Home / Romansa / Benci CEO Cinta Tanpa Rencana / Awal yang Penuh Bencana

Share

Benci CEO Cinta Tanpa Rencana
Benci CEO Cinta Tanpa Rencana
Author: AwenX

Awal yang Penuh Bencana

Author: AwenX
last update Last Updated: 2025-04-27 02:30:07

Hari itu langit Jakarta seolah ikut memperburuk suasana hati Alya Putri. Awan kelabu menggantung berat, udara terasa gerah, dan kemacetan membuatnya hampir gila. Dengan tergesa, ia berlari-lari kecil memasuki lobi gedung pencakar langit yang menjulang megah di tengah kota. Logo 'Kurniawan Corp' berkilau di atas pintu utama, seolah mengingatkannya: di tempat inilah nasibmu akan berubah.

"Selamat pagi, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa resepsionis dengan senyum profesional.

"Alya Putri. Saya... saya dijadwalkan interview dengan Pak Rafael Kurniawan," jawabnya, sedikit terengah karena berlari.

Senyum resepsionis itu sedikit meredup, seperti refleks alami. Seolah nama itu saja sudah cukup membuat siapa pun gugup. Dengan cepat, wanita itu mengangguk dan memberi isyarat agar Alya mengikuti seorang staf ke lantai atas.

Sepanjang perjalanan di lift, Alya merapikan rambutnya, menarik napas dalam-dalam, dan berusaha mengusir rasa gugup yang tiba-tiba melanda. Ia sudah mendengar banyak cerita tentang Rafael Kurniawan: CEO muda, pintar, sukses, sekaligus terkenal dengan reputasi dingin dan tak kenal ampun.

"Biasa aja, Alya," gumamnya, mencoba meyakinkan diri. "Dia juga manusia. Bukan setan."

Begitu pintu lift terbuka, seorang pria berbadan tegap dengan jas hitam langsung menyambut. Tatapannya tajam, langkahnya tegap. Alya nyaris ingin mundur selangkah.

"Alya Putri?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Iya, Pak."

"Ikuti saya."

Mereka berjalan cepat melewati lorong-lorong panjang dan mewah. Di ujung koridor, sebuah pintu besar dari kayu jati terbuka lebar, memperlihatkan ruangan kantor yang modern dan minimalis. Duduk di balik meja, dengan laptop terbuka dan ekspresi datar, adalah Rafael Kurniawan.

Alya tertegun sesaat. Pria itu benar-benar seperti yang diceritakan orang-orang: berwajah tampan, rahang tegas, rambut hitam rapi, dan mata yang tajam seperti pisau.

"Duduk," katanya, tanpa melihat langsung ke arah Alya.

Dengan gugup, Alya menarik kursi dan duduk. Ia berusaha tersenyum sopan, tapi Rafael tetap saja sibuk menatap layar laptopnya.

"Jadi," kata Rafael akhirnya, dengan nada datar. "Kamu terlambat tujuh menit."

Deg.

Alya menelan ludah. "Saya minta maaf, Pak. Tadi macet"

"Alasan klasik." Rafael akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Alya langsung untuk pertama kalinya. Tatapannya tajam, seolah menelanjangi seluruh alasan yang coba disusun Alya dalam pikirannya. "Di dunia ini, waktu adalah uang. Dan orang yang membuang waktu, membuang uang. Saya benci itu."

Suasana ruangan mendadak menegang. Alya membuka mulut untuk membela diri, tapi ia urungkan. Tidak, ia harus tetap tenang.

"Kamu tahu kenapa saya bersedia menginterview kamu sendiri, Alya Putri?" tanya Rafael.

Alya menggeleng pelan.

"Karena saya ingin lihat langsung apakah kamu layak berada di sini. Atau hanya buang-buang waktu saya."

Perut Alya terasa bergejolak. Ia mengepalkan tangannya diam-diam di atas pangkuan, berusaha keras mempertahankan senyumnya.

"Baik, Pak. Jika saya diberi kesempatan, saya akan membuktikan bahwa saya tidak akan membuang waktu Anda," katanya dengan suara yang lebih tenang dari yang ia rasakan.

Rafael menyipitkan mata, seolah menimbang-nimbang. Ia lalu melemparkan selembar kertas ke atas meja.

"Ini proyek pertama kamu kalau diterima. Baca. Mulai pikirkan solusinya. Waktu kamu hanya dua hari."

Alya meraih kertas itu. Proyek kompleks dengan detail yang membuat kepalanya langsung pening.

