Setelah masuk ke kamarnya, Kaila duduk di atas kasur dan makan buburnya tanpa suara sedikit pun, bahkan ia mengunyah kerupuknya dengan sangat pelan supaya suaranya tidak terdengar sama sekali di luar. Dia juga mendengar samar-samar Angkasa bicara dengan sang gadis, tanpa melihat wajahnya saja Kaila sudah sangat tahu kalau pemuda itu sedang sangat kesal karena kehadiran sang mantan kekasih yang jelas tidak diinginkan. Kaila menangkap sesuatu yang bergerak di pojok kanan ruangannya, ia menoleh dan mendapati satu ekor kecoak. Kaila menahan napas, sial, dia sangat takut dengan kecoak karena biasanya kecoak suka terbang dan sungguh dia sangat takut ketika kecoak terbang. Kaila mematung di tempat tidurnya. Kakinya yang sebelumnya masih berada di lantai, kini ia naikkan ke atas kasur. Dia memperhatikan gerak-gerik sang kecoak, terlihat mondar-mandir tanpa arah, lalu berhenti dan Kaila bersumpah, kecoak itu seakan menatapnya. Alarm jam Kaila berbunyi dan itu memacu sang kecoak untuk t
“Jelek banget abis nangis.”Kaila menatap Angkasa dengan tajam. Sisa-sisa air matanya masih ada, tapi pemuda itu sudah memilih untuk mengejeknya, padahal gara-gara dia kecoak itu terbang ke arah Kaila. “Makan dulu baru beres-beres,” celetuk Angkasa karena melihat Kaila masuk ke kamarnya dan hendak membereskan kekacauan yang disebabkan oleh kecoak terbang itu. Kasurnya ketumpahan bubur ayam, bantal ada di sana-sini, buku-buku juga banyak yang jatuh dari meja. Kacau banget asli. Kaila menghela napas melihat kamarnya yang amburadul. Lagi pula, kecoak itu muncul dari mana sih?Gadis itu memutuskan untuk keluar kamar dengan membawa telur gulungnya. Ia duduk di depan Angkasa yang juga sedang memakan telur gulung.“Ini makan bubur gue aja,” ujar Angkasa dan menyodorkan bubur ayam yang dibeli oleh Kaila barusan.Gadis itu menggeleng seraya kembali menggeserkan mangkok bubur ayam. “Gak usah, itu punya lo.”“Kan lo yang beli, jadi ini punya lo,” balas Angkasa dan menggeserkan mangko
Cuaca yang awalnya terik, seketika berubah menjadi gelap.Semesta memang seaneh dan serandom itu. Sepuluh menit yang lalu, orang-orang mengeluh kepanasan karena sinar matahari menyerang mereka semua, namun detik berikutnya cuaca menjadi gelap dan angin datang dari segala arah. Kaila masih berdiri di tempatnya, langit sudah menggelap padahal baru beberapa menit yang lalu ia melihat cuaca yang terik. Angkasa juga masih duduk di tempatnya. Kedua orang itu menatap satu sama lain, beradu pandang dan tidak ingin memutusnya karena tidak ingin kalah satu sama lain. Padahal ini bukan kontes tatap mata. “Maksud lo apa?” tanya Kaila setelah mereka hanya diam dan membiarkan gorden balkon mengenai dirinya akibat angin yang deras, rambutnya juga melayang dan mengenai wajahnya. “Lo sadar kan kalo lo selalu nolak perhatian orang yang ditujukan untuk lo?” Angkasa memperjelas ucapannya barusan. “Dan lo tau dari mana kalo itu suatu bentuk perhatian?” tanya Kaila balik, nada suaranya seperti m
“Shit, kenapa dia di sini juga?”Dengan cepat Angkasa memalingkan wajahnya tapi sepertinya tidak begitu cepat karena Henni berhasil menangkap tatapan mata Angkasa. Kaila yang menyadari tingkah aneh Angkasa yang tiba-tiba memalingkan wajahnya ke arahnya, menatap pemuda itu dengan bingung. “Lo kenapa?” tanyanya. “Mantan gue ada di sini,” bisiknya karena jarak mereka berdua cukup dekat, tapi ternyata sang gadis masih tidak bisa mendengar. “Apa?!” ulang Kaila dan mendekatkan wajahnya. “Mantan. Gue. Ada. Di. Sini.” Angkasa menekankan tiap kalimatnya persis di telinga Kaila. Tepat ketika Kaila mendengar apa yang dikatakan oleh Angkasa, gadis yang menjadi pembicaraan mereka mendatangi mereka berdua dengan gurat wajah yang penasaran. Dia menatap Kaila dari ujung kepala ke ujung kaki dan Kaila juga melakukan sebaliknya. Gadis itu sedang menilainya, jadi ia juga ikut menilainya. Henni mengenakan dress selutut dengan lengan pendek, hampir tak berlengan tapi masih mending dibanding Kaila.
