin salah.
Itu dia. Wanita itu.
Wanita yang telah ia cari selama beberapa hari terakhir. Wanita yang membuatnya merasa gila sepanjang malam.
Alisha hanya tersenyum tipis, senyuman yang tampak seperti permukaan cermin tanpa cela, kala Rean menyalami rekan kerjanya dengan penuh percaya diri.
Tatapan Rean menyala-nyala, seakan seluruh dunia berputar di bawah telapak kakinya. Dengan bangga, ia menyentuh bahu Alisha, jari-jarinya mengencang sejenak, seolah ingin menandai kepemilikannya di hadapan dunia.
"Ini istri saya, Alisha," ujarnya, suaranya menggelegar seperti genderang kemenangan.
Alisha tersenyum lagi, kali ini senyuman yang ia poles dengan kesopanan. "Ah, senang bertemu dengan Anda," ucapnya sembari memberikan salam penghormatan yang anggun kepada Tuan Robert.
Namun, di dalam hati, ada api kecil yang menyala—api kemenangan kecil yang ia nikmati diam-diam. Gea, sang bayangan yang selalu mencoba mengambil tempatnya, kini hanyalah siluet yang terabaikan.
Alisha menatapnya dengan ekor matanya, memperhatikan bagaimana Gea menggeliat gelisah di sudut seperti seekor kucing kecil yang kehilangan perhatian.
Gea mendekat, suaranya kecil dan bergetar, "Kak Lisha, boleh aku ke sana saja?"
Tawa hampir meledak dari dada Alisha. Ia menelan gelombang itu, menggantinya dengan anggukan dingin.
"Baiklah. Kembali ke sini jika kau sudah merasa bosan," jawabnya ringan, sambil melihat Gea melangkah pergi.
Diam-diam, Alisha mengangkat sudut bibirnya, membentuk lengkungan kecil yang penuh dengan kepuasan.
Rasakan itu, Gea, bisik hatinya. Seorang simpanan tidak akan pernah diakui selama istri sah berdiri di samping suami.
Perhatiannya teralihkan saat suara Tuan Robert, berat dan penuh wibawa, memecah suasana.
"Itu anak saya, Neuro!" seru pria setengah baya itu, melambai dengan semangat. "Neuro, kemari!"
Alisha hampir tidak peduli. Siapa pun anak Tuan Robert, ia hanyalah salah satu bagian dari malam yang panjang ini.
Namun, saat pria bernama Neuro itu mulai melangkah mendekat, sesuatu di udara berubah.
Ketika Neuro akhirnya tiba di hadapan mereka, Alisha mengangkat pandangannya tanpa niat khusus—dan terkejut melihat tatapan pria itu.
Mata Neuro membelalak, raut wajahnya terpahat oleh keterkejutan yang begitu jelas. Seolah-olah ia baru saja melihat sesuatu yang tidak mungkin berada di hadapannya.
Ada apa? Kenapa pria ini terlihat begitu terguncang?
Rean, tanpa menyadari ketegangan yang perlahan-lahan merayap di udara, memperkenalkan Alisha lagi dengan nada bangga. "Ah, senang bertemu dengan Anda. Saya Rean, dan ini istri saya, Alisha."
Alisha mengulurkan tangan, tetapi ia memilih diam, hanya menawarkan senyum tipis yang kini mulai pudar.
Namun, ia mendapati sesuatu yang tidak biasa dalam genggaman tangan Neuro. Terlalu erat, terlalu lama.
Kurang ajar!
"Jadi namanya Alisha," gumam Neuro, suaranya rendah dan nyaris mengalun.
Matanya menyusuri wajah Alisha dengan tatapan yang terlalu dalam, terlalu penuh makna. "Cantik sekali. Ternyata benar Anda sudah menikah. Pantas saja..."
Alisha terdiam, bibirnya kaku, sementara matanya terus meneliti Neuro dengan kebingungan yang semakin mengental.
