Home / Young Adult / Berebut Pantas / Bab 4. Lantaran Es Tebu

Share

Bab 4. Lantaran Es Tebu

Author: BintangAeri
last update Last Updated: 2024-01-27 22:26:42

Menu nasi lalapan ayam yang telah tandas, menjadi penegas waktu yang semakin terbatas. Varen harus pulang demi bisa segera memberikan nasi bungkusnya pada sang ibu di rumah. Sementara Arash, dia harus segera menuju salah satu toko kue. Dia perlu mengambil beberapa rekaman video ulasan tentang ‘Kue Cucur’.

Arash memiliki banyak penggemar di sosial media, salah satunya lantaran video-video ulasan tentang kue tradisional. Semua bermula dari keisengan ketika menjadi mahasiswa baru. Kini, keisengan itu justru menjadi pundi-pundi rupiah meski banyaknya belum seberapa.

“Anak muda zaman now wajib cobain kue tradisional yang satu ini, nih. Kue Cucur gula merah. Sekali coba, bikin kamu terus-terusan ingin mengunyah. Yuk, coba! Lokasinya aku sematkan di akhir video, ya.”

Tiga puluh menit yang begitu menyenangkan bagi Arash. Tidak ada naskah. Tidak ada pula arahan apa pun sebelumnya. Kalimat-kalimat ulasan meluncur dengan ringan dari mulut Arash yang sudah tampak seperti pengulas jajanan dengan banyak jam terbang.

“Terima kasih sudah memberi kesempatan pada saya untuk memberi ulasan pada Kue Cucur di toko ini. Semoga setelah ini semakin laris, karena memang rasa kuenya bikin nagih, Bu,” tutur Arash dengan sopan santun kepada ibu pemilik toko kue.

“Ibu juga berterima kasih. Semoga yang melihat videonya jadi tertarik untuk berkunjung ke sini. Ini, silakan kamu minum dulu.”

Ibu pemilik toko kue begitu murah hati. Sudah memberi sekotak Kue Cucur gratis, kini Arash diberi segelas es tebu yang terasa manis.

“Ah, segar sekali. Apa es tebu ini juga dijual di sini?” tanya Arash spontan.

“Es tebu itu buatan kafe di seberang sana. Tetapi, dengar-dengar, sih, kafenya mau dijual.”

“Kenapa harus dijual, ya, Bu? Padahal minuman ini begitu alami dan menyegarkan. Em … kemasannya juga menarik dan kekinian. Harusnya, sih, mudah laku.”

“Entahlah. Ibu tidak mau terlalu ikut campur urusan orang, apa lagi sesama pedagang.”

Jawaban ibu pemilik toko kue cukup bijaksana, sehingga Arash tidak melanjutkan pertanyaan. Sebaliknya, Arash bergegas pamit pergi dan tak lupa berterima kasih lagi.

Langkah Arash tidak tertuju ke arah angkutan umum di tepian jalan, apa lagi ojek roda dua yang kapan pun siap mengantar. Dia justru menuju ke arah kafe yang tadi diperbincangkan.

“Biasanya kafe-kafe kekinian hanya menjual aneka macam kopi. Rupanya, tidak dengan kafe yang satu ini. Ada es tebu juga,” ucap Arash dengan lirih.

Arash berhenti tepat di sebuah bangku di tepian jalan yang tak lain masih menjadi bagian dari kafe. Gadis cantik itu duduk santai sembari menyeruput es tebu yang masih tersisa setengah. Tak lupa pula dia menyalakan kamera ponsel, lantas merekam aktivitasnya sambil memperlihatkan bangunan kafe.

Video rekaman ketika Arash meminum es tebu, lekas dijadikan story WA, bahkan diunggah pula di media sosial pribadi sembari menyapa penggemarnya.

Begitu video aktivitas terunggah ke sosial media pribadi, fokus Arash berubah lantaran bola matanya menangkap motor milik Dio. Sebenarnya hanya ada lima motor yang terparkir di parkiran kafe. Namun, Arash baru menyadari salah satunya adalah motor milik Dio. Dia begitu yakin karena hafal plat nomornya.

“Ada Dio di dalam kafe? Uwaw! Mungkinkah ini hanya kebetulan? Hari ini aku terus-terusan diberi jalan untuk bertemu dengan dia dan …. Ayah? Mungkinkah juga ada di dalam sana?”

