Setelah memarkirkan mobilnya, Nindya tak peduli dengan perutnya yang keroncongan. Dia bergegas masuk ke dalam kamar. Tak ada makan malam di rumah Mama tadi. Laras pingsan sebelum mereka sempat makan.
Nindya melihat foto pernikahan dirinya dan Bima. Senyum bahagia menghiasi wajah mereka kala itu. Mereka sangat bahagia, meski belum dikaruniai anak, mereka bahagia. Tak mungkin Bima berselingkuh.
Pukul delapan lewat lima menit, Bima belum pulang. Biasanya makan malam di rumah Mama juga baru akan selesai pukul setengah sembilan malam. Selama dua tahun, acara Sabtu malam sebulan sekali ini tak pernah ditiadakan.
Di sela kesibukan semua orang, acara makan malam di minggu terakhir itu akan membuat keempat orang berkumpul. Biasanya Bima sangat bersemangat. Dia akan bertemu Mama yang bukan hanya menganggapnya menantu tapi juga anak laki-lakinya sendiri.
Nindya masih memikirkan kata-kata Laras. Laras mencintai Bima sejak lama. Sejak kapan?
Mereka hanya bertemu sebulan sekali jika tak ada acara keluarga lainnya. Atau...mereka bertemu diam-diam di luar?
Nindya menenangkan pikirannya sendiri lagi. Semua ini belum tentu benar, Nindya. Dengan tak sabar, ditunggunya Bima pulang.
Pukul sembilan lewat sepuluh menit, suara mobil Bima terdengar memasuki pelataran rumah. Tak lama, langkah kakinya mendekati kamar, lalu pintu kamar dibuka dari luar.
“Nin...” Bima meletakkan tas kerjanya sembarangan. Wajahnya terkejut melihat Nindya yang sembab. “Ada apa?” Dia bergegas duduk di sebelah Nindya lalu memegang bahunya.
Nindya mengambil tangan Bima lalu menggenggamnya. “Laras tadi pingsan. Dia hamil dan... dia bilang itu anakmu. Itu tidak benarkan, Bim?”
Nindya meremas tangan Bima. Dia menunggu momen di mana Bima akhirnya bisa membebaskannya dari prasangka yang teramat menyakitkan. Tapi momen itu tak kunjung ada.
Wajah Bima pias. Dialihkan pandangannya dari tatapan Nindya. Tangannya tiba-tiba menjadi dingin dalam genggaman istrinya.
Nindya memperhatikan semuanya. “Kejadian di vila itu, apa itu benar? Jawab, Bim!” tatapnya tajam dibalik matanya yang mulai berair, suaranya bergetar.
Bima kembali menatap istrinya. Hal yang sebulan ini selalu menghantuinya kini hadir dalam bentuk nyata. “Apa yang Laras ceritakan?” Namun dia masih berharap Laras memegang janjinya.
Nindya kontan melepaskan genggaman tangannya lalu menepis tangan Bima dengan kasar. Dia berdiri lalu mengatur nafasnya. “Katakan, Bim. Apa itu benar?”
Bima menghembuskan napas cepat. Jantungnya berdebar kencang. Kini dia tahu, tak ada ruang lagi untuk mengelak.
“Aku mabuk, Nin. Aku sudah lama tidak minum. Aku mengira Laras adalah dirimu.” Tangannya terangkat untuk menggapai istrinya, namun sekali lagi Nindya menepisnya dengan kasar. “Aku bersumpah, Nin.”
Mendengarnya sekali lagi dari mulut Bima jauh lebih menyakitkan daripada saat Nindya mendengarnya dari Laras. Tubuh Nindya terhuyung ke belakang. Tangisnya tak tertahan lagi.
Bima berdiri untuk memeluk istrinya tapi Nindya mendorongnya berkali-kali. “Jangan sentuh aku!” teriaknya.
“Aku menyesal, Nin. Sungguh aku tidak bermaksud menyakitimu.” Napas Bima lebih pendek dari sebelumnya. Satu tangannya mengacak sendiri rambutnya yang tebal.
“Kau punya banyak waktu untuk mengatakannya padaku, Bim. Tapi kau memilih diam. Kau jahat, Bima.” Tubuh Nindya terjatuh di lantai.
Bima mendekati istrinya. Dengan perlahan, dia memegang pundak Nindya. “Setelah kejadian itu, setiap malam aku ketakutan. Aku takut hal ini terjadi, Sayang. Aku takut kehilanganmu.”
Bima mengelus rambut Nindya. “Aku sungguh menyesal, aku muak dengan diriku sendiri,” lanjutnya. “Aku dan Laras sama-sama menyesal. Tak ada apa pun lagi yang terjadi setelah itu, Nin. Sungguh.”
Tak ada respon dari Nindya kecuali suara isaknya. “Aku minta maaf. Akan kulakukan apa saja untuk menebusnya, Sayang.” Bima merengkuh tubuh istrinya.
