Share

Benteng Terakhir Pernikahan
Benteng Terakhir Pernikahan
Author: Alexa Rd

Prahara

Author: Alexa Rd
last update Last Updated: 2025-05-28 23:07:46

“Kau hamil, Ras?” tanya Nindya sambil memegang ketiga test pack yang tanpa sengaja dia temukan di laci nakas milik adiknya.

Laras yang baru bangun dari pingsannya menjadi semakin pucat. “Kenapa kau mengambil barang pribadiku?” tanyanya kasar.

Seakan tenaganya sudah pulih, Laras hendak duduk dan menyambar benda yang dipegang kakaknya, tetapi rupanya kepalanya masih berkabut.

Dengan sigap Nindya membantunya bersandar di dinding tempat tidur. “Aku hanya mau mencari minyak hangat,” jawab Nindya. “Ceritakan padaku, Ras. Apa Mama sudah tahu?” Nindya menggenggam tangan adiknya.

Laras menggeleng lesu.

“Siapa ayahnya?” tanya Nindya sambil mengembalikan test pack ke dalam laci. “Siapa, Ras? Sudah berapa lama kehamilanmu?”

“Sekitar empat minggu,” jawab Laras.

“Kau sudah periksa?”

Laras menggeleng. “Aku yakin usia kandunganku, Nin.” Laras memandang kakaknya. “Aku hanya melakukannya sekali. Hanya itu,” kata Laras sambil memegangi kepalanya yang mulai berdenyut.

“Oke.” Nindya menelan ludahnya. Dia tak tahu harus kecewa atau bersimpati pada adiknya. “Lalu siapa ayahnya? Dia sudah tahu?” Nindya memegang bahu Laras.

Laras mengangkat kepalanya, memandang Nindya, “belum.” Ada tatapan ganjil di mata Laras. “Dia sudah beristri,” lanjutnya.

Mata Nindya melebar, nafasnya terhenti sesaat. “Apa!” Dia menarik nafas lalu membuangnya dengan cepat. “Ras...” kalimatnya tertahan. Nindya kini mengerti situasi apa yang dihadapi adiknya, namun dia juga tak menyangka kalau Laras bisa sejauh ini.

Dalam hatinya, Nindya menyalahkan dirinya sendiri yang lalai sebagai kakak. “Kau harus bicara padanya. Kau mau aku temani? Siapa dia, Ras?” Pertanyaan yang sedari tadi belum juga dijawab oleh Laras, terlontar kembali.

Laras menunduk terdiam, matanya terpejam seolah memikirkan langkah apa yang selanjutnya harus dia lakukan. Perlahan wajahnya terangkat. Dia menarik nafas dalam lalu membuangnya sebelum menatap mata Nindya. “Ini anak Bima.”

Nindya kebingungan. Seingatnya, tak ada teman Laras yang bernama Bima. Kalau ada, dia pasti tahu. Mungkin kawan baru.

“Bima siapa? Teman baru-mu?” tanya Nindya.

“Ya. Bima.” Laras mengalihkan pandangannya ke lantai kamar. “Saat acara ulang tahun floris Mama di villa, Om Ridwan membawa anggur, Bima mabuk, dan... dia merindukanmu, dan...” kalimatnya menggantung.

Laras melihat Nindya kembali. Wajah kakaknya masih kebingungan mencerna potongan kalimat yang tadi ia berikan.

“Maksudmu, Bima?” tanya Nindya. Dia hampir tak bisa mendengar suaranya sendiri karena beradu dengan degup jantung yang perlahan semakin cepat.

“Aku tahu aku tidak berhak minta maaf, Nin.” Tangannya memegang tangan Nindya. “Kami khilaf. Bima mabuk, dan... aku... aku sudah mencintainya sejak lama, Nin. Aku tidak menyangka akan sejauh itu.” Laras menelan ludahnya, menunggu reaksi Nindya.

Kini wajah Nindya pias. Jawaban Laras tadi seperti kilatan petir yang memekakkan telinganya sesaat. Setelah dengung suara di telinganya hilang, Nindya membalas tatapan Laras.

“Tidak mungkin.” Nindya melepaskan tangan Laras. “Bima tidak mungkin melakukannya. Kau jangan mengada-ada, Ras!” tanpa sadar Nindya mundur dari posisi duduknya saat itu.

“Aku harap aku juga hanya mengada-ada, Nin. Tapi aku mengatakan yang sebenarnya.” Mata Laras mulai berkaca-kaca. “Aku menyukai Bima entah sejak kapan. Dia begitu mencintaimu, aku juga ingin dicintai seperti itu.”

