"Itu tidak akan terjadi." Alice sadar suaranya serak, tetapi dia tidak peduli.
"Kau salah. Jika aku ingin itu terjadi, maka pasti akan terjadi." Nada Dastan merendah berbahaya."Dastan—""Ya, Alice. Panggil aku. Panggil namaku." Dastan kembali menyeringai dan ekspresi pria itu membuat Alice takut.Bukan karena wajah Dastan yang menawan. Bukan juga karena senyumnya yang meremehkan. Namun, Alice tahu Dastan akan mendapatkan apa pun yang dia mau."Aku tidak sedang ingin bermain-main denganmu, Dastan Lancaster." Alice menyentak kedua tangannya dan menatap Dastan dengan sorot mata yang mengancam."Kau bahkan menyebutkan nama lengkapku. Haruskah aku merasa tersanjung karenanya?" goda Dastan yang lalu mendekatkan wajah mereka dan membuat Alice bisa merasakan napas Dastan yang menggelitik permukaan bibirnya. "Menjauhlah dariku," pinta Alice tegas, meskipun tubuhnya mulai gemetar di bawah kungkungan Dastan."Aku tidak bisa melakukannya, Alice. Aku tidak bisa menjauh darimu lagi. Setelah dua tahun yang berat bagiku dan aku menemukanmu hari ini, aku tidak akan membiarkan kau pergi. Tidak lagi.""Kita hanya masa lalu yang sudah selesai."Dastan memandang getir Alice. Mata hitamnya, warna paling gelap sekaligus paling kelam yang pernah Alice lihat, menyembunyikan banyak luka di sana. "Ada kesalahpahaman yang harus kuluruskan. Tentang kejadian di malam itu.""Tidak.""Kau akan mendengarkanku.""Tidak semua hal berjalan sesuai seperti yang kita inginkan, Dastan. Kadang-kadang ada beberapa cerita yang memang harus berakhir dengan buruk untuk memperoleh epilog yang berbeda.""Tidak dengan kau dan aku.""Kau tidak punya hak untuk itu."Dastan mengeratkan cengkeraman di kedua pergelangan tangan Alice dan berbisik, "Aku punya. Bukankah kita tidak pernah mengucapkan kata-kata perpisahan?""Dua tahun, Dastan, dan kau masih si berengsek yang sama? Yang benar saja.""Apa yang kau harapkan? Menjumpai Dastan yang lembek dan pasif? Aku bisa sangat liar dan obsesif bila aku mau.""Bukan berarti kau bisa bersikap seenaknya padaku.""Aku tidak berniat mengajakmu bertengkar, Alice. Aku ingin memperbaiki hubungan."Alice nyaris tersedak tawanya sendiri. Pria yang keras kepala, pikirnya. "Hubungan? Kita bahkan tidak memilikinya lagi.""Aku tidak suka nada sinis dalam suaramu." Dastan menurunkan tatapan, memandangi pergerakan bibir Alice, diam-diam bersumpah akan mencecap bibir itu sampai pemiliknya tidak bisa membuka mulut untuk mengejeknya lagi."Kita memang tidak bisa menyenangkan hati semua orang," sindir Alice tajam."Malam itu—""Kau tidak harus menjelaskannya padaku.""Kau tidak mengizinkanku bicara, Alice. Bagaimana kau tahu yang kurasakan?"Alice menjilat bibirnya karena gugup dan gerakan dua detik itu mengundang perhatian Dastan sepenuhnya. Tidak sadar bahwa aksinya telah memprovokasi sesuatu. "Dan apa kau tahu dengan yang kurasakan? Kau menghilang begitu saja. Kau seperti... seperti lenyap ditelan bumi. Kau tidak mengangkat telepon dariku. Kau tidak pernah mengirimiku kabar. Kau meninggalkanku di restoran itu seperti orang bodoh dan kau mau bicara tentang perasaanmu sekarang? Kau pria paling tidak tahu malu yang pernah kukenal."Air mata Alice mengalir. Rasanya sulit untuk berpura-pura dia tidak merasa kecewa dengan sikap Dastan. Dastan yang terkejut lalu menggeleng lembut pada Alice dan memintanya untuk tidak menangis."A-ada debu yang membuatku tidak nyaman," kilah Alice yang mengerjap-ngerjap gelisah."Maaf, Alice. Maaf untuk