LOGINAku membuka pintu perlahan. Seorang petugas hotel berdiri dengan troli makanan lengkap dengan penutup peraknya. Senyumnya ramah, tapi mataku tak benar-benar fokus padanya. Aku hanya ingin semuanya cepat selesai.
“Silakan taruh di sini,” ucapku pelan sambil menunjuk meja kecil di dekat jendela. Petugas itu menata semua dengan rapi sebelum pamit. Begitu pintu tertutup, aroma sup hangat dan lauk menggoda memenuhi kamar. Suasana mendadak terasa berbeda hangat tapi juga asing. Aku melihat Fikar menelan ludah, matanya berbinar seperti anak kecil. “Wah, enak banget keliatannya,” katanya dengan nada polos. Aku tersenyum kecil. “Ya sudah, ayo kita makan. Nanti keburu dingin.” Ia buru-buru menarik kursi, canggung, seolah takut bersikap salah. “Silakan duluan, Kak. Aku nanti aja.” Aku menatapnya sekilas, geli melihat sikap sopan yang berlebihan itu. “Santai aja, Fikar. Kita makan bareng.” Begitu ia duduk, kami mulai menyendok makanan masing-masing. Aku memandangi sendokku yang penuh, tapi entah kenapa lidahku terasa kaku. Bukan karena masakannya yang rasanya biasa saja tapi karena suasananya. Ada seseorang di hadapanku. Pemuda yang sangat tampan gagah yang di sewa suamiku untuk menyenangkanku. Lucu bukan dunia ini? Suamiku sibuk mencarikanku selingkuhan agar perselingkuhannya dengan wanita yang jadi cinta pertamanya itu di sahkan. Dan aku terpaksa menyetujui permainannya. Untuk saat ini lupakan Mas Azzam dulu, aku perlu energi ekstra untuk menghadapinya. Aku harus makan untuk menghadapi kejamnya dunia ini. Setidaknya hari ini aku menikmati hidupku tanpa Mas Azzam. Tapi bersama Fikar sosok yang menurutku masih terlalu asing. Sudah lama aku tidak makan bersama seseorang seperti ini. Biasanya aku makan sendirian di rumah, sementara Mas Azzam terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Sarapan baginya hanya formalitas, sekadar menyapa sebelum tenggelam dalam layar ponsel. Kadang aku menyiapkan bekal, dengan harapan sederhana mungkin ia akan ingat aku. Tapi aku tahu… bekal itu sering dibagi dengan Lidya, perempuan lain yang jadi simpanannya. Aku menelan ludah. Ironis, ya? Dulu aku berusaha membuat Mas Azzam mencintaiku. Tapi justru sekarang aku malahan diabaikan. Aku duduk di kamar hotel sederhana, ditemani pemuda tampan yang bahkan belum kukenal betul. Dan anehnya, rasanya lebih… nyata. Ini bukan mimpi, tapi kenyataan yang harus aku hadapi. Tidur dengan pria yang sama sekali bukan apa-apaku. Fikar sibuk meniup sup panas, lalu menatapku sambil tersenyum malu. Ada ketulusan di situ sesuatu yang sudah lama tidak kulihat dari siapa pun. "Supnya sudah tidak begitu panas. Silahkan di makan, Kak." Aku tertegun mendengar ucapan Fikar. Pemuda ini sangat perhatian. Dia menyuapkan satu sendok sup itu ke dalam mulutku. Sialnya, aku seperti terhipnotis. Membiarkan Fikar menyuapiku tanpa halangan merintang. "Biar aku saja sendiri," ucapku meraih mangkuk sup itu dari tangan Fikar. "Jangan... mangkuknya masih panas, Kak. Biar aku saja," kata Fikar menolak halus keinginan Airin. Akhirnya, Airin membiarkan Fikar menyuapinya. Dan kalau boleh jujur wajah Fikar ini cocoknya jadi artis saja. Ia sangat tampan mempesona. ‘Mungkin Mas Azzam