"Aku minta dua helai handuk bersih dan obat untuk luka lecet. Bawa ke lantai atas." Dastan melirik pada Augusta, pengurus rumah tangganya, wanita paruh baya keturunan Nigeria itu mengangguk cepat dan menutup pintu depan dengan buru-buru.
Augusta langsung bergegas pergi ke dapur dan mengambil kotak obat. Pelayan itu kemudian mengantarkan semua yang diperlukan Dastan ke kamarnya. Dia mengetuk pintu kamar dengan sopan, menaruh barang-barang yang majikannya minta di atas nakas, dan keluar tanpa menanyakan identitas wanita yang dia pikir sedang tidur dalam gendongan Dastan.Setelah bunyi klik dari pintu kamar terdengar di belakangnya, Dastan lalu membaringkan Alice yang masih belum sadar di ranjang. Pakaian Alice basah dan Dastan tahu dia harus segera menggantinya. Alice benci suhu dingin, kenangnya."Sudah dua tahun dan itu waktu yang cukup lama, tetapi pesonamu masih sama seperti dahulu." Dastan berbisik di dekat bibir Alice, jemarinya menyentuh ujung rambut Alice yang lembut dan setengah ikal, warnanya terang seperti seteko teh madu.Dastan selalu menyukai rambut Alice yang panjang dalam kondisi basah karena warnanya akan terlihat gelap dan menurutnya itu lebih cocok untuk wajah Alice. Dan bagi Dastan, bibirnya, bibir Alice juga merupakan salah satu aset terbaik yang wanita itu punya selain rambutnya. Tatapan Dastan lantas jatuh pada bagian yang lebih rendah dari leher Alice.Blus Alice basah dan itu memberi keuntungan yang tidak terduga untuk Dastan. Dia bisa melihat warna kamisol milik Alice yang mencetak siluet tubuhnya dari balik blus. Dia bahkan bisa membayangkan pemandangan yang luar biasa dari balik kain itu.Dastan merindukan Alice dan tubuhnya merespons dengan cara yang kuat dan primitif. Dastan tahu dia tidak akan pernah sanggup lari dari jerat yang merantai hatinya. Tidak peduli kesalahpahaman di masa lalu telah membuat mereka berdua asing satu sama lain sekarang, tetapi Alice tetap satu-satunya wanita yang menempati posisi pertama dalam hidup Dastan sendiri."Aku harus mengeringkan tubuhmu sebelum aku kehilangan kendali," gerutu Dastan parau, seolah-olah sisa hujan dari baju Alice sudah menyakitinya.Dengan penuh tekad, Dastan kemudian melakukannya. Dia melucuti seluruh pakaian Alice, mengeringkan tubuhnya, dan menukar blus juga celana panjang wanita itu dengan kemeja dari lemarinya sendiri. Ukurannya tidak pas, terlalu longgar untuk tubuh Alice yang kecil, dan terlalu pendek untuk bisa menutupi kedua pahanya."Hanya sementara," geram Dastan mengingatkan dirinya sendiri.Hanya pria tidak terhormat yang akan mencuri kesempatan dalam situasi ini, renung Dastan. Namun, Dastan adalah pria normal dan sehat yang memiliki hasrat. Berada seruangan dengan Alice yang selalu hadir dalam bunga tidurnya setiap waktu sama sekali bukan sikap yang bijaksana.Dastan memutuskan untuk keluar. Menghirup udara segar sebanyak mungkin di balkon, meskipun dia tahu bukan udara segar yang dibutuhkan oleh tubuhnya saat ini. Tubuh Dastan meraungkan nama Alice di setiap tempat dan membuat pembuluh darahnya meledak mendambakan gairah yang liar tanpa akhir.Persis seperti dua tahun yang lalu. Persis seperti penyesalan yang menyiksa hari-hari Dastan. Jika dia tidak pergi meninggalkan Alice tanpa kabar malam itu, apa segalanya akan berbeda bagi mereka? Mungkin akhir yang lain. Sesuatu yang bisa disebutnya dengan 'bahagia'.Dan ketika Dastan kembali, dia sudah terlambat untuk itu. Alice ada di posisi yang mustahil dia jangkau. Dastan pikir mereka tampak serasi dan tidak ada alasan baginya untuk mengacaukan hubungan baru Alice."Bagaimana kau bisa muncul di depanku lagi, Alice?" Dastan menggumamkan pertanyaan itu sambil memandang muram ke kejauhan.Hanya ada dua kemungkinan untuk jawabannya, asumsi Dastan. Alice bisa jadi tengah mengunjungi