Share

Setetes Teduh

Author: Alexa Rd
last update Huling Na-update: 2025-05-28 23:25:51

Nindya memicingkan matanya, memandang layar laptop yang berisi ribuan teks dari naskah yang dikirim oleh seorang pengarang baru. Sesekali tangannya menuliskan sesuatu di sebuah notebook yang tergeletak di meja. Andai tak ada masalah dengan rumah tangganya, naskah ini pasti sudah selesai dibaca dua hari lalu.

Sudah seminggu Nindya menempati apartemennya sendiri. Empat hari pertama, Bima selalu datang mengajaknya bicara. Belum pernah Nindya menemuinya lebih dari di depan pintu.

Rasanya hatinya masih sakit. Sulit sekali melihat Bima tanpa mengingat apa yang sudah dilakukannya dengan Laras.

Hari kelima, Nindya mengancam akan pindah apartemen dan tidak memberi Bima alamat barunya jika dia terus menerus datang. Dua hari ini, hidupnya lebih tenang.

Meski begitu, tidak dengan pikirannya. Setiap malam, Nindya mempertanyakan pernikahannya. Mempertanyakan apa arti dirinya untuk Bima.

Setelah pekerjaan di kantor beres, dia akan segera pulang lalu memasak untuk makan malamnya sendiri. Untuk mengisi waktu dia akan meneruskan pekerjaan yang sengaja dibawanya pulang ke rumah untuk menemani sekaligus mengalihkan pikirannya.

Jika pada Bima dia bisa tegas untuk tak ingin bertemu, tidak demikian pada Dewi. Pulang kerja nanti dia berjanji akan menemui Mamanya.

Sebenarnya dia enggan ke rumah Dewi, Nindya belum mau bertemu dengan Laras. Namun dia juga tidak tega meminta Dewi yang datang ke apartemennya.

“Nin,” suara perempuan menarik kesadaran Nindya.

Dia menoleh ke asal suara. Setengah tubuh Sisca sudah masuk ke dalam kantornya. Dia bahkan tidak mendengar suara pintu dibuka.

“Ya, Sis?”

“Pulang kantor, kita keluar yuk. Lama gak ngumpul,” ajak Sisca.

Nindya memegangi kepalanya. “Aduh, maaf Sis, aku sudah ada janji dengan Mama,” jawab Nindya.

Sisca tersenyum lalu melangkah masuk dan menutup pintu. “Kalau kamu butuh sesuatu, atau mungkin butuh teman cerita, jangan segan hubungi aku, ya,” kata Sisca hati-hati.

Dahi Nindya mengerut. “Kenapa?” tanyanya bingung. Dia dan Sisca memang dekat, tapi belum pernah Sisca berkata seperti itu sebelumnya.

“Aku mendengar rumor...” Sisca meringis. “Biasalah... banyak telinga di kantor.” Mata Sisca membuat kode yang menunjuk ke arah meja Risa di depan kantor Nindya.

“Ah...” seru Nindya baru mengerti. Seharusnya dia tidak minta tolong Risa untuk mencari apartemen.

Nindya mengangguk. “Terima kasih, Sis.”

Sisca tersenyum lalu memutar badan dan keluar dari ruangan.

Pantas dia sering mendapati teman-temannya memandangnya dengan tatapan berbeda beberapa hari ini. Ternyata sudah ada rumor yang beredar. Nindya menghembuskan nafas panjang lalu kembali menatap layar laptopnya.

= = = = =

 “Sudah ditunggu ibu Dewi di kamar Beliau, mbak,” kata Suti lalu menutup pintu di belakang Nindya.

Nindya mengambil napas panjang sebelum  melangkah masuk. Belum pernah dirinya seenggan ini masuk ke rumah Mamanya, rumah masa kecilnya.

Namun apa yang dikhawatirkannya tidak terjadi. Hingga di depan pintu kamar Dewi, Nindya tidak bertemu Laras.

“Ma...” panggil Nindya sambil mengetuk pintu pelan.

“Masuk, Nin,” perintah Dewi dari dalam.

