"Di sini kebanyakan para pekerja, Mbak, jadi kalau pagi sepi. Di depan sana mau dibangun Sekolah Dasar sama Menengah Pertama, kayaknya pembangunan jangka panjang. Kalau Mbak Rania mau, Mbak Rania bisa jualan di depan kontrakan aja. Jual es, kopi sama mi aja, Mbak," ucap ibu pemilik kontrakan.
Pagi tadi ibu pemilik kontrakan meminta Rania datang ke rumahnya, ada tawaran pekerjaan katanya. Rania datang pukul delapan setelah selesai mencuci dan membereskan kontrakan. Sudah dua bulan Rania tinggal di kota ini, tapi belum juga mendapat pekerjaan. Jadi dia tidak menyia-nyiakan kesempatan ini."Apa nggak masalah kalau saya jualan di sini? Saya kan penghuni baru, Bu?" jawab Rania, ia merasa tidak enak hati pada para tetangga."Nggak apa-apa, Mbak. Kan, saya yang nyuruh. Kalau ada yang protes, bilangin langsung ke sini aja. Lagian orang sini kalau pagi banyak yang jualan di pasar sampai siang, jadi jarang yang di rumah. Kalau yang di kontrakan malah kebanyakan kerja di pabrik, kadang bisa sampai malam baru pulang," jelas ibu kontrakan.Rania memang mengontrak rumah di dekat kawasan pabrik. Sayangnya dalam kondisi hamil, ia tidak mungkin melamar pekerjaan di sana. Selain resiko yang lebih tinggi, pasti nanti juga akan menjadi bahan hujatan karena ia hamil di luar nikah."Apa aja yang saya butuhkan ya, Bu? Di rumah belum banyak barang." Rania hanya punya dua piring, tiga gelas dan beberapa peralatan dapur seperti wajan, panci dan masing-masing hanya memiliki satu buah."Gini, Mbak, kalau Mbak Rania nggak keberatan saya bisa bantu. Dulu saya pernah jualan, tapi saya nggak telaten jadi ya nggak diterusin," ujar ibu kontrakan, "kalau Mbak mau, itu bisa dipakek dulu. Ada blender, kompor satu tungku, tabung gas dan beberapa gelas sama piring. Tapi mejanya saya nggak ada ya, Mbak. Udah rusak karena kehujanan sama kepanasan di luar.""Alhamdulillah, saya mau, Bu. Ibu total aja semua berapa. InsyaAllah saya masih ada simpanan uang, nanti biar saya beli meja sendiri," ucap Rania."Dipakek dulu aja nggak pa-pa, Mbak, nanti kalau udah jalan jualannya baru dibayar. Dicicil juga nggak pa-pa kok, Mbak Rania tenang aja,""Jangan, Bu, saya beneran masih punya uang. Biar saya juga tenang jualannya. Makasih, Ibu sudah banyak banget bantu saya," ucap Rania tulus.Dari awal ia mencari kontrakan, ia sudah berkata jujur bahwa ia tengah mengandung tanpa suami. Bersyukur ibu kontrakan tidak mempermasalahkan hal itu. Beliau justru banyak membantu Rania. Para tetangga juga memperlakukan Rania dengan baik, tidak ada yang menyinggung tentang kehamilan Rania. Mungkin beban hidup yang mereka pikul juga sudah berat, jadi tidak saling mengurusi kehidupan orang lain."Kalau begitu saya permisi ya, Bu," pamit Rania setelah membayar sejumlah uang pada ibu kontrakan."Barangnya nanti biar diantar anak saya ya, Mbak. Sekarang belum dikeluarin dari gudang.""Baik, Bu, saya permisi. Terimakasih sebelumnya."Rania berlalu menuju kontrakan, ia akan membuat list belanja untuk memulai jualannya besok.Masih banyak barang yang akan ia beli. Tidak perlu berbelanja banyak, dia akan memilah seperlunya dulu.Kandungan Rania sudah memasuki bulan keempat, bersyukur janinnya tidak pernah rewel. Tidak ada mual di pagi hari, tidak juga muntah-muntah saat mencium bau sesuatu. Mungkin sang janin juga paham kalau sang ibu harus berjuang sendiri demi mereka.Rania pergi ke ATM, ia akan mengambil sejumlah uang. Ia terpaksa meminjam uang Damar, tapi ia berjanji akan mengembalikan uang itu. Tidak banyak uang Damar yang ia pinjam karena tabungannya juga masih tersisa.Rania berkeliling pasar untuk membeli bahan makanan