Share

Kantin?

Tok tok tok.

Suara ketukan pintu yang ditimbulkan Garda, membuat Kepala Sekolah yang sedang menandatangani berkas terhenti.

“Silahkan masuk!” serunya dan segera membereskan berkas di depannya.

“Murid baru ya? Anaknya Pak Ardan?” tanyanya lagi dan mendapat anggukan dari Garda.

“Ya sudah silahkan duduk!” menuruti perintah, Garda pun duduk di sofa yang telah di tunjuk kepala sekolahnya itu.

“Kemarin Pak Ardan sudah bicara banyak tentang kamu, kamu yang pintar dalam berbagai pelajaran dan sangat sopan. Memang terpancar dari auramu, Nak,” pujinya.

“Ah Bapak bisa aja, Papa yang suka berlebihan, Pak. Saya sebenarnya juga sama kayak anak-anak lain, biasa aja,” jawab Garda merendah.

“Wah kamu ini sudah pintar tapi tidak mau mengakui, patut diteladani ini, coba saja kalau siswa Bapak semuanya kayak kamu, sudah jadi nomor satu di ibukota ini!” dan mereka berdua pun tertawa bersama-sama.

“Oiya Pak, kalau boleh tahu, kelas Saya dimana ya Pak?” tanya Garda tanpa mau berbasa-basi lagi.

“Ah kamu ini kok buru-buru banget mau ke kelasnya, udah nggak sabar kenalan sama teman-teman di sini ya?” goda kepala sekolahnya.

“Eh, enggak Pak, biar Saya bisa lebih awal cari kelasnya aja. Tadi aja Saya bingung cari ruangan Bapak, hehe,” jawab Garda jujur karena tadi ia kesusahan mencari.

“Oh gitu, yaudah kamu Bapak kasih kesempatan buat milih kelas,” sambil mengeluarkan buku bersampul coklat, tempat daftar nama siswa-siswi SMA Tunas Bakti.

“Eh kok malah Saya yang disuruh milih Pak? Emangnya boleh?” tanya Garda kebingungan.

“Ya boleh dong! Kamu Bapak kasih keistimewaan,” jelasnya lagi.

“Wah, malah jadi nggak enak Pak," Garda yang bingung mau masuk kelas mana hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Nggak papa, udah pilih aja. Kamu kelas Xl kan? Nah mau IPA atau IPS?” 

“Emm, IPS aja deh Pak,” ucap Garda setelah berfikir sepersekian detik.

“Loh-loh, nggak salah pilih kamu? Di sekolah kamu dulu bukannya IPA?” tanya kepala sekolah keheranan, pasalnya dulu Garda di jurusan IPA dan dia pintar dalam urusan angka-angka.

“Yakin Pak, kan tadi Bapak sendiri yang suruh Saya milih,” ucapan Garda  membuat kepala sekolahnya juga menggaruk tengkuknya.

“Ya sudah, Kamu pilih IPS berapa?”

“IPS 2 aja, Pak." Ucapnya dan mendapat anggukan dari kepala sekolahnya.

“Ya sudah, sekarang Kamu ke ruang guru, ruangannya ada di sebelah kiri ruangan ini. Kamu temui Bu Amela, dia adalah wali kelasmu,” 

“Baik Pak, permisi,” dan Garda pun segera keluar dari ruangan kepala sekolah.

“Anak donatur, bebas pilih!” bisik kepala sekolah kepada dirinya sendiri.

Di lain tempat, Rain sedang mencurahkan kecepatan menulisnya untuk menyalin catatan Bella.

“Rain, belum selesai juga loe?” tanya Nando sambil menimpuk kulit kacang ke arahnya.

“Berisik, diem loe! Loe juga baru selesai nyontek!” tanpa mengalihkan pandangannya.

“Jiakkh, Rain belum ngerjain lagi! Anak cewek yang nggak bener cuman loe!“ timpal Rion yang juga sedang menyontek.

“Diem loe-loe pada!” bentak Rain, dan mereka berdua hanya cengengesan.

Gubraakkk!

“Raiinnnn!” teriak Bella setelah membuka pintu terlalu keras. Membuat seisi kelas terlonjak kaget.

“Buset! Loe habis ngapain Bel?” ucap Rain yang sedang menuangkan tip-ex di kertasnya yang tercoret akibat ulah Bella.

“Gue mau ceritaaaa!” teriaknya lagi.

“Ih ya nanti dulu, tunggu gue selesai salin PR ya! Dah diem!” perintah Rain dan Bella hanya mengerucutkan bibirnya.

Setelah 15 menit berkutat dengan kesibukannya, Akhirnya Rain pun menghela nafas lega.

“Akhirnya bisa nafas juga gue!” katanya sambil meregangkan otot jari-jarinya. Bella disampingnya sudah tenggelam dengan buku novel yang selalu dibawanya.

“Loe baca buku apaan si Bel?” tanya Rain sambil mengintip halaman yang sedang dibuka Bella.

“Bidadari-bidadari Surga, beehh loe harus baca pokoknya!” ucap Bella sambil menunjuk-nunjuk bukunya.

“Bukannya udah pernah dijadiin film?” 

“Iya si, tapi kalau menurut gue, enakan dibaca, gue bisa ngebayangin tokoh-tokohnya sesuai selera gue," ucap Bella lagi. Seketika Rain teringat akan Bella yang ingin bercerita kepadanya.

“Ya itu mah jelas Bel. Eh loe tadi mau ngomong apaan?” 

“Hah, kapan gue mau cerita?” lupa Bella.

“Dih, loe kayak orang tua aja, masak udah pikun? Tadi waktu ngedobrak pintu loe mau ngomong apa?” jelas Rain.

“Oohhh yang tadi, nggak jadi deh! Habisnya loe lama sih," tanpa mengalihkan pandangannya dari buku novel.

“Yeee, loe kan nulis caranya banyak banget. Pakai cara satu cara dua lagi!" Satu jitakan tepat mengenai ubun-ubun Bella.

“Aduh sakit bege! Loe mah kebiasaan deh, selalu pakai kekerasan!” Bella pun mencoba membalas Rain namun ia sudah lebih dulu berdiri.

“Yaudah ayok cerita!” bujuk Rain lagi.

“Enggak ah, males gue! Lagian enggak penting juga si," jawabnya.

“Ya udah deh! Gue laper nih! Tadi nggak sempet sarapan, mau ikut gue ke kantin nggak?" Ajak Rain sambil mengelus perutnya.

“Enggak ah! Gue udah makan tadi, gue juga dibawain bekel,” sambil membalik halaman novelnya.

“Kalau gitu, mending bekel loe gue makan aja! Iya nggak Bel?” rayu Rain dan mendapat pandangan melotot dari Bella. Satu kelas tahu, Bella adalah manusia paling pelit jika dimintai bekal makanan. Hampir setiap hari ia membawa bekal ke sekolah, walaupun memakannya di kantin.

“Yaudah, gue ke kantin! Nando Rion, kantin nggak?"

“Gas!” jawab mereka berdua serempak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status