Dewi menyuruh Nindya duduk di sofa kecil yang ada di depan tempat tidur lalu dia duduk di sebelah putri sulungnya. Di depan mereka sudah tersedia dua cangkir teh hangat yang pastinya sudah dipersiapkan Suti sebelum Nindya datang.

“Kenapa sulit sekali bertemu Mamamu? Apa kamu juga marah dengan Mama?” tanya Dewi sambil membelai kepala Nindya.

Mata Nindya berair. Sepertinya sudah lama sekali tak ada yang mengelus kepalanya seperti ini. Yang terakhir tentu saja Bima.

“Maaf, Ma.” Nindya memeluk tubuh Dewi.

Tumpahlah ketegaran yang setiap pagi hingga sore dia kenakan. Nindya menangis di bahu Mamanya. Tangisannya lebih dalam, lebih jujur dibanding tangisan malam-malamnya di apartemen.

Dewi ikut menangis sambil terus mengelus kepala Nindya. “Menangislah, Nak,” kata Dewi disela isaknya sendiri.

“Kenapa Bima dan Laras tega pada Nindya, Ma? Nindya salah apa, Ma?” Bahu Nindya naik turun. Napasnya tersengal-sengal beradu dengan tangisnya.

Dewi menghapus air matanya sendiri. “Tidak ada yang salah dengan dirimu, Nindya. Jangan berpikir seperti itu. Apa yang mereka lakukan, itu kesalahan mereka sendiri.”

Sambil terus mengelus kepala hingga punggung putrinya, Dewi menunggu sampai tangis Nindya mereda.

“Aku dengar, kamu pindah ke apartemen dekat kantormu?” tanya Dewi perlahan.

Nindya mengangguk. “Iya, Ma. Nindya tidak bisa serumah dengan Bima.”

Dewi menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Mama mengerti. Kamu memang perlu menenangkan diri.”

“Sepertinya, Nindya tidak bisa lagi melihat Bima seperti dulu, Ma. Setiap kali melihat wajahnya, hati Nindya terasa sakit. Selalu terbayang apa yang Bima lakukan dengan Laras.”

Nindya menutup matanya sejenak, menghalau bayangan yang muncul sekelebat.

Dewi menghela napas. Dipegangnya wajah Nindya.

“Kamu butuh waktu, Nin. Kamu sakit hati, dan itu sangat wajar. Kepercayaanmu juga terkoyak.” Dewi lalu terdiam cukup lama.

“Mama tak ingin terlalu ikut campur soal kamu dan Bima. Mama ingin bertemu karena Mama ingin minta maaf, Nin.” Dewi memandang mata Nindya dengan penuh haru.

“Kenapa Mama minta maaf pada Nindya? Nindya yang harusnya minta maaf karena membuat Mama sedih soal rumah tangga Nindya.”

Dewi menggeleng. “Mama minta maaf karena Laras.” Mata Dewi berair kembali. Satu dua tetes bening kembali turun di pipinya.

“Mama minta maaf karena Mama gagal mendidik adikmu. Mama tak habis pikir...” Dewi tidak bisa meneruskan kalimatnya. Air matanya turun dengan deras.

Nindya ikut menangis. “Nindya tidak menyalahkan Mama karena Laras. Dia sudah besar, Ma.”

“Kalian berdua adalah anak Mama. Kebahagiaan Mama. Apa yang Laras lakukan, juga menghancurkan hati Mama.”

Nindya memeluk Mamanya. Tentu saja masalah ini mempengaruhi Dewi. Kedua putrinya kini tak saling bicara.

Sejak mengetahui kejadian itu, hati Dewi terasa sakit setiap melihat Laras, begitu pun jika Dewi mengingat Nindya. Tanpa diketahui kedua anaknya, Dewi seperti diperlihatkan lagi pada peristiwa yang terjadi pada dirinya dan Prasetyo, suaminya.

“Mama jangan terlalu memikirkan masalah ini. Ini adalah masalah kami. Jangan sampai Mama malah jatuh sakit.” Nindya mencoba tersenyum menatap wajah Mamanya.

Dewi mengangguk. “Kamu juga jaga kesehatan. Makan yang teratur.” Dewi memberi nasehat Nindya seperti dulu ketika dia akan tinggal di luar kota untuk magang pertamanya.

“Iya, Ma.”

