Nindya memicingkan matanya, memandang layar laptop yang berisi ribuan teks dari naskah yang dikirim oleh seorang pengarang baru. Sesekali tangannya menuliskan sesuatu di sebuah notebook yang tergeletak di meja. Andai tak ada masalah dengan rumah tangganya, naskah ini pasti sudah selesai dibaca dua hari lalu.
Sudah seminggu Nindya menempati apartemennya sendiri. Empat hari pertama, Bima selalu datang mengajaknya bicara. Belum pernah Nindya menemuinya lebih dari di depan pintu.
Rasanya hatinya masih sakit. Sulit sekali melihat Bima tanpa mengingat apa yang sudah dilakukannya dengan Laras.
Hari kelima, Nindya mengancam akan pindah apartemen dan tidak memberi Bima alamat barunya jika dia terus menerus datang. Dua hari ini, hidupnya lebih tenang.
Meski begitu, tidak dengan pikirannya. Setiap malam, Nindya mempertanyakan pernikahannya. Mempertanyakan apa arti dirinya untuk Bima.
Setelah pekerjaan di kantor beres, dia akan segera pulang lalu memasak untuk makan malamnya sendiri. Untuk mengisi waktu dia akan meneruskan pekerjaan yang sengaja dibawanya pulang ke rumah untuk menemani sekaligus mengalihkan pikirannya.
Jika pada Bima dia bisa tegas untuk tak ingin bertemu, tidak demikian pada Dewi. Pulang kerja nanti dia berjanji akan menemui Mamanya.
Sebenarnya dia enggan ke rumah Dewi, Nindya belum mau bertemu dengan Laras. Namun dia juga tidak tega meminta Dewi yang datang ke apartemennya.
“Nin,” suara perempuan menarik kesadaran Nindya.
Dia menoleh ke asal suara. Setengah tubuh Sisca sudah masuk ke dalam kantornya. Dia bahkan tidak mendengar suara pintu dibuka.
“Ya, Sis?”
“Pulang kantor, kita keluar yuk. Lama gak ngumpul,” ajak Sisca.
Nindya memegangi kepalanya. “Aduh, maaf Sis, aku sudah ada janji dengan Mama,” jawab Nindya.
Sisca tersenyum lalu melangkah masuk dan menutup pintu. “Kalau kamu butuh sesuatu, atau mungkin butuh teman cerita, jangan segan hubungi aku, ya,” kata Sisca hati-hati.
Dahi Nindya mengerut. “Kenapa?” tanyanya bingung. Dia dan Sisca memang dekat, tapi belum pernah Sisca berkata seperti itu sebelumnya.
“Aku mendengar rumor...” Sisca meringis. “Biasalah... banyak telinga di kantor.” Mata Sisca membuat kode yang menunjuk ke arah meja Risa di depan kantor Nindya.
“Ah...” seru Nindya baru mengerti. Seharusnya dia tidak minta tolong Risa untuk mencari apartemen.
Nindya mengangguk. “Terima kasih, Sis.”
Sisca tersenyum lalu memutar badan dan keluar dari ruangan.
Pantas dia sering mendapati teman-temannya memandangnya dengan tatapan berbeda beberapa hari ini. Ternyata sudah ada rumor yang beredar. Nindya menghembuskan nafas panjang lalu kembali menatap layar laptopnya.
= = = = =
“Sudah ditunggu ibu Dewi di kamar Beliau, mbak,” kata Suti lalu menutup pintu di belakang Nindya.
Nindya mengambil napas panjang sebelum melangkah masuk. Belum pernah dirinya seenggan ini masuk ke rumah Mamanya, rumah masa kecilnya.
Namun apa yang dikhawatirkannya tidak terjadi. Hingga di depan pintu kamar Dewi, Nindya tidak bertemu Laras.
“Ma...” panggil Nindya sambil mengetuk pintu pelan.
“Masuk, Nin,” perintah Dewi dari dalam.
Dewi menyuruh Nindya duduk di sofa kecil yang ada di depan tempat tidur lalu dia duduk di sebelah putri sulungnya. Di depan mereka sudah tersedia dua cangkir teh hangat yang pastinya sudah dipersiapkan Suti sebelum Nindya datang.
