Menu nasi lalapan ayam yang telah tandas, menjadi penegas waktu yang semakin terbatas. Varen harus pulang demi bisa segera memberikan nasi bungkusnya pada sang ibu di rumah. Sementara Arash, dia harus segera menuju salah satu toko kue. Dia perlu mengambil beberapa rekaman video ulasan tentang ‘Kue Cucur’.
Arash memiliki banyak penggemar di sosial media, salah satunya lantaran video-video ulasan tentang kue tradisional. Semua bermula dari keisengan ketika menjadi mahasiswa baru. Kini, keisengan itu justru menjadi pundi-pundi rupiah meski banyaknya belum seberapa.
“Anak muda zaman now wajib cobain kue tradisional yang satu ini, nih. Kue Cucur gula merah. Sekali coba, bikin kamu terus-terusan ingin mengunyah. Yuk, coba! Lokasinya aku sematkan di akhir video, ya.”
Tiga puluh menit yang begitu menyenangkan bagi Arash. Tidak ada naskah. Tidak ada pula arahan apa pun sebelumnya. Kalimat-kalimat ulasan meluncur dengan ringan dari mulut Arash yang sudah tampak seperti pengulas jajanan dengan banyak jam terbang.
“Terima kasih sudah memberi kesempatan pada saya untuk memberi ulasan pada Kue Cucur di toko ini. Semoga setelah ini semakin laris, karena memang rasa kuenya bikin nagih, Bu,” tutur Arash dengan sopan santun kepada ibu pemilik toko kue.
“Ibu juga berterima kasih. Semoga yang melihat videonya jadi tertarik untuk berkunjung ke sini. Ini, silakan kamu minum dulu.”
Ibu pemilik toko kue begitu murah hati. Sudah memberi sekotak Kue Cucur gratis, kini Arash diberi segelas es tebu yang terasa manis.
“Ah, segar sekali. Apa es tebu ini juga dijual di sini?” tanya Arash spontan.
“Es tebu itu buatan kafe di seberang sana. Tetapi, dengar-dengar, sih, kafenya mau dijual.”
“Kenapa harus dijual, ya, Bu? Padahal minuman ini begitu alami dan menyegarkan. Em … kemasannya juga menarik dan kekinian. Harusnya, sih, mudah laku.”
“Entahlah. Ibu tidak mau terlalu ikut campur urusan orang, apa lagi sesama pedagang.”
Jawaban ibu pemilik toko kue cukup bijaksana, sehingga Arash tidak melanjutkan pertanyaan. Sebaliknya, Arash bergegas pamit pergi dan tak lupa berterima kasih lagi.
Langkah Arash tidak tertuju ke arah angkutan umum di tepian jalan, apa lagi ojek roda dua yang kapan pun siap mengantar. Dia justru menuju ke arah kafe yang tadi diperbincangkan.
“Biasanya kafe-kafe kekinian hanya menjual aneka macam kopi. Rupanya, tidak dengan kafe yang satu ini. Ada es tebu juga,” ucap Arash dengan lirih.
Arash berhenti tepat di sebuah bangku di tepian jalan yang tak lain masih menjadi bagian dari kafe. Gadis cantik itu duduk santai sembari menyeruput es tebu yang masih tersisa setengah. Tak lupa pula dia menyalakan kamera ponsel, lantas merekam aktivitasnya sambil memperlihatkan bangunan kafe.
Video rekaman ketika Arash meminum es tebu, lekas dijadikan story WA, bahkan diunggah pula di media sosial pribadi sembari menyapa penggemarnya.
Begitu video aktivitas terunggah ke sosial media pribadi, fokus Arash berubah lantaran bola matanya menangkap motor milik Dio. Sebenarnya hanya ada lima motor yang terparkir di parkiran kafe. Namun, Arash baru menyadari salah satunya adalah motor milik Dio. Dia begitu yakin karena hafal plat nomornya.
“Ada Dio di dalam kafe? Uwaw! Mungkinkah ini hanya kebetulan? Hari ini aku terus-terusan diberi jalan untuk bertemu dengan dia dan …. Ayah? Mungkinkah juga ada di dalam sana?”
Bola mata Arash melebar seiring dengan keyakinan hatinya yang membesar. Dia lekas berdiri dari tempat duduk, lantas berjalan perlahan memasuki area halaman depan kafe.
Satu dua orang pengunjung kafe melewati Arash begitu saja. Ya, karena langkah Arash begitu pelan. Sampai ketika dia berada di dalam kafe, tertangkaplah pemandangan yang menggetarkan dada.
