Home / Rumah Tangga / Bercinta Dengan Sang Presdir / 5. Bercinta Dengan Sang Presdir

Share

5. Bercinta Dengan Sang Presdir

Author: Laquisha Bay
last update Last Updated: 2023-01-05 10:56:54

"Karena seperti yang kau tahu. Aku pria berengsek. Aku akan membuat duniamu tidak lagi sama. Menyisipkan sedikit kekacauan dan lebih banyak gairah. Bagaimana kedengarannya?" sambung Dastan menelengkan kepala lalu mendaratkan bibirnya di ibu jari kaki Alice.

"Kedengarannya seperti sedang mengundang masalah." Alice menggigit bibir.

"Masalah yang besar dan kita akan kesulitan membereskannya?"

Alice mengawasi Dastan yang menjelajahi betisnya dengan jari telunjuk. Menciptakan sengat beruntun yang membuat punggungnya terangkat. "Hm. Mung-mungkin saja."

"Berapa persentasenya?" gumam Dastan selepas penelusurannya mencapai paha Alice.

"E-entahlah. Lima puluh banding lima puluh?" jawabnya asal.

"Mengapa harus lima puluh banding lima puluh?" Dastan menggunakan semua jarinya untuk melabuhkan sentuhan di kulit Alice sekarang.

"Lima puluh pertama untuk penyesalan yang akan datang selepasnya." Suara Alice bergetar seiring dengan jauhnya jari-jari Dastan merayap ke bawah.

"Well, itu masuk akal. Bagaimana dengan yang berikutnya lagi?" Ibu jari Dastan membuat penekanan pada pangkal paha Alice.

"Lima puluh sisanya untuk kenikmatan yang akan kita raih bersama."

"Cukup adil." Jemari Dastan menyelusup di antara kedua paha Alice tanpa ragu dan mengudarakan kesiap spontan dari Alice yang tengah menggeliat di depannya.

Oksigen mendadak surut dari paru-paru Alice, sementara Dastan meregangkan kaki-kakinya lebih lebar. Dia tidak mengenakan apa pun sebagai pelindung, kecuali kemeja milik pria itu yang sudah tersingkap jauh hingga ke batas pinggang. Dastan juga telah menyingkirkan seluruh pakaian dalamnya untuk alasan yang bisa Alice duga.

Dastan membungkuk untuk menyejajarkan kepalanya pada tubuh Alice, lantas berlutut dengan hasrat yang berkobar dalam sorot matanya. Tahu pasti bahwa dia tidak memerlukan izin dari Alice untuk melakukan sesuatu yang hebat di sana. Wanita itu terbakar dan hanya Dastan yang mampu memadamkan apinya.

Kebutuhan itu mendesak seperti prioritas. Alice merindukan Dastan dan setiap sel dalam tubuhnya menyerukan sesuatu yang sama. Sisi femininnya mendambakan gema yang maskulin untuk membuatnya seimbang.

Dastan menciptakan aksi dan tubuh Alice membentuk respons untuk menyambutnya. Ceroboh, impulsif, dan target yang mudah masuk dalam perangkap. Begitu Alice melukiskan sosok dirinya bagi kaum adam.

Gelora yang berkumpul di pusat tubuh Alice kemudian menyebarkan gelenyar baru ke dadanya dan napas Dastan yang menerpa kulit paha Alice sukses membuat erangannya meluncur begitu saja. Mata Alice menutup, merasakan sensasi yang Dastan buat pada dirinya, merasakan rapuhnya emosi mereka saat lidah pria itu menyentuhnya di tempat yang tepat.

"Saat aku bilang bahwa aku pria berengsek, ini hanya salah satunya." Dastan mendongakkan kepala lalu menatap Alice dari balik kedua lututnya.

"Aku tidak menyangka aku akan mengatakannya, tetapi aku menyukai ini."

Alice suka dengan debar yang membuat dirinya mendenyutkan gairah untuk Dastan. Rasanya spesial dan aneh, seolah-olah tubuh Alice meneriakkan kata seks di udara. Lantang dan tanpa malu.

Setelah sekian lama, Dastan mencicipi rasa diri Alice lagi. Hasratnya yang menggebu-gebu, basah, dan luar biasa. Tidak ada yang lebih baik dari seorang wanita yang menyerahkan dirinya secara utuh, pikir Dastan.

Alice adalah pemandangan paling indah yang Dastan kenal. Dia langit di waktu senja, pelangi yang melengkung di cakrawala, dan teka-teki di musim gugur. Miliknya.