kerabat atau menikmati waktu libur yang memang jarang dilakukannya. Dastan tidak pernah percaya pada omong kosong seperti takdir, tetapi untuk pertama kalinya, dia ingin mempercayai sesuatu yang selalu dia ragukan.Dastan lalu menangkap suara Alice yang baru sadar. Dia berbalik dan menemukan pemandangan feminin dari balik pintu sorong kaca yang memisahkan jarak mereka di antara balkon dan ruang kamar. Alice sedang duduk memegangi kepalanya di sana."Jadi, kau tidak memerlukan sihir untuk bisa bangun dari tidur panjangmu?" tegur Dastan yang kini menyandarkan satu sisi tubuhnya di sebelah pintu dengan kedua tangan yang terlipat di dada.Alice menatap Dastan yang lalu menaikkan salah satu alisnya. Terkejut dengan fakta bahwa Dastan masih seperti pria yang pernah dikenalnya di masa lalu, kecuali jambang halus yang tumbuh menutupi garis rahangnya dan otot-otot padat yang membentuk torso menakjubkan dari yang pernah Alice ingat. "Sihir? Apa maksudmu?""Sesuatu untuk mematahkan kutukan dari peri jahat. Sesuatu seperti ciuman," sahut Dastan melempar seringai pada Alice.Alice spontan memalingkan wajah. Merasakan sensasi panas yang menyengat menciptakan gelenyar memalukan di perutnya. Hanya Dastan yang bisa membuat Alice salah tingkah, tidak dengan Dean, tidak juga dengan pria-pria lain yang pernah ditemuinya di luar sana."Kau bahkan membuang muka. Aku bertaruh bahwa tubuhmu memberi reaksi yang sama seperti yang sedang kupikirkan. Apa aku benar?" Dastan membisikkan kalimatnya, tetapi justru terdengar seperti teriakan lantang yang membenarkan segalanya bagi Alice."Aku tidak membuang muka dan aku baik-baik saja," sanggah Alice meninggikan nada, kemudian menyadari sesuatu dengan pakaian barunya."Berterimakasihlah, lass. Itu kemejaku. Aku tidak punya bra atau rok.""Ke-kemejamu?" Alice meremas kerahnya, merasakan serat kain, kepalanya menunduk mengamati bahan tipis itu mempertontonkan bagian pribadinya."Masih lebih baik daripada telanjang, bukan? Aku tidak akan keberatan dengan ide itu, tetapi kau pasti punya prinsip yang berbeda tentang privasi." Dastan mengerling pada Alice yang melotot."Kau sebut ini baju?" Alice hampir saja menjerit histeris."Kau tidak suka? Kau boleh melepasnya dan aku akan dengan senang hati menyaksikan mantan kekasihku berkeliaran telanjang di sini."Alice menggertakkan gigi. Kecanggungan yang dia pikir akan membentang di antara mereka sama sekali tidak terjadi. Dastan menyerangnya secara verbal, vulgar, dan Alice tidak siap untuk menghadapi sisi Dastan yang satu itu."Aku tidak akan membiarkanmu merasa senang," geramnya menyipitkan mata.Bermaksud menuruni ranjang untuk mencari blusnya sendiri, Alice lantas menyibak selimut dan memijakkan sepasang kakinya ke lantai yang dilapisi karpet. Namun, Dastan mendadak menekan tubuhnya ke ranjang. Kepala Alice membentur bantal-bantal yang empuk dan punggungnya melesak ke tengah-tengah ranjang. Bobot tubuh Dastan menghimpit dada Alice dengan cara yang erotis dan Dastan memanfaatkan momen itu untuk membuat Alice tidak berdaya. Tangannya menggapai tangan Alice. Menelikungnya ke atas kepala, menahan kedua pergelangan tangan Alice dengan jemarinya, dan menikmati ketegangan sensual muncul menyulut perasaan di antara mereka."Berani-beraninya kau!" pekik Alice yang meronta berusaha membebaskan diri."Bagaimana bila kondisinya dibalik, Alice? Bagaimana bila aku yang akan menyenangkanmu?"