Keluar dari taksi, kaki jenjang Aria melangkah cepat menuju lobi salah satu gedung kantor di bilangan pusat kota New York. Tubuh langsingnya dibalut setelan blazer putih, dengan celana panjang bahan katun warna senada. Berjalan anggun layaknya model papan atas membelah kesibukan di sana. Dia memasuki lift berdesakan dengan orang-orang yang sama-sama mengejar waktu.
Bibir Aria merah muda, bersungut-sungut dalam diam. Pikiran wanita cantik itu kacau balau, hatinya berantakan. Lengkap sudah penderitaan yang dialami Aria belakangan ini.
‘Awas saja kalau aku bertemu denganmu, Rachel!’ batin Aria menggerutu. Ya, Rachel Brown adalah sekretaris Aria sekaligus teman yang dia percayai mencarikan gigolo untuknya. Namun sial, dia malah mendapatkan kekacauan.
Sambil melangkah keluar lift, kaki Aria menapaki langkah dengan ketukan keras. Wajahnya sedikit menegang, menimbulkan banyak pertanyaan dari beberapa staff. Namun, dia tidak peduli bisikan-bisikan angin itu. Khusus hari ini, dia tidak ingin menampilkan sisi ceria yang selalu terpancar dari dirinya seperti biasa.
Ruangan besar dan mewah itu, adalah tempat persembunyian Aria tiap kali ditekan oleh beban pekerjaan yang menggunung. Meja besar dengan papan nama bertuliskan jabatan General Manager dan ukiran nama lengkapnya di sana, cukup menjelaskan seberapa besar kekuasaan yang berada di tangan Aria.
Namun kini, Aria duduk tertunduk di mejanya. Pundak kecil itu bergerak naik turun. Di saat yang sama, seseorang masuk ke dalam sana, menemukannya dalam kondisi hati yang mengenaskan dan semangat hidup yang padam.
“Morning, Aria. Tidak biasanya kau datang hampir terlambat hari ini,” kata sosok yang kini mendekati meja kerja Aria. Dia adalah seorang wanita, berusia 24 tahun yang merupakan sekretaris sekaligus teman Aria yaitu Rachel Brown. Dia berbicara non formal dengan Aria, karena selama ini dia sangat dekat dengan Aria bagaikan teman lama.
Aria mengangkat kepala, merasakan hawa panas mulai menjalar di wajah, “Rachel, katakan padaku, kau salah mengirim pesan ‘kan semalam?” tanyanya menuntut seraya memegang bahu Rachel memberikan goncangan. “Gigolo itu benar-benar datang menemuiku ‘kan?” lanjutnya lagi mendesak Rachel untuk bertanya.
Rachel sedikit terkejut mendapatkan bentakan dari Aria. “Wait, kenapa kau semarah ini padaku? Aku sudah mengirimkan pesan padamu. Aku sudah menjelaskan semuanya. Aku minta maaf membuatmu kecewa, tapi aku juga baru saja mendapatkan informasi dari gigolo yang aku sewa untuk menemanimu itu. Dia bilang berhalangan hadir karena ada urusan pribadi. Sekali lagi, maafkan aku. Kau tidak membalas pesanku, jadi aku pikir kau melupakan tentang gigolo itu.”
“Ah, Sialan!” seru Aria seraya menjambak pelan rambutnya, dengan aura wajah yang menunjukkan jelas kemarahan tak tertahankan. Meski kenyataan itu sudah dia ketahui, validasi dari mulut Rachel masih terasa seperti sebuah gelegar petir di kepalanya. Pegangannya di pundak Rachel sudah sejak tadi terlepas. Kini dia refleks melangkah mundur hingga tubuhnya teratuk di sisi meja.
“Apa yang terjadi, Aria?” tanya Rachel khawatir. Melihat wajah pias bosnya, membuat wanita itu menjadi panik.