Dastan memberondong Alice dengan stimulasi yang pas, tanpa henti, dan mengubah dunianya dalam sekejap. Alice menjerit, meledak, dan gemetar. Menggigit ujung bantal dan membusurkan punggungnya tinggi-tinggi sebelum tenaganya habis.

"Berapa banyak masalah kita, Alice?" tanya Dastan yang berdiri mendekati Alice, cahaya lampu menimpa kilau lembap di bibirnya, membuat kesan sensual yang berhasil mengaduk perut Alice. 

"Kita bahkan belum menghitungnya."

"Kau benar." Dastan naik ke tepi ranjang dan meraih leher Alice dengan lembut.

"Mulailah menghitung sekarang," bisik Dastan sambil memosisikan tubuhnya lebih rendah ke tubuh Alice.

Jemari Dastan turun ke area-area pribadi. Hanya terhenti saat kancing kemeja itu menghalanginya. Dastan melepaskannya dengan sabar, satu demi satu, menikmati momen yang akan dia ingat dalam waktu yang lama.

"Satu untuk kau dan aku." Alice sengaja merentangkan kedua tangannya ke samping dan membiarkan dadanya terekspos sempurna.

Seringai Dastan terbit. Samar. Menampilkan ekspresi iblis  yang tidak terbaca pada wajahnya. 

"Dua untuk pertahanan diriku yang payah," balas Alice lagi saat jari telunjuk Dastan masuk ke dalam mulutnya dan Alice mengisapnya perlahan.

"Lalu?" Jemari Dastan yang lain merayap menunjukkan kepemilikannya pada tubuh Alice, pada perutnya yang kencang dan dihiasi tindik, pada kulitnya yang meremang oleh sentuhan Dastan.

"Tiga untuk pesonamu yang masih punya kuasa atas diriku." 

"Dan empat?" gumam Dastan yang memejamkan matanya saat Alice menjilati jarinya dengan cara yang erotis.

"Untuk bajingan yang sedang berlutut di antara tubuhku sekarang."

Dastan terampil dalam banyak hal dan detak jantung Alice memacu ke batas-batas yang tidak lazim. Kepalanya terasa kosong, kecuali dari monolog tentang Dastan dan sesuatu yang bisa pria itu buat terhadap tubuhnya. 

"Lima?" Dastan menarik jarinya dari bibir Alice.

"Lima untuk tahun-tahun yang menyedihkan tanpamu." Pengakuan itu terdengar menyakitkan bagi Alice.

Dastan lantas membungkukkan wajahnya, mencium Alice dengan lambat dan posesif, menyimpan harap untuk bisa menghapus kekecewaan pada masa lalu di antara mereka. Sedikit saja. Dia mencintai Alice, perasaannya masih sama, dan itu tidak akan pernah berubah.

"Enam untuk bibirmu," geram Alice di sela-sela lidah mereka yang saling mengait untuk menyaring udara.

Tubuh Dastan mulai menggaungkan pemberontakan. Pembuluh darahnya memompa ke bagian paling rendah. Menciptakan ketegangan dan bahaya sensual yang begitu nyata.

"Dan tujuh untukku."

"Untukmu?"

"Aku menikmati pertunjukannya."

Senyum Dastan menarik otot-otot pipinya. Lebar dan mempertontonkan susunan gigi yang rapi. "Delapan?"

"Delapan untuk gairah yang mencabik diriku."

Dastan lalu melucuti pakaiannya. Melempar mantel shearling itu ke kepala ranjang dan melepaskan kancing kemejanya dengan gerakan luwes sebelum membebaskan celana panjangnya sendiri. Mereka telanjang, siap, dan dipenuhi adrenalin.

"Sembilan untuk penyesalan kita yang akan datang."

"Nae. Lima puluh yang pertama sama sekali tidak berlaku padaku." Dastan melingkari punggung Alice dengan tangan kirinya dan membuat kulit mereka saling bersinggungan satu sama lain.

"Aku tidak akan pernah menyesalinya, Alice. Kau bagian dari mimpi-mimpi paling liarku," lanjutnya mengecup ringan rahang Alice.

"Jadi, apa pekerjaanmu?"

"Aku tidak tahu profesi seseorang bisa jadi topik yang menarik di tengah-tengah aktivitas kita sekarang." Dastan kemudian mengubur wajahnya di leher Alice dan memberi lebih banyak sentuhan dengan bibirnya.

