Tangisan Arash tidak berlangsung lama. Hanya beberapa detik dia tunjukkan di depan Dio dan sang ayah. Bahkan, satu senyuman sempat disuguhkan sebelum akhirnya dia pergi dari kafe, tanpa diikuti oleh satu pun di antara dua lelaki yang dia cintai.
Langkah kaki Arash mulanya terayun pelan. Tatapan matanya seperti orang-orang pada umumnya, tapi dalam hatinya membuncah perasaan yang tak karuan rasanya.
Langkah kaki gadis yang tengah diselimuti kesedihan itu pun dipercepat. Dia sama sekali tidak berniat menggunakan jasa ojek apa lagi angkutan umum. Hanya satu yang dia fokuskan, yakni segera sampai di kos-kosan tanpa menggunakan kendaraan. Karena, bekas air mata di wajahnya sangat rentan memicu kekhawatiran dari orang yang menyaksikan.
Tiba-tiba saja, klakson mobil dari arah belakang membuat Arash terkejut sampai spontan menghentikan langkah. Begitu dia menengok ke arah pengemudi, barulah dia mengubah ekspresi dan siap memaki.
“Vareeeen! Keluar kau!” seru Arash sembari melangkah mendekati mobil bercat putih.
“Hei, Arash! Kemarilah!” sahut Varen sembari menurunkan kaca jendela mobil.
“Gaya betul kau! Mobil siapa ini, ha?”
Arash bertanya-tanya. Makian yang tadinya siap dilontarkan, seketika hilang lantaran melihat ekspresi di wajah Varen yang penuh kegembiraan.
Varen tidak lansung memberi jawaban. Dia justru mempersilakan Arash untuk masuk ke dalam mobil.
“Pakai sabuk pengamannya, dong! Kita mau balapan, nih!” celetuk Varen ketika Arash sudah duduk di sampingnya.
“Ogah! Mendingan aku jalan kaki ke kos-kosan dari pada balapan,” jawab Arash sembari bersedekap tangan lantas menatap tajam ke arah Varen.
Saat itulah Varen menyadari air muka Arash yang tidak seperti biasanya. Sebagai seorang sahabat yang sudah hafal dengan sikap, tabiat, dan kebiasaan, Varen tahu bahwa Arash tengah diselimuti kesedihan.
“Kau habis nangis, ya?” tanya Varen tanpa basa-basi.
“Nasi buat ibumu sudah diantar apa belum? Kenapa tiba-tiba kau muncul dengan mobil, ha? Mobil siapa ini?”
“Arash, jawab pertanyaanku lebih dulu! Kau habis nangis, ya?”
“Iya, tapi hanya sebentar, kok.”
Begitulah Arash. Dia sering jujur kepada Varen, meski tidak semua hal dia ungkapkan. Sosok Varen telah menjelma sebagai teman sekaligus Abang.
“Apa yang telah terjadi?” Varen serius bertanya. Bahkan, canda tawa yang semula bertahta, kini telah sirna, terganti dengan keseriusan yang teramat nyata.
“Tidak ada apa-apa, Ren. Tidak ada hal menarik yang bisa aku ceritakan. Aku justru lebih tertarik pada mobil yang kau kendarai. Cepat beri tahu aku! Ini mobil siapa?” desak Arash.
Seperti biasa, Varen menghadiahi Arash satu sentilan di kening. Lantas, seperti biasa pula, Arash hanya mampu tersenyum masam sembari menunjukkan sikap protes atas apa yang Varen lakukan.
“Ceritakan sebab kau menangis! Setelahnya, akan kubagi ceritaku!” tegas Varen.
“Aku menolak untuk bercerita,” ungkap Arash sembari memalingkan wajah.
Ada jeda obrolan di antara mereka. Varen sengaja membiarkan Arash terdiam untuk sejenak lamanya. Setelahnya, sebotol air mineral lekas disodorkan kepada Arash.
“Mau nyogok pakai sebotol air mineral? Sorry, nggak mempan!”
“Jangan berpikiran macam-macam! Minumlah!” titah Varen.
Tutup botol air mineral yang masih tersegel, segera dibuka oleh Varen. Tidak butuh waktu lama baginya untuk membuat Arash meneguk isi botol.
“Sudah lebih lega?” tanya Varen penuh perhatian.
“Belum, sih. Tetapi, lumayanlah. Dapat air mineral gratis.”
Varen hanya geleng-geleng kepala, lantas meminta Arash untuk memakai sabuk pengaman mobil. Sekali lagi, Arash menolak. Dia benar-benar khawatir bila Varen akan balapan.
“Oke. Kita tidak akan balapan. Aku akan mengemudi dengan kecepatan di bawah normal,” janji Varen yang langsung diiyakan oleh Arash.