“Kenapa sulit sekali bertemu Mamamu? Apa kamu juga marah dengan Mama?” tanya Dewi sambil membelai kepala Nindya.
Mata Nindya berair. Sepertinya sudah lama sekali tak ada yang mengelus kepalanya seperti ini. Yang terakhir tentu saja Bima.
“Maaf, Ma.” Nindya memeluk tubuh Dewi.
Tumpahlah ketegaran yang setiap pagi hingga sore dia kenakan. Nindya menangis di bahu Mamanya. Tangisannya lebih dalam, lebih jujur dibanding tangisan malam-malamnya di apartemen.
Dewi ikut menangis sambil terus mengelus kepala Nindya. “Menangislah, Nak,” kata Dewi disela isaknya sendiri.
“Kenapa Bima dan Laras tega pada Nindya, Ma? Nindya salah apa, Ma?” Bahu Nindya naik turun. Napasnya tersengal-sengal beradu dengan tangisnya.
Dewi menghapus air matanya sendiri. “Tidak ada yang salah dengan dirimu, Nindya. Jangan berpikir seperti itu. Apa yang mereka lakukan, itu kesalahan mereka sendiri.”
Sambil terus mengelus kepala hingga punggung putrinya, Dewi menunggu sampai tangis Nindya mereda.
“Aku dengar, kamu pindah ke apartemen dekat kantormu?” tanya Dewi perlahan.
Nindya mengangguk. “Iya, Ma. Nindya tidak bisa serumah dengan Bima.”
Dewi menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Mama mengerti. Kamu memang perlu menenangkan diri.”
“Sepertinya, Nindya tidak bisa lagi melihat Bima seperti dulu, Ma. Setiap kali melihat wajahnya, hati Nindya terasa sakit. Selalu terbayang apa yang Bima lakukan dengan Laras.”
Nindya menutup matanya sejenak, menghalau bayangan yang muncul sekelebat.
Dewi menghela napas. Dipegangnya wajah Nindya.
“Kamu butuh waktu, Nin. Kamu sakit hati, dan itu sangat wajar. Kepercayaanmu juga terkoyak.” Dewi lalu terdiam cukup lama.
“Mama tak ingin terlalu ikut campur soal kamu dan Bima. Mama ingin bertemu karena Mama ingin minta maaf, Nin.” Dewi memandang mata Nindya dengan penuh haru.
“Kenapa Mama minta maaf pada Nindya? Nindya yang harusnya minta maaf karena membuat Mama sedih soal rumah tangga Nindya.”
Dewi menggeleng. “Mama minta maaf karena Laras.” Mata Dewi berair kembali. Satu dua tetes bening kembali turun di pipinya.
“Mama minta maaf karena Mama gagal mendidik adikmu. Mama tak habis pikir...” Dewi tidak bisa meneruskan kalimatnya. Air matanya turun dengan deras.
Nindya ikut menangis. “Nindya tidak menyalahkan Mama karena Laras. Dia sudah besar, Ma.”
“Kalian berdua adalah anak Mama. Kebahagiaan Mama. Apa yang Laras lakukan, juga menghancurkan hati Mama.”
Nindya memeluk Mamanya. Tentu saja masalah ini mempengaruhi Dewi. Kedua putrinya kini tak saling bicara.
Sejak mengetahui kejadian itu, hati Dewi terasa sakit setiap melihat Laras, begitu pun jika Dewi mengingat Nindya. Tanpa diketahui kedua anaknya, Dewi seperti diperlihatkan lagi pada peristiwa yang terjadi pada dirinya dan Prasetyo, suaminya.
“Mama jangan terlalu memikirkan masalah ini. Ini adalah masalah kami. Jangan sampai Mama malah jatuh sakit.” Nindya mencoba tersenyum menatap wajah Mamanya.
Dewi mengangguk. “Kamu juga jaga kesehatan. Makan yang teratur.” Dewi memberi nasehat Nindya seperti dulu ketika dia akan tinggal di luar kota untuk magang pertamanya.
“Iya, Ma.”
Cukup lama mereka berdua saling menguatkan, hingga akhirnya Nindya pamit pada Mamanya.