segalanya. Aku sudah menyakitimu. Aku sudah mematahkan hatimu," katanya penuh sesal, lantas mengoreksi. "Tidak. Mungkin menghancurkan, lebih tepatnya.""Kau tahu sesuatu yang telah hancur tidak akan bisa diperbaiki lagi."Alice mengalihkan pandangannya dari wajah sempurna Dastan, dengan tulang pipi tinggi, alis tebal yang membingkai sepasang mata gelapnya, dan hidung mancung yang membuat sesuatu dalam dirinya tampak proporsional secara menyeluruh. Chandelier kristal di langit-langit mendadak menarik minat Alice untuk membersihkan kepalanya dari rasa ingin tahu; bagaimana rasanya menyentuh wajah Dastan lagi dan bagaimana rasanya mencicipi bibir pria itu seperti yang sering dia lakukan dahulu."Beri aku kesempatan, kumohon.""Aku tidak murah hati. Kau juga tahu itu.""Apa yang membuatmu pergi ke Birmingham?" Dastan lalu mengganti topik pembicaraan mereka untuk memuaskan rasa penasarannya."Urus saja masalahmu sendiri, Tuan Lancaster. Yang jelas, aku tidak datang kemari untuk mencarimu, jika memang itu yang kau maksud." Alice memutar bola mata."Jangan panggil aku begitu.""Begitu apa?" Alice kembali menatap Dastan lekat-lekat."Dastan. Begitu seharusnya bibir seksimu menyebutku, lass."Untuk sesaat yang terasa mendebarkan, Alice sadar bahwa Dastan memiliki pesona yang tidak terbantahkan. Sorot matanya menghipnotis dan menyihir. Pria itu definisi lain dari memabukkan yang sebenarnya."Dastan," bisik Alice kemudian, sementara matanya yang jernih seperti warna langit di musim semi beradu dengan mata kelam Dastan."Namaku terdengar berbeda saat kau mengucapkannya.""Apa kita akan berada dalam posisi ini sepanjang malam?" Alice lagi-lagi menyentak tangannya dan mengabaikan Dastan yang masih merayunya."Mungkin," balas pria itu menyipitkan mata. "Kau konyol.""Aku tidak konyol, Sayang. Aku bergerak dengan insting dan aku sudah tidak menyentuh wanita untuk waktu yang cukup lama.""Jadi, kau putus asa." Suara Alice parau dan terhapusnya jarak di antara mereka membuat tenggorokannya sakit.Tanpa aba-aba, Dastan memajukan wajahnya. Menyentuh bibir Alice dengan bibirnya. Menggigit lembut bibir wanita itu dengan gigi, merasakan sensasi familier merayap di dadanya, membiarkan lidah mereka saling memagut dalam cara yang intim seperti sepasang kekasih.Alice terasa seperti koktail klasik. Bloody mary dengan double vodka. Nikmat. Penuh daya tarik. Kombinasi yang luar biasa."Kau tidak boleh menciumku," tolak Alice yang menghindari bibir Dastan."Aku tidak melihat kau mengenakan cincin. Itu artinya kau tidak punya hubungan serius yang membuatku tidak bisa mengklaim dirimu untuk diriku sendiri.""Aku memang tidak memakai cincin, tetapi aku bukan propertimu."Cengkeraman Dastan lalu melonggar sebelum akhirnya dia melepaskan Alice. Dastan memisahkan diri dan meraup kotak obat yang tergeletak di atas nakas di samping tempat tidur. Ketika Alice menegakkan tubuhnya untuk bangkit dari ranjang, Dastan tiba-tiba menarik kedua kakinya, dan membuat punggung Alice hilang keseimbangan."Tetap di situ." Nada Dastan lebih mirip seperti perintah."Aku tidak—"Dastan kembali menarik salah satu kaki Alice untuk menjenjangkannya ke atas sampai menyentuh dadanya sendiri. Tidak memberi peluang bagi Alice untuk menyuarakan protesnya. Dastan lantas membuka kotak obat dengan cepat, mengambil salep antiseptik, dan mengoleskan isinya ke kaki Alice yang lecet karena bekas sepatu."Ba-bagaimana kau tahu?" Alice menumpukan kedua sikunya saat rasa dingin yang menenangkan dari efek obat itu menyebar di permukaan kulitnya."Aku kekasih yang perhatian, bukan? Angkat kakimu yang satu lagi, ya, begitu." Dastan mengoleskan salep antiseptiknya dengan hati-hati."Te-terima kasih," kata Alice kikuk."Kau punya kaki yang indah.""Kakiku biasa saja." Alice hendak melipat kaki kirinya untuk menjauhi Dastan, tetapi pria itu dengan sigap menangkap pergelangan kakinya yang lain."Jangan menciptakan batas, Alice. Mungkin aku akan melewatinya."