juga peralatan untuk warungnya.Selesai berbelanja, Rania segera pulang. Ia harus menyiapkan tempat di depan kontrakan."Belanja banyak Mbak Rania?" sapa Sari, tetangga sebelah Rania yang bekerja di pabrik."Iya, Mbak. Mau jualan es sama kopi di depan rumah," jelas Rania."Wah, boleh juga tuh, Mbak. Jadi enak kalau pulang kerja bisa ngopi," ucap Sari, "tambahin mi sama gorengan, Mbak," saran Sari."Mudah-mudahan bisa ya, Mbak. Ini mau yang instan dulu aja. Kalau emang laku nanti bisa tambah yang lain," terang Rania.Berjualan tidak bisa dilihat dari hasil satu dua hari, harus melihat hasil selama beberapa hari dulu. Hari pertama sampai ke tiga, biasanya orang akan membeli karena penasaran. Keempat sampai ke tujuh, orang membeli karena melihat orang lain juga beli. Nah, hari berikutnya baru bisa jadi acuan untuk ditambah atau dikurangi bahan jualannya.Rania menyewa mobil pick up untuk mengangkut barang belanjanya, barang itu cukup repot jika dibawa dengan ojek. Ada satu meja, tiga kursi dan belanjaan berupa kopi instan, mi dan aneka snack.Rania juga membeli sebuah sepeda untuk memudahkan ia ketika ingin belanja ke pasar, pasar di sini cukup dekat, jadi tidak terlalu lelah jika ditempuh dengan mengendarai sepeda."Mau taruh di mana, Mbak?" tanya seseorang yang membantu Rania menurunkan barang."Di sini aja, Pak, nanti biar saya yang tata sendiri," jelas Rania.Barang-barang mulai diturunkan, Rania masuk ke dalam rumah untuk membuatkan teh. Setelah selesai, Rania membawa teh ke depan rumah."Ini silahkan di minum dulu, Pak. Maaf tidak ada es, jadi saya bikinin yang hangat.""Tidak apa-apa, Mbak, terimakasih." Orang itu segera meneguk teh yang disuguhkan Rania."Mau buat jualan, Mbak?""Iya, Pak. Ini masih mau mulai. Semoga bisa berjalan dengan lancar," ujar Rania."Hebat, Mbaknya. Meski hamil, tapi masih mau bantuin suami kerja. Pasti suaminya kerja di pabrik sini ya? Di sini, kan, banyak yang kerja di kawasan pabrik.""Iya, Pak," jawab Rania. Bukan berniat berbohong. Dia hanya merasa tidak perlu menjelaskan semua hal pada orang lain.Setelah menyerahkan beberapa lembar uang, orang yang membantu Rania mengangkut belanjaan berpamitan pulang."Mbak, ini barang yang dari Ibu di taruh mana?" ucap seorang anak remaja pada Rania."Taruh di karpet ruang tamu aja, Dek," pinta Rania.Beberapa barang itu sudah masuk semua ke dalam rumah, Rania melihat barangnya masih cukup bagus."Sudah selesai, Mbak, saya pamit, ya," ucap remaja itu seraya keluar dari rumah Rania."Nggak mau dibuatin minum dulu?" tanya Rania."Nggak, Mbak, mau langsung pulang. Nanti dimarahin Ibu. Belum ngerjain PR soalnya.""Makasih ya, ini buat kamu," ucap Rania, ia menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan."Makasih ya, Mbak, aku pulang dulu." Si remaja berlari sambil melambaikan tangan, Rania bersyukur begitu banyak pertolongan yang Tuhan kirim untuknya."Mbak Rania bisa bikin nasi kotak?" tanya salah satu tetangga Rania.Ini sudah tiga bulan Rania berjualan, cukup banyak orang yang mampir untuk sekedar minum es atau kopi dan ada beberapa juga yang memesan mi instan.Baru satu minggu ini Rania berani membuat gorengan. Hanya bakwan dan pisang goreng, tapi nyatanya cukup laris karena mereka bilang rasanya enak dan harganya terjangkau."Buat acara apa, Mbak?" Rania mengaduk kopi, ia lalu menyerahkan pada orang yang menunggu di depannya. Setelah itu Rania duduk di sebelah tetangga yang bertanya tadi."Buat ulang tahun anak saya, Mbak. Nggak banyak kok. Kalau Mbak Rania mau, kan, enak. Nggak usah cari yang jauh."Kandungan Rania sudah masuk tujuh bulan, bayi yang pintar. Tidak pernah menginginkan sesuatu yang disebut ngidam oleh kebanyakan orang, karena jika benar-benar menginginkan sesuatu maka ia akan langsung membelinya."Emang acaranya kapan, Mbak?" tanya Rania. "Kopi satu, Mbak," sela seseorang yang baru tiba."Iya, Pak," jawab Rania