“Bukan berarti harus Bima orangnya!” Suara Nindya meninggi.

Terbayang olehnya saat Laras masih kecil, saat Nindya dengan berat hati memberikan buku cerita bergambar oleh-oleh Oma dari luar negeri karena Laras menangis memintanya. Saat itu bahkan Laras belum tahu kata-kata yang tercetak di sana.

Nindya harus menerima boneka barbie yang tadinya untuk Laras, padahal dia tidak suka boneka. 

“Dari dulu, kau selalu menginginkan apa yang aku sukai, Ras. Dan aku selalu memberikannya padamu karena aku kakakmu. Tapi Bima... dia suamiku. Pernikahanku bukanlah mainan atau barang. Kenapa kau tega, Ras?” Air mata Nindya mulai mengalir.

Laras berusaha menggapai tubuh kakaknya, namun Nindya menepisnya. Saat ini, Laras yang di hadapannya bukanlah Laras adiknya, melainkan wanita yang diam-diam menginginkan suaminya.

“Aku minta maaf, Nin. Dia mabuk, Aku hanya ingin membantunya kembali ke kamar. Tapi...”

“Cukup! Aku tidak percaya perkataanmu!” Terbayang sosok Bima. Suaminya begitu mencintainya. Selama empat tahun pernikahan mereka, Nindya tidak pernah meragukan kesetiaan Bima.

“Kau bisa tanya pada Bima, Nin. Katakan padanya aku hamil,” kata Laras lesu. “Aku butuh bicara dengannya.”

Nindya menutup telinganya. Dipejamkannya matanya, mengusir gambaran suaminya bersama Laras di dalam kamar.

Nindya mencari semua alasan untuk tidak mempercayai Laras. Tapi Nindya tahu, Laras bukan pembohong. Dan, ini terlalu besar untuk menjadi sebuah kebohongan.

Meski Nindya tak berharap Laras akan mengingat perasaannya, namun Laras tak akan mempertaruhkan perasaan dan kesehatan Mama. Benar atau bohong, ada satu konsekuensi untuk Laras yang yang sudah timbul di hati Nindya.

“Aku tidak akan bisa memaafkanmu untuk ini, Ras. Benar ataupun tidak, kau harus bertanggung jawab atas perkataanmu ini.” Tangan Nindya terkepal.

Laras tersenyum mendengar perkataan kakaknya. “Kau masih mengira aku bohong, Nin? Aku dan Bima sudah pernah bertemu setelah itu. Kita sepakat untuk tidak membicarakan hal ini lagi.”

Laras tertegun sesaat sebelum kembali melanjutkan. “Siapa sangka, takdir berkehendak lain.”

Hati Nindya tercabik melihat betapa tenangnya Laras mengatakan hal tersebut. “Apa yang kau inginkan, Ras?”

“Awalnya, aku ingin menggugurkannya. Mama pasti akan kecewa sekali padaku. Tapi...” Laras mengelus perutnya dengan lembut.

“Ini anak Bima. Anak kami.” Bibirnya menunggingkan senyum. “Aku menginginkannya.”

Mendidih darah Nindya. Bukan karena Laras tidak ingin menggugurkan anak itu. Seorang anak adalah karunia yang Nindya inginkan selama empat tahun ini.

Nindya merasa marah dan jijik karena Laras ingin mempertahankan bayinya hanya karena itu adalah anak Bima, suaminya. Laras menginginkan Bima.

Belum pernah Nindya merasa ingin menampar Laras sebelumnya. Tapi kali ini, dia perlu mengepalkan tangannya dengan keras agar adegan itu tidak terjadi.

“Kau benar-benar tidak peduli aku sebagai kakakmu, Ras?” air matanya menetes perlahan.

Laras menatap Nindya. Tetes air mata mulai berjatuhan. Dia beranjak dari duduknya lalu memeluk kaki Nindya.

“Maafkan aku, Nin. Tapi jika kau hanya kakakku dan bukan istri Bima, tidakkah kau mau dia bertanggung jawab?”

Tubuh Nindya kaku. Perutnya mual. Jika dia berlama-lama di sini, dia pasti akan muntah, pikirnya.

Dengan tangannya yang gemetar, dilepaskannya pelukan Laras dari kakinya.

“Kalian harus bertanggung jawab,” dengan cepat ditinggalkannya kamar Laras.

Nindya perlu berkonsentrasi penuh untuk bisa menjalankan mobilnya. Air matanya terus menetes sepanjang perjalanan. Acara makan malam yang biasa dilangsungkan sebulan sekali telah berubah menjadi petaka untuknya.