Cukup lama mereka berdua saling menguatkan, hingga akhirnya Nindya pamit pada Mamanya.

Bertemu Dewi membuat Nindya teralihkan pada apa yang menyebabkannya enggan ke rumah masa kecilnya. Setelah menutup pintu kamar Dewi, Nindya berpapasan dengan Laras yang sepertinya baru saja masuk rumah.

Nindya segera menghentikan langkahnya, begitu juga Laras. Seketika, hati Nindya seperti kembali teriris pisau. Gerahamnya mengatup keras.

“Nin...” sapa Laras. Kakinya maju perlahan.

Namun Nindya membuat reaksi sebaliknya. Kakinya mundur, membuat Laras menghentikan niatnya.

Tepat di saat itu pintu kamar Dewi terbuka. Dewi keluar dan mendapati kedua putrinya saling mematung tanpa bicara.

Nindya segera tersadar. “Nindya pulang, Ma.”

Dewi mengangguk. Dia memandang punggung Nindya hingga menghilang ke ruang depan.

Setelah Nindya tak terlihat, Dewi menoleh ke arah Laras. Mereka berpandangan sejenak sebelum akhirnya Dewi masuk kembali ke dalam kamarnya.

Laras mengambil napas panjang. Dengan lunglai dia melangkah ke kamarnya. Seminggu ini, Dewi hanya bicara padanya kalau sangat perlu saja. Laras merasa sendirian.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 11

    Nindya terpaku melihat sosoknya sendiri di depan cermin. Sebuah gaun terusan berwarna biru muda membalut tubuhnya yang langsing. Dia masih terlihat cantik dan menarik meski usianya tak bisa dibilang muda.Tapi, mungkin matanya mengecohnya. Mungkin teman-temannya hanya ingin menyenangkannya. Nyatanya, suaminya berselingkuh. Dengan adiknya sendiri.Dilepaskannya gaun biru muda itu. Digantinya dengan kemeja lengan panjang dan bawahan setengah betis, seperti yang biasa dia gunakan jika akan keluar dengan temannya.Malam ini Nindya menyetujui ajakan makan malam dengan Bima. Ini adalah kali pertama sejak tiga bulan setelah Nindya pindah ke apartemennya.Dia belum memaafkan Bima, dan mungkin tak akan pernah. Namun, Nindya ingin melihat, apakah masih ada yang bisa diselamatkan dari pernikahan ini. Bisakah dia melihat Bima kembali sebagai suami.Bunyi pintu apartemen diketuk dari luar. Nindya melihat jam dinding. Itu pasti Bima.Diambilny

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 10

    Bau pengharum ruangan tercium ketika Nindya berjalan ke luar dari kantornya. Bangku Risa sudah kosong, begitu juga bangku-bangku lainnya. Jam makan siang memang sudah dimulai sejak lima belas menit yang lalu.Nindya menggunakan lift menuju lantai dasar. Sebenarnya di gedung ini ada food court yang biasa dijadikan sasaran tempat makan siang para pegawai. Namun, Nindya sedang tak ingin ke sana.Sejak rumor tentang rumah tangganya, dia bisa melihat tatapan selidik para rekan kerjanya. Hal ini karena Nindya tak pernah mengatakan apa pun soal kenapa dia belum kembali ke rumah. Tak hadirnya Bima di acara kantor kemarin juga menjadi petanda yang semakin menguatkan.Nindya hanya berjalan beberapa meter di pedestrian sebelum membelokkan kakinya ke sebuah restoran bergaya eropa. Wangi kopi dan pasta langsung menyambut hidungnya. Dipilihnya tempat duduk tepi jendela, tak terlalu dekat pintu masuk namun juga tidak terlalu masuk ke dalam.Setelah seorang pelay