Sayang sekali, begitu sabuk pengaman dipasang, saat itu pula Varen ingkar. Dia tancap gas, lantas membuat mobilnya melaju dengan kecepatan di luar batas.
“Aaaaaaaa! Vareeeen!” seru Arash dengan kencang.
Seruan itu pun menghilang seiring dengan mobil yang telah melaju kencang. Di tempat mobil berhenti tadi, kini hanya tersisa sepi. Namun, tidak benar-benar sepi lantaran beberapa meter tak jauh dari sana telah berdiri seorang lelaki.
Dia adalah Dio, yang sengaja mengekor di belakang Arash sejak dari kafe. Sikap itu murni karena kekhawatiran dalam diri. Ya, sama sekali bukan karena desakan Ayah Zen.
“Kenapa kau menangis? Apa yang kau tangisi? Mungkinkah hanya gara-gara foto tadi? Atau ini ada hubungannya dengan Ayah Zen yang telah direbut oleh mama?” tanya Dio dalam hati.
Dio masih terdiam. Sekali lagi, perasaan bersalahnya kembali datang. Dia tampak murung. Dan, sikap seperti itu jarang sekali terlihat pada diri Dio yang terkenal humoris. Di saat ini, dia tampak seperti seseorang yang hatinya tengah teriris-iris perih.
“Aku dan Ayah Zen tidak sedang menertawakan fotomu yang berbedak tebal. Kami justru tengah menertawakan keadaan yang sama sekali tidak menguntungkan. Karena, kalau terlalu dijadikan beban, itu semua hanya akan membuat rumit jalan keluar,” ucap Dio dengan lirih.
Langkah Dio mulai terayun seiring dengan keyakinan dalam diri, yakni tentang Arash yang akan baik-baik saja selama ada Varen bersama dia.
Sementara itu di tempat lain, Varen masih saja menjahili Arash dengan mengendarai mobil menggunakan kecepatan di atas batas.
Sebelumnya, Varen sudah memperkirakan. Dia tidak sembarangan melajukan mobil dengan kencang. Tempat sepi dengan intensitas kendaraan lalu lalang yang jarang sekali, memang sengaja dia pilih. Begitu memasuki area jalanan padat kendaraan, Varen mengubah kecepatan.
“Sudah cukup, Ren! Tutup lagi gerbang kematiannya!” ucap Arash sembari memegangi dadanya yang sedari tadi berdebar-debar tak karuan.
“Uwehehe. Gerbang apa katamu?”
“Ah, sudahlah! Lupakan saja! Antar aku pulang segera!”
“Yakin mau cepat-cepat pulang?” tanya Varen.
“Sudah sore banget, Ren. Aroma tubuhku sudah tidak sedap lagi, nih!”
“Katanya mau tahu mobil ini milik siapa? Yakin, tidak mau tahu?”
“Eh? Jadi, ini sungguhan bukan mobilmu? Memangnya milik siapa?”
Arash terlanjur terpancing rasa penasaran. Alhasil, dia pun setuju ikut menuju tempat yang dimaksudkan oleh Varen.
Rupanya masih di area kampus. Mobil melaju perlahan hingga beberapa saat kemudian mulai menepi di area yang tak jauh dari gazebo dekat kantin jurusan Ekonomi. Tampak beberapa mahasiswi berkumpul di gazebo guna mengerjakan laporan kuliah.
Arash mengenal sosok-sosok cantik yang berada di area gazebo. Varen memberi kode untuk turun dari mobil, tapi Arash enggan lantaran yang akan dituju rupanya adalah salah satu dari sosok cantik yang ada di sana.
Ya, mobil yang digunakan Varen tak lain adalah milik rival Arash. Yakni, sosok yang kecantikan dan kejeniusannya setara dengan Arash. Bahkan, dia pun mendapat beasiswa yang sama seperti Arash. Sayang sekali, dia memiliki sikap tinggi hati. Parahnya, entah kenapa sikap sombong itu hanya ditunjukkan kepada Arash.
“Kenapa dia ikut di dalam mobil baruku, sih? Ren, tolong cucikan lagi, dong! Setelah itu kau akan aku traktir kopi,” celetuk sosok cantik, rival Arash.
“Ayo kita pergi saja, Ren! Ada Nenek Lampir belum gosok gigi!” celetuk Arash sembari menarik lengan Varen.
Latar belakang apa lagi yang membuat Arash sampai bermusuhan dengan si cantik tinggi hati itu? Mungkinkah ada hubungannya dengan Tante Kristal, mamanya Dio?