nggak sepenuhnya salah menyerahkan aku pada Fikar,’ batinku getir. Setidaknya aku jadi tahu rasanya diperhatikan, meski hanya sedikit. Meski Fikar melakukannya karena pekerjaan. “Kenapa diam, Kak?” suara Fikar memecah lamunanku. “Makanannya nggak enak, ya?” Aku tersentak kecil. “Bukan… enak kok. Aku cuma jarang makan bareng.” Fikar menatapku dengan polosnya. “Kalau gitu, mulai sekarang Kakak nggak sendirian lagi. Kan ada aku.” Hatiku mencelos. Ucapan sederhana itu seperti menyentuh sesuatu di dalam diriku yang sudah lama beku. Aku hanya bisa tersenyum tipis, pura-pura sibuk membereskan piring. Setelah makan, kamar terasa lebih hening. Aku meneguk air putih, lalu menatap Fikar yang duduk kikuk, memainkan jarinya. Entah kenapa, aku ingin tetap berbicara dengannya. “Fikar,” panggilku pelan. “Kamu nggak bosan di kamar terus?” Ia mendongak, sedikit terkejut. “Iya juga, sih. Mau… keluar sebentar?” Aku mengangguk cepat. “Iya, jalan di sekitar hotel aja.” Ia langsung berdiri, mengambil jaketnya. “Aku temani.” Udara malam menyambut kami dengan lembut. Lampu-lampu jalan menyala kekuningan, membuat bayangan kami menari di trotoar. Aku menarik napas dalam-dalam. Rasanya… bebas. Dan baru kali ini aku sebebas ini jalan malam-malam. Biasanya sehabis kerja di rumah terus males keluar. Fikar berjalan di sampingku, menjaga jarak. Aku meliriknya sekilas. Ada sesuatu yang hangat dari caranya berjalan tidak tergesa, tapi juga tidak acuh. “Kamu sering jalan malam gini?” tanyaku untuk mencairkan suasana. “Jarang, Kak. Biasanya malam aku kerja paruh waktu,” jawabnya. Aku menatapnya sekilas. “Punya pacar?” Ia menjawab singkat, “Sudah.” Aku berhenti. “Apa? Kamu punya pacar?” Ia tergelak canggung. “Maksudku… Kak Airin sendiri.” Aku terdiam. Pipiku panas. “Kamu ini, Fikar… bikin kaget aja,” gumamku, menunduk menahan malu. Ia tertawa pelan, lalu menunduk. “Maaf, refleks.” Anehnya, aku tidak marah. Justru merasa… hangat. Aku sudah lama tidak dibuat tersipu seperti ini. Tiba-tiba seekor tikus besar melintas cepat di depan kami. Aku spontan menjerit dan tanpa pikir, merapat memeluk lengan Fikar. Tubuhku menegang, wajahku bersembunyi di bahunya. “Tenang, Kak. Udah hilang kok,” katanya lembut. Aku membuka mata perlahan. Betapa dekat wajah kami. Aku bisa mendengar degup jantungnya. Cepat. Sama seperti jantungku. Segera aku menjauh, malu sendiri. “Maaf ...,” ucapku pelan. “Nggak apa-apa,” katanya sambil menunduk. Kami kembali berjalan, tapi suasananya sudah berbeda. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan—sisa hangat dari pelukan singkat tadi. Aku mencoba menenangkan diri. “Kamu jangan salah paham, ya. Aku cuma… kaget aja.” Fikar menatapku, matanya tenang. “Aku tahu, Kak. Kakak cuma butuh rasa aman.” Aku terdiam. Ucapannya sederhana, tapi seperti menembus lapisan terluarku. Aku menatap jalan di depan. Lampu-lampu tampak berpendar, samar. Saat kami menyeberang, Fikar menahan lenganku. “Hati-hati, Kak.” Sentuhannya lembut, tapi tegas. Aku menatap jemarinya di lenganku. Hangat. Bukan hangat yang menggoda, tapi hangat yang menenangkan. “Sekarang boleh jalan,” ujarnya, lalu perlahan melepaskan. Aku pun mengangguk, hatiku kembali berdesir. “Makasih, ya.” Kami