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 9

    Nindya melihat ponselnya. Dibacanya pesan dari Bima. Suaminya kembali mengajaknya makan malam.Sudah dua bulan lebih. Sudah mampukah dia melihat Bima kembali? Apakah dia harus kembali pada suaminya?Dilihatnya apartemen yang dari dulu tak pernah seperti rumah. Bagi Nindya, ini adalah tempat singgah setelah kerja, sebelum kerja kembali.Dulu Bima adalah rumahnya, namun sekarang, melihat Bima adalah mengingat kembali lukanya. Tapi Nindya tahu dia tak bisa seperti ini terus menerus. Dia harus membuat pilihan.Digulirnya lagi pesan di ponselnya. Ada pesan dari Sisca. Jangan lupa besok jam 11 aku jemput. Acara kantor. Makan siang bersama para penulis dan perilisan beberapa buku baru.Sejak gosip dirinya pindah ke apartemen, teman-temannya lebih sering mengajaknya pergi. Apalagi sudah dua bulan lebih dia belum kembali ke rumah. Entah rumor apa yang sudah beredar.Dirinya sendiri tak pernah ditanyai langsung, pun dia tak perna

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 8

    Bima membuka pintu kamar tidurnya. Kamar tidur dirinya dan Nindya dulu. Sekarang, hanya dia yang selalu tidur di sana. Dilemparnya tas kerja ke atas meja. Jika ada Nindya, pasti tak akan dilakukannya. Istrinya sangat menyukai keteraturan. Tak ada orang yang diajaknya berbicara kecuali bi Ijah di dapur. Itu pun tak dilakukannya lama-lama. Bima tak tahan melihat tatapan bi Ijah yang mengasihaninya. Ah, apakah dirinya masih pantas dikasihani? Dilangkahkannya kakinya ke kamar mandi. Hanya suara air mengalir yang terdengar. Sebenarnya tak ada yang membuatnya semangat untuk pulang setelah kerja. Tak ada siapa-siapa yang menunggu. Tapi, mau ke mana dia? Semua temannya selalu sibuk dengan pekerjaan dan keluarga. Toh mereka memang bukan remaja yang sering berkumpul setelah kerja. Karyawannya juga enggan kalau harus menemani bos yang sedang tak ada istri di rumah. Pergi keluar sendiri? Bim

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 7

    Dewi termenung di teras rumahnya. Suara gemericik air kolam biasanya mengusik untuk memberi makan ikan-ikan hias kesayangannya. Tapi sudah lama tidak pernah lagi dia lakukan. Untung masih ada Suti yang tak lupa menggantikannya. Sabtu kemarin seharusnya dia dan anak-anaknya berkumpul untuk makan bersama. Hari yang selalu menambah semangatnya di usia senja. Namun sejak kejadian antara Laras dan Bima, jangankan berkumpul bersama, kini ketiga anak dan menantunya mungkin sudah jarang saling menyapa. Lamunannya dikejutkan oleh hadirnya Suti yang hendak keluar. “Mau ke mana, Suti?” tanya Dewi. “Mau beli rujak di perempatan, Bu. Mbak Laras ingin rujak,” jawab Suti. Makan rujak kok pagi-pagi, pikir Dewi lalu tersadar kalau anaknya sedang mengandung. Dia mengangguk pada Suti dan melihatnya pergi berlalu keluar. Dewi mengangkat tubuhnya. Dia berjalan masuk menuju ruang keluarga. Meski sebenarnya tak ada y

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Ruang Kosong

    Nindya membelokkan stir mobilnya di tikungan terakhir menuju gedung apartemen tempat dia tinggal. Matanya melirik ke kiri jalan. Sebuah mobil dengan plat nomor yang sudah dia hafal, terparkir seperti beberapa hari terakhir. Mobil Bima. Nindya melewatinya seolah dia tidak menyadari kalau suaminya beberapa kali sengaja menunggunya pulang. Biasanya, setelah Nindya sampai lalu melihat ponsel, dia akan mendapati pesan Bima yang ingin menemuinya. Pasti Bima mengirim dari mobilnya. Sudah dua minggu, mungkin dia harus memberi Bima kesempatan bicara, atau setidaknya bertemu. Dari lubuk hatinya, Nindya tak menyangkal kalau dirinya pun merindukan Bima. Ditaruhnya tas kerja di atas meja dengan hati-hati lalu dilangkahkan kakinya ke depan jendela. Dibukanya tirai yang menutupi kaca bening menghadap jalan raya di depan gedung apartemennya. Mobil Bima tidak terlihat dari sana, tapi Nindya bisa membayangkan suaminya masih menunggu di bawah.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status