Tanpa memberikan kesempatan berbicara lebih banyak, Rafael kembali menunduk ke laptopnya, mengabaikan Alya seolah ia sudah tidak ada di ruangan.

"Kamu bisa keluar," katanya tanpa menoleh.

Alya berdiri, membungkuk sedikit, dan melangkah keluar dari ruangan. Begitu pintu tertutup di belakangnya, ia akhirnya berani menarik napas panjang.

"Astaga," gumamnya. "CEO macam apa itu?"

Di ujung koridor, staf yang mengantarnya tadi menahan senyum simpul. "Selamat datang di dunia Rafael Kurniawan, Mbak Alya."

Dan saat itu, dalam hati, Alya bersumpah: kalau memang harus bekerja di bawah pria itu, maka ia tidak akan pernah membiarkan dirinya diinjak-injak. Ini baru permulaan. Tapi pertempuran batin antara benci dan rasa penasaran sudah mulai bergelora dalam dirinya tanpa ia sadari.

Beberapa jam kemudian, Alya duduk di sebuah kafe kecil tak jauh dari gedung. Di depannya, secangkir kopi yang sudah dingin nyaris tak tersentuh. Ia menatap berkas proyek yang baru saja diberikan Rafael dengan pandangan nanar.

"Kamu gila, Alya. Gila," gumamnya sambil memijat pelipis. Diagram, laporan keuangan, analisa pasar semuanya bercampur aduk dalam dokumen itu. Ia bahkan nyaris tidak tahu harus mulai dari mana.

Teleponnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari sahabatnya, Rani.

Rani: Gimana interviewnya? Diterima, kan?

Alya mengetik cepat.

Alya: Baru interview. Belum tahu. Tapi orangnya... OMG, Ran, kayak es batu hidup.

Tak butuh waktu lama, balasan datang.

Rani: Haha, sabar. CEO emang begitu kali. Yang penting kamu harus nunjukkin siapa Alya!

Alya tersenyum kecil. Walaupun hatinya masih panas mengingat sikap dingin Rafael, semangatnya perlahan kembali. Ia tahu, menyerah bukan pilihan.

Ia menutup berkas proyek itu, lalu menarik napas panjang.

"Dua hari. Aku akan bikin kamu kagum, Pak CEO Sombong," katanya, menggenggam cangkir kopinya erat-erat. Mata Alya menyala dengan tekad baru.

Malam itu, tanpa peduli rasa lelah, ia mulai merancang langkah pertamanya untuk menaklukkan proyek dan mungkin, tanpa ia sadari, menaklukkan hati seseorang yang bahkan belum tahu betapa hidupnya akan berubah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Pilihan di Tengah Badai

    Pagi itu, langit Kuningan tampak mendung, seolah mencerminkan hati Alya yang sedang bergejolak. Ia berdiri di depan cermin apartemennya, menatap pantulan wajahnya sendiri. Matanya sedikit sembab karena malam tanpa tidur, dan pikirannya masih penuh oleh kata-kata Clara yang menohok.“Pastikan dia cukup kuat untuk berdiri di sisimu.”Alya menarik napas dalam, membenahi rambutnya lalu mengambil tas kerja. Hari ini, ia harus menunjukkan bahwa dirinya lebih dari cukup kuat. Bukan hanya untuk Rafael, tetapi untuk dirinya sendiri.Di perjalanan menuju kantor, radio mobil memutar lagu lawas yang mengiris hati. Alya mematikan volume, mencoba mengusir segala pikiran yang berisik di kepalanya. Namun, keraguan tetap menyusup seperti udara dingin yang menyelinap melalui celah kecil jendela.Saat sampai di kantor, Alya disambut oleh Lisa yang langsung memberikan tumpukan dokumen.“Ini laporan kinerja bulanan yang diminta Pak Rafael. Dia juga ingin kamu ikut dalam pitching dengan klien baru siang in

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Api Lama yang Menyala Kembali

    Pagi itu, kantor Rafael kembali riuh. Tapi ada aroma berbeda yang menyusup di antara kopi panas dan tumpukan laporan pagi aroma konflik yang belum kentara, namun siap meledak kapan saja.Alya berjalan memasuki gedung dengan langkah sedikit ragu. Ia tahu, setelah percakapan malam itu, semua hal kecil yang dulu terasa netral kini jadi terasa berarti. Seperti senyuman resepsionis yang lebih lama, tatapan dari staf lain yang mengintip, atau bahkan sapaan ramah dari bagian keuangan yang biasanya kaku. Langkah-langkahnya menyusuri koridor tampak ragu, namun sorot matanya mantap. Dalam benaknya, kata-kata Rafael semalam masih terngiang. "Kamu bukan cuma pegawai, Alya. Kamu lebih dari itu." Tapi benarkah? Di dunia Rafael, semua orang punya niat tersembunyi.“Pagi, Mbak Alya,” ujar Lisa, sekretaris pribadi Rafael, dengan senyum penuh arti. “Pak Rafael sudah menunggu di ruang meeting.”Alya mengangguk, mencoba tetap tenang meski hatinya melompat. Saat ia memasuki ruang meeting, Rafael sedang be