Hanya satu detik tubuh Nindya berada di pelukan Bima, Nindya kembali mendorong Bima. Tatapannya nanar kali ini. “Kau memang harus menebusnya, Bim. Laras hamil!”
Mata Bima membelalak. “Apa? Tidak mungkin,” sanggahnya.
Bima mengingat malam laknat itu. Hanya semalam, mana mungkin? Sedangkan dia dan Nindya sudah berusaha selama dua tahun untuk mendapatkan momongan.
“Kenapa tidak mungkin?” suara Nindya menyentak lamunan Bima. “Kau pikir Laras berbohong? Laras tadi pingsan. Aku tak sengaja melihat tiga test pack yang semuanya bertanda positif.”
“Bisa jadi salah. Sudahkah dia ke dokter?” Suara Bima meninggi. “Bisa juga... bisa juga...” Bima tertunduk lesu. Saat mabuk Bima mungkin tidak menyadarinya, namun setelah Bima sadar akan perbuatannya, dia menyadari kalau Laras masih perawan.
“Kalau itu bukan anakmu?” Nindya menimpali. Tapi Bima tak menjawab apa pun. Dia hanya tertunduk lesu menatap lantai.
Nindya tersenyum getir. “Hamil atau tidak, anakmu atau bukan, tidak menghapus pengkhianatanmu, Bim. Teganya kau melakukannya.”
Nindya mengangkat tubuhnya. Satu tangan menghapus air matanya. “Tolong, tidurlah di kamar tamu.” Nindya berjalan ke meja rias lalu duduk menghadap cermin, membelakangi Bima.
Perlahan Bima bangkit lalu menghampiri istrinya. Namun dia tak mencoba meraih Nindya kali ini. “Aku sungguh menyesal, Nindya. Tak pernah ada keinginanku untuk mengkhianatimu. Aku akan bicara dengan Laras besok.”
Bima melangkah menuju pintu keluar. Setelah membuka pintu, dia menoleh lagi pada istrinya yang masih mematung melihat kaca. “Aku hanya mencintaimu, Nindya. Aku minta maaf.”
Setelah tubuh suaminya menghilang di balik pintu, tangis Nindya pecah kembali. Hilang sudah kepercayaannya pada Bima.
Hingga sejauh mana perselingkuhan mereka? Apa mungkin mereka hanya melakukannya sekali? Apa hanya Laras, ataukah Bima juga memiliki rasa yang sama?
Apakah selama ini dia menjadi badut di antara mereka? Sebulan dia masih seatap dengan Bima sejak kejadian di vila. Betapa bodohnya.
Pertanyaan menyakitkan dan menggugah rasa marah menghantam pikirannya satu per satu.
Malam itu, tak ada satu pun yang tertidur lelap di rumah, kecuali Bi Ijah.
Nindya terpaku melihat sosoknya sendiri di depan cermin. Sebuah gaun terusan berwarna biru muda membalut tubuhnya yang langsing. Dia masih terlihat cantik dan menarik meski usianya tak bisa dibilang muda.Tapi, mungkin matanya mengecohnya. Mungkin teman-temannya hanya ingin menyenangkannya. Nyatanya, suaminya berselingkuh. Dengan adiknya sendiri.Dilepaskannya gaun biru muda itu. Digantinya dengan kemeja lengan panjang dan bawahan setengah betis, seperti yang biasa dia gunakan jika akan keluar dengan temannya.Malam ini Nindya menyetujui ajakan makan malam dengan Bima. Ini adalah kali pertama sejak tiga bulan setelah Nindya pindah ke apartemennya.Dia belum memaafkan Bima, dan mungkin tak akan pernah. Namun, Nindya ingin melihat, apakah masih ada yang bisa diselamatkan dari pernikahan ini. Bisakah dia melihat Bima kembali sebagai suami.Bunyi pintu apartemen diketuk dari luar. Nindya melihat jam dinding. Itu pasti Bima.Diambilny
Bau pengharum ruangan tercium ketika Nindya berjalan ke luar dari kantornya. Bangku Risa sudah kosong, begitu juga bangku-bangku lainnya. Jam makan siang memang sudah dimulai sejak lima belas menit yang lalu.Nindya menggunakan lift menuju lantai dasar. Sebenarnya di gedung ini ada food court yang biasa dijadikan sasaran tempat makan siang para pegawai. Namun, Nindya sedang tak ingin ke sana.Sejak rumor tentang rumah tangganya, dia bisa melihat tatapan selidik para rekan kerjanya. Hal ini karena Nindya tak pernah mengatakan apa pun soal kenapa dia belum kembali ke rumah. Tak hadirnya Bima di acara kantor kemarin juga menjadi petanda yang semakin menguatkan.Nindya hanya berjalan beberapa meter di pedestrian sebelum membelokkan kakinya ke sebuah restoran bergaya eropa. Wangi kopi dan pasta langsung menyambut hidungnya. Dipilihnya tempat duduk tepi jendela, tak terlalu dekat pintu masuk namun juga tidak terlalu masuk ke dalam.Setelah seorang pelay
