Share

3. Sihir dan Ciuman

"Aku minta dua helai handuk bersih dan obat untuk luka lecet. Bawa ke lantai atas." Dastan melirik pada Augusta, pengurus rumah tangganya, wanita paruh baya keturunan Nigeria itu mengangguk cepat dan menutup pintu depan dengan buru-buru.

Augusta langsung bergegas pergi ke dapur dan mengambil kotak obat. Pelayan itu kemudian mengantarkan semua yang diperlukan Dastan ke kamarnya. Dia mengetuk pintu kamar dengan sopan, menaruh barang-barang yang majikannya minta di atas nakas, dan keluar tanpa menanyakan identitas wanita yang dia pikir sedang tidur dalam gendongan Dastan.

Setelah bunyi klik dari pintu kamar terdengar di belakangnya, Dastan lalu membaringkan Alice yang masih belum sadar di ranjang. Pakaian Alice basah dan Dastan tahu dia harus segera menggantinya. Alice benci suhu dingin, kenangnya.

"Sudah dua tahun dan itu waktu yang cukup lama, tetapi pesonamu masih sama seperti dahulu." Dastan berbisik di dekat bibir Alice, jemarinya menyentuh ujung rambut Alice yang lembut dan setengah ikal, warnanya terang seperti seteko teh madu.

Dastan selalu menyukai rambut Alice yang panjang dalam kondisi basah karena warnanya akan terlihat gelap dan menurutnya itu lebih cocok untuk wajah Alice. Dan bagi Dastan, bibirnya, bibir Alice juga merupakan salah satu aset terbaik yang wanita itu punya selain rambutnya. Tatapan Dastan lantas jatuh pada bagian yang lebih rendah dari leher Alice.

Blus Alice basah dan itu memberi keuntungan yang tidak terduga untuk Dastan. Dia bisa melihat warna kamisol milik Alice yang mencetak siluet tubuhnya dari balik blus. Dia bahkan bisa membayangkan pemandangan yang luar biasa dari balik kain itu.

Dastan merindukan Alice dan tubuhnya merespons dengan cara yang kuat dan primitif. Dastan tahu dia tidak akan pernah sanggup lari dari jerat yang merantai hatinya. Tidak peduli kesalahpahaman di masa lalu telah membuat mereka berdua asing satu sama lain sekarang, tetapi Alice tetap satu-satunya wanita yang menempati posisi pertama dalam hidup Dastan sendiri.

"Aku harus mengeringkan tubuhmu sebelum aku kehilangan kendali," gerutu Dastan parau, seolah-olah sisa hujan dari baju Alice sudah menyakitinya.

Dengan penuh tekad, Dastan kemudian melakukannya. Dia melucuti seluruh pakaian Alice, mengeringkan tubuhnya, dan menukar blus juga celana panjang wanita itu dengan kemeja dari lemarinya sendiri. Ukurannya tidak pas, terlalu longgar untuk tubuh Alice yang kecil, dan terlalu pendek untuk bisa menutupi kedua pahanya.

"Hanya sementara," geram Dastan mengingatkan dirinya sendiri.

Hanya pria tidak terhormat yang akan mencuri kesempatan dalam situasi ini, renung Dastan. Namun, Dastan adalah pria normal dan sehat yang memiliki hasrat. Berada seruangan dengan Alice yang selalu hadir dalam bunga tidurnya setiap waktu sama sekali bukan sikap yang bijaksana.

Dastan memutuskan untuk keluar. Menghirup udara segar sebanyak mungkin di balkon, meskipun dia tahu bukan udara segar yang dibutuhkan oleh tubuhnya saat ini. Tubuh Dastan meraungkan nama Alice di setiap tempat dan membuat pembuluh darahnya meledak mendambakan gairah yang liar tanpa akhir.

Persis seperti dua tahun yang lalu. Persis seperti penyesalan yang menyiksa hari-hari Dastan. Jika dia tidak pergi meninggalkan Alice tanpa kabar malam itu, apa segalanya akan berbeda bagi mereka? Mungkin akhir yang lain. Sesuatu yang bisa disebutnya dengan 'bahagia'.

Dan ketika Dastan kembali, dia sudah terlambat untuk itu. Alice ada di posisi yang mustahil dia jangkau. Dastan pikir mereka tampak serasi dan tidak ada alasan baginya untuk mengacaukan hubungan baru Alice.