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Luka yang Belum Sembuh

    Suasana kantor kembali sibuk sejak kepulangan Rafael dan Alya dari Singapura. Di meja-meja kerja, tumpukan dokumen dan bunyi ketikan laptop berpadu dengan suara telepon yang tak henti-henti berdering. Namun bagi Alya, semuanya terasa seperti gema jauh dari pusat pikirannya. Ia duduk di ruangannya, menatap layar kosong selama hampir lima menit tanpa menyentuh keyboard.Ada sesuatu yang berubah sejak perjalanan itu. Bukan hanya dalam cara Rafael memandangnya, tapi juga dalam hatinya sendiri. Perasaan yang selama ini ia tekan perlahan merangkak naik ke permukaan. Alya merasa takut. Bukan karena Rafael bersikap buruk justru sebaliknya. Ia takut karena Rafael mulai memperlakukannya dengan kelembutan yang membuatnya lupa bahwa ia sedang berada di dunia bisnis yang keras dan kejam.Pintu ruangannya diketuk. Alya segera tersadar dari lamunannya."Masuk," katanya cepat, mencoba terdengar tenang.Rafael muncul di ambang pintu, mengenakan kemeja putih lengan panjang yang tergulung hingga siku. W

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Singapura, Awal dari Segalanya

    Matahari pagi di Bandara Soekarno-Hatta bersinar malu-malu di balik tirai awan. Suasana di ruang tunggu penuh hiruk-pikuk suara koper bergeser, panggilan boarding, dan langkah-langkah tergesa. Di tengah keramaian itu, Alya berdiri rapi, mengenakan blouse putih sederhana dipadu dengan blazer abu-abu, serta celana bahan hitam yang mempertegas aura profesionalnya. Walau begitu, tangan Alya tetap berkeringat dingin.Ini adalah perjalanan bisnis pertamanya ke luar negeri. Bersama Rafael.Dan hanya berdua.“Kalem, Alya. Ini cuma kerja,” gumamnya, mencoba menenangkan diri.Namun begitu Rafael muncul dari kejauhan, dengan setelan biru navy yang membalut tubuh tingginya sempurna, semua mantra ketenangan Alya runtuh. Pria itu seolah membawa hawa dingin sekaligus pesona yang sulit diabaikan."Siap?" tanya Rafael singkat tanpa senyum.Alya mengangguk cepat. "Siap, Pak."Tanpa banyak bicara, mereka berdua berjalan menuju boarding gate. Sepanjang perjalanan, suasana canggung menggantung di antara m

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Percikan di Tengah Ambisi

    Minggu-minggu berikutnya berlalu dalam kecepatan tinggi bagi Alya. Sejak Rafael menyerahkan proyek ekspansi Asia Tenggara kepadanya, hidup Alya berubah drastis. Jam kerja panjang, pertemuan bertubi-tubi, tekanan tiada henti, dan tuntutan kesempurnaan seolah menjadi udara yang ia hirup sehari-hari. Ada saat-saat ia merasa nyaris runtuh, tapi justru di tengah tekanan itu, semangat dalam dirinya tumbuh dan menguat, perlahan tapi pasti. Dalam tempo singkat, Alya belajar banyak hal. Ia membiasakan diri mengambil keputusan dalam tekanan waktu, mengasah ketajaman analisa, dan memperhalus intuisi bisnisnya. Tiap rapat yang ia pimpin semakin membuat suaranya terdengar mantap. Tatapan penuh percaya diri mulai menggantikan keraguan yang dulu sering terlihat di matanya. Suatu sore, saat sinar matahari condong ke barat dan membalut langit Jakarta dengan warna keemasan, Rafael memanggil Alya ke ruangannya. "Bagaimana progresnya?" tanya Rafael, nada suaranya datar, tapi sorot matanya tajam. Aly

