Share

Pengakuan

Author: Alexa Rd
last update Last Updated: 2025-05-28 23:10:12

Setelah memarkirkan mobilnya, Nindya tak peduli dengan perutnya yang keroncongan. Dia bergegas masuk ke dalam kamar. Tak ada makan malam di rumah Mama tadi. Laras pingsan sebelum mereka sempat makan.

Nindya melihat foto pernikahan dirinya dan Bima. Senyum bahagia menghiasi wajah mereka kala itu. Mereka sangat bahagia, meski belum dikaruniai anak, mereka bahagia. Tak mungkin Bima berselingkuh.

Pukul delapan lewat lima menit, Bima belum pulang. Biasanya makan malam di rumah Mama juga baru akan selesai pukul setengah sembilan malam. Selama dua tahun, acara Sabtu malam sebulan sekali ini tak pernah ditiadakan.

Di sela kesibukan semua orang, acara makan malam di minggu terakhir itu akan membuat keempat orang berkumpul. Biasanya Bima sangat bersemangat. Dia akan bertemu Mama yang bukan hanya menganggapnya menantu tapi juga anak laki-lakinya sendiri.

Nindya masih memikirkan kata-kata Laras. Laras mencintai Bima sejak lama. Sejak kapan?

Mereka hanya bertemu sebulan sekali jika tak ada acara keluarga lainnya. Atau...mereka bertemu diam-diam di luar?

Nindya menenangkan pikirannya sendiri lagi. Semua ini belum tentu benar, Nindya. Dengan tak sabar, ditunggunya Bima pulang.

Pukul sembilan lewat sepuluh menit, suara mobil Bima terdengar memasuki pelataran rumah. Tak lama, langkah kakinya mendekati kamar, lalu pintu kamar dibuka dari luar.

“Nin...” Bima meletakkan tas kerjanya sembarangan. Wajahnya terkejut melihat Nindya yang sembab. “Ada apa?” Dia bergegas duduk di sebelah Nindya lalu memegang bahunya.

Nindya mengambil tangan Bima lalu menggenggamnya. “Laras tadi pingsan. Dia hamil dan... dia bilang itu anakmu. Itu tidak benarkan, Bim?”

Nindya meremas tangan Bima. Dia menunggu momen di mana Bima akhirnya bisa membebaskannya dari prasangka yang teramat menyakitkan. Tapi momen itu tak kunjung ada.

Wajah Bima pias. Dialihkan pandangannya dari tatapan Nindya. Tangannya tiba-tiba menjadi dingin dalam genggaman istrinya.

Nindya memperhatikan semuanya. “Kejadian di vila itu, apa itu benar? Jawab, Bim!” tatapnya tajam dibalik matanya yang mulai berair, suaranya bergetar.

Bima kembali menatap istrinya. Hal yang sebulan ini selalu menghantuinya kini hadir dalam bentuk nyata. “Apa yang Laras ceritakan?” Namun dia masih berharap Laras memegang janjinya.

Nindya kontan melepaskan genggaman tangannya lalu menepis tangan Bima dengan kasar. Dia berdiri lalu mengatur nafasnya. “Katakan, Bim. Apa itu benar?”

Bima menghembuskan napas cepat. Jantungnya berdebar kencang. Kini dia tahu, tak ada ruang lagi untuk mengelak.

“Aku mabuk, Nin. Aku sudah lama tidak minum. Aku mengira Laras adalah dirimu.” Tangannya terangkat untuk menggapai istrinya, namun sekali lagi Nindya menepisnya dengan kasar. “Aku bersumpah, Nin.”

Mendengarnya sekali lagi dari mulut Bima jauh lebih menyakitkan daripada saat Nindya mendengarnya dari Laras. Tubuh Nindya terhuyung ke belakang. Tangisnya tak tertahan lagi.

Bima berdiri untuk memeluk istrinya tapi Nindya mendorongnya berkali-kali. “Jangan sentuh aku!” teriaknya.

“Aku menyesal, Nin. Sungguh aku tidak bermaksud menyakitimu.” Napas Bima lebih pendek dari sebelumnya. Satu tangannya mengacak sendiri rambutnya yang tebal.

“Kau punya banyak waktu untuk mengatakannya padaku, Bim. Tapi kau memilih diam. Kau jahat, Bima.” Tubuh Nindya terjatuh di lantai.

Bima mendekati istrinya. Dengan perlahan, dia memegang pundak Nindya. “Setelah kejadian itu, setiap malam aku ketakutan. Aku takut hal ini terjadi, Sayang. Aku takut kehilanganmu.”

Bima mengelus rambut Nindya. “Aku sungguh menyesal, aku muak dengan diriku sendiri,” lanjutnya. “Aku dan Laras sama-sama menyesal. Tak ada apa pun lagi yang terjadi setelah itu, Nin. Sungguh.”

Tak ada respon dari Nindya kecuali suara isaknya. “Aku minta maaf. Akan kulakukan apa saja untuk menebusnya, Sayang.” Bima merengkuh tubuh istrinya.

