"Karena seperti yang kau tahu. Aku pria berengsek. Aku akan membuat duniamu tidak lagi sama. Menyisipkan sedikit kekacauan dan lebih banyak gairah. Bagaimana kedengarannya?" sambung Dastan menelengkan kepala lalu mendaratkan bibirnya di ibu jari kaki Alice.
"Kedengarannya seperti sedang mengundang masalah." Alice menggigit bibir."Masalah yang besar dan kita akan kesulitan membereskannya?"Alice mengawasi Dastan yang menjelajahi betisnya dengan jari telunjuk. Menciptakan sengat beruntun yang membuat punggungnya terangkat. "Hm. Mung-mungkin saja.""Berapa persentasenya?" gumam Dastan selepas penelusurannya mencapai paha Alice."E-entahlah. Lima puluh banding lima puluh?" jawabnya asal."Mengapa harus lima puluh banding lima puluh?" Dastan menggunakan semua jarinya untuk melabuhkan sentuhan di kulit Alice sekarang."Lima puluh pertama untuk penyesalan yang akan datang selepasnya." Suara Alice bergetar seiring dengan jauhnya jari-jari Dastan merayap ke bawah."Well, itu masuk akal. Bagaimana dengan yang berikutnya lagi?" Ibu jari Dastan membuat penekanan pada pangkal paha Alice."Lima puluh sisanya untuk kenikmatan yang akan kita raih bersama.""Cukup adil." Jemari Dastan menyelusup di antara kedua paha Alice tanpa ragu dan mengudarakan kesiap spontan dari Alice yang tengah menggeliat di depannya.Oksigen mendadak surut dari paru-paru Alice, sementara Dastan meregangkan kaki-kakinya lebih lebar. Dia tidak mengenakan apa pun sebagai pelindung, kecuali kemeja milik pria itu yang sudah tersingkap jauh hingga ke batas pinggang. Dastan juga telah menyingkirkan seluruh pakaian dalamnya untuk alasan yang bisa Alice duga.Dastan membungkuk untuk menyejajarkan kepalanya pada tubuh Alice, lantas berlutut dengan hasrat yang berkobar dalam sorot matanya. Tahu pasti bahwa dia tidak memerlukan izin dari Alice untuk melakukan sesuatu yang hebat di sana. Wanita itu terbakar dan hanya Dastan yang mampu memadamkan apinya.Kebutuhan itu mendesak seperti prioritas. Alice merindukan Dastan dan setiap sel dalam tubuhnya menyerukan sesuatu yang sama. Sisi femininnya mendambakan gema yang maskulin untuk membuatnya seimbang.Dastan menciptakan aksi dan tubuh Alice membentuk respons untuk menyambutnya. Ceroboh, impulsif, dan target yang mudah masuk dalam perangkap. Begitu Alice melukiskan sosok dirinya bagi kaum adam.Gelora yang berkumpul di pusat tubuh Alice kemudian menyebarkan gelenyar baru ke dadanya dan napas Dastan yang menerpa kulit paha Alice sukses membuat erangannya meluncur begitu saja. Mata Alice menutup, merasakan sensasi yang Dastan buat pada dirinya, merasakan rapuhnya emosi mereka saat lidah pria itu menyentuhnya di tempat yang tepat."Saat aku bilang bahwa aku pria berengsek, ini hanya salah satunya." Dastan mendongakkan kepala lalu menatap Alice dari balik kedua lututnya."Aku tidak menyangka aku akan mengatakannya, tetapi aku menyukai ini."Alice suka dengan debar yang membuat dirinya mendenyutkan gairah untuk Dastan. Rasanya spesial dan aneh, seolah-olah tubuh Alice meneriakkan kata seks di udara. Lantang dan tanpa malu.Setelah sekian lama, Dastan mencicipi rasa diri Alice lagi. Hasratnya yang menggebu-gebu, basah, dan luar biasa. Tidak ada yang lebih baik dari seorang wanita yang menyerahkan dirinya secara utuh, pikir Dastan.Alice adalah pemandangan paling indah yang Dastan kenal. Dia langit di waktu senja, pelangi yang melengkung di cakrawala, dan teka-teki di musim gugur. Miliknya.Dastan memberondong Alice dengan stimulasi yang pas, tanpa henti, dan mengubah dunianya dalam sekejap. Alice menjerit, meledak, dan gemetar. Menggigit ujung bantal dan membusurkan punggungnya tinggi-tinggi sebelum tenaganya habis."Berapa banyak masalah kita, Alice?" tanya Dastan yang berdiri mendekati Alice, cahaya lampu menimpa kilau lembap di bibirnya, membuat kesan sensual yang berhasil mengaduk perut Alice. "Kita bahkan belum menghitungnya.""Kau benar." Dastan naik ke tepi ranjang dan meraih leher Alice