Di area kafe bagian paling ujung sisi kanan, tampak Dio dan Zen tengah duduk di meja yang sama. Ada bungkusan makanan yang sedang mereka santap bersama. Dan, yang tak kalah mencuri perhatian, yakni canda tawa yang begitu menghidupkan suasana.
“Aku belum pernah melihat ayah tertawa selepas itu. Di saat aku masih kecil dan sedang membuat candaan, ayah hanya tertawa pelan. Itu pun sebentar,” gema Arash dalam hatinya.
Dada Arash semakin bergemuruh. Bisa dibilang, dia cemburu pada Dio yang dengan mudahnya membuat sang ayah tertawa.
“Arash, kenapa kau cemburu pada lelaki yang kau cintai? Harusnya kau bahagia ketika melihat ayahmu bahagia!” seru Arash, dan masih di dalam hatinya.
“Permisi, Mbak. Tolong jangan di tengah jalan!” tegur seorang pelanggan kafe yang baru saja melewati pintu masuk.
Arash tersadar dari jerat perasaan, lantas sigap menanggapi seseorang yang baru saja menegur. Dia lekas menunduk sopan sebagai tanda permintaan maaf.
Hingga di detik ketika Arash menepi, Dio dan Zen masih asik mengobrol. Mereka berdua belum menyadari kehadiran Arash.
Niatan Arash untuk masuk ke dalam kafe, tak lain adalah membuktikan prasangka dalam hatinya. Dugaan dia terbukti benar. Tidak hanya Dio yang ada di dalam kafe, sang ayah pun ada di sana.
Kini, niatannya bertambah. Arash tidak ingin sekadar memandang dari kejauhan. Dia ingin terlibat dalam obrolan, bahkan tertawa bersama seperti yang baru saja dia saksikan.
“Aku ingin ke sana, tapi bisakah? Apa ayah akan kembali bersikap tak acuh terhadapku?” tanya Arash pada dirinya sendiri, dengan suara lirih, dan hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Tatapan matanya pun tak lepas dari Dio dan Zen.
“Ah, bodo amat, deh! Aku telah bertekad untuk mendapatkan hati mereka berdua. Jika aku tidak berani mengambil langkah, maka kepantasan yang aku idamkan hanya akan berakhir dalam angan-angan.”
Arash memutuskan dengan tegas. Langkahnya segera terayun menuju meja tempat Dio dan Zen. Ada usaha yang akan kembali dia coba, yakni memulai obrolan dengan sang ayah, juga lelaki pujaan hatinya.
Begitu langkah Arash sudah sangat dekat, barulah dia menyadari bahwa tawa dan canda yang Dio dan Zen buat bersumber dari sebuah foto yang berada di ponsel milik Dio.
Foto itu adalah potret wajah Arash tadi siang, yang diambil ketika selesai perkuliahan. Tepatnya lagi, diambil seusai Dio menyerahkan syal yang dipinjam Varen. Ya, foto itu adalah potret wajah Arash dengan bedak tebal.
“Hapus foto itu!” seru Arash spontan sembari merebut ponsel milik Dio.
Tidak hanya Dio dan Zen yang terkejut dengan kehadiran dan seruan Arash, tapi semua pengunjung bahkan pelayan kafe pun bersikap demikian.
“Arash? Kenapa kau bisa ada di sini?” tanya Dio spontan, lantas mencoba mengambil ponselnya kembali.
“Minggir dulu! Biarkan aku menghapus foto ini! Foto ini benar-benar tidak pantas dilihat ayahku! Aku malu!” tegas Arash.
Tidak butuh waktu lama hingga foto itu pun terhapus. Sikap Arash selanjutnya sungguh tidak ada di dalam rencana. Buru-buru dia foto selfie menggunakan ponsel milik Dio.
“Ini kukembalikan. Sekarang, kau sudah memiliki fotoku yang baru, yang lebih pantas untuk dilihat. Jangan lagi-lagi seperti tadi, ya! Aku … aku tidak suka,” tutur lembut Arash yang di bagian akhir kalimatnya justru terdengar lirih. Selanjutnya, bulir bening pun membahasi pipi. Arash, dia menangis.