Selama satu bulan saja pesanan datang hampir setiap hari. Dengan bantuan para tetangga yang ikut mempromosikan masakan Rania, membuat banyak orang yang memesan padanya."Kalau nambah orang lagi gimana ya, Mbak? Ini udah mendekati lahiran dan pesanan makin banyak, kalau mau ditolak sayang juga," ucap Rania pada Yati, orang yang membantunya melayani pesanan nasi. Kini ia juga mulai menerima pesanan kue, mencicil peralatan sedikit demi sedikit akhirnya kini peralatan untuk membuat kue semakin lengkap."Kalau emang butuh, nanti aku ajak keponakan. Ada dua yang udah lulus sekolah dan belum bekerja kerena ijazah cuma SMP, mau lanjut sekolah nggak ada biaya," jelas Yati."Nggak pa-pa, Mbak, pokoknya mau kerja keras. Itung-itung sekalian bantu mereka belajar bekerja."Akhirnya Rania menerima dua keponakan Yati untuk membantunya dan satu orang tetangga lagi yang baru pensiun dari pabrik roti, lumayan bisa membantu saat banyak pesanan snack boks dan kue ulang tahun.Rania semakin semangat mengu
"Aku takut, Mbak," ujar Rania pada Yati. Yati memegang tangan kanan Rania, tangan yang satunya mengusap perut Rania. "Nggak usah takut, Mbak temenin kamu di sini. Kalau sakit kamu bilang," ujar Yati."Makasih ya, Mbak.""Sama-sama. Kamu udah Mbak anggep sebagai Adik sendiri. Jangan sungkan.""Tarik nafas yang dalam, Bu, lalu buang dari mulut. Nanti kalau sudah bukaan lengkap saya ke sini lagi," ucap seorang dokter pada Rania.Rania kini tengah berbaring miring, ia merasakan sakit yang semakin sering datangnya. Rania tidak mengeluh, ini adalah salah satu nikmat Tuhan. Anak yang ada dalam kandungannya tidak salah, yang salah adalah perbuatan orang tuanya."Kamu kuat Ran, Mbak bantu doa," ucap Yati. Ia membantu mengelus pinggang Rania."Iya, Mbak, makasih sudah jagain Rania. Kalau nggak ada Mbak Yati, mungkin Rania sendiri di sini." Rania mengusap air matanya yang mengalir."Sudah, jangan menangis. Di sini kita sesama perantau adalah saudara. Kamu harus kuat demi calon bayimu, dia adala
Yati mengurai pelukan mereka. Ia lalu duduk di dekat Rania. "Jangan nangis lagi, kamu sudah jadi ibu sekarang."Rania tersenyum bahagia, ia lalu mengusap air matanya."Udah dapet makan apa belum?" Yati tidak melihat ada apa pun di meja nakas."Belum, Mbak. Tadi sudah dibilangin sama perawat kalau makannya diantar setengah jam lagi. Mbak udah makan apa belum?""Udah, tadi setelah mengurus administrasi, Mbak makan di kantin. Ini tas kamu, Mbak tadi ambil uang buat bayar jaminan sama buat makan," jelas Yati, ia menyerahkan tas Rania."Mbak bawa aja, siapa tau nanti butuh uang lagi. Aku nggak bisa ngapa-ngapain, pokoknya semua urusan aku serahin sama Mbak Yati," ujar Rania.Yati mengambil kembali tas itu, "aku masukin sini ya, nanti aku ambil kalau emang perlu. Habis ini aku pulang dulu ambil baju ganti, nanti mbak Sari yang gantian jagain kamu.""Mbak Sari nggak kerja? Apa nggak ngerepotin? Aku sendiri dulu nggak pa-pa kok mbak," ucap Rania."Nggak pa-pa, Mbak Sari nggak keberatan kok. D
