“Tidak ada rahasia yang selamanya menjadi rahasia.”
“Justin!” Panggil David, manajer umum di Tapestry Table, saat membuka pintu dapur dengan bersemangat.
Justin Alexander Wijaya kini menjadi pemilik Tapestry Table setelah Adrian Wijaya meninggal enam tahun lalu. Selain itu sejak dua tahun lalu ia juga menjabat sebagai executive chef menggantikan Park Jung Soo yang pindah ke Seoul untuk mengelola cabang Tapestry Table.
Justin tak menggubris panggilan David yang menarik perhatian semua staff dapur. Ia terlalu fokus dengan hidangan di depan matanya.
“Justin!” Panggil David sekali lagi, kali ini berhasil membuat pria berpotongan rambut French Crop itu menoleh ke arahnya. “Kemarilah, seseorang datang mencarimu.”
“Siapa?” Tanya Justin tanpa mengalihkan perhatiannya, ia tetap fokus pada hidangan yang sedang ia sempurnakan dengan setangkai rosemary.
“Sebaiknya kau melihatnya sendiri.” David dengan perlahan menarik bahu Justin menjauhi hidangannya yang siap diambil oleh pelayan.
Justin yang tidak banyak berkomentar segera mengikuti David keluar dari area dapur menuju area ruang makan. Area makan pada kamis malam selalu sangat ramai karena seluruh kursi telah habis dipesan.
Suasana hangat bercampur dengan riuh dari para pelanggan setia Tapestry Table selalu berhasil membuat senyuman Justin mengembang.
Terlebih lagi jika ia melihat sorot kepuasan di mata setiap penikmat hidangannya.
Beberapa pelayan dan tamu yang berpapasan dengannya menyapa dan tersenyum pada Justin yang berjalan di belakang David.
Pada akhirnya David berhenti di teras area makan bagian belakang. Lelaki berusia hampir 50 tahun itu menunjuk pada sosok pria tinggi yang sedang berdiri memperhatikan paviliun bercat putih yang kosong dan gelap.
Justin mengenali satu postur tubuh yang sangat tidak asing dalam memorinya. Senyumnya mengembang ketika sosok tersebut berbalik lalu melambaikan tangannya dan berjalan dengan kedua tangan terbuka lebar.
Justin segera mengambil langkah besar menghampiri sosok itu.
“Park Jung Soo!” Seru Justin ketika keduanya berpelukan.
Sudah dua tahun lamanya mereka tidak bertemu sejak pernikahan Jung Soo di Seoul. “Bagaimana kabarmu?” Ia melepas pelukannya.
“Cukup baik.” Jawab Jung Soo. “Maaf aku tak mengabarimu kalau aku akan datang lebih awal.”
“Tak masalah, aku senang kau datang lebih awal. Sepertinya beberapa hari kedepan pekerjaanku akan menjadi lebih ringan.” Canda Justin. “Jadi kau akan membantuku di dapur sekarang?”
Jung Soo tertawa. “Aku baru saja melakukan perjalanan udara selama 20 jam, kau mau aku langsung terjun ke dapur?”
“Kalau begitu tunggulah di ruangan kita, aku tidak menyingkirkan mejamu.” Justin berbalik ke arah gedung restoran dan menunjuk sebuah ruangan di lantai dua.
Ruangan dengan jendela besar menghadap halaman belakang restoran ini. “Aku akan segera menemuimu setelah semua layanan makan malam selesai.” Justin merangkul bahu Jung Soo.
Kepala Jung Soo mengangguk setuju dan keduanya berjalan beriringan memasuki gedung restoran.
Sesuai janjinya, Justin segera berlari menuju ruangannya yang ia bagi dengan Jung Soo saat sahabatnya itu masih menjadi executive chef-nya di Tapestry Table dua tahun lalu.
Sebelumnya, ruangan itu adalah milik ayahnya, setelah kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tua mereka, akhirnya Tapestry Table berpindah kepemilikan kepadanya.
Sementara Mary menolak untuk mengelola restoran dan lebih memilih menjadi jurnalis untuk majalah traveling.
Justin menemukan Jung Soo yang tertidur di sofa panjang yang membelakangi jendela besar. Sahabatnya itu terlihat kelelahan sehingga Justin memilih untuk membuat panggilan telepon terlebih dahulu.
