Share

Chapter 14

Author: Alexa Rd
last update Last Updated: 2025-08-22 15:00:17

“Sis, mau ikut makan di luar?” tanya Nindya pada Sisca.

“Oh, Nin. Maaf, Deni sudah menungguku di bawah,” jawab Sisca. Deni adalah suaminya. Sisca terlihat buru-buru memasukkan barangnya ke dalam tas.

“Is everything okay?” Nindya sedikit khawatir.

Sisca menjentikkan jarinya. “Gak apa-apa. Kami harus ke sekolah Dito. Dia bikin ulah.” Sisca mengambil napas panjang sebelum menghembuskannya perlahan. “Anak jaman sekarang,” lanjutnya pada Nindya.

Nindya tersenyum menanggapinya. Dalam hati Nindya berharap bisa merasakan apa yang Sisca rasakan saat ini, punya anak dan khawatir pada perkembangannya.

“Kamu mau turun? Yuk bareng.” Sisca sudah siap dengan tas di pundaknya.

“Okay.”

Mereka berjalan beriringan menuju lift.

“Kamu masih tinggal di apartemen, Nin?” tanya Sisca saat mereka hanya berdua di dalam lift.

“Masih.” Nindya menjawab singkat.

“Apa seburuk itu?” Sisca tak ingin memaksa Nindya bercerita, namun Sisca ingin agar sahabatnya itu tahu kalau dia bisa diajak bercerita dan menyimpan rahas
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 22

    Suara gemericik air yang menyambut Nindya membuatnya teringat kenangan masa kecilnya. Di rumah ini dia dibesarkan, dan tinggal hingga ia menikah.Mungkin sudah dua bulan ia tak datang. Terakhir, saat Mamanya meminta ia datang dua bulan lalu, saat kandungan Laras masih dua bulan. Ia jadi teringat kenapa dia ke sini sekarang.Nindya memencet bel pintu. Dia memang tidak memberi kabar kalau dia akan datang Kamis malam ini. Toh dia sebenarnya kan bukan tamu di rumah ini.Tak terlihat adanya persiapan berlebihan di luar. Tak seperti rumah yang akan menggelar hajatan besar keesokan harinya.Perlahan pintu dibuka dari dalam. Suti terkejut melihat siapa yang datang.“Mbak Nindya....” Buru-buru dibukanya pintu rumah selebar-lebarnya. “Masuk, Mbak.”“Makasih, Suti.” Suti pun tampak canggung melihatnya, pikir Nindya. “Ada Mama?”“Di ruang tengah, Mbak... sama Mbak Laras.” Kata-kata terakhir ditambahkan pelan seakan itu adalah pering

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 21

    Suasana ruang rawat inap pagi itu lebih lengang. Petugas jaga sudah berganti dengan wajah-wajah yang lebih segar karena tidur lebih nyenyak di rumah. Hanya ada dua perawat yang berada di nurse station sambil mengisi status medis pasien. Sisanya mungkin sedang beredar mengganti botol infus, menghampiri kamar pasien yang menekan tombol panggil atau mendampingi dokter spesialis berkeliling.Di dalam kamar 208, Nindya menyuapkan pelan air putih ke mulut Bima. Sudah hari ketiga Bima di rumah sakit, dan hari ini dia sudah boleh diberi air putih dalam jumlah sedikit.“Sudah ya, Bim... nanti lagi,” kata Nindya sambil meletakkan gelasnya di atas meja. Tak tega rasanya melihat Bima yang seperti selalu kehausan. Kalau tak ingat lambungnya baru saja dijahit, sudah diberinya Bima air setiap saat.Bima mengangguk pelan. Dia cukup bersyukur sudah pindah ke kamar rawat inap biasa. Ada Nindya yang selalu menemani. Kadang Ibunya juga datang dan terus menanyakan kapan Bima b