Nindya melihat ponselnya. Dibacanya pesan dari Bima. Suaminya kembali mengajaknya makan malam.Sudah dua bulan lebih. Sudah mampukah dia melihat Bima kembali? Apakah dia harus kembali pada suaminya?Dilihatnya apartemen yang dari dulu tak pernah seperti rumah. Bagi Nindya, ini adalah tempat singgah setelah kerja, sebelum kerja kembali.Dulu Bima adalah rumahnya, namun sekarang, melihat Bima adalah mengingat kembali lukanya. Tapi Nindya tahu dia tak bisa seperti ini terus menerus. Dia harus membuat pilihan.Digulirnya lagi pesan di ponselnya. Ada pesan dari Sisca. Jangan lupa besok jam 11 aku jemput. Acara kantor. Makan siang bersama para penulis dan perilisan beberapa buku baru.Sejak gosip dirinya pindah ke apartemen, teman-temannya lebih sering mengajaknya pergi. Apalagi sudah dua bulan lebih dia belum kembali ke rumah. Entah rumor apa yang sudah beredar.Dirinya sendiri tak pernah ditanyai langsung, pun dia tak perna
Bima membuka pintu kamar tidurnya. Kamar tidur dirinya dan Nindya dulu. Sekarang, hanya dia yang selalu tidur di sana. Dilemparnya tas kerja ke atas meja. Jika ada Nindya, pasti tak akan dilakukannya. Istrinya sangat menyukai keteraturan. Tak ada orang yang diajaknya berbicara kecuali bi Ijah di dapur. Itu pun tak dilakukannya lama-lama. Bima tak tahan melihat tatapan bi Ijah yang mengasihaninya. Ah, apakah dirinya masih pantas dikasihani? Dilangkahkannya kakinya ke kamar mandi. Hanya suara air mengalir yang terdengar. Sebenarnya tak ada yang membuatnya semangat untuk pulang setelah kerja. Tak ada siapa-siapa yang menunggu. Tapi, mau ke mana dia? Semua temannya selalu sibuk dengan pekerjaan dan keluarga. Toh mereka memang bukan remaja yang sering berkumpul setelah kerja. Karyawannya juga enggan kalau harus menemani bos yang sedang tak ada istri di rumah. Pergi keluar sendiri? Bim
Dewi termenung di teras rumahnya. Suara gemericik air kolam biasanya mengusik untuk memberi makan ikan-ikan hias kesayangannya. Tapi sudah lama tidak pernah lagi dia lakukan. Untung masih ada Suti yang tak lupa menggantikannya. Sabtu kemarin seharusnya dia dan anak-anaknya berkumpul untuk makan bersama. Hari yang selalu menambah semangatnya di usia senja. Namun sejak kejadian antara Laras dan Bima, jangankan berkumpul bersama, kini ketiga anak dan menantunya mungkin sudah jarang saling menyapa. Lamunannya dikejutkan oleh hadirnya Suti yang hendak keluar. “Mau ke mana, Suti?” tanya Dewi. “Mau beli rujak di perempatan, Bu. Mbak Laras ingin rujak,” jawab Suti. Makan rujak kok pagi-pagi, pikir Dewi lalu tersadar kalau anaknya sedang mengandung. Dia mengangguk pada Suti dan melihatnya pergi berlalu keluar. Dewi mengangkat tubuhnya. Dia berjalan masuk menuju ruang keluarga. Meski sebenarnya tak ada y
Nindya membelokkan stir mobilnya di tikungan terakhir menuju gedung apartemen tempat dia tinggal. Matanya melirik ke kiri jalan. Sebuah mobil dengan plat nomor yang sudah dia hafal, terparkir seperti beberapa hari terakhir. Mobil Bima. Nindya melewatinya seolah dia tidak menyadari kalau suaminya beberapa kali sengaja menunggunya pulang. Biasanya, setelah Nindya sampai lalu melihat ponsel, dia akan mendapati pesan Bima yang ingin menemuinya. Pasti Bima mengirim dari mobilnya. Sudah dua minggu, mungkin dia harus memberi Bima kesempatan bicara, atau setidaknya bertemu. Dari lubuk hatinya, Nindya tak menyangkal kalau dirinya pun merindukan Bima. Ditaruhnya tas kerja di atas meja dengan hati-hati lalu dilangkahkan kakinya ke depan jendela. Dibukanya tirai yang menutupi kaca bening menghadap jalan raya di depan gedung apartemennya. Mobil Bima tidak terlihat dari sana, tapi Nindya bisa membayangkan suaminya masih menunggu di bawah.