Tangisan Arash tidak berlangsung lama. Hanya beberapa detik dia tunjukkan di depan Dio dan sang ayah. Bahkan, satu senyuman sempat disuguhkan sebelum akhirnya dia pergi dari kafe, tanpa diikuti oleh satu pun di antara dua lelaki yang dia cintai.Langkah kaki Arash mulanya terayun pelan. Tatapan matanya seperti orang-orang pada umumnya, tapi dalam hatinya membuncah perasaan yang tak karuan rasanya. Langkah kaki gadis yang tengah diselimuti kesedihan itu pun dipercepat. Dia sama sekali tidak berniat menggunakan jasa ojek apa lagi angkutan umum. Hanya satu yang dia fokuskan, yakni segera sampai di kos-kosan tanpa menggunakan kendaraan. Karena, bekas air mata di wajahnya sangat rentan memicu kekhawatiran dari orang yang menyaksikan.Tiba-tiba saja, klakson mobil dari arah belakang membuat Arash terkejut sampai spontan menghentikan langkah. Begitu dia menengok ke arah pengemudi, barulah dia mengubah ekspresi dan siap memaki.“Vareeeen! Keluar kau!” seru Arash sembari melangkah mendekati m
Arash menarik lengan Varen hingga ke tepian jalanan besar, dekat gerbang utama kampus. Kurang lebih jarak yang sudah ditempuh adalah seratus meter. Sejauh itu pula Varen hanya manurut saat Arash menarik lengan kirinya. Dia hanya diam, tanpa menyuarakan protes seperti biasanya. Padahal, Arash tak henti-hentinya mengomel di sepanjang perjalanan.“Berhenti dulu!” tegas Varen sembari melepas cengkraman tangan Arash di lengan kirinya.Varen tidak membiarkan tangannya bebas begitu saja. Dia justru ganti menggenggam tangan Arash, bahkan kedua tangan gadis itu digenggam. “Kau ngapain, sih, Ren?” Arash melepas genggaman tangan Varen.Di luar dugaan, Varen justru melakukan tindakan lain. Dia ganti menyentuh kedua pipi Arash. “Varen! Kau nggak sopan!” protes Arash seraya mundur beberapa langkah ke belakang.“Diam di situ sebentar!” titah Varen, dan kali ini dia menyentuh bagian kening Arash. “Kau demam,” ungkapnya kemudian.Arash menepis lengan Varen, lantas memalingkan wajahnya ke sebelah kan
Tubuh yang semula hanya terasa hangat, kini bertambah suhunya. Tenaga yang semula terjaga, seketika melemah. Akan tetapi, Arash berusaha menahan dirinya hingga angkutan umum sampai di depan gang kos-kosan. Arash berjalan gontai, lantas berhenti untuk mengatur nafasnya yang mulai terasa berat. Suhu tubuhnya pun semakin meningkat. Kaki-kaki jenjang terbalut celana jeans keabuan lekas diayunkan kembali hingga tepat di seberang kos-kosan. Ada sebuah warung yang juga menjual obat-obatan sederhana. Arash membeli sebotol air mineral, sebungkus roti tawar, juga beberapa tablet obat penurun panas.“Lagi nggak enak badan, ya, Mbak?” tanya ibu pemilik warung.Arash hanya tersenyum, lantas mengangguk ringan. Rasa-rasanya tubuhnya semakin melemah sampai-sampai tak sanggup berucap kata.“Tunggu sebentar, ya. Ibu punya sesuatu untukmu,” pinta ibu pemilik warung.Sebenarnya tubuh Arash sudah tidak kuat, tapi dia tetap menghargai ibu pemilik warung. Sekitar lima menit lamanya dia berdiri di depan wa
Dua lelaki gagah di tepian jalan raya tampak saling terdiam. Tatapan keduanya menyiratkan keseriusan. Varen serius dengan ucapannya, sementara Dio serius menyimak kabar berita.“Arash tidak mungkin menyukaiku. Dia cerdas dan berkelas. Dia lebih pantas dicintai oleh lelaki yang lebih romantis. Bukan lelaki humoris semacam aku.” Dio menanggapi panjang lebar.“Tahu apa kau tentang pantas, ha? Kalau cinta, ya cinta. Tidak peduli seperti apa sosoknya.” Mimik wajah Varen mengeras.“Maksudmu, Arash benar-benar mencintaiku?’ tanya Dio.“Apa kau kira aku sedang bercanda?” “Kalau begitu, kau mungkin salah paham. Yang tampak di mataku, Arash seperti bersimpati terhadapku karena tahu aku terbeban dan dipenuhi rasa bersalah yang teramat dalam. Aku terlihat seolah telah merebut Ayah Zen dari Arash.”Varen menangkap pengakuan Dio. Entah sengaja atau tidak, tapi pengakuan barusan cukup rasional. Sedikit banyak, Dio pasti menyimpan perasaan tidak enak hati atas perpisahan kedua orangtua Arash.“Lagi