Arash menarik lengan Varen hingga ke tepian jalanan besar, dekat gerbang utama kampus. Kurang lebih jarak yang sudah ditempuh adalah seratus meter. Sejauh itu pula Varen hanya manurut saat Arash menarik lengan kirinya. Dia hanya diam, tanpa menyuarakan protes seperti biasanya. Padahal, Arash tak henti-hentinya mengomel di sepanjang perjalanan.“Berhenti dulu!” tegas Varen sembari melepas cengkraman tangan Arash di lengan kirinya.Varen tidak membiarkan tangannya bebas begitu saja. Dia justru ganti menggenggam tangan Arash, bahkan kedua tangan gadis itu digenggam. “Kau ngapain, sih, Ren?” Arash melepas genggaman tangan Varen.Di luar dugaan, Varen justru melakukan tindakan lain. Dia ganti menyentuh kedua pipi Arash. “Varen! Kau nggak sopan!” protes Arash seraya mundur beberapa langkah ke belakang.“Diam di situ sebentar!” titah Varen, dan kali ini dia menyentuh bagian kening Arash. “Kau demam,” ungkapnya kemudian.Arash menepis lengan Varen, lantas memalingkan wajahnya ke sebelah kan
Tubuh yang semula hanya terasa hangat, kini bertambah suhunya. Tenaga yang semula terjaga, seketika melemah. Akan tetapi, Arash berusaha menahan dirinya hingga angkutan umum sampai di depan gang kos-kosan. Arash berjalan gontai, lantas berhenti untuk mengatur nafasnya yang mulai terasa berat. Suhu tubuhnya pun semakin meningkat. Kaki-kaki jenjang terbalut celana jeans keabuan lekas diayunkan kembali hingga tepat di seberang kos-kosan. Ada sebuah warung yang juga menjual obat-obatan sederhana. Arash membeli sebotol air mineral, sebungkus roti tawar, juga beberapa tablet obat penurun panas.“Lagi nggak enak badan, ya, Mbak?” tanya ibu pemilik warung.Arash hanya tersenyum, lantas mengangguk ringan. Rasa-rasanya tubuhnya semakin melemah sampai-sampai tak sanggup berucap kata.“Tunggu sebentar, ya. Ibu punya sesuatu untukmu,” pinta ibu pemilik warung.Sebenarnya tubuh Arash sudah tidak kuat, tapi dia tetap menghargai ibu pemilik warung. Sekitar lima menit lamanya dia berdiri di depan wa
Dua lelaki gagah di tepian jalan raya tampak saling terdiam. Tatapan keduanya menyiratkan keseriusan. Varen serius dengan ucapannya, sementara Dio serius menyimak kabar berita.“Arash tidak mungkin menyukaiku. Dia cerdas dan berkelas. Dia lebih pantas dicintai oleh lelaki yang lebih romantis. Bukan lelaki humoris semacam aku.” Dio menanggapi panjang lebar.“Tahu apa kau tentang pantas, ha? Kalau cinta, ya cinta. Tidak peduli seperti apa sosoknya.” Mimik wajah Varen mengeras.“Maksudmu, Arash benar-benar mencintaiku?’ tanya Dio.“Apa kau kira aku sedang bercanda?” “Kalau begitu, kau mungkin salah paham. Yang tampak di mataku, Arash seperti bersimpati terhadapku karena tahu aku terbeban dan dipenuhi rasa bersalah yang teramat dalam. Aku terlihat seolah telah merebut Ayah Zen dari Arash.”Varen menangkap pengakuan Dio. Entah sengaja atau tidak, tapi pengakuan barusan cukup rasional. Sedikit banyak, Dio pasti menyimpan perasaan tidak enak hati atas perpisahan kedua orangtua Arash.“Lagi
“Aku bau badan,” ucap Arash sembari mulai turun dari ranjang.Suhu tubuhnya sudah turun setelah istirahat semalaman. Akan tetapi, hidungnya mengeluarkan cairan bening, sering bersin, dan terbatuk ringan.“Syukurlah karena ini hanya flu. Aku tidak akan memaafkan diriku bila harus berlama-lama terbaring lemah di atas kasur,” ujar Arash yang kini berniat mandi.Kamar mandi di kos-kosan Arash adalah kamar mandi berbagi. Sehingga, dia harus antri. Dan, antriannya panjang sekali. Di jeda waktu setengah jam menunggu, tubuh Arash hangat lagi. Kepalanya juga terasa pening.“Hari ini ada kuis dari dosen. Kalau aku tidak masuk, aku harus menyusul sendirian,” batin Arash penuh pertimbangan.Tiba-tiba saja ada yang menyodorkan tas kresek tepat di depan wajah Arash. Tidak hanya itu, kening Arash pun disentuh olehnya.“Kamu masih sakit. Lebih baik izin dulu kuliahnya. Ini ada titipan dari temanmu yang semalam,” ujar tetangga kamar kos Arash yang semalam mengantar titipan obat dan vitamin.“Terima ka