“Can I taste it?”Telunjuk Kaila masih berada di bibir Angkasa dengan pemuda itu yang hanya bisa terdiam mendengar pertanyaan dari Kaila. Kesadaran Kaila hampir hilang tapi ia malah memajukan wajahnya, dan tanpa menunggu balasan dari Angkasa. Ia menempelkan bibirnya dengan bibir pemuda yang ada di depannya saat ini. Angkasa tidak bergerak seinci pun, dia mematung dan menatap mata Kaila yang terpejam. Ini bukan ciuman, tapi hanya kecupan karena bibir mereka hanya menempel selama beberapa detik dan kemudian Kaila tertidur di pundak Angkasa.Angkasa masih diam di tempatnya. Dia menghela napas dan melihat Kaila yang sudah tertidur dengan kepalanya yang bersandar di pundak Angkasa. “Damn Kai,” ujarnya kemudian. Lalu dia membenarkan posisi Kaila. Ia menatap Kaila yang sedang ditutupi oleh jaketnya. Tangannya bergerak dan merapikan rambut gadis itu. “Cantik,” ucapnya pelan.---Kaila terbangun karena merasakan sinar matahari yang sangat panas menembus kaca jendela kamarnya.Ia m
“Sa, kita rapat di mana?” Angkasa menoleh dan mendapati Angga, teman satu organisasinya yang menjabat sebagai Wakil Ketua BEM.Hari ini hari minggu, tapi Angkasa masih sibuk dengan kegiatan organisasinya karena sebentar lagi akan ada perlombaan besar yang diadakan oleh Universitas mereka dan akan mengundang banyak universitas lainnya. Kampus mereka sebagai tuan rumah, tentu saja banyak yang harus mereka persiapkan. Sebenarnya, persiapannya sudah dimulai dua bulan lalu. Angkasa pergi ke tiap-tiap fakultas juga mensosialisasikan hal itu serta turun tangan dalam merekrut pemain-pemain nantinya. Memberikan penjelasan pada Ketua BEM pada masing-masing Fakultas. Biasanya mereka akan rapat di kampus, kecuali hari minggu. Kalau hari minggu, biasanya mereka akan rapat di kafe, karena yang rapat hanya anggota inti saja. Angkasa menatap jam yang tertempel di dinding apartemen mereka. Jam menunjukkan pukul tiga sore.“Nanti lokasinya gue share,” ujarnya menjawab pertanyaan dari Angga.
Tamparan itu luar biasa keras.Kaila merasakan pipinya memanas karena tamparan yang baru saja dilayangkan oleh Hina. Dia memegang pipi kirinya dan merasakan sakit yang luar biasa menjalar di seluruh wajahnya. Popi berdiri mendekat, begitu juga Bang Yansa yang segera menghalangi Hina. Dia berdiri di depan Kaila dan menatap Hina tajam. Bukan hanya mereka, tapi pelanggan lain juga ikut ribut, bahkan Angkasa yang ada di dalam ruangan juga ikut mendengar kekacauan yang sedang terjadi di sana. “Lo jangan bicara sembarangan! Dasar anak simpanan!” teriak Hina.Kaila merasakan deru napasnya yang semakin berat dan cepat. Hina dan Nura adalah teman satu sekolahnya. Ah, bukan teman. Kaila tidak punya teman seorang pun ketika SMA, dia selalu dijauhi oleh orang-orang. Bahkan pacarnya juga meninggalkannya ketika ia tahu kalau Mama dan Papa Kaila tidak ada yang benar. Ia terkenal dengan sebutan anak simpanan dan anak tukang selingkuh. Tidak ada yang baik yang terjadi dalam hidup Kaila.
Angkasa baru saja masuk ke apartemennya tapi sudah disambut dengan teriakan dari Kaila. “Mama pernah gak sih mikirin perasaan aku?!” teriak gadis itu sedikit frustrasi di dalam kamar. Angkasa terdiam. Dia bahkan berhenti melangkah dan bergerak. Tangannya di dinding dan dia baru saja hendak melepas sepatunya, tapi berhenti karena mendengar teriakan kecil dari Kaila.“Mulai sekarang Mama bisa ngelakuin apa aja, aku gak peduli. Mama bisa jadi simpenan tiga om sekaligus aku juga gak peduli, tapi please jangan seret aku. Aku gak mau. Aku udah pergi dari rumah dan Mama yang ngusir, jadi aku mohon... jangan ganggu aku lagi.”Angkasa bisa mendengar kalau suara gadis itu bergetar. “Jangan bikin aku benci sama Mama,” ujar Kaila menangis. “Jangan bikin aku benci dunia hanya karena Mama, Papa, dan Kak Eric.” Angkasa masih berdiri diam di tempatnya. Tatapannya fokus ke pintu kamar Kaila yang tertutup rapat. Dia tidak tahu persis bagaimana rasanya, tapi ia ikut sakit hati mendengarnya. Me