Hanya satu detik tubuh Nindya berada di pelukan Bima, Nindya kembali mendorong Bima. Tatapannya nanar kali ini. “Kau memang harus menebusnya, Bim. Laras hamil!”

Mata Bima membelalak. “Apa? Tidak mungkin,” sanggahnya.

Bima mengingat malam laknat itu. Hanya semalam, mana mungkin? Sedangkan dia dan Nindya sudah berusaha selama dua tahun untuk mendapatkan momongan.

“Kenapa tidak mungkin?” suara Nindya menyentak lamunan Bima. “Kau pikir Laras berbohong? Laras tadi pingsan. Aku tak sengaja melihat tiga test pack yang semuanya bertanda positif.”

“Bisa jadi salah. Sudahkah dia ke dokter?” Suara Bima meninggi. “Bisa juga... bisa juga...” Bima tertunduk lesu. Saat mabuk Bima mungkin tidak menyadarinya, namun setelah Bima sadar akan perbuatannya, dia menyadari kalau Laras masih perawan.

“Kalau itu bukan anakmu?” Nindya menimpali. Tapi Bima tak menjawab apa pun. Dia hanya tertunduk lesu menatap lantai.

Nindya tersenyum getir. “Hamil atau tidak, anakmu atau bukan, tidak menghapus pengkhianatanmu, Bim. Teganya kau melakukannya.”

Nindya mengangkat tubuhnya. Satu tangan menghapus air matanya. “Tolong, tidurlah di kamar tamu.” Nindya berjalan ke meja rias lalu duduk menghadap cermin, membelakangi Bima.

Perlahan Bima bangkit lalu menghampiri istrinya. Namun dia tak mencoba meraih Nindya kali ini. “Aku sungguh menyesal, Nindya. Tak pernah ada keinginanku untuk mengkhianatimu. Aku akan bicara dengan Laras besok.”

Bima melangkah menuju pintu keluar. Setelah membuka pintu, dia menoleh lagi pada istrinya yang masih mematung melihat kaca. “Aku hanya mencintaimu, Nindya. Aku minta maaf.”

Setelah tubuh suaminya menghilang di balik pintu, tangis Nindya pecah kembali. Hilang sudah kepercayaannya pada Bima.

Hingga sejauh mana perselingkuhan mereka? Apa mungkin mereka hanya melakukannya sekali? Apa hanya Laras, ataukah Bima juga memiliki rasa yang sama?

Apakah selama ini dia menjadi badut di antara mereka? Sebulan dia masih seatap dengan Bima sejak kejadian di vila. Betapa bodohnya.

Pertanyaan menyakitkan dan menggugah rasa marah menghantam pikirannya satu per satu.

Malam itu, tak ada satu pun yang tertidur lelap di rumah, kecuali Bi Ijah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 20

    Ruangan steril bernuansa putih biru itu hanya mengeluarkan bunyi statis dari dua monitor organ vital yang masing-masing terhubung pada dua pasien pria. Saat Bima perlahan membuka matanya, dia mengenali pemandangan di sekelilingnya.Rumah sakit, pasti kamar ICU, pikirnya setelah melihat ada satu lagi pasien di sebelahnya. Temannya itu sepertinya belum sadar.Tenggorokannya terasa sangat kering. Pikirannya masih berkabut. Ingatannya terhenti pada saat dia mengerang kesakitan di kamar tamu. Dia ingat ada Nindya yang menangis dan menggenggam tangannya.Di manakah Nindya?Seorang perawat masuk lalu melakukan pemeriksaan singkat.“Sebutkan nama Bapak?” tanyanya sambil memegang senter untuk menerangi kedua pupilnya bergantian.“Dirgantara Bima,” jawabnya sambil menelan ludah, berusaha membasahi tenggorokannya. “Di mana istri saya?”“Saya akan panggilkan dokter terlebih dahulu, ya Pak,” kata perawat itu lalu berlalu keluar.

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 19

    Nindya terbangun dari tidur malamnya ketika telinganya sayup-sayup mendengar raungan tertahan. Dibukanya kedua matanya. Ditajamkannya telinganya.Suara dari kamar sebelah. Bima!. Segera Nindya bangun lalu keluar dari kamar. Diketuknya pintu Bima namun tak ada jawaban sementara suara raungan itu semakin terdengar.Nindya membuka pintu dan pemandangan yang pertama dilihatnya adalah tubuh Bima meringkuk di lantai. Tangannya memegang perut, keringatnya bercucuran.Dengan cepat Nindya berjongkok dan memeriksa Bima. Tak ada luka, jelas rasa sakit ini dari dalam. Diambilnya ponsel dari kamarnya lalu dengan tangan bergetar diteleponnya ambulans.“Bim ....” Nindya terus menerus memegang tangan suaminya.Bi Ijah sudah dibangunkan, tapi tak ada apa pun yang bisa mereka lakukan selain menunggu ambulans datang.“Sakit, Nin ....” Hanya itu kalimat yang terus diulang-ulang Bima sambil memegang perutnya. Keringatnya tak berhenti, badannya dingin

