Share

Bab 5. Munculnya Nenek Lampir

Tangisan Arash tidak berlangsung lama. Hanya beberapa detik dia tunjukkan di depan Dio dan sang ayah. Bahkan, satu senyuman sempat disuguhkan sebelum akhirnya dia pergi dari kafe, tanpa diikuti oleh satu pun di antara dua lelaki yang dia cintai.

Langkah kaki Arash mulanya terayun pelan. Tatapan matanya seperti orang-orang pada umumnya, tapi dalam hatinya membuncah perasaan yang tak karuan rasanya. 

Langkah kaki gadis yang tengah diselimuti kesedihan itu pun dipercepat. Dia sama sekali tidak berniat menggunakan jasa ojek apa lagi angkutan umum. Hanya satu yang dia fokuskan, yakni segera sampai di kos-kosan tanpa menggunakan kendaraan. Karena, bekas air mata di wajahnya sangat rentan memicu kekhawatiran dari orang yang menyaksikan.

Tiba-tiba saja, klakson mobil dari arah belakang membuat Arash terkejut sampai spontan menghentikan langkah. Begitu dia menengok ke arah pengemudi, barulah dia mengubah ekspresi dan siap memaki.

“Vareeeen! Keluar kau!” seru Arash sembari melangkah mendekati mobil bercat putih.

“Hei, Arash! Kemarilah!” sahut Varen sembari menurunkan kaca jendela mobil.

“Gaya betul kau! Mobil siapa ini, ha?” 

Arash bertanya-tanya. Makian yang tadinya siap dilontarkan, seketika hilang lantaran melihat ekspresi di wajah Varen yang penuh kegembiraan.

Varen tidak lansung memberi jawaban. Dia justru mempersilakan Arash untuk masuk ke dalam mobil. 

“Pakai sabuk pengamannya, dong! Kita mau balapan, nih!” celetuk Varen ketika Arash sudah duduk di sampingnya.

“Ogah! Mendingan aku jalan kaki ke kos-kosan dari pada balapan,” jawab Arash sembari bersedekap tangan lantas menatap tajam ke arah Varen.

Saat itulah Varen menyadari air muka Arash yang tidak seperti biasanya. Sebagai seorang sahabat yang sudah hafal dengan sikap, tabiat, dan kebiasaan, Varen tahu bahwa Arash tengah diselimuti kesedihan.

“Kau habis nangis, ya?” tanya Varen tanpa basa-basi.

“Nasi buat ibumu sudah diantar apa belum? Kenapa tiba-tiba kau muncul dengan mobil, ha? Mobil siapa ini?”

“Arash, jawab pertanyaanku lebih dulu! Kau habis nangis, ya?”

“Iya, tapi hanya sebentar, kok.”

Begitulah Arash. Dia sering jujur kepada Varen, meski tidak semua hal dia ungkapkan. Sosok Varen telah menjelma sebagai teman sekaligus Abang.

“Apa yang telah terjadi?” Varen serius bertanya. Bahkan, canda tawa yang semula bertahta, kini telah sirna, terganti dengan keseriusan yang teramat nyata.

“Tidak ada apa-apa, Ren. Tidak ada hal menarik yang bisa aku ceritakan. Aku justru lebih tertarik pada mobil yang kau kendarai. Cepat beri tahu aku! Ini mobil siapa?” desak Arash.

Seperti biasa, Varen menghadiahi Arash satu sentilan di kening. Lantas, seperti biasa pula, Arash hanya mampu tersenyum masam sembari menunjukkan sikap protes atas apa yang Varen lakukan.

“Ceritakan sebab kau menangis! Setelahnya, akan kubagi ceritaku!” tegas Varen.

“Aku menolak untuk bercerita,” ungkap Arash sembari memalingkan wajah.

Ada jeda obrolan di antara mereka. Varen sengaja membiarkan Arash terdiam untuk sejenak lamanya. Setelahnya, sebotol air mineral lekas disodorkan kepada Arash.

“Mau nyogok pakai sebotol air mineral? Sorry, nggak mempan!”

“Jangan berpikiran macam-macam! Minumlah!” titah Varen.

Tutup botol air mineral yang masih tersegel, segera dibuka oleh Varen. Tidak butuh waktu lama baginya untuk membuat Arash meneguk isi botol.

“Sudah lebih lega?” tanya Varen penuh perhatian.

“Belum, sih. Tetapi, lumayanlah. Dapat air mineral gratis.”

Varen hanya geleng-geleng kepala, lantas meminta Arash untuk memakai sabuk pengaman mobil. Sekali lagi, Arash menolak. Dia benar-benar khawatir bila Varen akan balapan.

