Pening menghantam kepala Aria dengan keras. Tubuhnya terasa kosong setelah mengetahui fakta mencengangkan itu. Sebelah tangannya menepuk dahi, merutuk, memaki, dan menyalahkan diri karena nasib sial tak jengah menyapanya sejak kemarin.
Bibirnya bergetar pelan, paras cantik dilapis riasan naturalnya berubah pias. Sosok yang membelakanginya kini, terlelap begitu dalam. Pundak pria itu naik turun perlahan, menegaskan betapa lelah tubuhnya berpacu dengan kenikmatan semalam.
“Kenapa aku bodoh sekali?!” Aria memaki, dengan dua tangannya sudah hinggap di kepala, menarik helai demi helai surainya yang sedikit berantakan. “Jadi semalam aku menuntut seorang pria asing untuk menanamkan benih di rahimku? Astaga! Ini gila! Apa yang kau lakukan, Aria?!” Gumaman frustasi di mulutnya tertahan. Setingkat lagi suaranya naik oktaf, masalah besar akan kembali menyapa.
Kamar itu terasa lebih dingin, sedingin hati dan pikiran Aria yang kini kosong. Dia menyangga sebagian tubuhnya dengan siku, mengedar pandang ke sekitar kamar dan menemukan beberapa helai pakaian tercampakan di lantai.
Saat Aria bergerak, seseorang di sampingnya melenguh pelan. Tubuh kekar itu berbalik menghadapnya dengan sepasang mata yang masih terpejam. Rasanya seperti de javu ketika tangan besar milik pria itu mengurungnya dalam pelukan. Sedikit memaksa, menarik tubuhnya kembali masuk ke dalam pelukan yang nyaman di kelilingi roti sobeknya.
“Uhuk!” Aria terbatuk-batuk. Tangan berat itu menimpa dadanya yang kenyal dan menggunung di balik selimut tebal. Pergerakannya menjadi terbatas, tidak bisa bergeser, berbalik, ataupun menyingkir dari sisi pria ini.
Sekian menit berlalu, deru napas pria itu mengenai wajah Aria. Aroma mint menguar di sekelilingnya terasa menyegarkan. Akan tetapi, Aria tidak bisa membiarkan dirinya berada di posisi ini terus menerus bahkan sampai pria di sampingnya terjaga.
“Aku harus segera meninggalkan tempat ini sebelum dia bangun dari tidurnya,” ucap Aria pada diri sendiri. Segala upaya dia kerahkan agar lolos dari kurungan lawan mainnya di ranjang.
Aria menggeser tumpukan otot keras itu perlahan. Mata wanita cantik itu bergantian melirik tangan dan wajah sang pria tampan beberapa kali. Dia memastikan pergerakannya tak mengusik kenyamanan pria itu.
“Awh! Sakit!” Aria melenguh, ketika sepasang kaki jenjang itu bergerak, rasa nyeri menghunjam area intinya. Kilau mata coklat terang Aria berpendar terkejut. Rasa sakit itu memperjelas kenyataan bahwa dia telah melakukan kesalahan fatal.
Rasa kesal, kecewa, marah, semua perasaan itu berbaur menjadi satu di dadanya. Air mata Aria mulai bermuara di sudut kelopaknya siap tumpah, tetapi logikanya mendorongnya untuk tidak menggelar sesi mengasihani diri sendiri terlalu lama.
Perlahan Aria menuruni ranjang, memungut pakaiannya lalu meraih tas di atas nakas. Secepat kilat dia mengenakan pakaiannya yang sedikit kusut lalu menatap bayangannya di cermin. Berjalan tertatih mengambil isi tasnya yang berserakan seperti makanan tumpah.
“Jangan sampai aku bertemu dengannya lagi, cukup malam ini, kau melakukan kesalahan bodoh, Aria!” ucap Aria sambil memasukkan barang ke tas.
Kini untuk sekadar menegakkan tubuh saja Aria kesulitan. Pundaknya bergetar kecil saat membayangkan setiap langkahnya pagi ini akan ditemani nyeri tak terkira. Namun, rasa sakit itu tidak sebanding dengan ketakutan yang sedang dia kubur dalam-dalam di hatinya. Rasa takut jikalau benih pria asing itu benar-benar bersemayam dan tumbuh di rahim Aria. Hal yang paling dia takutkan adalah pria itu adalah suami orang. Akan menjadi masalah besar jika benar pria itu adalah suami orang.
“Semuanya akan baik-baik saja. Tenanglah!” Aria terus menjejakkan kata-kata sanggahan layaknya pil penenang. Menelan kenyataan saat ini jauh lebih pahit dari sekadar menenggak sebotol minuman beralkohol semalam.
