Share

Bab 4. Lantaran Es Tebu

Menu nasi lalapan ayam yang telah tandas, menjadi penegas waktu yang semakin terbatas. Varen harus pulang demi bisa segera memberikan nasi bungkusnya pada sang ibu di rumah. Sementara Arash, dia harus segera menuju salah satu toko kue. Dia perlu mengambil beberapa rekaman video ulasan tentang ‘Kue Cucur’.

Arash memiliki banyak penggemar di sosial media, salah satunya lantaran video-video ulasan tentang kue tradisional. Semua bermula dari keisengan ketika menjadi mahasiswa baru. Kini, keisengan itu justru menjadi pundi-pundi rupiah meski banyaknya belum seberapa.

“Anak muda zaman now wajib cobain kue tradisional yang satu ini, nih. Kue Cucur gula merah. Sekali coba, bikin kamu terus-terusan ingin mengunyah. Yuk, coba! Lokasinya aku sematkan di akhir video, ya.”

Tiga puluh menit yang begitu menyenangkan bagi Arash. Tidak ada naskah. Tidak ada pula arahan apa pun sebelumnya. Kalimat-kalimat ulasan meluncur dengan ringan dari mulut Arash yang sudah tampak seperti pengulas jajanan dengan banyak jam terbang.

“Terima kasih sudah memberi kesempatan pada saya untuk memberi ulasan pada Kue Cucur di toko ini. Semoga setelah ini semakin laris, karena memang rasa kuenya bikin nagih, Bu,” tutur Arash dengan sopan santun kepada ibu pemilik toko kue.

“Ibu juga berterima kasih. Semoga yang melihat videonya jadi tertarik untuk berkunjung ke sini. Ini, silakan kamu minum dulu.”

Ibu pemilik toko kue begitu murah hati. Sudah memberi sekotak Kue Cucur gratis, kini Arash diberi segelas es tebu yang terasa manis.

“Ah, segar sekali. Apa es tebu ini juga dijual di sini?” tanya Arash spontan.

“Es tebu itu buatan kafe di seberang sana. Tetapi, dengar-dengar, sih, kafenya mau dijual.”

“Kenapa harus dijual, ya, Bu? Padahal minuman ini begitu alami dan menyegarkan. Em … kemasannya juga menarik dan kekinian. Harusnya, sih, mudah laku.”

“Entahlah. Ibu tidak mau terlalu ikut campur urusan orang, apa lagi sesama pedagang.”

Jawaban ibu pemilik toko kue cukup bijaksana, sehingga Arash tidak melanjutkan pertanyaan. Sebaliknya, Arash bergegas pamit pergi dan tak lupa berterima kasih lagi.

Langkah Arash tidak tertuju ke arah angkutan umum di tepian jalan, apa lagi ojek roda dua yang kapan pun siap mengantar. Dia justru menuju ke arah kafe yang tadi diperbincangkan.

“Biasanya kafe-kafe kekinian hanya menjual aneka macam kopi. Rupanya, tidak dengan kafe yang satu ini. Ada es tebu juga,” ucap Arash dengan lirih.

Arash berhenti tepat di sebuah bangku di tepian jalan yang tak lain masih menjadi bagian dari kafe. Gadis cantik itu duduk santai sembari menyeruput es tebu yang masih tersisa setengah. Tak lupa pula dia menyalakan kamera ponsel, lantas merekam aktivitasnya sambil memperlihatkan bangunan kafe.

Video rekaman ketika Arash meminum es tebu, lekas dijadikan story WA, bahkan diunggah pula di media sosial pribadi sembari menyapa penggemarnya.

Begitu video aktivitas terunggah ke sosial media pribadi, fokus Arash berubah lantaran bola matanya menangkap motor milik Dio. Sebenarnya hanya ada lima motor yang terparkir di parkiran kafe. Namun, Arash baru menyadari salah satunya adalah motor milik Dio. Dia begitu yakin karena hafal plat nomornya.

“Ada Dio di dalam kafe? Uwaw! Mungkinkah ini hanya kebetulan? Hari ini aku terus-terusan diberi jalan untuk bertemu dengan dia dan …. Ayah? Mungkinkah juga ada di dalam sana?”

Bola mata Arash melebar seiring dengan keyakinan hatinya yang membesar. Dia lekas berdiri dari tempat duduk, lantas berjalan perlahan memasuki area halaman depan kafe.