"Kau lahir dari orang tua konglomerat. Kabur dari sangkar emasmu sepuluh tahun yang lalu. Hidup mandiri di kota London yang keras dan penuh dosa. Semuanya terjadi sebelum kau kembali melarikan diri untuk yang kedua kalinya. Apa kau menjalankan bisnis? Narkoba dan perdagangan senjata ilegal?" goda Alice yang mendekap erat pinggul Dastan.

"Jauh lebih baik dari itu. Aku mengelola perusahaan chip semikonduktor milik ayahku."

"Sang ahli waris seperti dalam film?" komentar Alice mengangkat satu alisnya.

"Kurang lebih." Dastan mulai menyelipkan tubuhnya ke tubuh Alice, membenamkan dirinya secara keseluruhan, merasakan rasa diri Alice yang membuat gairahnya berangsur merebak sampai ke tulang.

Alice menerima Dastan. Penyatuan yang membuat perasaan mereka lengkap sekaligus goyah pada waktu yang bersamaan dan dengan suara yang jernih Alice berbisik, "Sepuluh untuk bercinta dengan sang presdir."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bercinta Dengan Sang Presdir   28. Misi

    "Sazerac, please. Dua." Mortimer mengaitkan kacamatanya di tengah-tengah dada, sementara Penelope sudah duduk tenang di salah satu kursi bar."Terlalu awal untuk mabuk," kata Penelope ketika Mortimer duduk di sampingnya."Tidak ada yang terlalu awal untuk bersenang-senang, Darling. Aku bisa menemanimu ke salon esok pagi. Kita akan selalu punya waktu seharian, kau tahu.""Kalau begitu, jemput aku di rumah ayahku." Penelope meletakkan tas jinjingnya di atas meja."Di rumah ayahmu?" Mortimer melongo, seolah-olah Penelope baru saja mengatakan sesuatu yang salah."Ya, memangnya ada apa?" Penelope mengabaikan nada sinis dalam suara Mortimer lalu mengedarkan pandang ke sekeliling, mengamati suasana bar yang sepi sebelum mengembalikan tatapannya pada Mortimer lagi."Kau serius?""Aku tidak punya pilihan." Penelope mengangkat bahu. "Aku baru saja bebas hari ini. Aku lelah. Aku belum tahu apartemen mana yang akan sesuai untuk kutinggali. Lagi pula, aku tidak ingin repot-repot mengurusi barang-b

  • Bercinta Dengan Sang Presdir   27. Ratapan Sang Pengantin

    Penelope mengibaskan ujung rambutnya yang setengah ikal karena tidak disisir. Cat rambutnya sudah luntur dan dia butuh perawatan ekstra untuk mengembalikan penampilannya seperti semula. Sisa-sisa kecantikannya bahkan tidak memudar, meskipun Penelope berada di dalam penjara selama hampir dua bulan lamanya.Setelah melewati hari-hari pahit dan menyedihkan itu, Penelope kini bisa kembali menghirup udara bebas. Tidak lagi terkungkung atau mati membusuk seperti yang pernah dia pikir akan terjadi padanya. Dengan melalui proses persidangan yang begitu panjang, hakim akhirnya memutuskan bahwa Penelope tidak bersalah.Untuk pertama kalinya, Penelope merindukan London sebagai tempat kelahirannya. Perasaan itu terselip seperti sapu tangan yang lupa dia ambil di mesin cuci sebelum kemudian berubah jadi prioritas yang harus dinomorsatukan. Sesuatu yang dia ingat untuk selalu dibawa pergi."Aku tidak tahu aroma kebebasan bisa tercium semenyenangkan ini," katanya pada Mortimer yang sengaja berjalan

  • Bercinta Dengan Sang Presdir   26. Di Atas Kertas

    "Alice?" Dastan memanggilnya lembut dan membuat Alice seketika menoleh. "Aku mencarimu. Ternyata kau di sini."Alice meletakkan gelasnya yang sudah kosong. Dia meraih botol cider lalu mengisinya lagi ke dalam gelas. "Aku tidak bisa tidur. Mungkin pemandangan Birmingham di malam hari dapat membuatku sedikit lebih tenang.""Hanya cider? Aku akan mengambilkan wiski untuk kita." "Tidak. Aku ingin tetap berpikiran jernih. Setidaknya untuk saat ini," tolak Alice yang langsung menenggak habis minumannya.Dastan mengambil posisi paling dekat dengan Alice. Duduk tepat di sampingnya dan menyilangkan kedua tangan di atas meja. "Orion baru saja pulang. Aku pergi melihatmu di kamar, tetapi kau tidak di sana.""Aku akan baik-baik saja. Aku hanya... sedikit syok. Ada begitu banyak hal yang telah terjadi." Alice menggoyangkan gelasnya."Segalanya terjadi di luar kendali. Apa Penelope sudah menghubungimu?" Dastan memperhatikan wajah muram Alice."Untuk apa dia melakukannya? Kami hanya saudari tiri."