Hatinya sakit mengingat Laras yang sama sekali tak peduli dengan perasaannya. Namun, lebih sakit lagi jika dia membayangkan kalau apa yang dikatakan Laras adalah kebenaran.

Masih adakah celah bahwa itu adalah sebuah kebohongan? Logika Nindya gamang. Apa Laras seberani itu? Sebenci itu padanya hingga mengarang kebohongan yang amat menyakitkan?

Lalu bagaimana kalau ternyata itu adalah kebenarannya.

Tetes air mata Nindya semakin deras. Dibayangkannya Bima selama sebulan ini. Suaminya itu memang lebih mesra, lebih perhatian dari biasanya.

Nindya menganggap Bima hanya merindukannya setelah ditinggal ke Makasar. Bima tidak mungkin melakukan perselingkuhan, apalagi dengan Laras.

Sinar lampu yang amat terang menyadarkan Nindya. Dia membanting setirnya ke kiri. Degup jantungnya berpacu, susul menyusul dengan nafasnya.

Didengarnya klakson mobil yang lewat dan sumpah serapah dari pengemudinya. Pikiran telah membuatnya mengemudi keluar jalur.

Nindya menghapus bekas air mata di pipinya. Beberapa kali dia perlu mengambil nafas dalam-dalam untuk membuat kepala dan tangannya tenang kembali.

Ini pasti hanya kebohongan, pasti karangan yang dibuat Laras seperti sewaktu dia kecil saat mengaku gelas susunya tumpah untuk mendapat susu yang baru.

Ya, ini hanya kebohongan. Nindya menengok kanan kiri sebelum mengarahkan mobilnya kembali ke jalan raya. Akan ditanyakan pada Bima di rumah dan semua akan baik-baik saja, katanya pada diri sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Epilog

    Tiga bulan kemudian“Ayo, Bi,” seru Nindya sembari duduk di teras rumahnya. Ia memandangi rumput yang baru saja ditanam di taman kecil di depannya. Masih belum menyebar sempurna namun sudah terlihat menghijau di sana-sini.Di dekat dinding, tanaman sansivera menghiasi, membuat dinding itu terlihat lebih hidup dan menyegarkan. Di depan rumahnya, terlihat rumah-rumah tetangganya yang dipisahkan oleh jalan blok perumahan.Sejak perceraiannya dengan Bima, Nindya pindah ke rumah ini. Sebuah perumahan yang tak terlalu dekat dari kota Jakarta namun menawarkan suasana yang lebih tenang. Rumahnya dengan Bima sedang dalam proses jual-beli.Rumah ini lebih kecil, hanya berisi satu kamar utama dan satu kamar tambahan yang dipakai Bi Ijah. Masih ada halaman sisa di bagian belakang yang bisa ia pakai jika ingin menambah bangunan. Namun Nindya tak menghendakinya.Ia ingin kehidupan yang baru, kehidupan yang lebih bermakna untuk dirinya sendiri.Ijah keluar sambil membawa sebuah tas kecil. Pakaiannya

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 53

    Langit Jakarta menumpahkan gerimis di Minggu siang saat Nindya mengendarai mobilnya. Sudah beberapa hari Jakarta terang benderang di kala siang. Gerimis ini seakan perlawanan terakhir musim hujan yang belum mau berlalu.Dari balik kacamatanya Nindya melihat jalanan Jakarta yang lebih lengang dari biasanya. Ingatannya melayang pada pembicaraannya dengan Dharma Singgih, pengacaranya melalui sambungan telepon beberapa hari lalu.Pengacara itu menyarankan Nindya untuk bernegosiasi dengan Bima jika tak ingin persidangan menjadi panjang. Akan lebih mudah jika Bima juga menginginkan perceraian. Apalagi Nindya tak ingin terlalu sering membawa nama Nico di persidangan, meski Laras sudah bersedia menjadi saksi.Hakim bisa saja bersimpati pada Bima yang ingin mempertahankan pernikahan. Bima pun tak melanjutkan perselingkuhan. Posisi Nindya bisa sulit, meski tetap ada kemungkinan hakim akan mengabulkan gugatan.Dengan penuh kehati-hatian, Nindya membelokkan setirnya ke jalan pemukiman. Mobilnya m

