Home / Romansa / Benci CEO Cinta Tanpa Rencana / Dua Hari Neraka Dimulai

Share

Dua Hari Neraka Dimulai

Author: AwenX
last update Last Updated: 2025-04-27 10:45:02

Malam itu, langit Jakarta seakan ikut bersekongkol, menumpahkan hujan deras yang tak kunjung reda. Tapi Alya Putri tetap duduk tegak di depan meja kecil di apartemennya, dikelilingi tumpukan kertas, laptop menyala, dan secangkir kopi ketiga yang mulai kehilangan kehangatan. Ia baru saja menyelesaikan membaca keseluruhan proyek yang Rafael Kurniawan lemparkan begitu saja padanya siang tadi. Dan satu kesimpulan melintas di kepalanya:

"Ini bukan proyek biasa. Ini kayak tes bertahan hidup."

Proyek itu meminta Alya merancang konsep baru untuk lini bisnis Kurniawan Corp dalam waktu dua hari saja. Bukan hanya ide kreatif, tapi juga strategi pemasaran, analisis kompetitor, dan simulasi keuangan sederhana. Bagi seseorang yang baru saja melamar kerja, ini nyaris mustahil.

"Oke," gumam Alya, mengetik cepat. "Kamu mau main kasar, Pak CEO? Fine."

Ia membagi kertas kosong menjadi tiga kolom besar: Ide, Strategi, Simulasi. Tangannya bergerak cepat, menulis brainstorming tanpa peduli coretan-coretan berantakan yang mulai memenuhi meja. Malam itu berlanjut tanpa belas kasihan. Satu jam, dua jam, kopi berganti menjadi teh, lalu air putih.

Tak terasa malam berganti pagi. Alya hampir tidak tidur. Begitu menyadari jam dinding menunjuk pukul lima pagi, ia hanya sempat berguling di kasur selama tiga puluh menit sebelum akhirnya menyeret dirinya ke kamar mandi.

"Aku harus kasih dia kejutan. Biar dia lihat siapa yang dia remehkan."

---

Di sisi lain kota, Rafael Kurniawan baru saja mengakhiri sesi gym paginya. Berkeringat namun tetap terlihat segar, ia mengusap rambutnya dengan handuk putih. Rafael bukan tipe orang yang mempercayai "keberuntungan". Baginya, segalanya adalah hasil kerja keras, ketepatan waktu, dan sikap tidak mengenal ampun.

Ponselnya berbunyi. Ia melihat sekilas: pesan dari sekretaris pribadinya.

Sekretaris: Ada beberapa update soal kandidat baru, Pak. Mau sekalian meeting setelah jam 9?

Rafael membalas singkat: "Ya."

Dalam pikirannya, Alya Putri hanya satu dari puluhan kandidat biasa. Mungkin perempuan itu sedikit lebih berani, tapi tetap saja di dunia bisnis, keberanian tanpa kecerdasan hanya berakhir jadi beban.

Tanpa pikir panjang, Rafael melangkah ke shower, membiarkan air dingin menyapu tubuh atletisnya, bersiap menghadapi hari lain yang penuh kesibukan.

---

Pukul 08.45, Alya sudah berdiri di depan gedung Kurniawan Corp, lengkap dengan kemeja putih sederhana dan blazer biru gelap. Matanya merah karena kurang tidur, tapi ada api kecil yang membara di dalam dirinya.

Ia mengatur napas, memperbaiki postur tubuh, lalu melangkah masuk dengan kepala tegak.

"Pagi, Mbak Alya," sapa resepsionis, tampak sedikit terkejut melihatnya.

"Pagi," jawab Alya singkat.

Beberapa menit kemudian, ia sudah berada di depan pintu ruangan Rafael. Staf yang mengantarnya kemarin tersenyum tipis.

"Siap mental, Mbak?"

Alya hanya mengangguk. Ia mengetuk pintu sekali, lalu membuka perlahan.

