Nindya membelokkan stir mobilnya di tikungan terakhir menuju gedung apartemen tempat dia tinggal. Matanya melirik ke kiri jalan. Sebuah mobil dengan plat nomor yang sudah dia hafal, terparkir seperti beberapa hari terakhir. Mobil Bima.
Nindya melewatinya seolah dia tidak menyadari kalau suaminya beberapa kali sengaja menunggunya pulang. Biasanya, setelah Nindya sampai lalu melihat ponsel, dia akan mendapati pesan Bima yang ingin menemuinya. Pasti Bima mengirim dari mobilnya. Sudah dua minggu, mungkin dia harus memberi Bima kesempatan bicara, atau setidaknya bertemu. Dari lubuk hatinya, Nindya tak menyangkal kalau dirinya pun merindukan Bima. Ditaruhnya tas kerja di atas meja dengan hati-hati lalu dilangkahkan kakinya ke depan jendela. Dibukanya tirai yang menutupi kaca bening menghadap jalan raya di depan gedung apartemennya. Mobil Bima tidak terlihat dari sana, tapi Nindya bisa membayangkan suaminya masih menunggu di bawah. “Naiklah kalau mau,” tulis Nindya untuk Bima. Kurang dari sepuluh menit, pintu apartemen Nindya diketuk dari luar. Nindya ragu untuk membukanya. Baru ketukan ketiga, Nindya memaksakan diri memutar gagang pintunya. “Nin,” sapa Bima sambil tersenyum. Dia masih mengenakan baju kerja. “Masuklah,” kata Nindya sambil memberi ruang untuk Bima melangkah ke dalam. Bima duduk di sofa ruang tamu sambil melihat sekeliling ruangan. Dia hanya pernah sekali masuk ke apartemen Nindya, sebelum istrinya mengancam akan pindah jika dia terus kesini. Nindya meletakkan sebotol air mineral di meja lalu duduk di depan Bima. “Kau sehat?” tanyanya. Dilihatnya Bima dari ujung rambut hingga kaki. Suaminya tampak sehat, hanya mungkin sudah lama Bima tidak bercukur. Warna dasinya tidak sesuai dengan pakaiannya, pikir Nindya. Biasanya dia yang akan menyiapkan. “Sehat. Kau sendiri? Sudah makan malam?” tanya Bima kembali. Percakapan mereka sama sekali tidak mirip suami-istri. Nindya menggeleng. “Nanti saja,” jawabnya. “Berhentilah menungguiku, Bim. Aku bisa menjaga diriku,” lanjut Nindya. “Kalau begitu pulanglah. Kau istriku, Nindya. Tak sepatutnya kita tinggal terpisah,” jawab Bima sambil mencondongkan tubuhnya. “Tak seharusnya juga kau tidur dengan orang lain.” Nindya sendiri terkejut dengan kalimat yang barusan dia ucapkan, tapi dia tak ingin meralatnya. “Aku masih ingin tinggal di sini,” tambahnya. “Sampai kapan?” Bima menghembuskan napas dengan cepat lalu beranjak dari duduknya dan memilih duduk di sebelah Nindya. “Nin...” dipegangnya tangan istrinya. “Aku menyesal. Aku mencintaimu. Aku tidak memiliki perasaan lebih untuk Laras atau wanita lainnya. Tidak bisakah kau memaafkanku?” Cukup lama mereka saling menatap mata satu sama lain. Melepaskan sejenak bulir-bulir rindu yang tercampur sesal dan emosi. Nindya menarik tangannya. Dibuangnya pandangan ke tempat lain. Dia rindu, tapi melihat Bima, hatinya kembali sakit. “Mudah sekali bagi kalian untuk meminta maaf, untuk memintaku bersikap seolah tak ada apapun yang terjadi.” Pandangan Nindya buram. “Bagaimana bisa aku memaafkanmu kalau melihatmu saja hatiku sakit, Bim.” Bima menelan ludahnya. “Itu khilaf, Nin. Aku mabuk. Aku hanya