“Bukan apa-apa. Lupakan saja,” balas Aria, menyingkirkan Rachel pelan dari hadapannya sambil mengatur napas dan perasaan yang carut marut, kemudian menegakkan pandangan. “Aku baik-baik, saja, Rachel. Apa jadwalku hari ini?” tanyanya dingin, dan enggan membahas.
Rachel gegas membuka iPad di tangannya, membacakan satu per satu jadwal Aria yang padat. “Satu jam lagi kau harus menghadiri rapat internal dengan CEO kita. Pesan beliau adalah kau harus hadir di rapat itu tanpa alasan apa pun.”
Aria mengangguk pasrah, tak bisa membantah. Detik selanjutnya, dia meminta sekretarisnya itu untuk pergi. Dia masih memiliki waktu sejenak menenangkan pikirannya yang benar-benar kacau.
***
Aria memasuki sebuah ruang rapat besar yang sudah diisi oleh lima orang jajaran petinggi perusahaan. Wanita cantik itu duduk dengan anggun, berusaha untuk menyingkirkan kecemasan di wajahnya. Fakta sialan itu membuat otaknya sekarang merasa buntu. Namun, dia harus tetap bersikap professional. Sekalipun jabatannya tinggi, tetapi dia masih tetap seorang karyawan.
“Aria, bagaimana kabamu?” Seorang pria paruh baya dengan kacamata duduk di samping Aria, menyapa dengan hangat.
“Tuan Hall, kabarku baik, bagaimana dengan Anda sendiri?” tanya Aria pada Andreas Hall—seorang Direktur Marketing di perusahaan tempat di mana Aria bekerja, kedekatan mereka sudah menjadi rahasia umum. Ada rumor murahan pernah mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan khusus akibat kedekatan mereka, tetapi lagi Aria tak mau ambil pusing.
“Seperti yang kau lihat, aku baik, Aria,” jawab Andreas dengan senyuman samar di wajahnya. Pria paruh baya itu terbiasa memanggil Aria dengan panggilan nama saja.
“Aria, aku dengar akan ada proyek yang dipercayakan padamu. Itu kenapa CEO memanggil kita semua di sini,” ucap Andreas memberi tahu.
Dahi Aria berkerut bingung. Dia baru menyadari Rachel tidak memberitahunya tentang materi rapat kali ini. “Ah, begitu? Benarkah?” tanyanya memastikan, dengan raut wajah yang menyimpan kecemasan.
Andreas menganggukkan kepalanya. “Ya, aku harap kau bisa memenuhi ekspektasi CEO kali ini, seperti yang selalu kau lakukan.”
Di tengah perbincangan dua orang itu, derap langkah kaki yang dibalut sepatu pantofel mahal, menggema memasuki ruangan. Semua orang di sana lantas bungkam. Aura tegang menyelimuti ruangan itu lengkap dengan hawa dingin menusuk tulang.
“Baiklah, langsung saja pada intinya,” kata Frank Sinatra—sang CEO perusahan di mana Aria bekerja. Dia duduk di ujung meja panjang itu. Kilatan tajam di matanya, berhasil membuat nyali siapapun mengkerut.
Aria menatap sopan, dan penuh wibawa pada sang CEO.
“Perusahaan kita akan segera menjalankan proyek pembangunan mall terbesar di Amerika. Tapi dari segi pendanaan tidak memungkinkan jika kita melakukannya sendiri. Ada perusahaan besar yang menyambut baik rencana ini dan akan memberikan tambahan dana. Sebelum itu, mereka meminta salah satu dari kita menjadi perwakilan untuk melakukan presentasi,” tutur Frank tegas. Matanya mengedar, menatap satu per satu wajah yang menghadiri meeting.
Aria terus menyimak, membiarkan Frank menjelaskan lebih detail.
“Aria, aku menunjukmu sebagai perwakilan perusahaan kita untuk melakukan presentasi dengan investor,” ucap Frank dingin pada Aria.