dengan lembut."Mulailah menghitung sekarang," bisik Dastan sambil memosisikan tubuhnya lebih rendah ke tubuh Alice.Jemari Dastan turun ke area-area pribadi. Hanya terhenti saat kancing kemeja itu menghalanginya. Dastan melepaskannya dengan sabar, satu demi satu, menikmati momen yang akan dia ingat dalam waktu yang lama."Satu untuk kau dan aku." Alice sengaja merentangkan kedua tangannya ke samping dan membiarkan dadanya terekspos sempurna.Seringai Dastan terbit. Samar. Menampilkan ekspresi iblis yang tidak terbaca pada wajahnya. "Dua untuk pertahanan diriku yang payah," balas Alice lagi saat jari telunjuk Dastan masuk ke dalam mulutnya dan Alice mengisapnya perlahan."Lalu?" Jemari Dastan yang lain merayap menunjukkan kepemilikannya pada tubuh Alice, pada perutnya yang kencang dan dihiasi tindik, pada kulitnya yang meremang oleh sentuhan Dastan."Tiga untuk pesonamu yang masih punya kuasa atas diriku." "Dan empat?" gumam Dastan yang memejamkan matanya saat Alice menjilati jarinya dengan cara yang erotis."Untuk bajingan yang sedang berlutut di antara tubuhku sekarang."Dastan terampil dalam banyak hal dan detak jantung Alice memacu ke batas-batas yang tidak lazim. Kepalanya terasa kosong, kecuali dari monolog tentang Dastan dan sesuatu yang bisa pria itu buat terhadap tubuhnya. "Lima?" Dastan menarik jarinya dari bibir Alice."Lima untuk tahun-tahun yang menyedihkan tanpamu." Pengakuan itu terdengar menyakitkan bagi Alice.Dastan lantas membungkukkan wajahnya, mencium Alice dengan lambat dan posesif, menyimpan harap untuk bisa menghapus kekecewaan pada masa lalu di antara mereka. Sedikit saja. Dia mencintai Alice, perasaannya masih sama, dan itu tidak akan pernah berubah."Enam untuk bibirmu," geram Alice di sela-sela lidah mereka yang saling mengait untuk menyaring udara.Tubuh Dastan mulai menggaungkan pemberontakan. Pembuluh darahnya memompa ke bagian paling rendah. Menciptakan ketegangan dan bahaya sensual yang begitu nyata."Dan tujuh untukku.""Untukmu?""Aku menikmati pertunjukannya."Senyum Dastan menarik otot-otot pipinya. Lebar dan mempertontonkan susunan gigi yang rapi. "Delapan?""Delapan untuk gairah yang mencabik diriku."Dastan lalu melucuti pakaiannya. Melempar mantel shearling itu ke kepala ranjang dan melepaskan kancing kemejanya dengan gerakan luwes sebelum membebaskan celana panjangnya sendiri. Mereka telanjang, siap, dan dipenuhi adrenalin."Sembilan untuk penyesalan kita yang akan datang.""Nae. Lima puluh yang pertama sama sekali tidak berlaku padaku." Dastan melingkari punggung Alice dengan tangan kirinya dan membuat kulit mereka saling bersinggungan satu sama lain."Aku tidak akan pernah menyesalinya, Alice. Kau bagian dari mimpi-mimpi paling liarku," lanjutnya mengecup ringan rahang Alice."Jadi, apa pekerjaanmu?""Aku tidak tahu profesi seseorang bisa jadi topik yang menarik di tengah-tengah aktivitas kita sekarang." Dastan kemudian mengubur wajahnya di leher Alice dan memberi lebih banyak sentuhan dengan bibirnya."Kau lahir dari orang tua konglomerat. Kabur dari sangkar emasmu sepuluh tahun yang lalu. Hidup mandiri di kota London yang keras dan penuh dosa. Semuanya terjadi sebelum kau kembali melarikan diri untuk yang kedua kalinya. Apa kau menjalankan bisnis? Narkoba dan perdagangan senjata ilegal?" goda Alice yang mendekap erat pinggul Dastan."Jauh lebih baik dari itu. Aku mengelola perusahaan chip semikonduktor milik ayahku.""Sang ahli waris seperti dalam film?" komentar Alice mengangkat satu alisnya."Kurang lebih." Dastan mulai menyelipkan tubuhnya ke tubuh Alice, membenamkan dirinya secara keseluruhan, merasakan rasa diri Alice yang membuat gairahnya berangsur merebak sampai ke tulang.Alice menerima Dastan. Penyatuan yang membuat perasaan mereka lengkap sekaligus goyah pada waktu yang bersamaan dan dengan suara yang jernih Alice berbisik, "Sepuluh untuk bercinta dengan sang presdir."