Rafael duduk di balik mejanya, tampak seperti biasa: tenang, dingin, dan mengintimidasi.

"Masuk."

Alya melangkah masuk dan menyerahkan map presentasi yang sudah ia siapkan. Rafael mengambilnya tanpa bicara, membuka halaman demi halaman. Ia tidak menunjukkan ekspresi apa pun, hanya sesekali mengernyit tipis entah karena terkesan atau justru sebaliknya.

"Kamu kerja keras," kata Rafael akhirnya, menutup map itu.

"Terima kasih, Pak."

"Tapi kerja keras saja tidak cukup di sini."

Alya menggigit bibir bawahnya. Ia sudah memperkirakan jawaban semacam itu.

"Saya tahu, Pak. Karena itu saya juga bawa alternatif lain." Alya menarik laptopnya, menyalakan presentasi digital.

Rafael mengangkat alis tipis. Tidak banyak kandidat yang berani membawa cadangan rencana.

Dalam lima belas menit berikutnya, Alya menjelaskan idenya dengan suara mantap, menunjukkan grafik, prediksi pasar, dan potensi revenue.

Begitu ia selesai, ruangan itu hening. Rafael bersandar di kursinya, menatap Alya dengan pandangan yang sulit dibaca.

"Kalau saya kasih kamu satu proyek kecil," katanya pelan, "dan kamu gagal, kamu tahu risikonya?"

Alya mengangguk. "Saya siap bertanggung jawab."

Senyum tipis nyaris tak terlihat terbit di sudut bibir Rafael.

"Baik. Mulai besok, kamu magang di tim Inovasi Bisnis. Lapor ke Pak Dimas. Saya mau lihat hasil nyata, bukan sekadar teori."

Alya hampir tidak percaya telinganya. Ia menahan diri untuk tidak melonjak kegirangan.

"Terima kasih, Pak Rafael. Saya tidak akan mengecewakan Anda."

"Buktikan saja," jawab Rafael dingin, lalu kembali menunduk ke laptopnya, mengabaikan Alya seolah ia sudah menjadi bagian dari furnitur ruangan itu.

---

Pukul sepuluh malam, Alya kembali ke apartemennya. Tubuhnya lunglai, tapi pikirannya justru semakin sibuk. Ia tahu, ini baru permulaan.

Esok harinya, babak baru dimulai.

Tim Inovasi Bisnis menyambutnya dengan tatapan skeptis. Ada yang terang-terangan menghela napas panjang, ada yang saling berbisik, seolah kehadiran Alya adalah beban baru.

Pak Dimas, atasannya, sosok pria paruh baya dengan kacamata tebal dan suara berat, memperkenalkannya tanpa banyak basa-basi.

"Ini Alya. Magang baru dari rekomendasi langsung Pak Rafael."

Ada bisikan samar, "Oh, titipan bos."

Alya pura-pura tidak dengar. Ia menegakkan punggung, tersenyum sopan, lalu duduk di meja kosong yang sudah disiapkan.

Tak butuh waktu lama untuk merasakan atmosfer tidak ramah itu. Mereka memberinya tugas-tugas remeh: fotokopi, membuat laporan kecil, menyusun data lama.

Namun Alya tidak menyerah. Setiap pekerjaan ia kerjakan dengan teliti. Setiap laporan ia buat sebaik mungkin. Ia tahu, untuk bertahan, ia harus membuktikan kualitasnya, bukan membalas dengan omelan.

Waktu berlalu. Satu minggu pertama terasa seperti sebulan. Tapi perlahan, hasil kerja Alya mulai menarik perhatian. Laporan yang ia buat lebih rapi, ide-ide kecilnya saat rapat mingguan terdengar segar. Beberapa anggota tim mulai melirik ke arah Alya dengan rasa penasaran.

"Nih anak, kok nggak gampang tumbang, ya?" gumam salah satu seniornya, Fani.

Suatu sore, saat rapat proyek, Pak Dimas secara tidak sengaja memuji input Alya.