“Hai, kamu udah tidur?” Tanya Justin saat teleponnya diangkat oleh sang istri, Diana.
“Belum. Kamu udah mau pulang, sayang?” Jawab Diana, istri Justin yang juga teman baik Jung Soo.
“Kayaknya aku akan pulang sangat terlambat, kamu enggak perlu nungguin aku.”
“Besok ada tamu istimewa?”
Justin tertawa. “Tamunya istimewa justru datang hari ini!”
“Oh iya? Siapa??” Tanya Diana yang terdengar sangat penasaran di seberang sana.
“Park-Jung-Soo.” Jawab Justin dengan penekanan pada setiap nama sahabatnya itu.
Terdengar pekikan di seberang telepon. “Astaga! Serius? Katanya dia datang deket- deket hari pernikahan Harold. Ini sungguh mengejutkan, ajakin dia nginap di sinilah!”
Sesaat Justin tak bisa memberikan jawaban langsung pada istrinya. “Entahlah..”
“Sayang.." Panggil Diana lembut. "Apa kamu udah kasih tau Jung Soo soal Mary?”
“Belum.”
“Menurutku sih, lebih baik Jung Soo juga dikasih tau. Enggak enak juga kalo dia malah tau bukan dari kamu sendiri.”
“Hm, akan aku pertimbangkan.”
“Ya udah, aku yakin kamu akan buat keputusan yang baik.” Ujar Diana, nada dan kalimatnya menenangkan perasaan gundah Justin.
Justin melirik Jung Soo yang mulai terbangun. “Hm, apa Mary sudah sampai rumah?”
“Belum. Pesanku belum dibalas, kayaknya dia masih di perjalanan pulang deh.”
“Baiklah, tolong kabarin aku kalo dia udah sampai rumah ya..”
“Okay...”
Justin mematikan teleponnya saat Jung Soo terduduk sembari melemaskan ototnya.
“Pukul berapa ini?” Jung Soo menyipitkan matanya saat melihat jam dinding di seberangnya. “Sudah pukul 10 malam”
Justin hanya mengangguk kemudian dia mengambil dua kareng minuman bersoda. “Bagaimana restoran kita di Seoul?”
“Semua berjalan dengan baik. Adikku pandai mengelola restoran dan sous chef-ku sangat tangguh.” Jawab Jung Soo sembari menangkap minuman yang dilemparkan Justin.
“Syukurlah, jadi mungkin dia tidak akan masalah ditinggalkan executive chef-nya lebih lama lagi.” Jawab Justin singkat kemudian duduk di sofa lain.
“Kau berencana menahanku di sini selama sebulan?” Jung Soo menyesap minumannya.
Justin menggeleng. “Aku berencana menahanmu lebih lama dari sebulan, hahaha.” Canda Justin.
“Kau ingat aku pernah membahas soal membuka cabang lain di Jakarta, kan?” Kali ini nada Justin berubah serius.
Jung Soo mengangguk.
“Salah satu temanku tertarik untuk berinvestasi, sepertinya aku akan menemuinya dalam waktu dekat.” Jelas Justin.
“Jika kau luang, mungkin kau bisa ikut dan berdiskusi bersama.” Lanjutnya dengan diiringi seringaian.
Sahabatnya itu tidak langsung menjawab, Jung Soo tampak menimbang- nimbang permintaan Justin. “Baiklah, aku akan mengabari adikku.”
Justin tak dapat menyembunyikan senyuman lebarnya. “Satu kekhawatiranku berkurang. Oh iya, bagaimana kabar Ji Hyun?”
Jung Soo tak langsung menjawab. “Sepertinya dia baik- baik saja.”
“Sepertinya? Kau tidak tahu kabar istrimu sendiri?”
“Mantan istriku lebih tepatnya.” Jung Soo menyunggingkan senyuman kecil dengan penyesalan yang tak dapat disembunyikannya.
Kali ini Justin tak dapat merespon jawaban sahabatnya itu. Seketika itu ia kehabisan kata- kata.
Pantas saja Jung Soo datang lebih awal dari rencananya sebelumnya. Justin tak dapat menyembunyikan raut khawatir di wajahnya, ia benar- benar terkejut dan khawatir pada Jung Soo.