***"Sazerac, please. Dua." Mortimer mengaitkan kacamatanya di tengah-tengah dada, sementara Penelope sudah duduk tenang di salah satu kursi bar."Terlalu awal untuk mabuk," kata Penelope ketika Mortimer duduk di sampingnya."Tidak ada yang terlalu awal untuk bersenang-senang, Darling. Aku bisa menemanimu ke salon esok pagi. Kita akan selalu punya waktu seharian, kau tahu.""Kalau begitu, jemput aku di rumah ayahku." Penelope meletakkan tas jinjingnya di atas meja."Di rumah ayahmu?" Mortimer melongo, seolah-olah Penelope baru saja mengatakan sesuatu yang salah."Ya, memangnya ada apa?" Penelope mengabaikan nada sinis dalam suara Mortimer lalu mengedarkan pandang ke sekeliling, mengamati suasana bar yang sepi sebelum mengembalikan tatapannya pada Mortimer lagi."Kau serius?""Aku tidak punya pilihan." Penelope mengangkat bahu. "Aku baru saja bebas hari ini. Aku lelah. Aku belum tahu apartemen mana yang akan sesuai untuk kutinggali. Lagi pula, aku tidak ingin repot-repot mengurusi barang-b
Penelope mengibaskan ujung rambutnya yang setengah ikal karena tidak disisir. Cat rambutnya sudah luntur dan dia butuh perawatan ekstra untuk mengembalikan penampilannya seperti semula. Sisa-sisa kecantikannya bahkan tidak memudar, meskipun Penelope berada di dalam penjara selama hampir dua bulan lamanya.Setelah melewati hari-hari pahit dan menyedihkan itu, Penelope kini bisa kembali menghirup udara bebas. Tidak lagi terkungkung atau mati membusuk seperti yang pernah dia pikir akan terjadi padanya. Dengan melalui proses persidangan yang begitu panjang, hakim akhirnya memutuskan bahwa Penelope tidak bersalah.Untuk pertama kalinya, Penelope merindukan London sebagai tempat kelahirannya. Perasaan itu terselip seperti sapu tangan yang lupa dia ambil di mesin cuci sebelum kemudian berubah jadi prioritas yang harus dinomorsatukan. Sesuatu yang dia ingat untuk selalu dibawa pergi."Aku tidak tahu aroma kebebasan bisa tercium semenyenangkan ini," katanya pada Mortimer yang sengaja berjalan
"Alice?" Dastan memanggilnya lembut dan membuat Alice seketika menoleh. "Aku mencarimu. Ternyata kau di sini."Alice meletakkan gelasnya yang sudah kosong. Dia meraih botol cider lalu mengisinya lagi ke dalam gelas. "Aku tidak bisa tidur. Mungkin pemandangan Birmingham di malam hari dapat membuatku sedikit lebih tenang.""Hanya cider? Aku akan mengambilkan wiski untuk kita." "Tidak. Aku ingin tetap berpikiran jernih. Setidaknya untuk saat ini," tolak Alice yang langsung menenggak habis minumannya.Dastan mengambil posisi paling dekat dengan Alice. Duduk tepat di sampingnya dan menyilangkan kedua tangan di atas meja. "Orion baru saja pulang. Aku pergi melihatmu di kamar, tetapi kau tidak di sana.""Aku akan baik-baik saja. Aku hanya... sedikit syok. Ada begitu banyak hal yang telah terjadi." Alice menggoyangkan gelasnya."Segalanya terjadi di luar kendali. Apa Penelope sudah menghubungimu?" Dastan memperhatikan wajah muram Alice."Untuk apa dia melakukannya? Kami hanya saudari tiri."