***Tubuh Alice gemetar. Dia mendongakkan kepala, membusungkan dada dengan gaya sensual, dan menggigit bibirnya kuat-kuat. Kedua tangannya terangkat ke atas, menggapai tiang ranjang, mencengkeramnya seperti sedang menarik tali pelana pada kuda.Celaka, pikir Alice. Mengira bahwa dia akan hancur berkeping-keping di bawah dominasi Dastan yang sudah lama tidak dirasakannya. Sensasinya bahkan jauh lebih hebat dan menggairahkan.Alice tidak pernah menggunakan morfin, tetapi Dastan akan jadi candu yang mematikan untuknya. Rasanya seperti menyuntikkan energi baru pada setiap pembuluh darah Alice. Kulit kontak kulit di antara mereka telah menciptakan badai besar yang berpusar pada dirinya, seolah-olah tubuh Dastan memiliki koneksi magnetis di setiap sentinya."Luar biasa, Alice. Kau cantik dan luar biasa dalam posisi ini," geram Dastan yang kembali bergerak melesakkan tubuhnya ke tubuh Alice.Daya tarik dan kepiawaian dalam bercinta merupakan kombinasi yang berbahaya. Dan Alice, yang sedang membu
"Gin dan tonik, please. Dengan sebanyak mungkin jeruk nipis yang bisa kau campur di dalamnya." Suara ceria Penelope membuat bartender wanita itu mengerling sesaat sebelum meracik koktail yang baru saja dipesan oleh pelanggannya."Alkohol untuk makhluk rakus dalam perutmu? Kau bahkan sudah mengajarinya untuk jadi bajingan kecil di usia yang begitu muda," komentar Mortimer yang kemudian duduk di samping Penelope, mata birunya yang seperti warna bunga hydrangea mengedip jahil, menunggu reaksi yang akan ditunjukkan oleh Penelope."Tidak ada bayi, Mortimer." Penelope memutar bola mata lalu menumpukan kedua sikunya di atas meja bar."Demi darah anjing kudis. Tidak ada? Maksudmu, kau keguguran?"Penelope menggertakkan gigi. Satu tangannya meraih tas trendi miliknya dan memukul belakang kepala Mortimer dengan benda itu. "Kau dan mulut lancangmu akan menjerumuskanku dalam masalah besar.""Ma-maaf," bisik Mortimer sambil mengusap kepala, bibirnya yang dipolesi lipstik itu mengerucut, dan dua ja
"Jadi, apa yang membuatmu pergi kemari? Kabur dari pernikahan paksa? Dicampakkan kekasihmu?" Dastan menyorongkan cangkir panas itu ke depan Alice."Terima kasih," gumam Alice sambil memperhatikan asap yang menggeliat naik dari mulut cangkir kopi miliknya."Anggap saja seperti rumahmu sendiri.""Kau masih suka basa-basi.""Aku menyebutnya etika. Sopan santun pada tamu, kau tahu." Dastan mengangkat cangkirnya lalu menyeruput dengan suara kecap yang berlebihan."Espresso tanpa gula. Dua sendok krimer. Kau masih Dastan yang sama?" komentar Alice yang juga mengangkat cangkirnya dan mencicipi kopi itu.Tawa Dastan meledak. Dia meletakkan cangkirnya ke tempat semula, lantas mengawasi Alice yang baru saja menjilat bibirnya dari sisa kopi. "Kita bahkan punya selera yang sama.""Aku tidak akan lupa tentang itu.""Aku juga," sahut Dastan menyunggingkan senyumnya.Alice menghindari pandangan Dastan. Kepalanya menunduk menatap sendok yang lengket dari bekas krimer. Kewarasannya mulai kembali, teta
"Dia pindah?""Benar dan kami sudah melakukan semuanya sesuai perintah," sahut pria dengan hidung besar itu pada Penelope."Ha. Birmingham," dengusnya sinis lalu menaikkan pandangan dan menatap penuh selidik pada pria berambut gelap di depannya."Tidak ada barang berharga di dalam tas bututnya. Hanya album foto.""Album foto?" Mata Penelope menyipit mendengarnya.Pria itu mengangguk sebelum menyerahkan tas milik Alice yang berhasil mereka curi tiga hari lalu. Penelope membukanya dengan kasar. Mengeluarkan sebuah buku lama tanpa sampul yang ditempeli dua lembar foto keluarga, Ibu Alice, ibu tirinya, ada di sana.Wanita dengan gaun pendek itu sedang menggendong Alice yang masih kecil. Di sampingnya ada seorang pria berkumis tebal yang mendongak ke arah kamera dengan sorot mata angkuh. Mengenakan suspender dan rompi yang besarnya dua kali lipat dari ukuran tubuhnya."Aku tidak membutuhkan foto bodoh ini," desis Penelope yang menyingkirkannya dengan ekspresi jijik."Dia hanya membawa satu