Raut wajah santai Aria berubah tegang saat namanya disebut. Otaknya mendadak buntu, dan tubuhnya kaku seperti balok es. Sementara kini banyak mata yang menyorotnya dengan berbagai arti.
“Saya yang menjadi perwakilan?” tanya Aria gugup.
“Ya, Aria. Kau tidak salah dengar.” Frank menjentikkan dua jarinya di udara. “Selama ini, aku tidak pernah meremehkan kemampuanmu dalam bernegosiasi. Bahkan klien-klien besar sangat memercayai setiap ucapanmu. Aku yakin, kemampuanmu berbicara mampu membawa hasil memuaskan untuk proyek ini. Aku dengar, investor yang akan kaa temui nantinya, memiliki kepribadian yang sedikit rumit. Tidak ada staf lain yang bisa aku percaya untuk meyakinkan beliau selain Anda.”
Aria bisa merasakan lonjakan aliran darahnya meningkat pesat di area kepala hingga membuatnya pusing seketika. Kedua kakinya lemas, seolah tanah di bawahnya runtuh.
Ini bukan tugas yang mudah, batin Aria dengan kecemasan membentang.
“T-Tuan, bagaimana kalau sampai saya gagal membujuk investor kita?” tanya Aria, dengan raut wajah menunjukkan kecemasan pada sang CEO.
Frank berdeham santai, dan menatap dingin Aria. “Jika kau sampai gagal, maka kau pastinya akan mendapatkan peringatan keras dari perusahaan. Perlu diingat, aku membenci sesuatu yang gagal. Kau mengerti, Aria?”
Aria tak bisa berkata apa pun, dia hanya bisa menelan salivanya susah payah.
Lidah Aria tiba-tiba saja mendadak menjadi kelu. Otaknya benar-benar tak berfungsi dengan baik. Dia sampai memejamkan mata beberapa kali, guna memastikan apa yang dia lihat ini adalah mimpi. Tidak hanya sekadar memejamkan mata saja, tetapi dia juga sampai mencubit jemarinya agar yakin bahwa dirinya sekarang berada di dunia mimpi.Namun, hasilnya Aria merasakan sakit merasakan cubitan yang dia ciptakan. Itu yang membuat dirinya merasa benar-benar seperti tertimpa tangga. Sosok di hadapannya adalah sosok yang dia harap tak dia temui lagi, tetapi apa-apan ini? Kenapa malah dirinya kembali bertemu dengan pria itu lagi? Takdir mengajaknya bercanda.‘Bagaimana mungkin? Astaga! Pria ini? Dia yang tidur denganku malam itu!’ batin Aria, dengan raut wajah menunjukkan rasa kesal.Aria memandangi ekspresi wajah yang kontras dengan terakhir kali dia pandangi waktu itu. Bibir bervolume dengan alis tebal menukik, membingkai sepasang mata tajam dan penuh ketegasan begitu tampak sempurna. Oh! Dia bar
Dua pekan setelah keputusan telak telah dicetuskan oleh sang CEO, Aria disibukkan dengan berbagai pekerjaan yang menumpuk. Bosnya itu menuntut kesempurnaan dalam hal apa pun, termasuk ekspektasinya terhadap keberhasilan presentasi yang akan dia akukan di hadapan sang investor. Selama itu juga tidur Aria tak nyenyak, karena banyak sekali kekhawatiran yang melanda dirinya. Hal yang terus berputar di kepalanya hanya tentang keberhasilan tugas ini dan kestabilan karier yang dia dambakan. Tentu, tak menampik rasa takut itu menggerogoti dirinya.Perkataan Frank seakan-akan mutlak tidak bisa dibantak sedikit pun. Ingin rasanya Aria complaint, tetapi dia sangat sadar akan posisinya. Meski memiliki jabatan cukup baik, tetap saja dia hanya seorang karyawan.“Susah payah aku berada di posisi ini. Jangan sampai hanya karena satu kesalahan, aku keluar dari tempat yang aku perjuangkan!” Aria bergumam seraya menatap cermin. Kantung mata sebesar bola golf Aria tutupi dengan riasan wajah yang sedik