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 18

    “Bim ....” Nindya mengerjap-ngerjapkan matanya. Nyenyak sekali tidurnya kali ini. “Kau baru pulang?” tanyanya melihat Bima masih memakai baju kerja.Bima mengangguk sambil tersenyum padahal kakinya sudah mati rasa karena berjongkok dari tadi. Melihat Nindya bangun lalu duduk di tempat tidur, Bima ikut berdiri. Dia ingin duduk di samping Nindya, melepas rindu, tapi Bima tahu Nindya akan melarangnya.“Gantilah pakaianmu dulu. Aku akan menunggu di sini.” Nindya tersenyum sambil suaminya yang mematung.Bima menganggukkan kepalanya. “Tunggu ...,” katanya, seakan takut Nindya akan menghilang saat dia kembali.Nindya memandang tubuh suaminya yang menghilang ke kamar mandi. Lalu, dia melangkahkan kakinya ke dapur. Sebuah cangkir diisi teh hangat. Entah kapan terakhir kali dia membuatkan minuman untuk Bima.Setelah masuk ke dalam kamarnya, Bima sudah duduk di tepi ranjang. Wajahnya lebih segar meski rambut-rambut halus di dagunya juga semakin terl

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 17

    Dua koper berukuran sedang kini sudah berada di ruang tamu. Hanya itu yang Nindya bawa dari rumahnya empat bulan lalu, pakaian dan beberapa barang pribadi lainnya.Saat tinggal di apartemen pun Nindya tak banyak membeli barang lain. Kini baru disadarinya, sejak awal, dia memang pergi untuk kembali.Nindya sudah meminta ijin libur hari ini. Dari pagi, sudah dikepaknya barang. Dikosongkannya meja kerja, dibuangnya isi dapur dan lemari es. Dia tak suka meninggalkan sampah. Siang ini, dia sudah siap untuk pulang.Nindya duduk di ruang tamu, dilihatnya dua koper yang nanti akan dibawanya kembali pulang. Matanya menerawang ke penjuru apartemennya. Dia sudah mendapatkan apa yang dia inginkan di sini yaitu waktu dan tempat untuk berpikir.Dia mengingat cerita Dewi kemarin. Dipanggilnya kembali memori tentang Papanya. Prasetyo selalu hangat padanya. Memeluknya, memamerkan dirinya pada rekan bisnisnya kadang.Dirinya masih terlalu kecil untuk memah

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 16

    Mobil Nindya berhenti di jalanan yang sudah dihafalnya dengan baik. Daun-daun kering yang beterbangan menyambutnya. Bi Ijah pasti belum sempat menyapu halaman.Dibukanya pintu pagar yang jarang dikunci jika siang. Dipandanginya rumahnya sesaat, tak banyak berbeda dari saat mereka membelinya dulu. Nindya bahkan hafal berapa langkah dari pagar menuju pintu utama.Diketuknya pintu. Ada bel di pagar namun sengaja tak dipencetnya, khawatir Bi Ijah sedang tidur siang. Diketuknya lagi pintu rumahnya sendiri.“Nduk...” sapa Bi Ijah setelah membuka pintu. Tubuhnya langsung memeluk Nindya.Dengan rasa bersalah dan rindu, dipeluknya kembali Bi Ijah yang sudah lama mengenalnya. Bi Ijah adalah pelayan Mama yang sejak dulu ditugaskan untuk menjaga Nindya. Nindya membawa Bi Ijah setelah dia dan Bima menikah.Saat Nindya memutuskan untuk pergi dari rumah, ia hanya pamit tanpa mengatakan alasannya pada Bi Ijah. “Bi... Maaf ya, Bi, Nindya tidak pernah menjenguk Bi Ijah.” Seharusnya disempatkannya walau

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 15

    Nindya mematikan api kompor lalu mulai menata makanan matang di atas piring saji. Dia jarang sekali memasak. Hanya sesekali saat Bima ingin makan sesuatu yang Bi Ijah tidak bisa lakukan.Malam ini Dewi akan datang ke apartemennya. Nindya ingin menjamu Mamanya. Sejak prahara rumah tangganya, acara makan malam keluarga sudah 3 kali tidak diadakan.Ditatanya makanan di meja makan sederhana. Tak semewah hidangan dari Bi Suti tapi Nindya merasa cukup bangga akan masakannya. Dia pun merindukan Dewi.Ingin Nindya pergi ke Mamanya untuk bercerita, atau sekadar agar dia tak merasa sendirian. Namun, dia tahu posisi Mamanya juga tidak mudah. Ada Laras di sana.Kenapa harus Laras, Bim? Pikir Nindya.Pukul setengah tujuh malam, pintu apartemen Nindya diketuk dari luar. Buru-buru dibukanya pintu tersebut. Wajah Dewi yang selalu memancarkan kesan damai muncul di baliknya.“Ma...” sambut Nindya sambil memeluk Dewi.“Nin.” Dewi memeluk putrinya kembali. Dahsyat sekali prahara keluarga ini hingga mampu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status