Bola mata Arash melebar seiring dengan keyakinan hatinya yang membesar. Dia lekas berdiri dari tempat duduk, lantas berjalan perlahan memasuki area halaman depan kafe.

Satu dua orang pengunjung kafe melewati Arash begitu saja. Ya, karena langkah Arash begitu pelan. Sampai ketika dia berada di dalam kafe, tertangkaplah pemandangan yang menggetarkan dada.

Di area kafe bagian paling ujung sisi kanan, tampak Dio dan Zen tengah duduk di meja yang sama. Ada bungkusan makanan yang sedang mereka santap bersama. Dan, yang tak kalah mencuri perhatian, yakni canda tawa yang begitu menghidupkan suasana.

“Aku belum pernah melihat ayah tertawa selepas itu. Di saat aku masih kecil dan sedang membuat candaan, ayah hanya tertawa pelan. Itu pun sebentar,” gema Arash dalam hatinya.

Dada Arash semakin bergemuruh. Bisa dibilang, dia cemburu pada Dio yang dengan mudahnya membuat sang ayah tertawa.

“Arash, kenapa kau cemburu pada lelaki yang kau cintai? Harusnya kau bahagia ketika melihat ayahmu bahagia!” seru Arash, dan masih di dalam hatinya.   

“Permisi, Mbak. Tolong jangan di tengah jalan!” tegur seorang pelanggan kafe yang baru saja melewati pintu masuk.

Arash tersadar dari jerat perasaan, lantas sigap menanggapi seseorang yang baru saja menegur. Dia lekas menunduk sopan sebagai tanda permintaan maaf.

Hingga di detik ketika Arash menepi, Dio dan Zen masih asik mengobrol. Mereka berdua belum menyadari kehadiran Arash. 

Niatan Arash untuk masuk ke dalam kafe, tak lain adalah membuktikan prasangka dalam hatinya. Dugaan dia terbukti benar. Tidak hanya Dio yang ada di dalam kafe, sang ayah pun ada di sana.

Kini, niatannya bertambah. Arash tidak ingin sekadar memandang dari kejauhan. Dia ingin terlibat dalam obrolan, bahkan tertawa bersama seperti yang baru saja dia saksikan.

“Aku ingin ke sana, tapi bisakah? Apa ayah akan kembali bersikap tak acuh terhadapku?” tanya Arash pada dirinya sendiri, dengan suara lirih, dan hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Tatapan matanya pun tak lepas dari Dio dan Zen.

“Ah, bodo amat, deh! Aku telah bertekad untuk mendapatkan hati mereka berdua. Jika aku tidak berani mengambil langkah, maka kepantasan yang aku idamkan hanya akan berakhir dalam angan-angan.”

Arash memutuskan dengan tegas. Langkahnya segera terayun menuju meja tempat Dio dan Zen. Ada usaha yang akan kembali dia coba, yakni memulai obrolan dengan sang ayah, juga lelaki pujaan hatinya.

Begitu langkah Arash sudah sangat dekat, barulah dia menyadari bahwa tawa dan canda yang Dio dan Zen buat bersumber dari sebuah foto yang berada di ponsel milik Dio.

Foto itu adalah potret wajah Arash tadi siang, yang diambil ketika selesai perkuliahan. Tepatnya lagi, diambil seusai Dio menyerahkan syal yang dipinjam Varen. Ya, foto itu adalah potret wajah Arash dengan bedak tebal.

“Hapus foto itu!” seru Arash spontan sembari merebut ponsel milik Dio. 

Tidak hanya Dio dan Zen yang terkejut dengan kehadiran dan seruan Arash, tapi semua pengunjung bahkan pelayan kafe pun bersikap demikian. 

“Arash? Kenapa kau bisa ada di sini?” tanya Dio spontan, lantas mencoba mengambil ponselnya kembali.

“Minggir dulu! Biarkan aku menghapus foto ini! Foto ini benar-benar tidak pantas dilihat ayahku! Aku malu!” tegas Arash.

Tidak butuh waktu lama hingga foto itu pun terhapus. Sikap Arash selanjutnya sungguh tidak ada di dalam rencana. Buru-buru dia foto selfie menggunakan ponsel milik Dio.