"Bagaimana kau bisa muncul di depanku lagi, Alice?" Dastan menggumamkan pertanyaan itu sambil memandang muram ke kejauhan.

Hanya ada dua kemungkinan untuk jawabannya, asumsi Dastan. Alice bisa jadi tengah mengunjungi kerabat atau menikmati waktu libur yang memang jarang dilakukannya. Dastan tidak pernah percaya pada omong kosong seperti takdir, tetapi untuk pertama kalinya, dia ingin mempercayai sesuatu yang selalu dia ragukan.

Dastan lalu menangkap suara Alice yang baru sadar. Dia berbalik dan menemukan pemandangan feminin dari balik pintu sorong kaca yang memisahkan jarak mereka di antara balkon dan ruang kamar. Alice sedang duduk memegangi kepalanya di sana.

"Jadi, kau tidak memerlukan sihir untuk bisa bangun dari tidur panjangmu?" tegur Dastan yang kini menyandarkan satu sisi tubuhnya di sebelah pintu dengan kedua tangan yang terlipat di dada.

Alice menatap Dastan yang lalu menaikkan salah satu alisnya. Terkejut dengan fakta bahwa Dastan masih seperti pria yang pernah dikenalnya di masa lalu, kecuali jambang halus yang tumbuh menutupi garis rahangnya dan otot-otot padat yang membentuk torso menakjubkan dari yang pernah Alice ingat. "Sihir? Apa maksudmu?"

"Sesuatu untuk mematahkan kutukan dari peri jahat. Sesuatu seperti ciuman," sahut Dastan melempar seringai pada Alice.

Alice spontan memalingkan wajah. Merasakan sensasi panas yang menyengat menciptakan gelenyar memalukan di perutnya. Hanya Dastan yang bisa membuat Alice salah tingkah, tidak dengan Dean, tidak juga dengan pria-pria lain yang pernah ditemuinya di luar sana.

"Kau bahkan membuang muka. Aku bertaruh bahwa tubuhmu memberi reaksi yang sama seperti yang sedang kupikirkan. Apa aku benar?" Dastan membisikkan kalimatnya, tetapi justru terdengar seperti teriakan lantang yang membenarkan segalanya bagi Alice.

"Aku tidak membuang muka dan aku baik-baik saja," sanggah Alice meninggikan nada, kemudian menyadari sesuatu dengan pakaian barunya.

"Berterimakasihlah, lass. Itu kemejaku. Aku tidak punya bra atau rok."

"Ke-kemejamu?" Alice meremas kerahnya, merasakan serat kain, kepalanya menunduk mengamati bahan tipis itu mempertontonkan bagian pribadinya.

"Masih lebih baik daripada telanjang, bukan? Aku tidak akan keberatan dengan ide itu, tetapi kau pasti punya prinsip yang berbeda tentang privasi." Dastan mengerling pada Alice yang melotot.

"Kau sebut ini baju?" Alice hampir saja menjerit histeris.

"Kau tidak suka? Kau boleh melepasnya dan aku akan dengan senang hati menyaksikan mantan kekasihku berkeliaran telanjang di sini."

Alice menggertakkan gigi. Kecanggungan yang dia pikir akan membentang di antara mereka sama sekali tidak terjadi. Dastan menyerangnya secara verbal, vulgar, dan Alice tidak siap untuk menghadapi sisi Dastan yang satu itu.

"Aku tidak akan membiarkanmu merasa senang," geramnya menyipitkan mata.

Bermaksud menuruni ranjang untuk mencari blusnya sendiri, Alice lantas menyibak selimut dan memijakkan sepasang kakinya ke lantai yang dilapisi karpet. Namun, Dastan mendadak menekan tubuhnya ke ranjang. Kepala Alice membentur bantal-bantal yang empuk dan punggungnya melesak ke tengah-tengah ranjang. 

Bobot tubuh Dastan menghimpit dada Alice dengan cara yang erotis dan Dastan memanfaatkan momen itu untuk membuat Alice tidak berdaya. Tangannya menggapai tangan Alice. Menelikungnya ke atas kepala, menahan kedua pergelangan tangan Alice dengan jemarinya, dan menikmati ketegangan sensual muncul menyulut perasaan di antara mereka.

"Berani-beraninya kau!" pekik Alice yang meronta berusaha membebaskan diri.

"Bagaimana bila kondisinya dibalik, Alice? Bagaimana bila aku yang akan menyenangkanmu?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status