“Aku bau badan,” ucap Arash sembari mulai turun dari ranjang.Suhu tubuhnya sudah turun setelah istirahat semalaman. Akan tetapi, hidungnya mengeluarkan cairan bening, sering bersin, dan terbatuk ringan.“Syukurlah karena ini hanya flu. Aku tidak akan memaafkan diriku bila harus berlama-lama terbaring lemah di atas kasur,” ujar Arash yang kini berniat mandi.Kamar mandi di kos-kosan Arash adalah kamar mandi berbagi. Sehingga, dia harus antri. Dan, antriannya panjang sekali. Di jeda waktu setengah jam menunggu, tubuh Arash hangat lagi. Kepalanya juga terasa pening.“Hari ini ada kuis dari dosen. Kalau aku tidak masuk, aku harus menyusul sendirian,” batin Arash penuh pertimbangan.Tiba-tiba saja ada yang menyodorkan tas kresek tepat di depan wajah Arash. Tidak hanya itu, kening Arash pun disentuh olehnya.“Kamu masih sakit. Lebih baik izin dulu kuliahnya. Ini ada titipan dari temanmu yang semalam,” ujar tetangga kamar kos Arash yang semalam mengantar titipan obat dan vitamin.“Terima ka
Vina datang menengahi Varen dan Dio yang sudah bersiap adu bogem. Si Cantik tinggi hati yang mendapat sebutan nenek lampir dari beberapa temannya itu tak segan menjewer telinga Varen dan Dio secara bergantian. Dio bersikap biasa saja, sementara Varen segera menepis tangan Vina.“Bocah kalau lagi bertengkar ya begini, nih. Sukanya main tangan. Tidak pikir panjang. Tunjukkan kalau kalian adalah mahasiswa yang bisa meredam emosi tanpa saling menyakiti!” tegas Vina tanpa rasa takut. Vina sudah bersiap dengan ceramahnya yang panjang, tapi Varen dan Dio tidak berminat mendengarkan. Mereka kompak memilih tempat duduk masing-masing tanpa memedulikan apa yang Vina katakan. Bahkan, Varen terang-terangan menyumpal kedua telinganya dengan tangan.“Kalian sungguh tidak sopan! Awas kalau ….”“Silakan duduk di kursimu!” tegur seorang dosen yang akan mengajar, tapi jalannya terhalang oleh Vina yang kini berkacak pinggang.Seketika tidak lagi ada suara, apa lagi keributan. Semua terdiam dan bersiap m
Kehadiran Kristal yang tak lain adalah mamanya Dio, cukup membuat dada Arash berdebar-debar. Dia masih teringat momen ketika diusir tanpa ada satu pun yang membela. Belajar dari pengalaman, kali ini dia mengambil sikap yang berbeda. Dia tampak lebih tegar.“Aku sudah menyingkir dari suami Tante Kristal,” ucap Arash usai minggir dua langkah ke samping kanan dengan tenang.“Dasar bocah tengil! Minggir!”Arash terpaksa harus membuat jarak beberapa langkah lagi dari sang ayah. Kini, dia berdiri tepat di samping Varen. Tentu saja sahabat Arash itu hendak membela, tapi lekas dicegah melalui tatapan mata.“Tolong, jangan membuat keributan di sini!” tegas Zen dengan setengah memelankan suaranya. “Aku datang dengan damai, sampai aku melihat dia memelukmu dengan tidak wajar,” alasan Kristal sembari menatap tidak suka ke arah Arash.“Sikap mama yang tidak wajar. Arash itu putrinya Ayah Zen. Wajar bila dia memeluk ayahnya karena rindu,” celetuk Dio.“Tapi dia bukan putri kandung Zen. Harusnya di
“Antar aku pulang!” pinta Arash tanpa berniat menjawab pertanyaan Varen. Ekspresi wajahnya pun berubah. Tidak lagi sendu apa lagi sampai berlinang air mata.Varen terdiam sebentar. Dia melihat ke arah Arash dengan lekat untuk sekian detik lamanya. Hingga dirasa tidak ada lagi kelanjutan obrolan, dia pun memutuskan untuk mengalah dan mengantar Arash pulang.Sepanjang jalan menuju ke kos-kosan Arash sama sekali tidak ada obrolan. Arash hanya diam, duduk tenang di boncengan belakang. Varen pun menghargai kondisi Arash. Dia tetap tenang sembari fokus ke jalanan.“Besok tidak perlu menjemputku. Aku tidak masuk kuliah. Mau istirahat hingga sembuh,” ungkap Arash begitu sampai di depan gerbang kos-kosan.“Oke,” jawab Varen singkat. Sebenarnya dia berat untuk mengiyakan, tapi itulah yang terbaik untuk kondisi sekarang.Kini, lelaki berkacamata yang tampak begitu peduli pada Arash itu pun hanya bisa memandang dalam diam sampai Arash menghilang dari pandangan. Setelahnya, dia melajukan motornya