Keesokan harinya, aku terbangun saat mendengar suara langkah kaki dan suara beberapa orang berbincang. Ketika membuka mata, aku mendapati infus yang dipasang di tangan Shane sudah dilepas oleh perawat.Aku duduk dan memperhatikan dengan seksama saat dokter berbincang dengan Shane. "Dok, apa keadaannya sudah baik-baik saja?" tanyaku.Dokter itu tersenyum ramah padaku. "Kondisi Pak Shane sudah pulih, Bu Melody."Akhirnya aku bisa bernafas lega. Setelah diperbolehkan pulang, aku berjalan di sisi Shane. Menakjubkannya, Shane masih terlihat tampan dan segar seperti biasa. Padahal dia baru saja sembuh dan bahkan belum mandi sejak kemarin.Begitu kami tiba di parkiran, Shane yang hendak berjalan ke arah pintu bagian kemudi langsung kutahan. "Eits! Eits! Apaan nih mau ngambil tempatku," tegurku."Aku sudah sembuh. Aku yang nyetir."Aku menunjuk ke arah bekas infusnya yang masih diperban dan sedikit bengkak. "Kalau Mas menyetir dalam keadaan seperti ini, itu baru namanya misi bunuh diri. Lagia
Aku baru saja memejamkan mataku ketika ponselku berdering. Aku lupa mengubahnya ke mode dering. Benda itu terus berdering di tasku. Aku segera bangun dan meraih tas yang kuletakkan di nakas. Aku melirik Shane sekilas. Dia juga membuka matanya dan memperhatikan aku yang sedang mengeluarkan ponsel dari tas.Rupanya Mars yang menelpon. Aku hampir lupa kalau tadi sore dia tidak datang tanpa kabar. Aku segera mengangkat panggilannya."Halo, Kak Mars," sapaku."Melody, maaf saya nelpon malam-malam begini, tapi saya merasa gak tenang kalau belum memberitahu alasan keabsenan saya tadi sore. Sekali lagi maaf karena saya tidak datang tanpa kabar. Tadi sore saya buru-buru kembali ke kota asal saya karena ibu saya jatuh sakit," jelasnya dengan nada penuh rasa bersalah."Ya ampun, Kak Mars. Gak apa-apa. Aku ngerti kok pasti ada sesuatu yang terjadi. Semoga ibunya lekas sembuh ya, Kak.""Terima kasih, Melody. Saya janji kalau ibu saya sudah sembuh dan saya kembali ke sana, jam lesnya saya tambah un
Tiga jam setelah mengkonsumsi obat penurun demam, panasnya belum juga mereda. Aku terus mengecek dengan cara menyentuh keningnya. Bahkan aku sudah mencoba untuk mengompres keningnya, tapi tidak ada perubahan. "Mas, udahlah. Ke rumah sakit ya? Ini udah jam setengah sebelas malam. Kalau nanti Mas kenapa-kenapa pas tengah malam gimana?" Aku masih mencoba membujuknya. Shane masih menutup mata. "Pak Heru lagi pulang kampung," ucapnya dengan suara serak. Pak Heru adalah supir Shane. Shane adalah orang yang sangat menjaga privasi hidupnya sehingga dia meminimalisir jumlah orang-orang yang bekerja untuknya. Selain enggan menggunakan jasa asisten rumah tangga, Shane juga cukup selektif dalam memilih supir pribadi. Sejak dulu dia hanya mempekerjakan Pak Heru. Itupun dia jarang sangat jarang meminta Pak Heru untuk mengantarnya kecuali untuk perjalanan jauh. "Naik taksi aja kalau gitu. Nanti aku pesan taksi online." Shane menggeleng pelan. Kali ini dia tidak lagi bersuara. "Keras kepal
Aku mulai mengikuti beberapa bimbingan untuk tes persiapan masuk kampus. Meskipun ada beberapa kampus yang mengadakan tes hanya sebagai formalitas--yang tentunya bayaran kampus itu sangat fantastis--tapi aku ingin beraga-jaga kalau nanti hukuman dari orang tuaku adalah dalam bentuk membatasi keuanganku. Bagaimanapun, aku tidak menghasilkan uang. Semua uang yang kugunakan selama ini adalah milik orang tuaku dan Shane. Karena itu aku berencana untuk mendaftar pada program beasiswa prestasi. Aku pernah mendengar opini beberapa orang bahwa orang mampu tidak seharusnya mendapatkan beasiswa karena bantuan seperti itu lebih layak diberikan pada orang yang kurang beruntung. Aku tidak ingin menjadi orang yang mengambil kesempatan milik orang lain, jadi aku mendaftar pada program beasiswa prestasi yang hanya mendanai untuk pembayaran biaya kuliah, tanpa mendanai biaya hidup. Itulah sebabnya aku harus belajar ekstra keras karena tentu pendaftar beasiswa prestasi sudah dipastikan orang-orang cer