“Ini kukembalikan. Sekarang, kau sudah memiliki fotoku yang baru, yang lebih pantas untuk dilihat. Jangan lagi-lagi seperti tadi, ya! Aku … aku tidak suka,” tutur lembut Arash yang di bagian akhir kalimatnya justru terdengar lirih. Selanjutnya, bulir bening pun membahasi pipi. Arash, dia menangis. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berebut Pantas   Bab 17. Tabok, Nih!

    Varen. Dialah yang datang ke ruang perawatan. Mulanya lelaki sahabat Arash itu tampak khawatir, tapi kemudian dia bersikap tengil.“Gimana rasanya ketusuk jarum infus? Enak?” tanya Varen.“Enak, kok. Kau mau coba?” Dio balik bertanya. “Rasa apa?”“Kau sukanya rasa apa, Ren?”“Cappucino cincau.”“Bungkus! Sekarang, kau pergi ke ruang perawat jaga, lalu minta diinfus sepertiku! Jangan lupa bilang yang rasa Cappucino cincau ya.”Varen dengan tanpa sungkan menepuk lengan kiri Dio, lantas tertawa dengan kencangnya.“Karena aku baik, gimana kalau buat kau saja. Ini nih, punggung tanganmu yang satunya masih nganggur,” canda Varen. Hanya candaan biasa, tapi rupanya cukup berhasil membuat Dio jadi ikutan tertawa. Kini, tiada kecanggungan yang tergambar di sana. Suasana menghangat, diikuti sikap Varen yang melembut. “Gimana keadaanmu?” tanya Varen kemudian.“Aku masih beruntung. Hanya luka ringan. Tuh, lihat!”Luka ringan yang dimaksud Dio bukanlah luka lecet biasa, melainkan luka yang sudah

  • Berebut Pantas   Bab 16. Blak-Blakan

    Dio menepis tangan Vina dengan kasar. Dia sungguh tidak nyaman. “Ah, kau nggak asik banget, sih. Yang romantis dikit, dong. Niatku baik, nih, mau bikin tenang,” protes Vina yang tak segan memberondong kata sembari menampilkan wajah jutek.“Bomat! Bod*oh amat!” sahut Dio tanpa melihat ke arah Vina.Sementara Dio masih bersikap cuek dan kukuh pada pendirian, Vina bersedekap tangan. Dia mencoba memahami keadaan, khususnya memahami keadaan Dio yang seolah tengah banyak pikiran.“Kalau misalkan hanya Arash yang aku beri tahu, gimana?” tanya Vina tiba-tiba.Dio langsung menoleh sembari melebarkan bola mata.“Jangan lakukan!”“Ah, ternyata memang benar. Kau memang ada apa-apa sama si Arash sia*lan itu!”“Jaga bicaramu, Vin! Kau tidak tahu apa-apa!”“Aku memang tidak tahu apa-apa, tapi satu hal yang aku tahu, kau sering memperhatikan Arash dari kejauhan dan diam-diam.” Bidikan telak. Tebakan Vina tidak asal. Semua itu berdasar pengamatan, dan benar. Buktinya, ekspresi wajah Dio menunjukkan

  • Berebut Pantas   Bab 15. Jangan Sampai Ada yang Tahu

    Zen mendapati meja makan kosong tanpa makanan. Satu-satunya yang tertutupi oleh tudung saji hanyalah bungkus nasi goreng sisa semalam. Ya, benar-benar hanya tinggal bungkus kertas minyaknya saja. Isinya telah tandas dihabiskan Kristal sejak semalam. “Kau tidak memasak?” tanya Zen begitu melihat sang istri keluar dari kamar mandi.“Malas,” jawab Kristal singkat.“Malas karena tidak ada uang? Bukankah semalam aku sudah membagi 50% keuntungan penjualan es tebu?”Kristal menatap tidak suka ke arah suaminya. Dia tidak suka dibantah. “Perhitungan sekali, sih? Semalam yang kau berikan padaku masih belum cukup untuk mengganti jatah harian yang tidak kau berikan selama seminggu penuh.” Yang dimaksud Kristal adalah ketika Zen mengalami krisis keuangan karena bisnisnya bangkrut. Kedai kopi yang kini mendapat keuntungan banyak karena penjualan es tebu, menjadi satu-satunya bisnis yang memberi harapan bagi Zen untuk mengembalikan kondisi keuangannya yang sempat jatuh. Sayang sekali, respon Kri