Ada sesuatu yang mencurigakan dalam senyumnya, dalam tatapan itu—tatapan yang tidak asing, tetapi sulit ia tempatkan.
Astaga. Siapa pria ini sebenarnya?
Dengan satu tarikan cepat, Alisha menarik tangannya dari genggaman Neuro. Napasnya terasa lebih cepat dari biasanya, tetapi ia berusaha keras untuk menjaga ekspresi wajahnya tetap datar.
Rean, yang kini tampak terkejut dengan suasana yang aneh, menatap Neuro dengan alis yang terangkat tinggi. "Anda mengenal istri saya?"
Kelly hanya bisa meremas foto-foto itu dengan kesal. Mustahil, bagaimana bisa Alisha menemukan jejak dirinya saat menjadi wanita penghibur beberapa tahun yang lalu.Hanya sebentar ia berada disana untuk bekerja, bagaimana mungkin Alisha bisa menemukan jejaknya?Apa Alisha memiliki orang handal yang pintar mencari informasi? Tidak mungkin. Perusahaan Alisha bukanlah perusahaan besar yang memiliki sumber daya manusia yang luar biasa."Bagaimana Kelly? Kau ingin aku mengirimnya pada Andrew?" ujar Alisha dengan senyuman miring."Atau bagaimana jika aku membeberkan hal ini ke media? Beritamu pasti akan besar seperti halnya beritaku. Bahkan aku bisa membuatnya lebih besar lagi," sambung Alisha kembali.Kelly mulai terlihat pucat pasi mendengar ucapan Alisha. Rahangnya bergemretak menahan amarah melihat Alisha yang tersenyum penuh arti. "Apa maumu?""Ha, tidak seru! Kenapa kau masih saja searogan itu saat kartu matimu ada di tanganku. Memohonlah padaku, Kelly Anderson! Baru aku akan memperca
Awalnya Alisha pikir Gea akan terbawa amarah saat ia lagi-lagi kalah darinya. Namun kali ini berbeda, Alisha terperangah saat melihat Gea malah mengangkat bibirnya membentuk sebuah senyuman. Senyuman licik nan berbahaya. Kedua tangannya ia lipat di depan lalu berkata, "Tidak apa-apa, Kelly. Aku memang sengaja kalah dari Kak Lisha,"Alisha mengangkat alis mendengar ucapan ambigu yang dilontarkan oleh Gea. Apa yang jalang ini maksud sebenarnya?"Sengaja kalah? Kenapa memangnya, Gea?" Kelly terlihat mulai memancing.Semua orang terlihat mencondongkan tubuh mereka, sama-sama ingin tahu jawaban yang akan Gea utarakan."Aku sudah mengambil semuanya dari Kak Lisha, hal ini tidak seberapa dengan pengorbanannya untukku. Dia sungguh berhati mulia mau memberikan suami tercintanya.”"Astaga, malangnya.""Kasihan sekali.""Dia tidak pandai menjaga suaminya."Alisha hanya bisa ternganga mendengar jawaban Gea. Semua orang kembali terkikik geli. Sialan, mereka sengaja menjadikan aib rumah tanggany
Alisha mengangkat wajahnya melihat ke arah depan. Matanya melebar sempurna melihat bayangan wanita itu. Raut wajah Alisha seketika mengeras melihat Gea berdiri disana dengan senyuman lebar. Gea melangkahkan kakinya ke arah meja mereka dengan langkah mengayun. Alisha hanya bisa mengatupkan rahangnya kuat melihat penampilan Gea yang mewah malam ini. Sedang apa wanita jalang ini di sini?"Selamat malam, Kak Lisha. Akhirnya kita bertemu lagi hari ini."Melihat Gea berdiri disana dengan senyuman lebar membuat amarah Alisha seketika bangkit. la refleks berdiri, menatap tajam ke arah Gea yang masih memasang senyum lebarnya."Apa-apaan ini, Kelly? Kenapa jalang ini ada di sini?" ujar Alisha sinis.Kelly terlihat mengangkat bahu. "Maafkan aku Alisha Sayang, tapi aku menerima semua orang yang menurutku memiliki derajat tinggi. Sekarang Gea adalah istri Rean Hadiyatma, salah satu perusahaan besar di kota ini,""Apa kalian tahu siapa dia?" Tanya Alisha sambil menunjuk Gea dengan telunjuknya."T