“Kami baik- baik saja, kau tidak perlu khawatir.” Seru Jung Soo seakan dapat membaca isi kepala Justin.
“Apa Mary sudah sampai rumah?” Tanya Jung Soo mengalihkan topik pembicaraan.
Pertanyaan Jung Soo mengejutkan Justin. “Belum. Kau tau darimana adikku sedang di luar?”
“Aku bertemu dengannya di Dovedale.” Jawab Jung Soo singkat.
Kali ini jawaban Jung Soo lebih mengejutkan Justin. “Kau bertemu dengannya? Bagaimana bisa?”
Jung Soo terkekeh. “Aku pergi ke Dovedale tak lama setelah sampai apartemenku.”
“Setelah 20 jam perjalanan, kau langsung pergi ke sana??” Pekik Justin yang hampir saja tersedak.
Justin tak habis pikir dengan keputusan sahabatnya yang mendadak seperti itu. Jung Soo bukan tipe orang yang akan melakukan sesuatu secara mendadak.
Sahabatnya ini pasti masih tidak baik- baik saja.
###
“Hidupnya seperti jejak di atas pasir yang menghilang saat angin bertiup kencang. Tersesat tanpa arah.”Kedua tangan Mary dan Joon otomatis terangkat saat Joon Hee membunyikan klaksonnya saat akan keluar dari area parkir restoran. Joon merangkul Mary kembali masuk ke dalam restoran.Setelah menyadari apa yang terjadi saat obrolan setelah makan siang mereka tadi, Mary cenderung banyak diam. Joon berusaha sebaik mungkin mengontrol suasana agar Joon Hee tidak bertanya lebih lanjut mengenai perubahan suasana hati Mary.“Kau yakin tidak ingin pergi ke suatu tempat yang bisa membuat suasana hatimu lebih baik?” Joon masih merasa cukup khawatir, mengingat ini adalah pertama kalinya Mary mulai mengingat satu potongan memorinya sejak kecelakaan itu terjadi.“Aku baik-baik saja,” jawab Mary pada akhirnya lalu memaksakan sebuah senyuman kecil terbingkai di wajah lesunya.“Apa sebaiknya aku panggil kakakmu? Ah tidak, bagaimana dengan Park Jung Soo?” kali ini Joon berusaha membuat nada bicaranya te
“Tidak ada yang tidak mungkin, begitulah hidup berjalan.”“Baiklah, aku akan berhenti menggoda kalian,” Joon Hee meneguk segelas airnya. “Jadi, kau berencana pergi kemana saja, hyung?” tanya Joon.Kedua bahu Joon Hee terangkat. “Setelah dari pernikahan Joanna, aku dan teman- teman yang lain berencana ke Snowdonia. Kalian punya rekomendasi tempat yang harus aku kunjungi?”“CORNWALL!” seru Mary dan Joon bersamaan. Keduanya saling menatap kemudian melakukan tos.“Bagaimana kalau kita pergi bersama?” saran Joon Hee. “Minggu depan?”“Hmm, minggu depan kami sepertinya masih di Lundy,” jawab Mary.“Lundy? Dimana itu?” tanya Joon Hee.“Di tengah Selat Bristol. Lundy adalah pulau terpencil tanpa akses komunikasi dan transportasi,” jelas Joon.Seorang pelayan menghampiri mereka dan mengangkat piring- piring kotor mereka.“Wah, sangat menarik! Berapa lama kalian akan tinggal di sana?” Joon Hee menyender pada kursinya dan menggosok dagunya dengan jari telunjuknya.“Sekitar empat hari tiga malam.