Orion melemparkan jam tangan milik Benoit ke depan Dastan yang refleks mengangkat dua tangannya untuk menangkap. Siluet Alice lalu muncul di belakang Orion. Kehadiran mereka secara bersamaan mendadak membuat Dastan bertanya-tanya."Jam tangan?" Satu alis Dastan melengkung ke atas."Milik pria sinting yang hampir saja membunuh kekasihmu. Aku sudah membereskannya. Jam tangan itu kuambil sebagai kenang-kenangan." Orion mengangkat bahu sambil mencibir."Tunggu. Membunuh?""Dia dibayar oleh seseorang untuk melakukannya."Alice kemudian berjalan di antara mereka. Masih gemetar dan ketakutan, Alice menatap mata Dastan sesaat sebelum pria itu memeluknya erat hingga napasnya akan habis. Air mata yang berusaha ditahannya sejak tadi pun tumpah.Setelah puas menangis dan menyalurkan emosinya pada Dastan, Alice baru bisa bicara. Menceritakan segalanya dengan detail tanpa melewatkan satu momen pun. Tentang Benoit yang tiba-tiba datang dari arah belakang dan menodongkan belati ke punggungnya sampai
"Dean sudah tiada, Penelope." Mortimer buru-buru masuk melepaskan mantel dan meletakkannya asal.Mortimer lalu duduk di samping Penelope yang masih belum beranjak dari posisinya. Dia bergelung seperti huruf C di sofa tiga dudukan di depan televisi. Hanya mendongakkan kepalanya sedikit saat Mortimer datang membawakan kabar buruk itu padanya."Aku melihat garis polisi, darah, dan kekacauan yang telah terjadi. Tempat itu berubah seperti mimpi buruk," katanya lagi.Kondisi Penelope tidak kalah kacaunya dengan kasus itu, berwajah sembab dan berantakan, dia menatap Mortimer lekat-lekat. Tidak biasanya dia lupa mengenakan maskara dan lipstik, pikir Penelope. Mortimer jelas ikut terguncang dengan kematian Dean yang bisa menyeret Penelope ke dalam penjara."Kau menyaksikan segalanya?" tanya Penelope memastikan."Aku menyelinap ke sana untuk mendapatkan informasi. Hanya tinggal menunggu waktu sampai mereka datang mencarimu." Mortimer menggeleng sedih."Tidak ada yang bisa kulakukan," bisiknya p
Penelope mengetuk berulang kali sambil menengok ke kanan dan kiri. Dia lalu merapatkan jaket ke tubuhnya. Udara dingin membuat kedua kaki Penelope terasa membeku karena dia pergi dengan buru-buru dan lupa mengenakan mantel.Tidak lama kemudian pintu itu terbuka. Mortimer terperangah sesaat sebelum dia menyadari bahwa orang yang sedang berdiri di hadapannya adalah Penelope. "Penelope? Apa yang kau lakukan di sini?""Ka-kau harus menolongku, Mortimer. Aku tidak tahu... astaga, apa yang sudah kulakukan? Apa yang telah kuperbuat? Aku tidak sengaja... itu memang tidak sengaja. Sungguh, aku berani sumpah aku tidak bermaksud untuk membunuhnya." Penelope menangis, syok, dan dalam keadaan yang luar biasa gemetar itu merosot di depan apartemen Mortimer. "Ada apa, Penelope? Kau tampak kacau. Ayo, cepat masuk!" Mortimer menggandeng tangan Penelope, menyeretnya lebih kuat saat Penelope masih bergeming dalam ketakutannya, dan membuat Mortimer harus mendorong punggungnya ke dalam."Masuklah. Kau ha