Keadaan Papi berangsur-angsur pulih. Meski begitu, Papi masih butuh istirahat total. Karena itu, Shane akhir-akhir ini dibuat stress dengan pekerjaan tambahan yaitu membantu perusahaan Papi selama Papi masih dalam masa pemulihan.Hari ini akta cerai kami akhirnya terbit. Aku dan Shane dibantu dengan pengacara kami langsung mengurus semua pergantian status pernikahan di dokumen-dokumen identitas kami yang tentunya kami lakukan sehati-hati mungkin agar tidak ada pihak lain yang tahu.Setelah menyelesaikan semua urusan berkas dan administrasi, kini kami melangkah keluar dari kantor catatan sipil. Begitu kami tiba di parkiran, barulah kami melepas masker yang sedari tadi kami kenakan meski kami masih mengenakan topi."Berasa artis ya?" ucapku sedikit kesal.Shane terkekeh kecil. "Dari pada jadi mangsa paparazzi kan?"Aku menarik nafas dalam-dalam seraya menatap map di tanganku. "Akhirnya selesai ya, Mas?"Shane mengangguk. Aku tidak bisa melihat ekspresinya dengan jelas karena topi yang i
"Melody..." Mami langsung memelukku begitu ia melihatku. "Kamu ngapain ikut kesini, sayang? Harusnya di rumah aja istirahat." Aku balas memeluk Mami. "Aku kan pengen lihat Papi juga, Mi." Shane yang sejak tadi gelisah akhirnya buka suara. "Gimana keadaan Papi, Mi?" Mami mengurai pelukan kami, tapi ia masih menggenggam tanganku. "Tekanan darahnya tiba-tiba melonjak naik kemarin. Untungnya cepat ditangani. Sekarang sudah mulai stabil, tapi Papi gak boleh stress dan banyak pikiran." Aku refleks menggigit bibir bawahku. Kalau seperti ini, bagaimana mungkin kami akan memberitahu mereka tentang perceraian kami? Papi memiliki riwayat hipertensi. Ketika stress atau lelah berlebih, tekanan darahnya akan melonjak naik. Aku hampir tidak memikirkan hal itu karena terlalu sibuk dengan perasaanku sendiri. "Papi ada masalah di perusahaan?" tanya Shane. Mami menghela nafas. "Masalah itu selalu ada. Papi berbeda pendapat dengan beberapa pemegang saham." Shane memijat keningnya. "Kebias
Biasanya ketika menunggu paket selama satu hari saja rasanya begitu lama. Tapi kenapa dua hari menuju pembacaan putusan cerai terasa seperti menunggu dalam sekejap mata? Di sinilah aku sekarang. Kembali ke gedung pengadilan untuk menghadiri pembacaan putusan cerai. Shane sudah berdiri menungguku di dekat mobilnya ketika aku berjalan memasuki gerbang pengadilan. Shane mengangkat tangannya untuk menyapaku, tapi aku tidak berjalan ke arahnya. Aku hanya memberi kode untuknya agar langsung masuk ke dalam bangunan. Aku tidak mau menambah beban hatiku dengan mengobrol dengannya. Lagipula tidak ada yang perlu diobrolkan kan? Tinggal menunggu menit hingga perceraian kami diresmikan. Shane tampak tak senang karena aku mengabaikannya. Dia akhirnya berjalan menuju pintu masuk. "Buru-buru banget," ucapnya setelah jarak kami sudah cukup dekat. Aku melirik jam tanganku. "Sepuluh menit lagi dimulai. Mending tunggu di dalam saja," ucapku. "Ya udah." Tek berselang lama, kedua pengacara k
Pembacaan putusan cerai tinggal menghitung hari. Aku tidak ingin berlarut-larut dalam memikirkan hal itu. Hari ini aku membuat janji dengan Velin yang merupakan salah satu teman SMA-ku untuk bertemu di kampusnya. Aku dan Velin tidak begitu dekat saat masih sekolah. Namun, hanya dia yang aku tahu melanjutkan kuliah di dalam negeri sementara mayoritas dari mereka memutuskan untuk melanjutkan studi di luar negeri.Aku naik taksi ke kampus Velin. Kami sepakat untuk bertemu di gerbang utama kampus. Taksiku tiba bertepatan dengan Velin yang muncul dari gerbang kampus. Aku segera membayar taksi lalu keluar dan menghampiri Velin."Lin!" seruku seraya berlari kecil ke arahnya.Velin menoleh dan tersenyum lebar padaku. "Melody! Ya ampun, lama gak ketemu. Aku kaget banget lho pas kamu tiba-tiba ngechat."Aku balas tersenyum. "Iya nih. Maaf ya tiba-tiba ngerepotin kamu.""Santai aja kali. Yuk sambil jalan." Velin memberiku kode untuk berjalan di sisinya memasuki area kampus. "Bakal agak jauh jala
Hari ini sudah hari ketiga semenjak aku memblokir Shane. Sepertinya dia juga tidak peduli karena sibuk mengurusi Erina. Menyebalkan sekali karena hanya aku yang tersakiti di sini. Shane yang kini mulai mendapatkan kebebasannya karena proses perceraian kami sudah mendekati final pasti bahagia. Erina pun begitu. Ketika ia tahu Shane dan aku bercerai, dia pasti akan merasa memenangkan semuanya. Pukul dua dini hari, aku masih berbaring di ranjang sembari menatap langit-langit kamar. Jendela kamar kubiarkan terbuka lebar sehingga angin pantai bertiup ke dalam kamarku. Kalau suasana hatiku sedang baik, aku pasti sudah tertidur sejak tadi. Tiba-tiba aku mendengar sesuatu di luar jendela. Aku segera bangkit dan menatap dengan was-was. Kalau ada orang, siapa yang berani mendekati kamarku tanpa izin? Bukankah di depan sana ada beberapa satpam? Aku berjalan ke arah jendela. Bersiap untuk teriak jika melihat pergerakan mencurigakan. Tapi bisa jadi itu hanya kucing kan? Jendela kamarku lan