"Ide simulasi pelanggan itu bagus, Alya. Kita coba evaluasi minggu depan."

Sekilas, Alya menangkap ekspresi Rafael di ujung ruang rapat ya, pria itu ikut memantau progres divisi dan untuk pertama kalinya, ia melihat ada sedikit perubahan di mata dingin itu.

Seperti rasa ingin tahu.

Dan mungkin, sedikit sangat sedikit rasa hormat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Ancaman dalam Bayangan

    Alya menatap Rafael, yang kini membeku menatap layar ponselnya. Wajahnya mengeras, tapi di balik itu, matanya menunjukkan sesuatu yang belum pernah Alya lihat sebelumnya—takut.“Apa itu... ancaman?” tanya Alya pelan, seolah tak ingin percaya apa yang baru mereka lihat.Rafael mengangguk, lalu meletakkan ponsel di meja. “Nomor tak dikenal. Tapi mereka tahu gerak kita.”Alya menggigit bibir. “Berarti ini bukan cuma soal bisnis. Ini sudah personal.”Suasana di apartemen seketika berubah mencekam. Udara malam yang sejuk terasa menyesakkan. Alya berdiri, berjalan mondar-mandir. Ia mencoba berpikir jernih.“Kita harus amankan data-data penting. Semua dokumen buyback, pergerakan saham, bahkan email internal. Kalau mereka bisa mengakses informasi kita, mereka bisa sabotase dari dalam.”Rafael menyalakan laptopnya. “Aku akan hubungi tim IT. Kita harus audit semua server malam ini.”Sementara Rafael mengurus pengamanan digital, Alya menghubungi Dira. “Dira, aku butuh bantuannya lagi. Cek siapa

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Ombak yang Tak Kunjung Reda

    Tiga hari setelah keputusan dewan direksi yang mengeluarkan Clara dari jajaran eksekutif, Rafael memutuskan menggelar konferensi pers resmi. Bukan hanya untuk menjaga reputasi Kurniawan Corp, tapi juga demi menenangkan investor yang mulai gelisah.Konferensi digelar di ballroom hotel mewah di pusat Kuningan. Ruangan dipenuhi para wartawan, kamera siaran langsung, dan deretan pemegang saham yang ingin mendengar langsung dari sang CEO.Rafael berdiri di podium, jasnya rapi, wajahnya tenang meski sorotan kamera terasa menekan."Dengan berat hati, kami umumkan bahwa Clara Wibisono tidak lagi menjabat sebagai Direktur Operasional di Kurniawan Corp. Keputusan ini diambil setelah melalui pertimbangan matang oleh dewan direksi dan tim etika perusahaan."Suara kilatan kamera memenuhi ruangan."Namun kami menghormati hak beliau sebagai pemegang saham, dan sampai saat ini, beliau masih memegang 18% saham perusahaan. Kami berkomitmen menjaga integritas, profesionalisme, dan stabilitas perusahaan

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Bayangan yang Belum Pergi

    Hari-hari setelah dikeluarkannya Clara dari posisi eksekutif Kurniawan Corp terasa seperti badai yang mereda—tenang di permukaan, tapi menyisakan jejak ketegangan. Alya Putri tahu betul, ini belum benar-benar selesai. Rafael duduk di ruangannya yang kini lebih lengang sejak kepergian Clara. Di hadapannya, tumpukan laporan akuisisi dan pemindahan otoritas masih belum semua ditandatangani. Meski Clara telah dicopot dari jabatan strategisnya, satu hal masih menjadi duri dalam daging: Saham. Clara masih memiliki 15% saham di Kurniawan Corp—warisan dari ayah Rafael yang dulu memercayainya lebih dari sekadar rekan bisnis. Dan selama saham itu belum berpindah tangan, Clara tetap memiliki suara. Meski kecil, cukup untuk menyulitkan jalannya rapat penting. Cukup untuk jadi ancaman tersembunyi. “Dia bisa sewaktu-waktu kembali, dan dengan cara yang tidak terduga,” ucap Alya pelan ketika mereka duduk berdampingan di ruang kerja Rafael malam itu, meninjau hasil rapat tahunan internal direksi.