***"Itu tidak akan terjadi." Alice sadar suaranya serak, tetapi dia tidak peduli."Kau salah. Jika aku ingin itu terjadi, maka pasti akan terjadi." Nada Dastan merendah berbahaya."Dastan—""Ya, Alice. Panggil aku. Panggil namaku." Dastan kembali menyeringai dan ekspresi pria itu membuat Alice takut.Bukan karena wajah Dastan yang menawan. Bukan juga karena senyumnya yang meremehkan. Namun, Alice tahu Dastan akan mendapatkan apa pun yang dia mau."Aku tidak sedang ingin bermain-main denganmu, Dastan Lancaster." Alice menyentak kedua tangannya dan menatap Dastan dengan sorot mata yang mengancam."Kau bahkan menyebutkan nama lengkapku. Haruskah aku merasa tersanjung karenanya?" goda Dastan yang lalu mendekatkan wajah mereka dan membuat Alice bisa merasakan napas Dastan yang menggelitik permukaan bibirnya. "Menjauhlah dariku," pinta Alice tegas, meskipun tubuhnya mulai gemetar di bawah kungkungan Dastan."Aku tidak bisa melakukannya, Alice. Aku tidak bisa menjauh darimu lagi. Setelah dua t
"Karena seperti yang kau tahu. Aku pria berengsek. Aku akan membuat duniamu tidak lagi sama. Menyisipkan sedikit kekacauan dan lebih banyak gairah. Bagaimana kedengarannya?" sambung Dastan menelengkan kepala lalu mendaratkan bibirnya di ibu jari kaki Alice."Kedengarannya seperti sedang mengundang masalah." Alice menggigit bibir."Masalah yang besar dan kita akan kesulitan membereskannya?"Alice mengawasi Dastan yang menjelajahi betisnya dengan jari telunjuk. Menciptakan sengat beruntun yang membuat punggungnya terangkat. "Hm. Mung-mungkin saja.""Berapa persentasenya?" gumam Dastan selepas penelusurannya mencapai paha Alice."E-entahlah. Lima puluh banding lima puluh?" jawabnya asal."Mengapa harus lima puluh banding lima puluh?" Dastan menggunakan semua jarinya untuk melabuhkan sentuhan di kulit Alice sekarang."Lima puluh pertama untuk penyesalan yang akan datang selepasnya." Suara Alice bergetar seiring dengan jauhnya jari-jari Dastan merayap ke bawah."Well, itu masuk akal. Bagai
Tubuh Alice gemetar. Dia mendongakkan kepala, membusungkan dada dengan gaya sensual, dan menggigit bibirnya kuat-kuat. Kedua tangannya terangkat ke atas, menggapai tiang ranjang, mencengkeramnya seperti sedang menarik tali pelana pada kuda.Celaka, pikir Alice. Mengira bahwa dia akan hancur berkeping-keping di bawah dominasi Dastan yang sudah lama tidak dirasakannya. Sensasinya bahkan jauh lebih hebat dan menggairahkan.Alice tidak pernah menggunakan morfin, tetapi Dastan akan jadi candu yang mematikan untuknya. Rasanya seperti menyuntikkan energi baru pada setiap pembuluh darah Alice. Kulit kontak kulit di antara mereka telah menciptakan badai besar yang berpusar pada dirinya, seolah-olah tubuh Dastan memiliki koneksi magnetis di setiap sentinya."Luar biasa, Alice. Kau cantik dan luar biasa dalam posisi ini," geram Dastan yang kembali bergerak melesakkan tubuhnya ke tubuh Alice.Daya tarik dan kepiawaian dalam bercinta merupakan kombinasi yang berbahaya. Dan Alice, yang sedang membu
"Gin dan tonik, please. Dengan sebanyak mungkin jeruk nipis yang bisa kau campur di dalamnya." Suara ceria Penelope membuat bartender wanita itu mengerling sesaat sebelum meracik koktail yang baru saja dipesan oleh pelanggannya."Alkohol untuk makhluk rakus dalam perutmu? Kau bahkan sudah mengajarinya untuk jadi bajingan kecil di usia yang begitu muda," komentar Mortimer yang kemudian duduk di samping Penelope, mata birunya yang seperti warna bunga hydrangea mengedip jahil, menunggu reaksi yang akan ditunjukkan oleh Penelope."Tidak ada bayi, Mortimer." Penelope memutar bola mata lalu menumpukan kedua sikunya di atas meja bar."Demi darah anjing kudis. Tidak ada? Maksudmu, kau keguguran?"Penelope menggertakkan gigi. Satu tangannya meraih tas trendi miliknya dan memukul belakang kepala Mortimer dengan benda itu. "Kau dan mulut lancangmu akan menjerumuskanku dalam masalah besar.""Ma-maaf," bisik Mortimer sambil mengusap kepala, bibirnya yang dipolesi lipstik itu mengerucut, dan dua ja