melanjutkan langkah. Beberapa meter kemudian, ada ranting pohon cukup panjang tergeletak di tengah trotoar. Fikar lebih dulu menyingkirkannya dengan kaki agar kakiku bisa lewat dengan mudah. Aku hanya bisa tersenyum kecil, tanpa sadar tatapanku melunak. Ada rasa hangat yang menyelinap, sebuah perhatian kecil yang selama ini tak pernah ku rasakan selama jadi istrinya Mas Azzam.Hari ini kami pulang dari hotel. Akhirnya kembali ke dunia nyata. Dimana aku di hadapkan keadaan yang sering membuatku terasa sesak. Aku melangkah masuk ke rumah dengan langkah pelan. Bersama Fikar yang membantuku membawa koper. Sesuai rencana, Mas Azzam menyuruhku tinggal di rumah ini bersama Fikar. Dan tentu saja rumah ini jauh dari keramaian. Rumah baru yang sengaja di pilih Mas Azzam untuk menjalankan rencananya. Tiba-tiba langkahku terhenti ketika mendapati sosok yang tidak asing sedang berdiri di ruang tamu. Mas Azzam bersandar santai di kusen pintu dengan ekspresi dingin.“Kamu akhirnya pulang juga,” ucap Mas Azzam pelan, suaranya datar namun sarat makna."Iya ... meski aku tahu kamu tidak pernah menginginkanku," jawabku asal."Benar ... tapi yang ku inginkan kamu hamil anak Fikar. Dan kalau sudah lahir serahkan padaku," petingatnya.Fikar terdiam membisu mendengarkan perkataan Mas Azzam."Fikar ... kamu tahu kan tugasmu? Kalau kamu berhasil membuat istriku hamil maka kamu ak
"Semalam aku kelihatan takut ya?" tanyaku, mencoba terdengar ringan padahal dalam dada ada gugup yang menyerang. Mengingat mimpiku semalam begitu menekan hatiku.Fikar mengangguk pelan. “Iya. Aku dengar Kakak sesenggukan, terus… wajah Kakak kayak orang ketakutan. Aku khawatir, tapi aku nggak berani bangunin. Jadi… aku cuma biarin Kakak tetap tidur sambil… peluk aku.”Aku menggigit bibir bawahku, menahan perasaan yang mendadak menghangat di dada. “Maaf, ya. Aku bikin kamu repot.”“Bukan repot, Kak,” sahutnya cepat, lembut sekali. “Aku cuma pengen Kakak nggak merasa aman.”Kalimat itu menancap pelan di hatiku. Aku menarik napas panjang, menunduk sebelum akhirnya berbisik lirih. “Aku… mungkin kelihatan aneh ya. Semalam itu aku mimpi buruk. Rasanya nyata sekali… kayak aku kembali ke masa-masa yang paling menyakitkan.”Fikar diam mendengarkanku dengan seksama. Aku bisa merasakan tatapannya hangat, penuh perhatian.Ia menggenggam jemariku di pangkuan, mencoba menahan getaran suaraku. “Aku
Langit malam terasa begitu sunyi. Hanya detik jam dinding yang terdengar di kamar. Aku menggeliat gelisah di atas ranjang, napasku memburu. Entah kenapa, dadaku terasa sesak dan keringat dingin mulai mengalir di pelipis. “Jangan… jangan dekati aku…” gumamku dalam mimpi yang menakutkan. Bayangan wajah Mas Azzam muncul begitu jelas, membuat tubuhku menggigil. “Aku benci kamu! Jangan ganggu keluargaku!” teriakku, hingga suaraku memecah kesunyian malam. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang hangat, seseorang memelukku, lembut tapi kokoh. Tubuh itu bergetar, namun menghadirkan rasa aman. Aku tak tahu apakah ini mimpi atau nyata. Dalam ketakutanku aku hanya bisa bergumam, “Jangan pergi… aku takut…” Dan aku merasa pelukan itu mengerat, diiringi suara lembut di telingaku. “Aku di sini, Kak. Jangan takut, nggak ada apa-apa.” Pelan-pelan napasku mulai tenang. Kegelapan di dalam mimpiku perlahan memudar, dan aku pun terlelap lagi dalam kehangatan. ** Saat mataku terbuka pagi harinya, sinar