Bertemu Dewi membuat Nindya teralihkan pada apa yang menyebabkannya enggan ke rumah masa kecilnya. Setelah menutup pintu kamar Dewi, Nindya berpapasan dengan Laras yang sepertinya baru saja masuk rumah.
Nindya segera menghentikan langkahnya, begitu juga Laras. Seketika, hati Nindya seperti kembali teriris pisau. Gerahamnya mengatup keras.
“Nin...” sapa Laras. Kakinya maju perlahan.
Namun Nindya membuat reaksi sebaliknya. Kakinya mundur, membuat Laras menghentikan niatnya.
Tepat di saat itu pintu kamar Dewi terbuka. Dewi keluar dan mendapati kedua putrinya saling mematung tanpa bicara.
Nindya segera tersadar. “Nindya pulang, Ma.”
Dewi mengangguk. Dia memandang punggung Nindya hingga menghilang ke ruang depan.
Setelah Nindya tak terlihat, Dewi menoleh ke arah Laras. Mereka berpandangan sejenak sebelum akhirnya Dewi masuk kembali ke dalam kamarnya.
Laras mengambil napas panjang. Dengan lunglai dia melangkah ke kamarnya. Seminggu ini, Dewi hanya bicara padanya kalau sangat perlu saja. Laras merasa sendirian.
Ruangan steril bernuansa putih biru itu hanya mengeluarkan bunyi statis dari dua monitor organ vital yang masing-masing terhubung pada dua pasien pria. Saat Bima perlahan membuka matanya, dia mengenali pemandangan di sekelilingnya.Rumah sakit, pasti kamar ICU, pikirnya setelah melihat ada satu lagi pasien di sebelahnya. Temannya itu sepertinya belum sadar.Tenggorokannya terasa sangat kering. Pikirannya masih berkabut. Ingatannya terhenti pada saat dia mengerang kesakitan di kamar tamu. Dia ingat ada Nindya yang menangis dan menggenggam tangannya.Di manakah Nindya?Seorang perawat masuk lalu melakukan pemeriksaan singkat.“Sebutkan nama Bapak?” tanyanya sambil memegang senter untuk menerangi kedua pupilnya bergantian.“Dirgantara Bima,” jawabnya sambil menelan ludah, berusaha membasahi tenggorokannya. “Di mana istri saya?”“Saya akan panggilkan dokter terlebih dahulu, ya Pak,” kata perawat itu lalu berlalu keluar.
Nindya terbangun dari tidur malamnya ketika telinganya sayup-sayup mendengar raungan tertahan. Dibukanya kedua matanya. Ditajamkannya telinganya.Suara dari kamar sebelah. Bima!. Segera Nindya bangun lalu keluar dari kamar. Diketuknya pintu Bima namun tak ada jawaban sementara suara raungan itu semakin terdengar.Nindya membuka pintu dan pemandangan yang pertama dilihatnya adalah tubuh Bima meringkuk di lantai. Tangannya memegang perut, keringatnya bercucuran.Dengan cepat Nindya berjongkok dan memeriksa Bima. Tak ada luka, jelas rasa sakit ini dari dalam. Diambilnya ponsel dari kamarnya lalu dengan tangan bergetar diteleponnya ambulans.“Bim ....” Nindya terus menerus memegang tangan suaminya.Bi Ijah sudah dibangunkan, tapi tak ada apa pun yang bisa mereka lakukan selain menunggu ambulans datang.“Sakit, Nin ....” Hanya itu kalimat yang terus diulang-ulang Bima sambil memegang perutnya. Keringatnya tak berhenti, badannya dingin
“Bim ....” Nindya mengerjap-ngerjapkan matanya. Nyenyak sekali tidurnya kali ini. “Kau baru pulang?” tanyanya melihat Bima masih memakai baju kerja.Bima mengangguk sambil tersenyum padahal kakinya sudah mati rasa karena berjongkok dari tadi. Melihat Nindya bangun lalu duduk di tempat tidur, Bima ikut berdiri. Dia ingin duduk di samping Nindya, melepas rindu, tapi Bima tahu Nindya akan melarangnya.“Gantilah pakaianmu dulu. Aku akan menunggu di sini.” Nindya tersenyum sambil suaminya yang mematung.Bima menganggukkan kepalanya. “Tunggu ...,” katanya, seakan takut Nindya akan menghilang saat dia kembali.Nindya memandang tubuh suaminya yang menghilang ke kamar mandi. Lalu, dia melangkahkan kakinya ke dapur. Sebuah cangkir diisi teh hangat. Entah kapan terakhir kali dia membuatkan minuman untuk Bima.Setelah masuk ke dalam kamarnya, Bima sudah duduk di tepi ranjang. Wajahnya lebih segar meski rambut-rambut halus di dagunya juga semakin terl