"Jadi, apa yang membuatmu pergi kemari? Kabur dari pernikahan paksa? Dicampakkan kekasihmu?" Dastan menyorongkan cangkir panas itu ke depan Alice."Terima kasih," gumam Alice sambil memperhatikan asap yang menggeliat naik dari mulut cangkir kopi miliknya."Anggap saja seperti rumahmu sendiri.""Kau masih suka basa-basi.""Aku menyebutnya etika. Sopan santun pada tamu, kau tahu." Dastan mengangkat cangkirnya lalu menyeruput dengan suara kecap yang berlebihan."Espresso tanpa gula. Dua sendok krimer. Kau masih Dastan yang sama?" komentar Alice yang juga mengangkat cangkirnya dan mencicipi kopi itu.Tawa Dastan meledak. Dia meletakkan cangkirnya ke tempat semula, lantas mengawasi Alice yang baru saja menjilat bibirnya dari sisa kopi. "Kita bahkan punya selera yang sama.""Aku tidak akan lupa tentang itu.""Aku juga," sahut Dastan menyunggingkan senyumnya.Alice menghindari pandangan Dastan. Kepalanya menunduk menatap sendok yang lengket dari bekas krimer. Kewarasannya mulai kembali, teta
"Dia pindah?""Benar dan kami sudah melakukan semuanya sesuai perintah," sahut pria dengan hidung besar itu pada Penelope."Ha. Birmingham," dengusnya sinis lalu menaikkan pandangan dan menatap penuh selidik pada pria berambut gelap di depannya."Tidak ada barang berharga di dalam tas bututnya. Hanya album foto.""Album foto?" Mata Penelope menyipit mendengarnya.Pria itu mengangguk sebelum menyerahkan tas milik Alice yang berhasil mereka curi tiga hari lalu. Penelope membukanya dengan kasar. Mengeluarkan sebuah buku lama tanpa sampul yang ditempeli dua lembar foto keluarga, Ibu Alice, ibu tirinya, ada di sana.Wanita dengan gaun pendek itu sedang menggendong Alice yang masih kecil. Di sampingnya ada seorang pria berkumis tebal yang mendongak ke arah kamera dengan sorot mata angkuh. Mengenakan suspender dan rompi yang besarnya dua kali lipat dari ukuran tubuhnya."Aku tidak membutuhkan foto bodoh ini," desis Penelope yang menyingkirkannya dengan ekspresi jijik."Dia hanya membawa satu
"Apa kau akan menawanku lebih lama lagi, Tuan Presdir?" sindir Alice di tengah-tengah aktivitas makan siang mereka.Bunyi denting garpu Dastan mengenai piringnya. Pandangannya lalu terangkat ke wajah Alice. "Kau harus makan lebih banyak, Sayang.""Berhentilah memanggilku begitu.""Begitu bagaimana?" Dastan menyuapkan ikan panggangnya ke mulut. Alice menggertakkan gigi dan menyingkirkan mangkuk supnya ke samping. Sengaja mengembuskan napas keras-keras. "Aku muak, Dastan. Kau sudah mengurungku tiga hari di sini.""Kau berlebihan, Sayang. Aku tidak mengurungmu. Aku memanjakanmu." Dastan mengedipkan satu matanya sebelum menusuk ikan panggangnya lagi dan menyuapkannya ke mulut."Aku tidak tertarik dengan kemewahan.""Aku tahu.""Kau tahu, tetapi kau tetap melakukannya." Alice kembali menggertakkan gigi.Dastan memindai penampilan Alice yang menurutnya fantastis siang itu. Kedua alisnya naik, lantas mengangguk sambil memamerkan seringainya. "Kau selalu cantik, Alice.""Gaun pendek lace dan
Kafe Mon Chéri. 30 Westerham Ave. Penelope lalu menekan tombol kirim. Setelah memasukkan ponselnya ke dalam saku rok midinya, dia buru-buru menyetop taksi dan meminta sopir itu untuk mengantarnya ke daerah Westerham Ave. Ketegangan membuat Penelope merasa sesak dan dia pikir dia butuh teman untuk mengobrol."Ambil jalan pintas saja, please." Penelope bicara pada pria yang memakai topi belel itu tanpa melihat ke arahnya.Kendaraan roda empat tersebut kemudian berbelok ke jalan yang lebih kecil. Melalui gang-gang sepi yang sempit dan hanya dilintasi oleh segelintir orang. Sopir itu sempat melirik wajah Penelope beberapa kali lewat kaca spion tengah."Melarikan diri dari rutinitas hidup?" tanya pria itu membuka percakapan dengan logat Spanyol dan Inggris pasarnya."Aku hanya perlu udara segar, tetapi melarikan diri kedengarannya juga cocok untukku." Penelope menyunggingkan senyum tipis."Saya juga melakukannya sesekali. Setiap orang boleh melakukannya.""Hm," gumam Penelope singkat, mas