melakukan kesalahan sekali, tak bisakah kau memaafkanku kali ini saja?” Bima mendekatkan tubuhnya ke sisi Nindya. “Bagiku sama saja Bima!” Dipandanginya suaminya. Matanya menyipit tajam. “Kau selalu menggunakan alasan ‘mabuk’, ‘khilaf’...” Nindya berpikir, mencari alasan yang sering dipakai suaminya, “...’hanya sekali’, lalu aku akan lebih mudah menerimanya? Kau salah!” Dindingnya runtuh lagi. “Semua itu tidak mengubah fakta kalau kau menghianatiku, Bim. Dan itu kau lakukan dengan adikku sendiri!” Nindya mendorong tubuh Bima dengan keras. Bima terjatuh dari sofa namun buru-buru mendekat pada Nindya kembali. “Aku tahu... aku tahu aku salah dan itu tak mungkin terhapus. Aku hanya minta kesempatan lagi, Nindya. Aku tidak ingin kehilangan dirimu.” “Kau tahu apa yang paling menyakitkan, Bim?” Nindya memandang Bima dengan tajam. “Bukti penghianatanmu akan menjadi keponakanku. Tidakkah kau memikirkan perasaanku? Aku harus menanggungnya seumur hidup. Meskipun aku ingin melupakannya, aku tak akan bisa!” Suara Nindya meninggi sesuai dengan amarah yang terpendam di dadanya. Mendengar itu Bima mundur perlahan. Selama ini dia hanya memikirkan dirinya. Bahwa dia hanya khilaf, hanya sekali dan tak akan terulang. Bahwa ini adalah kesalahannya yang pertama dan seharusnya Nindya bisa memberinya kesempatan. Belum pernah Bima berpikir dari sisi Nindya sebagai kakak Laras dan calon tante bagi anaknya. Bima terdiam. “Aku perlu waktu untuk berpikir, Bim.” Kata Nindya kembali. “Aku perlu berpikir, apakah aku akan mau dan mampu menerimanya, atau...” “Atau...?” tanya Bima. “Atau aku harus memilih antara diriku dan kalian,” jawab Nindya sambil menghapus bekas air matanya. “Pulanglah, Bim.” Nindya bangkit dari duduknya. Dia berjalan menuju pintu keluar lalu membukanya. Dengan terpaksa Bima pun berdiri dan mengikuti istrinya. Dengan ragu, dipeluknya Nindya dan dibisikkan ketakutannya, “jangan tinggalkan aku, Nin.” Setelah tak ada respon apapun dari Nindya, Bima melepaskan pelukannya dan berjalan gontai melewati pintu keluar. Sepeninggal Bima, Nindya duduk di tepi tempat tidurnya. Dilihatnya kamarnya yang kosong. Kehidupan yang dijalaninya dua minggu ini. Diingatnya saat-saat bersama Bima di rumah. Meski hanya berdua, namun tak pernah ada rasa sepi di sana. Sambil berpelukan di tempat tidur, Nindya akan bercerita mengenai kesibukannya di kantor. Tentang naskah baru yang dibacanya, atau penulis baru yang idealis. Bima akan mendengarkan sambil sesekali berkomentar. Bima sendiri jarang bercerita soal pekerjaannya. Baginya pekerjaannya bukan hal yang menarik untuk diceritakan. Memimpin rapat, memeriksa dokumen dan bertemu klien bukan pembicaraan pengantar tidur. Nindya lalu mengingat masa mereka pacaran. Bima yang lebih dahulu menyatakan perasaannya, dan Nindya menyambutnya. Nindya jatuh hati pada Bima yang gigih, berjiwa sosial tinggi serta apa adanya. Mereka berpacaran selama dua tahun sambil menunggu Bima merintis karirnya dari nol. Setelah Bima memiliki penghasilan cukup, mereka menikah. Nindya sendiri saat itu sudah menjabat sebagai Editor Madya di perusahaan penerbitan tempat dia bekerja saat ini. Selama