Vina datang menengahi Varen dan Dio yang sudah bersiap adu bogem. Si Cantik tinggi hati yang mendapat sebutan nenek lampir dari beberapa temannya itu tak segan menjewer telinga Varen dan Dio secara bergantian. Dio bersikap biasa saja, sementara Varen segera menepis tangan Vina.“Bocah kalau lagi bertengkar ya begini, nih. Sukanya main tangan. Tidak pikir panjang. Tunjukkan kalau kalian adalah mahasiswa yang bisa meredam emosi tanpa saling menyakiti!” tegas Vina tanpa rasa takut. Vina sudah bersiap dengan ceramahnya yang panjang, tapi Varen dan Dio tidak berminat mendengarkan. Mereka kompak memilih tempat duduk masing-masing tanpa memedulikan apa yang Vina katakan. Bahkan, Varen terang-terangan menyumpal kedua telinganya dengan tangan.“Kalian sungguh tidak sopan! Awas kalau ….”“Silakan duduk di kursimu!” tegur seorang dosen yang akan mengajar, tapi jalannya terhalang oleh Vina yang kini berkacak pinggang.Seketika tidak lagi ada suara, apa lagi keributan. Semua terdiam dan bersiap m
Kehadiran Kristal yang tak lain adalah mamanya Dio, cukup membuat dada Arash berdebar-debar. Dia masih teringat momen ketika diusir tanpa ada satu pun yang membela. Belajar dari pengalaman, kali ini dia mengambil sikap yang berbeda. Dia tampak lebih tegar.“Aku sudah menyingkir dari suami Tante Kristal,” ucap Arash usai minggir dua langkah ke samping kanan dengan tenang.“Dasar bocah tengil! Minggir!”Arash terpaksa harus membuat jarak beberapa langkah lagi dari sang ayah. Kini, dia berdiri tepat di samping Varen. Tentu saja sahabat Arash itu hendak membela, tapi lekas dicegah melalui tatapan mata.“Tolong, jangan membuat keributan di sini!” tegas Zen dengan setengah memelankan suaranya. “Aku datang dengan damai, sampai aku melihat dia memelukmu dengan tidak wajar,” alasan Kristal sembari menatap tidak suka ke arah Arash.“Sikap mama yang tidak wajar. Arash itu putrinya Ayah Zen. Wajar bila dia memeluk ayahnya karena rindu,” celetuk Dio.“Tapi dia bukan putri kandung Zen. Harusnya di
“Antar aku pulang!” pinta Arash tanpa berniat menjawab pertanyaan Varen. Ekspresi wajahnya pun berubah. Tidak lagi sendu apa lagi sampai berlinang air mata.Varen terdiam sebentar. Dia melihat ke arah Arash dengan lekat untuk sekian detik lamanya. Hingga dirasa tidak ada lagi kelanjutan obrolan, dia pun memutuskan untuk mengalah dan mengantar Arash pulang.Sepanjang jalan menuju ke kos-kosan Arash sama sekali tidak ada obrolan. Arash hanya diam, duduk tenang di boncengan belakang. Varen pun menghargai kondisi Arash. Dia tetap tenang sembari fokus ke jalanan.“Besok tidak perlu menjemputku. Aku tidak masuk kuliah. Mau istirahat hingga sembuh,” ungkap Arash begitu sampai di depan gerbang kos-kosan.“Oke,” jawab Varen singkat. Sebenarnya dia berat untuk mengiyakan, tapi itulah yang terbaik untuk kondisi sekarang.Kini, lelaki berkacamata yang tampak begitu peduli pada Arash itu pun hanya bisa memandang dalam diam sampai Arash menghilang dari pandangan. Setelahnya, dia melajukan motornya
“Pil pahit ini tak sepahit kisah hidupku,” ucap Arash usai gagal menelan sebutir pil pereda flu. Sudah masuk ke mulut, tapi termuntahkan kembali karena terasa pahit.Arash kembali menelan obat dari dokter tanpa mengulang kesalahan. Tadi, begitu dia sampai di kos-kosan, Arash memang makan dengan tergesa-gesa, lantas gagal menelan obatnya. Pikiran Arash sungguh kacau, hingga tidak fokus dengan apa yang ada di depan mata. Bahkan, ketika makan pun pikirannya melambung jauh ke mana-mana.“Ibu, aku ingat betul isi pesanmu, tapi aku masih tidak rela bila ayah mengabaikanku. Belasan tahun dia menyaksikan aku tumbuh, masa iya sama sekali tidak ada kasih sayang untukku?”Arash bertanya-tanya sendiri sembari terus terngiang-ngiang isi pesan sang ibu. “Lupakan ayahmu dan jalani takdirmu! Jatuh cintalah pada lelaki yang tepat, sehingga tidak akan kamu temui kisah gagal seperti ibu dan ayahmu!” “Ah! Bagaimana aku bisa melupakan ayah sementara aku semakin rindu akan kasih sayangnya? Oh Tuhan, maaf