"Apa kau akan menawanku lebih lama lagi, Tuan Presdir?" sindir Alice di tengah-tengah aktivitas makan siang mereka.Bunyi denting garpu Dastan mengenai piringnya. Pandangannya lalu terangkat ke wajah Alice. "Kau harus makan lebih banyak, Sayang.""Berhentilah memanggilku begitu.""Begitu bagaimana?" Dastan menyuapkan ikan panggangnya ke mulut. Alice menggertakkan gigi dan menyingkirkan mangkuk supnya ke samping. Sengaja mengembuskan napas keras-keras. "Aku muak, Dastan. Kau sudah mengurungku tiga hari di sini.""Kau berlebihan, Sayang. Aku tidak mengurungmu. Aku memanjakanmu." Dastan mengedipkan satu matanya sebelum menusuk ikan panggangnya lagi dan menyuapkannya ke mulut."Aku tidak tertarik dengan kemewahan.""Aku tahu.""Kau tahu, tetapi kau tetap melakukannya." Alice kembali menggertakkan gigi.Dastan memindai penampilan Alice yang menurutnya fantastis siang itu. Kedua alisnya naik, lantas mengangguk sambil memamerkan seringainya. "Kau selalu cantik, Alice.""Gaun pendek lace dan
Kafe Mon Chéri. 30 Westerham Ave. Penelope lalu menekan tombol kirim. Setelah memasukkan ponselnya ke dalam saku rok midinya, dia buru-buru menyetop taksi dan meminta sopir itu untuk mengantarnya ke daerah Westerham Ave. Ketegangan membuat Penelope merasa sesak dan dia pikir dia butuh teman untuk mengobrol."Ambil jalan pintas saja, please." Penelope bicara pada pria yang memakai topi belel itu tanpa melihat ke arahnya.Kendaraan roda empat tersebut kemudian berbelok ke jalan yang lebih kecil. Melalui gang-gang sepi yang sempit dan hanya dilintasi oleh segelintir orang. Sopir itu sempat melirik wajah Penelope beberapa kali lewat kaca spion tengah."Melarikan diri dari rutinitas hidup?" tanya pria itu membuka percakapan dengan logat Spanyol dan Inggris pasarnya."Aku hanya perlu udara segar, tetapi melarikan diri kedengarannya juga cocok untukku." Penelope menyunggingkan senyum tipis."Saya juga melakukannya sesekali. Setiap orang boleh melakukannya.""Hm," gumam Penelope singkat, mas
Alice sendiri. Lagi. Dastan sudah pergi meninggalkan kediamannya beberapa menit lalu. Memberi lebih banyak waktu luang untuk Alice memikirkan hal-hal lain.Alice merasa hidupnya berantakan. Pertemuannya dengan Dastan membuat segalanya jadi jauh lebih sulit bagi Alice sekarang. Bukti bahwa cinta dan patah hati telah menciptakan ketidakseimbangan dalam hari-harinya.Alice hanya menghabiskan siangnya di kamar sebelum rasa bosan memaksanya untuk keluar dari sana. Alice kemudian menjelajahi rumah Dastan. Mengamati perabotan mewah di sepanjang lorong dan ruang-ruang dengan pintu besar yang dikunci.Rasa penasaran lantas membuat Alice turun menyusuri tangga yang mengantarnya ke ruang bawah tanah. Ada dua pintu lain di sana. Salah satunya dilengkapi terali dengan anak kunci yang tergantung di depannya."Apa aku boleh masuk?" tanya Alice pada dirinya sendiri.Alice lalu mengintip lewat sela lubang kunci. Namun, hanya ada kegelapan yang membentang di baliknya dan rasa takut mendadak membuat pun
"A-aku sudah bilang aku bosan. Jadi, aku tidak sengaja masuk kemari dan menemukan foto itu." Kedua tangan Alice mencengkeram pinggir meja biliar."Kadang-kadang, rasa ingin tahu yang besar bisa menuntunmu dalam masalah." Dastan berbisik di dekat bibir Alice dan membuat punggung wanita itu condong ke belakang menciptakan jarak."Aku memang magnet dari segala masalah, ingat?"Pandangan Dastan naik. Mata mereka bertemu. "Masalah dan gairah. Itu definisi dari dirimu.""Kau masih menyimpannya," gumam Alice yang mengangkat dagunya lebih tinggi."Foto itu? Aku suka senyummu di dalam sana." Dastan memainkan ujung rambut Alice dengan jari telunjuknya."Penelope tidak tersenyum."Dastan menangkap nada sedih dalam suara Alice. Jari telunjuknya melepaskan ujung rambut Alice dan mencengkeram pinggir meja biliar seperti yang dilakukan oleh Alice. Mengurung wanita itu dalam figurnya yang besar dan tinggi dan membuat Alice terlihat begitu mungil di depannya."Penelope? Adik tirimu?""Hm." Alice menga