Aria memaksa diri untuk melangkah menuju pintu, meski tertatih. Rasanya, jarak dia berdiri dan pembatas kamar itu bermil-mil jauhnya. Sebelum benar-benar pergi, dia menoleh ke belakang untuk terakhir kali—menatap wajah sang pria tampan yang kini mendengkur halus. Tangan kekar pria itu terkapar asal di atas bantal yang sebelumnya dia tempati. Dalam keadaan mata tertutup saja, pesona ketampanan pria itu berhasil membuatnya kesulitan berpaling.
“Sialan! Kenapa aku justru betah memandangnya?!” gerutu Aria kesal.
Dengkusan cepat keluar dari hidung dan mulut Aria bersamaan. Seiring langkahnya, dia menekan kenop pintu kamar dengan hati-hati. Setiap terdengar bunyi ‘Tit!’ dari kunci otomatis, sontak membuat tubuhnya menjadi terpaku.
“Jangan berisik! Kau akan membangunkan buaya tidur!” kata Aria pada gagang pintu seolah mereka adalah sepasang teman baik.
Aria menghela napas lega ketika pintu sudah terbuka, dia melangkah dengan kedua ujung kakinya, berjinjit sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Namun, saat pintu sudah terbuka lebar, suara berat dari arah ranjang membuat tubuh Aria mematung.
“Ah, jadi kau mau melarikan diri, huh?” tanya pria itu, dengan suara yang terdengar seksi bahkan di saat kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul.
Aria tidak menjawab, kakinya terpaku di tempat.
‘Ayo, Aria, pergi dari sini!’ batin Aria kesal, dia membungkuk, mengetuk kedua kakinya.
Dari belakang terdengar jelas suara gesekan kaki dengan ranjang. Aria bisa menduga apa yang sedang dilakukan pria itu. Seolah dia memiliki sepasang mata lain di kepalanya.
Aria merasakan kakinya seperti mencair, cepat-cepat dia keluar dari kamar itu dan menutup pintunya rapat-rapat tanpa memedulikan lagi sosok di belakangnya. Napas berderu cepat, begitu juga langkahnya yang menelusuri koridor lantai kamarnya.
Pintu-pintu di kanan dan kiri Aria seakan tenggelam. Langkahnya terasa berat seperti ada magnet yang hendak menarik kembali dirinya ke tempat semula. Dia tidak berani menoleh lagi ke belakang, jarinya menekan-nekan tombol sambil melirik pergerakan angka di atas lift.
“Ting!”
Pintu lift akhirnya akhirnya terbuka. Aria masuk dengan kaki polos tanpa alas. Ketika lift semakin rapat, matanya tak sengaja menatap koridor dengan tatapan hampa. “Semoga kita tidak pernah bertemu lagi!” katanya pelan, bersamaan dengan pintu lift yang semakin rapat. Menutup semua ingatannya pada malam penuh kenikmatan di atas ranjang bersama sosok asing.
Di saat Aria lari dari kenyataan, di dalam kamar hotel itu sosok pria tampan duduk dengan tenang. Matanya memicing tajam menatap pintu kamar seolah wanita tadi masih berdiri di sana. Lekukan tubuh wanita itu masih membayangi pikirannya, desahan menggairahkan yang lolos dari bibir seksi wanita itu serta sempitnya liang yang semalam dia jelajahi masih teringat jelas di kepalanya.
Pria tampan itu mengulas senyum tipis, iris birunya menatap teduh, seiring dengan ingatannya yang terus berputar dan membuatnya kecanduan. Kecanduan akan nikmatnya permainan ranjang mereka. Akan tetapi, satu hal yang dunia tidak pernah tahu tentangnya, wanita manapun tidak bisa dengan mudah singgah di hatinya.
Pria tampan itu turun dari ranjang, cukup percaya diri melangkah memungut kemejanya di lantai tanpa sehelai kainpun menutupi kejantanannya. Dia mengenakan pakaiannya, lalu bergumam pelan, berharap semesta mendengar ucapannya.
“Semoga kita bertemu lagi. Nona.”