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 52

    Langit Jakarta tampak cerah dari jendela kantor Nindya. Sepertinya musim kemarau akan datang lebih cepat. Nindya membuka tirai jendelanya lebih lebar, membiarkan sinar matahari menimpa pojok-pojok ruangan.Dari tempat ia berdiri, Nindya bisa melihat atap-atap bangunan di sekitarnya. Saat melihat atap restoran, ia teringat Haris. Apakah Haris masih makan siang di sana setiap Senin?Nindya berjalan kembali ke kursinya. Ditatapnya layar laptop yang sedari tadi menampilkan baris-baris judul buku yang akan diterbitkan bulan ini. Semua sudah dikurasi, Nindya hanya perlu membaca resume dari editor, lalu menyesuaikan tanggal terbit dan promosinya.Hari ini adalah jadwal mediasi pertama perceraiannya dengan Bima. Nindya menunggu kabar dari pengacaranya sambil berusaha berkonsentrasi pada layar laptopnya.Seperti yang ia sangka, tiga jam kemudian, pengacaranya menyampaikan kalau Bima tidak bersedia menceraikan Nindya. Mediasi pertama gagal, mediasi kedua dijadwalkan sepuluh hari kemudian.Nindy

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 51

    Nindya memegang sebuah amplop putih besar yang sudah dikirim ke alamat rumahnya sejak dua hari lalu. Ia tak perlu membukanya untuk tahu berisi apa amplop itu. Logo Pengadilan Agama tampak di kiri atas beserta alamat jelasnya.Lamat-lamat ia mendengar suara Bi Ijah menyapu halaman depan, sedangkan dari dalam, tak ada suara sama sekali selain kipas angin di sisi dapur yang sering dipakai Bi Ijah saat beristirahat. Rumahnya lengang, namun hatinya lapang.Bima pasti juga sudah menerima surat undangan mediasi yang dikirim pengadilan. Sudah satu minggu sejak pengacaranya mendaftarkan permohonan cerainya. Sejak itu, komunikasi mereka tidak terlalu berjalan lancar.Nindya menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa. Dengan perlahan dibukanya amplop putih yang berisi kertas putih di dalamnya. Dibacanya perlahan.Undangan mediasi pertama, satu minggu lagi. Ia melipat suratnya dan mengembalikan kembali ke dalam amplop.Pada Bi Ijah sudah ia ceritakan semua yang terjadi. Meski tak banyak bertanya, n

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 50

    Pukul setengah sembilan pagi, galeri sudah mulai hidup. Cahaya matahari menembus kaca besar di dinding depan, memantul di lantai marmer yang mengilat, menghadirkan bayangan panjang dari instalasi seni yang dipajang. Udara masih segar, bercampur aroma cat minyak yang samar-samar tercium dari ruang penyimpanan, dan wangi kopi yang baru saja diseduh dari pantry kecil di pojok.Seorang pegawai kebersihan sibuk menata meja resepsionis dan membersihkan kaca display. Suara kain setengah basah yang bergesekan dengan permukaan meja terdengar kontras dengan musik instrumental lembut yang diputar pelan dari speaker. Suasana terasa damai, seperti lembar kertas kosong yang menunggu untuk diisi.Di salah satu ruang kelas yang berada di sisi kanan galeri, Laras sedang menyiapkan peralatannya. Kuas, kertas, dan cat air sudah tersusun rapi di atas meja panjang. Ia merapikan kursi-kursi, sesekali melirik jam dinding, memastikan semuanya siap sebelum para murid datang.Menjelang pukul sembilan, kelas su

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 49

    Mobil Nindya perlahan masuk ke halaman rumah besar milik Dewi Kencana. Dilihatnya sekeliling. Hanya ada mobil Dewi dan Laras, tak ada milik Bima, atau dia belum datang?Nindya menghentikan mobilnya dengan hati-hati. Tak ada rintik hujan malam ini seperti satu bulan lalu saat dia datang bersama Bima. Malam ini gelap seperti biasa, dengan angin yang bisa dirasakan menyapu helai rambut di telinganya.Belum sempat ia menekan bel rumah, pintu sudah dibuka dari dalam.“Sendirian, Mbak?” tanya Sumi yang muncul dari balik pintu.Nindya tersenyum ringan. “Iya.” Diulurkannya sebuah bingkisan berisi batik pada Sumi. “Ini buat kamu, dari Jogja.”Senyum lebar menghiasi wajah Sumi. Segera diambilnya bingkisan dari Nindya. “Terima kasih, Mbak Nindya.” Beriringan mereka masuk ke dalam.Dewi menutup buku yang sedang dibacanya setelah ia melihat Nindya masuk ke ruang keluarga. Suara celoteh Nico yang sedang dipangku Laras pun mendadak diam mendengar derap lan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status