LOGINSetelah mendapatkan tanda tangan Tari, Kamil menghela napas panjang. Setidaknya, AG Tekstil tidak perlu melakukan PHK karyawan. Selama ini, ia membantu Rudi menjalankan perusahaan itu agar banyak kepala keluarga yang bisa memberi makan istri dan anak mereka. "Maaf ya, Om. Tari sama sekali tidak tahu kalau Mas Yudha alihkan sahamnya ke aku," ungkap Tari yang masih syok mengetahui kalau dirinya dalam sekejap menjadi salah satu wanita miliarder."Pantas saja ngeluarin duit 300 juta kayak ngasih jajan. Ternyata Mas Yudha memang sekaya ini," batin Tari yang baru tahu kalau suaminya punya aset saham AG Tekstil bernilai puluhan miliar. Kamil menatap puas berkas legal di tangannya. Dua pengacara yang hadir di rumah sakit itu tampak saling lirik. Satunya adalah pengacara AG Tekstil dan satunya lagi pengacara perceraian Tari. "Maaf ya, Pak. Saya udah nyusahin," ungkap Tari pada pengacara perceraiannya.Pria itu tersenyum dan mengangguk. "Sama-sama, Bu Tari. Saya justru senang karena Ibu mena
Tari mengerjap dan matanya terperangkap pada pemandangan kota malam yang indah. Batinnya bertanya-tanya, apakah saat ini ia sudah mati? "Mas ...," lirih Tari yang terbangun karena mimpi buruk yang menghantuinya. "Aku di sini, Sayang," bisik Yudha dengan tangan kiri yang terus bergerak mengusap rambut istrinya. Tari menoleh dan menatap wajah tampan pria yang tersenyum padanya. "Tidurnya lama banget." Kalimat itu terdengar merajuk. "Kamu masih hidup, Mas?" tanya Tari linglung dan mencoba bangun dari tempat tidur. Rasa pusing yang mendera membuat Tari kembali merebahkan kepalanya. Ia baru menyadari jika bantalnya terasa hangat. Itu bukan bantal, melainkan lengan Yudha. "CK! Memangnya kamu mau jadi janda?" tanya Yudha cemberut. "Aku lihat kamu kena kaca, Mas." Yudha menggeleng dan berujar, "Bukan aku, tapi pelaku yang menculik kamu." "Pelaku?" gumam Tari teringat pria yang tiba-tiba muncul menyerang Yudha dengan pedang panjang. Tari kembali mendongak. Rasanya masih su
Kapten Raka menurunkan tangannya setelah Letkol Pasha menerima tanda hormatnya. Di belakangnya ada Tim Alfa dan Tim Charlie yang turut memberi hormat. "Lapor, Komandan. Misi penyelamatan selesai dan sandera saat ini berada di rumah sakit, dibawah pengawasan ketat tim medis. Satu anggota terluka parah dan dirawat di rumah sakit. Dua anggota tim luka ringan dan enam lainnya dalam kondisi baik. Korban dari pihak lawan, tiga di antaranya dinyatakan meninggal dunia, lima luka ringan, dan sembilan belum sadarkan diri dari efek bius. Tiga peledak rakitan berhasil dijinakkan. Semua TKP disisir dan ditemukan barang bukti seperti yang terlampir dalam bukti laporan saya," ucap Kapten Raka. "Laporan diterima. Kerja bagus. Sekarang, kembali ke barak masing-masing dan lekas beristirahat. Saya tahu kalian penasaran dengan kondisi Kapten Yudha dan istrinya. Tapi saat ini, Tuan Giriandra tidak mengizinkan siapapun menjenguk putra dan menantunya. Saya harap kalian bisa mengerti," balas Letkol Pasha
'Kucapu kocampa'ko. Paradde' niro nyawamu. Oh ... ana aja muterri. Upakkuru sumange'mu.'Suara lirih lantunan lagu sendu itu membuat Letkol Pasha tertegun. Ia pernah mendengar lagu serupa yang dinyanyikan oleh ART-nya yang berasal dari Suku Bugis. Lagu dengan lirik menyayat hati itu seakan mewakili perasaan Tari sendiri."Apa kameranya bisa memperbesar tampilan Ibu Tari?" tanya Letkol Pasha pada seseorang yang terhubung dengan ponsel Rian. Tak ada sahutan. Namun, beberapa detik kemudian, tampilan gambar Tari dan suara nyanyiannya semakin jelas terdengar."Ana ummamasewe, ana ta'be ri ambo'na." Kali ini mereka tersentak. Suara napas Tari mulai tersengal melawan kedinginan yang menderanya."Aku baru ingat. Istri Kapten Yudha adalah wanita berdarah Bugis. Kenapa lagunya menyayat hati begini?" gumam Mayor Daffa yang merasa sendu dengan mendengar nyanyian itu."Mabelani ro pale ... ambomu rilaona. Lao temma rengerang, nawelai wijanna. Iya tona ropale, pawwale'na decengnge." Suara lirih ta
'Saya ingin Sertu Rian menjadi pendamping Anda di pusat kontrol, Komandan.'Permintaan Yudha sebelum kedua tim berangkat membuat Letkol Pasha masih bertanya-tanya. Ia tidak bisa menahan Yudha untuk menjelaskan alasannya. Misi penyelamatan kali ini berpacu waktu.Pintu ruangan diketuk dan yang ditunggu akhirnya datang. Sertu Rian menghadap dan memberi hormat. Letkol Pasha mengangguk dan menyampaikan permintaan Yudha."Sebenarnya, apa yang direncanakan Yudha, Sertu Rian? Sepertinya dia mempercayaimu lebih dari sekedar ajudannya," ucap Letkol Pasha membuat Mayor Ammar dan Mayor Daffa saling lirik. Keduanya sepakat dengan sang komandan."Mohon maaf, Komandan. Saya belum bisa menjelaskannya. Jika Komandan tidak mempercayai saya ataupun Kapten Yudha, saya bersedia undur diri dari ruangan ini," ucap Rian tak goyah.Letkol Pasha tersenyum dan berkata, "Sikapmu, mengingatkanku pada Kapten Hamdani."Deg!Rian menelan saliva. Meski terkejut, ia tetap diam dan kembali fokus mengamati layar yang m
"Terobos saja pagarnya!" teriak Yudha saat menyadari Kapten Raka hendak menepikan mobilnya di sisi jalan."Tapi, itu bisa membu-""Pagar atau mobilnya akan kuganti! Kontrakan itu masih jauh ke belakang!" bentak Yudha.Kapten Raka hanya bisa pasrah mobilnya hancur. Dengan setengah hati ia menginjak gas dan melaju dengan kecepatan tinggi menerobos pintu pagar kontrakan itu. Keduanya bisa melihat beberapa wanita berkumpul di kamar paling ujung. Mereka memekik histeris karena terkejut pagar kontrakan tumbang. Saat melihat Yudha turun dari mobil, mereka terdiam. "Apa Tante tahu ke mana pelakunya membawa istriku?!" tanya Yudha berjalan mendekat ke arah kamar nomor empat."Tidak, tapi itu," ucapnya menunjuk ke arah layar televisi yang terpasang di tembok.Yudha melangkah cepat dan memperhatikan seisi kamar kontrakan Tari yang berantakan. Ponsel dan tablet masih ada di atas tempat tidur. Kapten Raka meminta izin pada Yudha untuk mengambil gambar. Mungkin saja bisa ditemukan petunjuk."Ya am