  • Berebut Pantas   Bab 14. Adu Ganteng

    Malam begitu cepat menyapa, menyisakan banyak kisah di sepanjang hari yang terasa lelah. Arash tidak tertidur. Dia tengah mengecek jadwal mata kuliah untuk besok. Sempat terbersit dalam hatinya untuk urung izin kuliah lagi, tapi tiba-tiba niatan itu berganti karena teringat dengan kesehatan diri.“Andai ibu tau kalau aku sakit, pasti dia akan memaksaku untuk rawat inap di rumah sakit meski hanya flu. Ibu tidak boleh tahu,” ucap Arash lirih ketika teringat ucapan sang ibu.Bu Lestari, saat ini beliau hanya memiliki Arash sebagai orang terdekat dan satu-satunya yang begitu dipedulikan. Itu sebabnya dia giat bekerja demi mendapat banyak uang guna membantu kebutuhan kuliah Arash. Akan tetapi, yang Arash butuhkan bukan hanya uang, melainkan juga kasih sayang. Bahkan, Arash sering merasa kesepian.“Aku harus bagaimana? Aku sayang ayahku meski dia bukan ayah kandungku. Melihat sikap Tante Kristal yang seperti itu, aku jadi tidak yakin kalau ayah bisa bahagia. Masih lebih baik ketika bersama

  • Berebut Pantas   Bab 13. Panggilan Sayang

    “Pil pahit ini tak sepahit kisah hidupku,” ucap Arash usai gagal menelan sebutir pil pereda flu. Sudah masuk ke mulut, tapi termuntahkan kembali karena terasa pahit.Arash kembali menelan obat dari dokter tanpa mengulang kesalahan. Tadi, begitu dia sampai di kos-kosan, Arash memang makan dengan tergesa-gesa, lantas gagal menelan obatnya. Pikiran Arash sungguh kacau, hingga tidak fokus dengan apa yang ada di depan mata. Bahkan, ketika makan pun pikirannya melambung jauh ke mana-mana.“Ibu, aku ingat betul isi pesanmu, tapi aku masih tidak rela bila ayah mengabaikanku. Belasan tahun dia menyaksikan aku tumbuh, masa iya sama sekali tidak ada kasih sayang untukku?”Arash bertanya-tanya sendiri sembari terus terngiang-ngiang isi pesan sang ibu. “Lupakan ayahmu dan jalani takdirmu! Jatuh cintalah pada lelaki yang tepat, sehingga tidak akan kamu temui kisah gagal seperti ibu dan ayahmu!” “Ah! Bagaimana aku bisa melupakan ayah sementara aku semakin rindu akan kasih sayangnya? Oh Tuhan, maaf

  • Berebut Pantas   Bab 12. Kesepakatan Rahasia

    “Antar aku pulang!” pinta Arash tanpa berniat menjawab pertanyaan Varen. Ekspresi wajahnya pun berubah. Tidak lagi sendu apa lagi sampai berlinang air mata.Varen terdiam sebentar. Dia melihat ke arah Arash dengan lekat untuk sekian detik lamanya. Hingga dirasa tidak ada lagi kelanjutan obrolan, dia pun memutuskan untuk mengalah dan mengantar Arash pulang.Sepanjang jalan menuju ke kos-kosan Arash sama sekali tidak ada obrolan. Arash hanya diam, duduk tenang di boncengan belakang. Varen pun menghargai kondisi Arash. Dia tetap tenang sembari fokus ke jalanan.“Besok tidak perlu menjemputku. Aku tidak masuk kuliah. Mau istirahat hingga sembuh,” ungkap Arash begitu sampai di depan gerbang kos-kosan.“Oke,” jawab Varen singkat. Sebenarnya dia berat untuk mengiyakan, tapi itulah yang terbaik untuk kondisi sekarang.Kini, lelaki berkacamata yang tampak begitu peduli pada Arash itu pun hanya bisa memandang dalam diam sampai Arash menghilang dari pandangan. Setelahnya, dia melajukan motornya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status