dua tahun pacaran dan empat tahun menikah, Bima adalah pasangan yang setia. Kejadian satu malam benar-benar bisa mengubah segalanya, meski disengaja atau tidak. Tapi, apakah itu benar-benar hanya kejadian satu malam? Kini Nindya bahkan tak bisa lagi mempercayai perkataan Bima dan Laras. Nindya mengambil napas panjang. Dia belum membersihkan diri. Pakaian kerja masih menempel di tubuhnya. Nindya tidak tahu sampai kapan dia akan mengasingkan diri seperti ini. Akankah suatu hari nanti dia bisa menjawab pertanyaan Bima untuk kembali? Apakah dia bisa bertemu keluarganya dengan perasaan yang sama? Nindya tak ingin kehilangan Bima apalagi keluarganya. Tapi dia juga belum yakin bisa menerima.Nindya terpaku melihat sosoknya sendiri di depan cermin. Sebuah gaun terusan berwarna biru muda membalut tubuhnya yang langsing. Dia masih terlihat cantik dan menarik meski usianya tak bisa dibilang muda.Tapi, mungkin matanya mengecohnya. Mungkin teman-temannya hanya ingin menyenangkannya. Nyatanya, suaminya berselingkuh. Dengan adiknya sendiri.Dilepaskannya gaun biru muda itu. Digantinya dengan kemeja lengan panjang dan bawahan setengah betis, seperti yang biasa dia gunakan jika akan keluar dengan temannya.Malam ini Nindya menyetujui ajakan makan malam dengan Bima. Ini adalah kali pertama sejak tiga bulan setelah Nindya pindah ke apartemennya.Dia belum memaafkan Bima, dan mungkin tak akan pernah. Namun, Nindya ingin melihat, apakah masih ada yang bisa diselamatkan dari pernikahan ini. Bisakah dia melihat Bima kembali sebagai suami.Bunyi pintu apartemen diketuk dari luar. Nindya melihat jam dinding. Itu pasti Bima.Diambilny
Bau pengharum ruangan tercium ketika Nindya berjalan ke luar dari kantornya. Bangku Risa sudah kosong, begitu juga bangku-bangku lainnya. Jam makan siang memang sudah dimulai sejak lima belas menit yang lalu.Nindya menggunakan lift menuju lantai dasar. Sebenarnya di gedung ini ada food court yang biasa dijadikan sasaran tempat makan siang para pegawai. Namun, Nindya sedang tak ingin ke sana.Sejak rumor tentang rumah tangganya, dia bisa melihat tatapan selidik para rekan kerjanya. Hal ini karena Nindya tak pernah mengatakan apa pun soal kenapa dia belum kembali ke rumah. Tak hadirnya Bima di acara kantor kemarin juga menjadi petanda yang semakin menguatkan.Nindya hanya berjalan beberapa meter di pedestrian sebelum membelokkan kakinya ke sebuah restoran bergaya eropa. Wangi kopi dan pasta langsung menyambut hidungnya. Dipilihnya tempat duduk tepi jendela, tak terlalu dekat pintu masuk namun juga tidak terlalu masuk ke dalam.Setelah seorang pelay
Nindya melihat ponselnya. Dibacanya pesan dari Bima. Suaminya kembali mengajaknya makan malam.Sudah dua bulan lebih. Sudah mampukah dia melihat Bima kembali? Apakah dia harus kembali pada suaminya?Dilihatnya apartemen yang dari dulu tak pernah seperti rumah. Bagi Nindya, ini adalah tempat singgah setelah kerja, sebelum kerja kembali.Dulu Bima adalah rumahnya, namun sekarang, melihat Bima adalah mengingat kembali lukanya. Tapi Nindya tahu dia tak bisa seperti ini terus menerus. Dia harus membuat pilihan.Digulirnya lagi pesan di ponselnya. Ada pesan dari Sisca. Jangan lupa besok jam 11 aku jemput. Acara kantor. Makan siang bersama para penulis dan perilisan beberapa buku baru.Sejak gosip dirinya pindah ke apartemen, teman-temannya lebih sering mengajaknya pergi. Apalagi sudah dua bulan lebih dia belum kembali ke rumah. Entah rumor apa yang sudah beredar.Dirinya sendiri tak pernah ditanyai langsung, pun dia tak perna