  • Bercinta Dengan Sang Presdir   25. Berita Duka

    Orion melemparkan jam tangan milik Benoit ke depan Dastan yang refleks mengangkat dua tangannya untuk menangkap. Siluet Alice lalu muncul di belakang Orion. Kehadiran mereka secara bersamaan mendadak membuat Dastan bertanya-tanya."Jam tangan?" Satu alis Dastan melengkung ke atas."Milik pria sinting yang hampir saja membunuh kekasihmu. Aku sudah membereskannya. Jam tangan itu kuambil sebagai kenang-kenangan." Orion mengangkat bahu sambil mencibir."Tunggu. Membunuh?""Dia dibayar oleh seseorang untuk melakukannya."Alice kemudian berjalan di antara mereka. Masih gemetar dan ketakutan, Alice menatap mata Dastan sesaat sebelum pria itu memeluknya erat hingga napasnya akan habis. Air mata yang berusaha ditahannya sejak tadi pun tumpah.Setelah puas menangis dan menyalurkan emosinya pada Dastan, Alice baru bisa bicara. Menceritakan segalanya dengan detail tanpa melewatkan satu momen pun. Tentang Benoit yang tiba-tiba datang dari arah belakang dan menodongkan belati ke punggungnya sampai

  • Bercinta Dengan Sang Presdir   24. Dalam Penjara

    "Dean sudah tiada, Penelope." Mortimer buru-buru masuk melepaskan mantel dan meletakkannya asal.Mortimer lalu duduk di samping Penelope yang masih belum beranjak dari posisinya. Dia bergelung seperti huruf C di sofa tiga dudukan di depan televisi. Hanya mendongakkan kepalanya sedikit saat Mortimer datang membawakan kabar buruk itu padanya."Aku melihat garis polisi, darah, dan kekacauan yang telah terjadi. Tempat itu berubah seperti mimpi buruk," katanya lagi.Kondisi Penelope tidak kalah kacaunya dengan kasus itu, berwajah sembab dan berantakan, dia menatap Mortimer lekat-lekat. Tidak biasanya dia lupa mengenakan maskara dan lipstik, pikir Penelope. Mortimer jelas ikut terguncang dengan kematian Dean yang bisa menyeret Penelope ke dalam penjara."Kau menyaksikan segalanya?" tanya Penelope memastikan."Aku menyelinap ke sana untuk mendapatkan informasi. Hanya tinggal menunggu waktu sampai mereka datang mencarimu." Mortimer menggeleng sedih."Tidak ada yang bisa kulakukan," bisiknya p

  • Bercinta Dengan Sang Presdir   23. Kekacauan

    Penelope mengetuk berulang kali sambil menengok ke kanan dan kiri. Dia lalu merapatkan jaket ke tubuhnya. Udara dingin membuat kedua kaki Penelope terasa membeku karena dia pergi dengan buru-buru dan lupa mengenakan mantel.Tidak lama kemudian pintu itu terbuka. Mortimer terperangah sesaat sebelum dia menyadari bahwa orang yang sedang berdiri di hadapannya adalah Penelope. "Penelope? Apa yang kau lakukan di sini?""Ka-kau harus menolongku, Mortimer. Aku tidak tahu... astaga, apa yang sudah kulakukan? Apa yang telah kuperbuat? Aku tidak sengaja... itu memang tidak sengaja. Sungguh, aku berani sumpah aku tidak bermaksud untuk membunuhnya." Penelope menangis, syok, dan dalam keadaan yang luar biasa gemetar itu merosot di depan apartemen Mortimer. "Ada apa, Penelope? Kau tampak kacau. Ayo, cepat masuk!" Mortimer menggandeng tangan Penelope, menyeretnya lebih kuat saat Penelope masih bergeming dalam ketakutannya, dan membuat Mortimer harus mendorong punggungnya ke dalam."Masuklah. Kau ha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status