Keluar dari taksi, kaki jenjang Aria melangkah cepat menuju lobi salah satu gedung kantor di bilangan pusat kota New York. Tubuh langsingnya dibalut setelan blazer putih, dengan celana panjang bahan katun warna senada. Berjalan anggun layaknya model papan atas membelah kesibukan di sana. Dia memasuki lift berdesakan dengan orang-orang yang sama-sama mengejar waktu.Bibir Aria merah muda, bersungut-sungut dalam diam. Pikiran wanita cantik itu kacau balau, hatinya berantakan. Lengkap sudah penderitaan yang dialami Aria belakangan ini. ‘Awas saja kalau aku bertemu denganmu, Rachel!’ batin Aria menggerutu. Ya, Rachel Brown adalah sekretaris Aria sekaligus teman yang dia percayai mencarikan gigolo untuknya. Namun sial, dia malah mendapatkan kekacauan.Sambil melangkah keluar lift, kaki Aria menapaki langkah dengan ketukan keras. Wajahnya sedikit menegang, menimbulkan banyak pertanyaan dari beberapa staff. Namun, dia tidak peduli bisikan-bisikan angin itu. Khusus hari ini, dia tidak ingin
Pening menghantam kepala Aria dengan keras. Tubuhnya terasa kosong setelah mengetahui fakta mencengangkan itu. Sebelah tangannya menepuk dahi, merutuk, memaki, dan menyalahkan diri karena nasib sial tak jengah menyapanya sejak kemarin. Bibirnya bergetar pelan, paras cantik dilapis riasan naturalnya berubah pias. Sosok yang membelakanginya kini, terlelap begitu dalam. Pundak pria itu naik turun perlahan, menegaskan betapa lelah tubuhnya berpacu dengan kenikmatan semalam. “Kenapa aku bodoh sekali?!” Aria memaki, dengan dua tangannya sudah hinggap di kepala, menarik helai demi helai surainya yang sedikit berantakan. “Jadi semalam aku menuntut seorang pria asing untuk menanamkan benih di rahimku? Astaga! Ini gila! Apa yang kau lakukan, Aria?!” Gumaman frustasi di mulutnya tertahan. Setingkat lagi suaranya naik oktaf, masalah besar akan kembali menyapa. Kamar itu terasa lebih dingin, sedingin hati dan pikiran Aria yang kini kosong. Dia menyangga sebagian tubuhnya dengan siku, mengedar p
Sebuah kelab malam yang megah, suasana dipenuhi dengan cahaya berwarna-warni yang berkilauan, menciptakan atmosfer yang penuh energi dan kegembiraan. Musik berdentum keras dari sistem suara canggih, menggetarkan lantai dan membuat setiap orang bergerak mengikuti irama.Gemerlap lampu diskotik berpendar menyilaukan mata. Dentum musik DJ menghentak cepat diikuti debar jantung yang mulai naik. Seorang wanita cantik bernama Aria hampir terkapar di sofa paling dekat dengan area lantai dansa yang ada di kelab malam itu.Rambut panjang wanita cantik itu jatuh terurai menutupi paras cantiknya. Tampak jelas pipinya merona merah efek dari alkohol yang baru dia tengguk. Ya, dia terlihat payah dalam hal meminum alkohol.“Pria sialan! Mati saja kau!” Suara Aria meracau cukup keras, tetapi disinilah tempat semua orang melepas penat yang mereka bawa dari dunia luar. Pengunjung lain yang berpasangan di kelab malam itu sekilas melirik Aria yang duduk seorang diri, lalu berakhir tidak peduli.Aria men