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Keputusan yang Menentukan

    Alya melangkah ke kantor dengan perasaan campur aduk. Promosi yang diberikan Rafael membuatnya merasa terhargai, tetapi sekaligus semakin terperangkap dalam intrik dunia korporat yang keras. Ia tidak bisa menahan diri untuk bertanya, apakah ini jalan yang tepat untuknya, ataukah ia hanya menjadi pion dalam permainan besar yang tak pernah ia pilih? Pagi itu, Alya duduk di meja kerjanya, menatap tumpukan dokumen yang menunggu untuk diproses. Laporan tahunan, analisis pasar, dan proposal untuk klien yang akan datang. Semuanya menumpuk, dan di tengah kesibukan itu, ia menerima pesan dari Rafael. Rafael: “Alya, ada hal penting yang perlu kita bicarakan. Bisa ke ruanganku siang ini?” Alya menatap layar ponselnya, ragu sejenak. Ada kecemasan yang menggelayuti hatinya. Apa yang ingin dibicarakan Rafael? Apakah ini tentang Clara, atau lebih lanjut tentang peran baru yang kini ia emban di Kurniawan Corp? Siang itu, setelah makan siang, Alya menuju ruang Rafael. Pintu yang biasanya terbuka

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Langkah Balasan

    Hari-hari setelah pertemuannya dengan Clara terasa berbeda bagi Alya. Ia bukan lagi wanita yang hanya bertahan dalam senyap. Kali ini, ia akan menyusun strategi, bukan hanya untuk melindungi dirinya, tapi juga membalas semua yang selama ini diam-diam menjatuhkannya. Langkah pertama yang ia ambil adalah memperkuat dukungan dari dalam. Alya mulai mendekati beberapa kepala divisi yang selama ini bekerja sama dengannya—mereka yang diam-diam menghargai profesionalismenya. “Pak Arif, saya tahu audit mendadak ini bukan murni inisiatif perusahaan,” ujar Alya di ruang kopi bersama kepala divisi keuangan yang sudah senior itu. Arif hanya mengangguk pelan. “Kami tahu ini bukan soal data. Ini soal politik. Tapi saya akan bersaksi sesuai fakta, Nona Alya. Kamu orang yang bekerja paling bersih di ruangan ini.” Alya tersenyum kecil. Dukungan seperti ini adalah fondasi awal. Langkah berikutnya, ia menemui Lisa dan membicarakan sesuatu yang sudah ia rencanakan semalaman. “Aku butuh kamu bantu k

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Api di Balik Senyuman

    Langit Kuningan malam itu tidak lagi semendung sebelumnya, tapi hati Alya justru terasa lebih gelap. Tatapan Rafael, permintaan maafnya, bahkan pengakuan bahwa ia ingin menjadi lebih baik demi Alya semuanya begitu mengejutkan sekaligus membingungkan.Namun satu hal yang lebih mengganggunya adalah sosok Clara. Tatapan penuh kemarahan dari balik mobil yang tidak disadari Rafael, tapi begitu jelas terasa oleh Alya. Ia tahu, badai yang sesungguhnya baru akan dimulai.Keesokan paginya, suasana kantor tampak lebih tegang dari biasanya. Beberapa pegawai tampak membisikkan sesuatu, pandangan mereka sesekali mengarah pada Alya yang baru saja keluar dari lift.“Ada apa, ya?” tanya Alya pelan pada Lisa.Lisa menatap sekeliling sebelum mendekat dan berbisik, “Clara mengumpulkan bukti untuk menjatuhkanmu. Dia bilang kamu menyalahgunakan jabatan, dan... ada rumor tentang hubunganmu dengan Pak Rafael.”Alya menarik napas dalam. “Cepat juga dia bergerak.”Lisa menatapnya khawatir. “Kamu harus hati-ha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status