Dalam hati Gea bersorak mendengar ucapan Riana. Rencananya lebih lancar dari yang seharusnya berjalan. Kematian Hendriawan benar-benar menguntungkan baginya. Lihat orang-orang bodoh ini, mereka tidak tahu jika ia telah menyuntikan racun ke dalam infusan Hendriawan. Sebenarnya langkahnya untuk melenyapkan bukan bagian dari rencana, hanya saja mengingat pria tua itu bisa menjadi batu sandungan untuknya, Gea terpaksa melakukannya.Racun yang ia suntikan memang tidak dapat terdeteksi sebagai penyebab kematian, siapa yang menyangka jika pekerjaan ayahnya sebagai anggota preman cukup membantunya mengetahui informasi ini. Gea mengulas senyuman tipis. Kebencian Riana terhadap Alisha semakin membesar karena satu dua kebohongan yang ia lontarkan. la akan menjadikan Riana sebagai alat untuk menghancurkan Alisha. Tidak ada senjata yang lebih baik dibanding dari mereka yang dipenuhi dendam dan juga amarah.Dengan penuh yakin Gea mengangguk, menuruti apapun arahan Riana selanjutnya."Baik Ma, G
Suasana duka menyelimuti kediaman rumah Keluarga Hadiyatma ketika Alisha menginjakkan kakinya di sini.Semua orang berpakaian penuh hitam ikut menggambarkan betapa kelamnya hari panjang ini bagi mereka.Alisha hanya bisa menatap rumah duka itu dengan tatapan nanar. Suasana hatinya tak jua berbeda dengan suasana hati yang ditujukkan Rean dan Riana hari ini. Sedih dan putus asa.Riana terlihat masih menjerit histeris menggoncang tubuh suaminya yang terbujur kaku sementara Rean terlihat menahan lengan sang ibu untuk menguatkan hatinya yang ditinggal belahan jiwanya.Pemandangan ini sungguh memilukan membuat beberapa pelayat ikut menutup wajah, menyembunyikan tangisnya.Kedatangan Alisha dan raut wajah sedihnya nyatanya tak dapat menyentuh hati Riana sedikit pun.Melihat kedatangan Alisha yang tidak diharapkan membuat pandangan Riana berubah waspada.Wajah putus asanya seketika mengeras melihat Alisha menghampiri jasad Hendriawan. Berani sekali! Berani sekali orang yang menyebabkan kemala
Telinga Riana seolah berdenging mendengar ucapan dokter di depannya."Apa maksudnya dokter? Jangan main-main. Saya mau menemui suami saya, tadi dia masih baik-baik saja. Mana mungkin suami saya meninggal," ujar Riana menolak fakta yang baru saja dikatakan dokter di depannya."Maafkan kami Bu, kami sudah berusaha namun Tuhan berkehendak lain. Nyawa suami Ibu tidak dapat kami selamatkan.”Tubuh Riana seketika melemas mendengar perkataan dokter di depannya. Tidak mungkin, tidak mungkin suaminya meninggalkannya sekarang.Dengan daya yang tersisa tinggal sedikit, Riana menghampiri ruangan Hendriawan.Tatapannya berubah nanar saat melihat tubuh kaku Hendriawan dengan wajahnya yang sudah memucat."Papa baik-baik saja kan, Pa? Papa pasti bohong kan sama Mama? Papa tidak mungkin meninggalkan Mama sendirian, bukan?"Meski Riana sudah mengguncang tubuh Hendriawan berkali-kali dengan daya yang cukup keras, Hendriawan tetap tidak merespon apapun yang sudah ia lakukan."Papa jangan bercanda begini