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Gerakan di Balik Bayangan

    Pagi di Jakarta berhembus lembut, membawa aroma hujan semalam yang belum sepenuhnya kering. Namun, di lantai 25 Kurniawan Corp, suasana justru makin memanas. Alya, dengan map proyek di tangan, melangkah cepat menuju ruang rapat. Sorot mata kolega-koleganya mengikuti setiap gerakannya, beberapa penuh rasa ingin tahu, yang lain... dengki.Proyek barunya adalah pengembangan divisi inovasi digital, sebuah program ambisius yang Rafael canangkan untuk membawa perusahaan mereka masuk lebih dalam ke dunia teknologi modern. Tapi di balik proyek besar ini, banyak tangan-tangan yang ingin melihat Alya gagal.Fani, tentu saja, berada di garis depan. Bersama dua orang senior lainnya, ia mulai menyusun rencana licik. Mereka tak suka melihat Alya mendapatkan kepercayaan besar dari Rafael, apalagi mengingat betapa singkatnya waktu Alya bergabung."Kita buat dia terpeleset sendiri," bisik Fani kepada Tyo, salah satu senior tim pengembangan."Gimana caranya?" Tyo menyipitkan mata."Kita manipulasi data

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Saatnya Bertarung

    Pagi itu, Alya kembali terjaga lebih awal. Namun kali ini, tubuhnya terasa lebih lelah dari sebelumnya. Satu minggu penuh di tim Inovasi Bisnis bukanlah perjalanan yang mudah. Meskipun mendapat sedikit pujian dari Pak Dimas dan rekan-rekannya, ia masih merasa bahwa ia harus lebih keras berusaha jika ingin memenangkan hati Rafael. Hari itu, ia tahu, akan ada rapat besar. Semua divisi akan hadir, dan Rafael akan memimpin langsung. Alya bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Ada sesuatu yang besar yang sedang menunggu. --- Di sisi lain, Rafael Kurniawan sudah berada di ruang kerjanya sejak pagi buta. Dihadapkan dengan tumpukan laporan yang harus diselesaikan, ia tampak seperti biasa: dingin, terfokus, dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Hanya kopi hitam yang setia menemani sepanjang hari. Ia menatap layar laptopnya, membaca salah satu laporan Alya. Ada yang berbeda dari laporan itu. Tidak hanya soal data yang rapi, tetapi cara berpikir Alya yang leb

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Dua Hari Neraka Dimulai

    Malam itu, langit Jakarta seakan ikut bersekongkol, menumpahkan hujan deras yang tak kunjung reda. Tapi Alya Putri tetap duduk tegak di depan meja kecil di apartemennya, dikelilingi tumpukan kertas, laptop menyala, dan secangkir kopi ketiga yang mulai kehilangan kehangatan. Ia baru saja menyelesaikan membaca keseluruhan proyek yang Rafael Kurniawan lemparkan begitu saja padanya siang tadi. Dan satu kesimpulan melintas di kepalanya: "Ini bukan proyek biasa. Ini kayak tes bertahan hidup." Proyek itu meminta Alya merancang konsep baru untuk lini bisnis Kurniawan Corp dalam waktu dua hari saja. Bukan hanya ide kreatif, tapi juga strategi pemasaran, analisis kompetitor, dan simulasi keuangan sederhana. Bagi seseorang yang baru saja melamar kerja, ini nyaris mustahil. "Oke," gumam Alya, mengetik cepat. "Kamu mau main kasar, Pak CEO? Fine." Ia membagi kertas kosong menjadi tiga kolom besar: Ide, Strategi, Simulasi. Tangannya bergerak cepat, menulis brainstorming tanpa peduli coretan-core

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Awal yang Penuh Bencana

    Hari itu langit Jakarta seolah ikut memperburuk suasana hati Alya Putri. Awan kelabu menggantung berat, udara terasa gerah, dan kemacetan membuatnya hampir gila. Dengan tergesa, ia berlari-lari kecil memasuki lobi gedung pencakar langit yang menjulang megah di tengah kota. Logo 'Kurniawan Corp' berkilau di atas pintu utama, seolah mengingatkannya: di tempat inilah nasibmu akan berubah."Selamat pagi, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa resepsionis dengan senyum profesional."Alya Putri. Saya... saya dijadwalkan interview dengan Pak Rafael Kurniawan," jawabnya, sedikit terengah karena berlari.Senyum resepsionis itu sedikit meredup, seperti refleks alami. Seolah nama itu saja sudah cukup membuat siapa pun gugup. Dengan cepat, wanita itu mengangguk dan memberi isyarat agar Alya mengikuti seorang staf ke lantai atas.Sepanjang perjalanan di lift, Alya merapikan rambutnya, menarik napas dalam-dalam, dan berusaha mengusir rasa gugup yang tiba-tiba melanda. Ia sudah mendengar banyak cerit

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status