Dua koper berukuran sedang kini sudah berada di ruang tamu. Hanya itu yang Nindya bawa dari rumahnya empat bulan lalu, pakaian dan beberapa barang pribadi lainnya.Saat tinggal di apartemen pun Nindya tak banyak membeli barang lain. Kini baru disadarinya, sejak awal, dia memang pergi untuk kembali.Nindya sudah meminta ijin libur hari ini. Dari pagi, sudah dikepaknya barang. Dikosongkannya meja kerja, dibuangnya isi dapur dan lemari es. Dia tak suka meninggalkan sampah. Siang ini, dia sudah siap untuk pulang.Nindya duduk di ruang tamu, dilihatnya dua koper yang nanti akan dibawanya kembali pulang. Matanya menerawang ke penjuru apartemennya. Dia sudah mendapatkan apa yang dia inginkan di sini yaitu waktu dan tempat untuk berpikir.Dia mengingat cerita Dewi kemarin. Dipanggilnya kembali memori tentang Papanya. Prasetyo selalu hangat padanya. Memeluknya, memamerkan dirinya pada rekan bisnisnya kadang.Dirinya masih terlalu kecil untuk memah
Mobil Nindya berhenti di jalanan yang sudah dihafalnya dengan baik. Daun-daun kering yang beterbangan menyambutnya. Bi Ijah pasti belum sempat menyapu halaman.Dibukanya pintu pagar yang jarang dikunci jika siang. Dipandanginya rumahnya sesaat, tak banyak berbeda dari saat mereka membelinya dulu. Nindya bahkan hafal berapa langkah dari pagar menuju pintu utama.Diketuknya pintu. Ada bel di pagar namun sengaja tak dipencetnya, khawatir Bi Ijah sedang tidur siang. Diketuknya lagi pintu rumahnya sendiri.“Nduk...” sapa Bi Ijah setelah membuka pintu. Tubuhnya langsung memeluk Nindya.Dengan rasa bersalah dan rindu, dipeluknya kembali Bi Ijah yang sudah lama mengenalnya. Bi Ijah adalah pelayan Mama yang sejak dulu ditugaskan untuk menjaga Nindya. Nindya membawa Bi Ijah setelah dia dan Bima menikah.Saat Nindya memutuskan untuk pergi dari rumah, ia hanya pamit tanpa mengatakan alasannya pada Bi Ijah. “Bi... Maaf ya, Bi, Nindya tidak pernah menjenguk Bi Ijah.” Seharusnya disempatkannya walau
Nindya mematikan api kompor lalu mulai menata makanan matang di atas piring saji. Dia jarang sekali memasak. Hanya sesekali saat Bima ingin makan sesuatu yang Bi Ijah tidak bisa lakukan.Malam ini Dewi akan datang ke apartemennya. Nindya ingin menjamu Mamanya. Sejak prahara rumah tangganya, acara makan malam keluarga sudah 3 kali tidak diadakan.Ditatanya makanan di meja makan sederhana. Tak semewah hidangan dari Bi Suti tapi Nindya merasa cukup bangga akan masakannya. Dia pun merindukan Dewi.Ingin Nindya pergi ke Mamanya untuk bercerita, atau sekadar agar dia tak merasa sendirian. Namun, dia tahu posisi Mamanya juga tidak mudah. Ada Laras di sana.Kenapa harus Laras, Bim? Pikir Nindya.Pukul setengah tujuh malam, pintu apartemen Nindya diketuk dari luar. Buru-buru dibukanya pintu tersebut. Wajah Dewi yang selalu memancarkan kesan damai muncul di baliknya.“Ma...” sambut Nindya sambil memeluk Dewi.“Nin.” Dewi memeluk putrinya kembali. Dahsyat sekali prahara keluarga ini hingga mampu