Lidah Aria tiba-tiba saja mendadak menjadi kelu. Otaknya benar-benar tak berfungsi dengan baik. Dia sampai memejamkan mata beberapa kali, guna memastikan apa yang dia lihat ini adalah mimpi. Tidak hanya sekadar memejamkan mata saja, tetapi dia juga sampai mencubit jemarinya agar yakin bahwa dirinya sekarang berada di dunia mimpi.Namun, hasilnya Aria merasakan sakit merasakan cubitan yang dia ciptakan. Itu yang membuat dirinya merasa benar-benar seperti tertimpa tangga. Sosok di hadapannya adalah sosok yang dia harap tak dia temui lagi, tetapi apa-apan ini? Kenapa malah dirinya kembali bertemu dengan pria itu lagi? Takdir mengajaknya bercanda.‘Bagaimana mungkin? Astaga! Pria ini? Dia yang tidur denganku malam itu!’ batin Aria, dengan raut wajah menunjukkan rasa kesal.Aria memandangi ekspresi wajah yang kontras dengan terakhir kali dia pandangi waktu itu. Bibir bervolume dengan alis tebal menukik, membingkai sepasang mata tajam dan penuh ketegasan begitu tampak sempurna. Oh! Dia bar
Dua pekan setelah keputusan telak telah dicetuskan oleh sang CEO, Aria disibukkan dengan berbagai pekerjaan yang menumpuk. Bosnya itu menuntut kesempurnaan dalam hal apa pun, termasuk ekspektasinya terhadap keberhasilan presentasi yang akan dia akukan di hadapan sang investor. Selama itu juga tidur Aria tak nyenyak, karena banyak sekali kekhawatiran yang melanda dirinya. Hal yang terus berputar di kepalanya hanya tentang keberhasilan tugas ini dan kestabilan karier yang dia dambakan. Tentu, tak menampik rasa takut itu menggerogoti dirinya.Perkataan Frank seakan-akan mutlak tidak bisa dibantak sedikit pun. Ingin rasanya Aria complaint, tetapi dia sangat sadar akan posisinya. Meski memiliki jabatan cukup baik, tetap saja dia hanya seorang karyawan.“Susah payah aku berada di posisi ini. Jangan sampai hanya karena satu kesalahan, aku keluar dari tempat yang aku perjuangkan!” Aria bergumam seraya menatap cermin. Kantung mata sebesar bola golf Aria tutupi dengan riasan wajah yang sedik
Keluar dari taksi, kaki jenjang Aria melangkah cepat menuju lobi salah satu gedung kantor di bilangan pusat kota New York. Tubuh langsingnya dibalut setelan blazer putih, dengan celana panjang bahan katun warna senada. Berjalan anggun layaknya model papan atas membelah kesibukan di sana. Dia memasuki lift berdesakan dengan orang-orang yang sama-sama mengejar waktu.Bibir Aria merah muda, bersungut-sungut dalam diam. Pikiran wanita cantik itu kacau balau, hatinya berantakan. Lengkap sudah penderitaan yang dialami Aria belakangan ini. ‘Awas saja kalau aku bertemu denganmu, Rachel!’ batin Aria menggerutu. Ya, Rachel Brown adalah sekretaris Aria sekaligus teman yang dia percayai mencarikan gigolo untuknya. Namun sial, dia malah mendapatkan kekacauan.Sambil melangkah keluar lift, kaki Aria menapaki langkah dengan ketukan keras. Wajahnya sedikit menegang, menimbulkan banyak pertanyaan dari beberapa staff. Namun, dia tidak peduli bisikan-bisikan angin itu. Khusus hari ini, dia tidak ingin
Pening menghantam kepala Aria dengan keras. Tubuhnya terasa kosong setelah mengetahui fakta mencengangkan itu. Sebelah tangannya menepuk dahi, merutuk, memaki, dan menyalahkan diri karena nasib sial tak jengah menyapanya sejak kemarin. Bibirnya bergetar pelan, paras cantik dilapis riasan naturalnya berubah pias. Sosok yang membelakanginya kini, terlelap begitu dalam. Pundak pria itu naik turun perlahan, menegaskan betapa lelah tubuhnya berpacu dengan kenikmatan semalam. “Kenapa aku bodoh sekali?!” Aria memaki, dengan dua tangannya sudah hinggap di kepala, menarik helai demi helai surainya yang sedikit berantakan. “Jadi semalam aku menuntut seorang pria asing untuk menanamkan benih di rahimku? Astaga! Ini gila! Apa yang kau lakukan, Aria?!” Gumaman frustasi di mulutnya tertahan. Setingkat lagi suaranya naik oktaf, masalah besar akan kembali menyapa. Kamar itu terasa lebih dingin, sedingin hati dan pikiran Aria yang kini kosong. Dia menyangga sebagian tubuhnya dengan siku, mengedar p
Sebuah kelab malam yang megah, suasana dipenuhi dengan cahaya berwarna-warni yang berkilauan, menciptakan atmosfer yang penuh energi dan kegembiraan. Musik berdentum keras dari sistem suara canggih, menggetarkan lantai dan membuat setiap orang bergerak mengikuti irama.Gemerlap lampu diskotik berpendar menyilaukan mata. Dentum musik DJ menghentak cepat diikuti debar jantung yang mulai naik. Seorang wanita cantik bernama Aria hampir terkapar di sofa paling dekat dengan area lantai dansa yang ada di kelab malam itu.Rambut panjang wanita cantik itu jatuh terurai menutupi paras cantiknya. Tampak jelas pipinya merona merah efek dari alkohol yang baru dia tengguk. Ya, dia terlihat payah dalam hal meminum alkohol.“Pria sialan! Mati saja kau!” Suara Aria meracau cukup keras, tetapi disinilah tempat semua orang melepas penat yang mereka bawa dari dunia luar. Pengunjung lain yang berpasangan di kelab malam itu sekilas melirik Aria yang duduk seorang diri, lalu berakhir tidak peduli.Aria men