"Bagaimana?Kalian sudah melakukannya?" tanya Mas Azzam di telepon. "Sudah," jawabku pendek."Kalau begitu bagaimana hasilnya? Kamu beli tespek, kan?" tanya Mas Azzam lagi."Belum," jawabku malas."Tunggu apa lagi! Beli sekarang di apotek!" perintah suamiku di telepon."Oke."Aku pun mengakhiri telepon. Malam-malam suamiku sudah menggangguku. Aku merasa Mas Azzam itu bodoh, misal aku melakukannya dengan Fikar tidak mungkin juga sehari langsung ada garis merahnya. Bodo amat! Lama-lama tahu begini dia jadi makin enggan pulang ke rumah. Pria itu makin lama makin gila saja."Ada apa Kak? Mengapa Kakak cemberut?" tanya Fikar."Tidak ada apa-apa, kamu tidur saja," jawabku. "Kak, kita ini teman. Kakak tidak boleh menyimpan masalah sendiri. Sekarang Kakak punya teman cerita yaitu aku. Aku tidak akan membiarkan Kak Airin tenggelam dalam kesedihan sendirian," ucap Fikar.Aku terdiam sejenak. Kata-kata Fikar membuat dadaku terasa hangat, tapi sekaligus perih. Aku tak terbiasa ada seseorang yang
Aku membuka pintu perlahan. Seorang petugas hotel berdiri dengan troli makanan lengkap dengan penutup peraknya. Senyumnya ramah, tapi mataku tak benar-benar fokus padanya. Aku hanya ingin semuanya cepat selesai. “Silakan taruh di sini,” ucapku pelan sambil menunjuk meja kecil di dekat jendela. Petugas itu menata semua dengan rapi sebelum pamit. Begitu pintu tertutup, aroma sup hangat dan lauk menggoda memenuhi kamar. Suasana mendadak terasa berbeda hangat tapi juga asing. Aku melihat Fikar menelan ludah, matanya berbinar seperti anak kecil. “Wah, enak banget keliatannya,” katanya dengan nada polos. Aku tersenyum kecil. “Ya sudah, ayo kita makan. Nanti keburu dingin.” Ia buru-buru menarik kursi, canggung, seolah takut bersikap salah. “Silakan duluan, Kak. Aku nanti aja.” Aku menatapnya sekilas, geli melihat sikap sopan yang berlebihan itu. “Santai aja, Fikar. Kita makan bareng.” Begitu ia duduk, kami mulai menyendok makanan masing-masing. Aku memandangi sendokku yang penu
“Siapa namamu?” tanyaku setelah Mas Azzam pergi. Aku mencoba tenang meski suasana kamar ini terasa begitu canggung. “Namaku Fikar,” jawabnya lirih. Pemuda itu terlihat tidak nyaman menatapku. Ia buru-buru memilih melihat ke arah lain. Mungkin aku terlihat menyedihkan sekali. Suamiku saking tidak inginnya menyentuhku sampai menyuruh pria lain menghamiliku. Ironis bukan? “Baiklah, Fikar… aku harap kamu tidak memintaku melakukan hal di luar kehendakku,” ucapku pelan. Aku menoleh sebentar ke arahnya, lalu kembali mengalihkan pandangan. Bibirku mengerjap pahit. Senyum getir yang bahkan aku sendiri tak yakin artinya apa. “Aku tahu… situasi ini aneh untukmu.” Ia mengangguk gugup dan memilih duduk di sudut kamar, menjaga jarak. “Iya… jujur aja, aku nggak pernah bayangin bakal kenalan dengan cara seperti ini. Apalagi dengan seseorang yang….”Kalimatnya terhenti. Aku bisa menebak sisa ucapannya. “Dengan seseorang yang lebih tua darimu, begitu?” tanyaku tersenyum tipis. Ia buru-bur