Satu dua orang pengunjung kafe melewati Arash begitu saja. Ya, karena langkah Arash begitu pelan. Sampai ketika dia berada di dalam kafe, tertangkaplah pemandangan yang menggetarkan dada.

Di area kafe bagian paling ujung sisi kanan, tampak Dio dan Zen tengah duduk di meja yang sama. Ada bungkusan makanan yang sedang mereka santap bersama. Dan, yang tak kalah mencuri perhatian, yakni canda tawa yang begitu menghidupkan suasana.

“Aku belum pernah melihat ayah tertawa selepas itu. Di saat aku masih kecil dan sedang membuat candaan, ayah hanya tertawa pelan. Itu pun sebentar,” gema Arash dalam hatinya.

Dada Arash semakin bergemuruh. Bisa dibilang, dia cemburu pada Dio yang dengan mudahnya membuat sang ayah tertawa.

“Arash, kenapa kau cemburu pada lelaki yang kau cintai? Harusnya kau bahagia ketika melihat ayahmu bahagia!” seru Arash, dan masih di dalam hatinya.   

“Permisi, Mbak. Tolong jangan di tengah jalan!” tegur seorang pelanggan kafe yang baru saja melewati pintu masuk.

Arash tersadar dari jerat perasaan, lantas sigap menanggapi seseorang yang baru saja menegur. Dia lekas menunduk sopan sebagai tanda permintaan maaf.

Hingga di detik ketika Arash menepi, Dio dan Zen masih asik mengobrol. Mereka berdua belum menyadari kehadiran Arash. 

Niatan Arash untuk masuk ke dalam kafe, tak lain adalah membuktikan prasangka dalam hatinya. Dugaan dia terbukti benar. Tidak hanya Dio yang ada di dalam kafe, sang ayah pun ada di sana.

Kini, niatannya bertambah. Arash tidak ingin sekadar memandang dari kejauhan. Dia ingin terlibat dalam obrolan, bahkan tertawa bersama seperti yang baru saja dia saksikan.

“Aku ingin ke sana, tapi bisakah? Apa ayah akan kembali bersikap tak acuh terhadapku?” tanya Arash pada dirinya sendiri, dengan suara lirih, dan hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Tatapan matanya pun tak lepas dari Dio dan Zen.

“Ah, bodo amat, deh! Aku telah bertekad untuk mendapatkan hati mereka berdua. Jika aku tidak berani mengambil langkah, maka kepantasan yang aku idamkan hanya akan berakhir dalam angan-angan.”

Arash memutuskan dengan tegas. Langkahnya segera terayun menuju meja tempat Dio dan Zen. Ada usaha yang akan kembali dia coba, yakni memulai obrolan dengan sang ayah, juga lelaki pujaan hatinya.

Begitu langkah Arash sudah sangat dekat, barulah dia menyadari bahwa tawa dan canda yang Dio dan Zen buat bersumber dari sebuah foto yang berada di ponsel milik Dio.

Foto itu adalah potret wajah Arash tadi siang, yang diambil ketika selesai perkuliahan. Tepatnya lagi, diambil seusai Dio menyerahkan syal yang dipinjam Varen. Ya, foto itu adalah potret wajah Arash dengan bedak tebal.

“Hapus foto itu!” seru Arash spontan sembari merebut ponsel milik Dio. 

Tidak hanya Dio dan Zen yang terkejut dengan kehadiran dan seruan Arash, tapi semua pengunjung bahkan pelayan kafe pun bersikap demikian. 

“Arash? Kenapa kau bisa ada di sini?” tanya Dio spontan, lantas mencoba mengambil ponselnya kembali.

“Minggir dulu! Biarkan aku menghapus foto ini! Foto ini benar-benar tidak pantas dilihat ayahku! Aku malu!” tegas Arash.

Tidak butuh waktu lama hingga foto itu pun terhapus. Sikap Arash selanjutnya sungguh tidak ada di dalam rencana. Buru-buru dia foto selfie menggunakan ponsel milik Dio.

“Ini kukembalikan. Sekarang, kau sudah memiliki fotoku yang baru, yang lebih pantas untuk dilihat. Jangan lagi-lagi seperti tadi, ya! Aku … aku tidak suka,” tutur lembut Arash yang di bagian akhir kalimatnya justru terdengar lirih. Selanjutnya, bulir bening pun membahasi pipi. Arash, dia menangis. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status