“Oke. Kita tidak akan balapan. Aku akan mengemudi dengan kecepatan di bawah normal,” janji Varen yang langsung diiyakan oleh Arash.

Sayang sekali, begitu sabuk pengaman dipasang, saat itu pula Varen ingkar. Dia tancap gas, lantas membuat mobilnya melaju dengan kecepatan di luar batas.

“Aaaaaaaa! Vareeeen!” seru Arash dengan kencang.

Seruan itu pun menghilang seiring dengan mobil yang telah melaju kencang. Di tempat mobil berhenti tadi, kini hanya tersisa sepi. Namun, tidak benar-benar sepi lantaran beberapa meter tak jauh dari sana telah berdiri seorang lelaki. 

Dia adalah Dio, yang sengaja mengekor di belakang Arash sejak dari kafe. Sikap itu murni karena kekhawatiran dalam diri. Ya, sama sekali bukan karena desakan Ayah Zen.

“Kenapa kau menangis? Apa yang kau tangisi? Mungkinkah hanya gara-gara foto tadi? Atau ini ada hubungannya dengan Ayah Zen yang telah direbut oleh mama?” tanya Dio dalam hati.

Dio masih terdiam. Sekali lagi, perasaan bersalahnya kembali datang. Dia tampak murung. Dan, sikap seperti itu jarang sekali terlihat pada diri Dio yang terkenal humoris. Di saat ini, dia tampak seperti seseorang yang hatinya tengah teriris-iris perih.

“Aku dan Ayah Zen tidak sedang menertawakan fotomu yang berbedak tebal. Kami justru tengah menertawakan keadaan yang sama sekali tidak menguntungkan. Karena, kalau terlalu dijadikan beban, itu semua hanya akan membuat rumit jalan keluar,” ucap Dio dengan lirih.

Langkah Dio mulai terayun seiring dengan keyakinan dalam diri, yakni tentang Arash yang akan baik-baik saja selama ada Varen bersama dia.

Sementara itu di tempat lain, Varen masih saja menjahili Arash dengan mengendarai mobil menggunakan kecepatan di atas batas. 

Sebelumnya, Varen sudah memperkirakan. Dia tidak sembarangan melajukan mobil dengan kencang. Tempat sepi dengan intensitas kendaraan lalu lalang yang jarang sekali, memang sengaja dia pilih. Begitu memasuki area jalanan padat kendaraan, Varen mengubah kecepatan.

“Sudah cukup, Ren! Tutup lagi gerbang kematiannya!” ucap Arash sembari memegangi dadanya yang sedari tadi berdebar-debar tak karuan.

“Uwehehe. Gerbang apa katamu?” 

“Ah, sudahlah! Lupakan saja! Antar aku pulang segera!”

“Yakin mau cepat-cepat pulang?” tanya Varen.

“Sudah sore banget, Ren. Aroma tubuhku sudah tidak sedap lagi, nih!”

“Katanya mau tahu mobil ini milik siapa? Yakin, tidak mau tahu?”

“Eh? Jadi, ini sungguhan bukan mobilmu? Memangnya milik siapa?”

Arash terlanjur terpancing rasa penasaran. Alhasil, dia pun setuju ikut menuju tempat yang dimaksudkan oleh Varen. 

Rupanya masih di area kampus. Mobil melaju perlahan hingga beberapa saat kemudian mulai menepi di area yang tak jauh dari gazebo dekat kantin jurusan Ekonomi. Tampak beberapa mahasiswi berkumpul di gazebo guna mengerjakan laporan kuliah.

Arash mengenal sosok-sosok cantik yang berada di area gazebo. Varen memberi kode untuk turun dari mobil, tapi Arash enggan lantaran yang akan dituju rupanya adalah salah satu dari sosok cantik yang ada di sana. 

Ya, mobil yang digunakan Varen tak lain adalah milik rival Arash. Yakni, sosok yang kecantikan dan kejeniusannya setara dengan Arash. Bahkan, dia pun mendapat beasiswa yang sama seperti Arash. Sayang sekali, dia memiliki sikap tinggi hati. Parahnya, entah kenapa sikap sombong itu hanya ditunjukkan kepada Arash.

“Kenapa dia ikut di dalam mobil baruku, sih? Ren, tolong cucikan lagi, dong! Setelah itu kau akan aku traktir kopi,” celetuk sosok cantik, rival Arash.

“Ayo kita pergi saja, Ren! Ada Nenek Lampir belum gosok gigi!” celetuk Arash sembari menarik lengan Varen.

Latar belakang apa lagi yang membuat Arash sampai bermusuhan dengan si cantik tinggi hati itu? Mungkinkah ada hubungannya dengan Tante Kristal, mamanya Dio? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status