Bima membuka pintu kamar tidurnya. Kamar tidur dirinya dan Nindya dulu. Sekarang, hanya dia yang selalu tidur di sana. Dilemparnya tas kerja ke atas meja. Jika ada Nindya, pasti tak akan dilakukannya. Istrinya sangat menyukai keteraturan. Tak ada orang yang diajaknya berbicara kecuali bi Ijah di dapur. Itu pun tak dilakukannya lama-lama. Bima tak tahan melihat tatapan bi Ijah yang mengasihaninya. Ah, apakah dirinya masih pantas dikasihani? Dilangkahkannya kakinya ke kamar mandi. Hanya suara air mengalir yang terdengar. Sebenarnya tak ada yang membuatnya semangat untuk pulang setelah kerja. Tak ada siapa-siapa yang menunggu. Tapi, mau ke mana dia? Semua temannya selalu sibuk dengan pekerjaan dan keluarga. Toh mereka memang bukan remaja yang sering berkumpul setelah kerja. Karyawannya juga enggan kalau harus menemani bos yang sedang tak ada istri di rumah. Pergi keluar sendiri? Bim
Dewi termenung di teras rumahnya. Suara gemericik air kolam biasanya mengusik untuk memberi makan ikan-ikan hias kesayangannya. Tapi sudah lama tidak pernah lagi dia lakukan. Untung masih ada Suti yang tak lupa menggantikannya. Sabtu kemarin seharusnya dia dan anak-anaknya berkumpul untuk makan bersama. Hari yang selalu menambah semangatnya di usia senja. Namun sejak kejadian antara Laras dan Bima, jangankan berkumpul bersama, kini ketiga anak dan menantunya mungkin sudah jarang saling menyapa. Lamunannya dikejutkan oleh hadirnya Suti yang hendak keluar. “Mau ke mana, Suti?” tanya Dewi. “Mau beli rujak di perempatan, Bu. Mbak Laras ingin rujak,” jawab Suti. Makan rujak kok pagi-pagi, pikir Dewi lalu tersadar kalau anaknya sedang mengandung. Dia mengangguk pada Suti dan melihatnya pergi berlalu keluar. Dewi mengangkat tubuhnya. Dia berjalan masuk menuju ruang keluarga. Meski sebenarnya tak ada y
Nindya membelokkan stir mobilnya di tikungan terakhir menuju gedung apartemen tempat dia tinggal. Matanya melirik ke kiri jalan. Sebuah mobil dengan plat nomor yang sudah dia hafal, terparkir seperti beberapa hari terakhir. Mobil Bima. Nindya melewatinya seolah dia tidak menyadari kalau suaminya beberapa kali sengaja menunggunya pulang. Biasanya, setelah Nindya sampai lalu melihat ponsel, dia akan mendapati pesan Bima yang ingin menemuinya. Pasti Bima mengirim dari mobilnya. Sudah dua minggu, mungkin dia harus memberi Bima kesempatan bicara, atau setidaknya bertemu. Dari lubuk hatinya, Nindya tak menyangkal kalau dirinya pun merindukan Bima. Ditaruhnya tas kerja di atas meja dengan hati-hati lalu dilangkahkan kakinya ke depan jendela. Dibukanya tirai yang menutupi kaca bening menghadap jalan raya di depan gedung apartemennya. Mobil Bima tidak terlihat dari sana, tapi Nindya bisa membayangkan suaminya masih menunggu di bawah.