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 20

    Ruangan steril bernuansa putih biru itu hanya mengeluarkan bunyi statis dari dua monitor organ vital yang masing-masing terhubung pada dua pasien pria. Saat Bima perlahan membuka matanya, dia mengenali pemandangan di sekelilingnya.Rumah sakit, pasti kamar ICU, pikirnya setelah melihat ada satu lagi pasien di sebelahnya. Temannya itu sepertinya belum sadar.Tenggorokannya terasa sangat kering. Pikirannya masih berkabut. Ingatannya terhenti pada saat dia mengerang kesakitan di kamar tamu. Dia ingat ada Nindya yang menangis dan menggenggam tangannya.Di manakah Nindya?Seorang perawat masuk lalu melakukan pemeriksaan singkat.“Sebutkan nama Bapak?” tanyanya sambil memegang senter untuk menerangi kedua pupilnya bergantian.“Dirgantara Bima,” jawabnya sambil menelan ludah, berusaha membasahi tenggorokannya. “Di mana istri saya?”“Saya akan panggilkan dokter terlebih dahulu, ya Pak,” kata perawat itu lalu berlalu keluar.

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 19

    Nindya terbangun dari tidur malamnya ketika telinganya sayup-sayup mendengar raungan tertahan. Dibukanya kedua matanya. Ditajamkannya telinganya.Suara dari kamar sebelah. Bima!. Segera Nindya bangun lalu keluar dari kamar. Diketuknya pintu Bima namun tak ada jawaban sementara suara raungan itu semakin terdengar.Nindya membuka pintu dan pemandangan yang pertama dilihatnya adalah tubuh Bima meringkuk di lantai. Tangannya memegang perut, keringatnya bercucuran.Dengan cepat Nindya berjongkok dan memeriksa Bima. Tak ada luka, jelas rasa sakit ini dari dalam. Diambilnya ponsel dari kamarnya lalu dengan tangan bergetar diteleponnya ambulans.“Bim ....” Nindya terus menerus memegang tangan suaminya.Bi Ijah sudah dibangunkan, tapi tak ada apa pun yang bisa mereka lakukan selain menunggu ambulans datang.“Sakit, Nin ....” Hanya itu kalimat yang terus diulang-ulang Bima sambil memegang perutnya. Keringatnya tak berhenti, badannya dingin

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 18

    “Bim ....” Nindya mengerjap-ngerjapkan matanya. Nyenyak sekali tidurnya kali ini. “Kau baru pulang?” tanyanya melihat Bima masih memakai baju kerja.Bima mengangguk sambil tersenyum padahal kakinya sudah mati rasa karena berjongkok dari tadi. Melihat Nindya bangun lalu duduk di tempat tidur, Bima ikut berdiri. Dia ingin duduk di samping Nindya, melepas rindu, tapi Bima tahu Nindya akan melarangnya.“Gantilah pakaianmu dulu. Aku akan menunggu di sini.” Nindya tersenyum sambil suaminya yang mematung.Bima menganggukkan kepalanya. “Tunggu ...,” katanya, seakan takut Nindya akan menghilang saat dia kembali.Nindya memandang tubuh suaminya yang menghilang ke kamar mandi. Lalu, dia melangkahkan kakinya ke dapur. Sebuah cangkir diisi teh hangat. Entah kapan terakhir kali dia membuatkan minuman untuk Bima.Setelah masuk ke dalam kamarnya, Bima sudah duduk di tepi ranjang. Wajahnya lebih segar meski rambut-rambut halus di dagunya juga semakin terl

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 17

    Dua koper berukuran sedang kini sudah berada di ruang tamu. Hanya itu yang Nindya bawa dari rumahnya empat bulan lalu, pakaian dan beberapa barang pribadi lainnya.Saat tinggal di apartemen pun Nindya tak banyak membeli barang lain. Kini baru disadarinya, sejak awal, dia memang pergi untuk kembali.Nindya sudah meminta ijin libur hari ini. Dari pagi, sudah dikepaknya barang. Dikosongkannya meja kerja, dibuangnya isi dapur dan lemari es. Dia tak suka meninggalkan sampah. Siang ini, dia sudah siap untuk pulang.Nindya duduk di ruang tamu, dilihatnya dua koper yang nanti akan dibawanya kembali pulang. Matanya menerawang ke penjuru apartemennya. Dia sudah mendapatkan apa yang dia inginkan di sini yaitu waktu dan tempat untuk berpikir.Dia mengingat cerita Dewi kemarin. Dipanggilnya kembali memori tentang Papanya. Prasetyo selalu hangat padanya. Memeluknya, memamerkan dirinya pada rekan bisnisnya kadang.Dirinya masih terlalu kecil untuk memah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status