Sebuah ruko tingkat dua yang terletak di pinggir jalan raya, cukup besar dan selalu ramai setiap harinya. Berawal dari menerima pesanan dari para tetangga, kini Rania sudah berhasil membeli sebuah ruko yang cukup strategis.Rasa yang enak dan selalu menjaga kualitas membuat catering Rania cukup digemari. Mulai dari kalangan biasa sampai para pejabat sudah banyak yang berlangganan di tempatnya. Rania memberi harga yang berbeda untuk tiap kalangan, ia tidak hanya mengejar keuntungan yang tinggi. Rania juga selalu membantu jika ada yang menginginkan catering dengan harga terjangkau kalangan menengah kebawah.Tujuh tahun adalah waktu yang ia butuhkan untuk mengembangkan usahanya dan kini sudah empat tahun ia membeli ruko ini, jadi total sudah sebelas tahun sejak ia pergi dari rumah. Jagoan kecilnya kini sudah beranjak besar, semakin besar rupa sang anak semakin mirip dengan lelaki yang menitipkan benih padanya.Rania tidak membenci, hanya kadang ada perasaan tidak nyaman saat melihat putr
"Revan maunya ngasih apa? Kalau Bunda, kan, dulu kalau ada teman yang ulang tahun ya kadonya buku sama pensil," terang Rania."Mau kado mobil-mobilan, Bunda mau kan anterin beli?""Jam berapa? Sekarang Bunda masih banyak kerjaan, sama Mbak Ami nggak bisa?" Rania melihat masih ada tiga kue yang harus ia hias. Acara ulang tahun anak seorang pejabat, jadi dia harus benar-benar teliti dalam menghias."Nggak pa-pa Bun, acaranya malem kok. Revan maunya sama Bunda aja, udah lama nggak jalan-jalan sama Bunda," ucap Revan yang membuat Rania kembali menoleh pada putranya.Revan memang masih kecil, tapi soal sikap dan kata-kata romantis untuk sang ibu, ia jagonya."Ya udah kamu main aja dulu, Bunda selesein ini. Nanti kalau udah selesai Bunda panggil," ucap Rania.Revan mengangguk lalu ia pergi menuju kamarnya, Revan memilih belajar daripada bermain. Ia bercita-cita menjadi orang sukses agar bisa membahagiakan sang ibu, jadi dia harus menjadi anak yang pintar.Pergaulan yang terbatas semenjak ke
"Anak ini?" Raut terkejut nampak dari pria di depan Rania, "dia anak kamu?"Rania hanya mengangguk, sementara Revan menatap lekat sosok di depan sang ibu.Pria itu semakin mendekat, membuat Rania waspada. "Hai, boleh kenalan?" Pria itu mengulurkan tangannya.Revan dengan ragu menyambut uluran tangan itu, "Revan.""Damar." Setelah saling mengucapkan nama, mereka mengurai tangan yang bertaut."Revan mau yang ini, Bun." Revan mengangkat satu set mainan yang ia pilih.Rania mengangguk lalu mengajak Revan menuju kasir. Setelah beberapa lama mereka keluar. Rania cukup terkejut karena ternyata Damar masih menunggu mereka."Mau makan bareng?" tawar Damar, "atau Revan mau makan es krim sama Om?"Revan menatap ibunya. Ragu-ragu ia menjawab. Setelah beberapa saat diam, akhirnya ia bersuara."Emang boleh, Bun?" tanya Revan pada sang ibu. Bagaimanapun sikap dewasanya selama ini, Revan tetaplah anak-anak yang sangat menyukai es krim."Revan mau?" tanya Rania. Meski ia tidak suka bertemu dengan Da
"Bun, itu temen Revan. Revan mau ke sana boleh?""Iya, tapi jangan lama-lama. Kita mau pulang. Jam tujuh kamu harus ke acara ulang tahun, takutnya nanti terlambat," ucap Rania mengingatkan sang anak.Revan mengangguk lalu menemui temannya yang berada tidak jauh dari meja mereka."Ini punya anda," ucap Rania setelah menyerahkan sesuatu yang ia ambil dengan dompetnya."Apa ini?" Damar cukup tau apa itu, tapu ia tidak percaya kalau Rania akan mengembalikannya."Dulu aku pernah pakek uang kamu, tapi aku sudah mengembalikannya. Terimakasih atas bantuannya waktu itu, karena sekarang kita bertemu di sini jadi sekalian aku kembalikan ini." Rania memang selalu menaruh kartu itu di dompetnya, tidak tahu kapan bisa bertemu dengan Damar tapi dia memang sudah merencanakan jika bertemu dengan Damar akan langsung mengembalikannya."Kenapa harus dikembalikan, ini punya kamu," ujar Damar."Bukan, itu punya kamu. Aku sudah cukup dengan apa yang aku punya, terima dan jangan di tolak agar aku bisa tenan