“Sepertinya kau harus berhenti membuatku menahan ujung- ujung bibirku.”Siang ini Joon mengajak Mary dan Joon Hee makan siang bersama di Tapestry Table, sebagai permohonan maafnya karena tidak menemani Mary berdiskusi dengan Joana dan mengabaikan pesan- pesan Joon Hee. Mary baru saja menutup pintu rumahnya saat mobil SUV hitam masuk ke pekarangan rumahnya. Ia sama sekali tidak mengenali mobil itu hingga jendela supir terbuka dan..“Hai, sudah lama menunggu nona?” seru Joon Hee saat membuka kaca mata hitamnya dengan senyum manis yang menunjukan kedua lesung pipinya. Lelaki dengan kemeja putih gading berbahan linen dengan motif salur dan celana dengan warna senada itu keluar dari mobilnya.Dahi Mary berkerut saat menyadari bagaimana warna spaghetti strap dress berbahan katun yang melapisi kaos hitamnya itu senada dengan kemeja Joon Hee. “Wah, apa ini takdir?”“Kau tau apa yang lebih mengejutkan?” Joon Hee berdiri dengan satu tangan masuk ke saku celananya. Lelaki itu membuka pintu mobil
“Tidak ada yang lebih menyenangkan dari melihatmu mulai tersenyum.”Matahari mulai merangkak naik di ufuk timur dimana angin pagi berhembus menyejukan setiap paru- paru. Justin menunggu Mary di Cannon Hill Park setelah ia pergi ke pasar bersama Jung Soo untuk memesan bahan- bahan segar kemudian dikirimkan ke restoran. Tak lama ia dapat melihat adiknya yang berlari kecil menuju tempatnya menunggu. Sejujurnya, Justin masih agak khawatir melihat adiknya berjalan pagi sendirian seperti ini tetapi dia juga senang karena Mary sudah semakin percaya diri untuk menjalani hidupnya kembali.Ingatan pada saat Mary terbangun dari komanya dan terlihat sangat kebingungan masih terproyeksi dengan sangat jelas di kepala Justin. Sorot mata penuh ketakutan dan berhati- hati terlihat jelas, bahkan saat Justin sudah menjelaskan bahwa ia adalah kakaknya.“Apa ada sesuatu yang ingin kau makan?” tanya Justin pada Mary terus memandang keluar jendela rumah sakit.Mary tak menjawab.Hubungan Mary dan Justin me
“Jauh di dalam sana, aku berharap kau bisa mempercayaiku lagi.”“Kukira malam ini kau datang untuk membantuku.” Keluh Justin saat menghampiri Jung Soo yang sedang menghias hidangan penutup untuk Mary.Jung Soo masih fokus pada panna cotta stoberinya. “Ini pukul 9 malam, kurasa kau bisa menanganinya sendiri.” Timpal Jung Soo yang kemudian segera membawa panna cotta-nya keluar dari dapur. “Bawakan panna cotta lainnya untuk Annalynne, okay?!”Jung Soo menemukan Mary masih duduk di paviliun, ia menghentikan langkahnya. Jung Soo memperhatikan Mary sesaat, gadis itu sedang fokus bekerja dengan laptopnya. Secara fisik tidak ada yang berubah dari Mary yang terakhir ia temui dua tahun yang lalu. Gadis itu masih mempertahankan rambut hitamnya yang lurus melebihi bahu dengan bagian bawahnya yang sedikit ikal, kulitnya putih langsat layaknya kebanyakan orang Asia dengan mata besar yang bulat bersudut berwarna coklat, alis matanya tebal, lekuk bibir bagian atasnya terbentuk sempurna berwarna mera
“Aku hanya ingin memastikan bahwa ini nyata, bukan mimpi.”“Selamat malam nona Mary...” David menyapa Mary yang masih fokus dengan pekerjaannya. “Aku mengantarkan makan malam istimewamu.”Mendengar kalimat terakhir David membuat Mary menghentikan jemarinya yang sedari tadi sibuk menari di atas keyboard laptopnya. “Makan malam istimewa?” Tanyanya kebingungan. “Apa yang membuat makan malamku ini istimewa?”“Ini adalah makanan yang tidak akan kau temukan dalam menu Tapestry Table dan dibuat langsung oleh executive chef kami.” Jelas David.Mary masih belum puas dengan jawaban David. “Aku bahkan makan makanan yang dimasak oleh executive chef-mu di rumahku.”David menggeleng. “Ini adalah pasta kerang dengan kimchi dan gochujang. Kau yakin ini adalah masakan kakakmu?” Salah satu alis David terangkat. “Baiklah, aku akan meninggalkanmu karena para pelanggan sudah datang. Jika kau mau menyampaikan pujian untuk masakan ini, kau bisa datang langsung ke dapur.” David pamit dengan sopan sesuai deng