Share

6

Author: Rasyidfatir
last update Last Updated: 2025-10-31 15:12:07

"Bagaimana?Kalian sudah melakukannya?" tanya Mas Azzam di telepon.

"Sudah," jawabku pendek.

"Kalau begitu bagaimana hasilnya? Kamu beli tespek, kan?" tanya Mas Azzam lagi.

"Belum," jawabku malas.

"Tunggu apa lagi! Beli sekarang di apotek!" perintah suamiku di telepon.

"Oke."

Aku pun mengakhiri telepon. Malam-malam suamiku sudah menggangguku. Aku merasa Mas Azzam itu bodoh, misal aku melakukannya dengan Fikar tidak mungkin juga sehari langsung ada garis merahnya. Bodo amat! Lama-lama tahu begini dia jadi makin enggan pulang ke rumah. Pria itu makin lama makin gila saja.

"Ada apa Kak? Mengapa Kakak cemberut?" tanya Fikar.

"Tidak ada apa-apa, kamu tidur saja," jawabku.

"Kak, kita ini teman. Kakak tidak boleh menyimpan masalah sendiri. Sekarang Kakak punya teman cerita yaitu aku. Aku tidak akan membiarkan Kak Airin tenggelam dalam kesedihan sendirian," ucap Fikar.

Aku terdiam sejenak. Kata-kata Fikar membuat dadaku terasa hangat, tapi sekaligus perih. Aku tak terbiasa ada seseorang yang peduli padaku seperti itu. Selama ini, rasa sepi dan luka selalu ku tanggung sendirian.

Aku menghela nafas.“Fikar, kamu masih muda. Jangan terlalu memikirkan urusanku. Aku takut membebani kamu."

Fikar menggeleng mantap. “Tidak ada kata beban kalau kita tulus, Kak. Aku ingin Kak Airin tahu… aku ada di sini. Aku nggak akan pergi.”

Aku kembali menarik napas panjang, berusaha menahan gejolak hatinya.

'Andai saja aku bisa benar-benar percaya… sayangnya ... Mas Azzam telah membuatku tidak percaya kalau cinta itu bukan untukku. Aku hanya di takdirkan menderita,' batinku.

"Oh, ya Kak Airin pasti lelah akibat aku ajak jalan-jalan tadi. Sini aku pijit kaki Kakak agar tidak kaku," tawar Fikar.

Aku tersentak kecil mendengar tawaran itu.“Tidak usah, Fikar. Aku baik-baik saja,” ucapku buru-buru sambil menggeleng.

Namun Fikar tetap menatapku dengan tatapan tulus, tanpa ada maksud lain. “Aku serius, Kak. Aku cuma ingin membantu. Kak Airin jangan sungkan. Aku tahu Kakak pasti capek.”

Aku terdiam, bimbang. Hatinya hangat sekaligus canggung. Selama ini, tak pernah ada yang menawarkan perhatian sekecil apa pun padanya, apalagi hal sederhana seperti ini.

Aku pun akhirnya tersenyum tipis, mencoba menutupi rasa kikuk.

“Kalau begitu… duduk saja di sampingku. Temanin ngobrol, itu sudah cukup.”

Fikar pun menurut, duduk di sampingnya dengan wajah berbinar, seolah merasa diberi kehormatan besar.

Malam itu terasa berbeda. Lobi hotel yang biasanya sepi kini dipenuhi suara obrolan ringan mereka. Sesekali Fikar tertawa kecil, membuat suasana terasa menghangat.

Mataku menengadah menatap langit, bintang-bintang berkelip indah di atas sana. Namun tanpa sadar, pandangannya justru bergeser ke arah Fikar. Dari samping, wajah pemuda itu terlihat begitu tenang. Garis rahangnya tegas, matanya berkilat penuh semangat muda, dan senyumnya… ah, senyum itu ternyata menawan sekali.

Aku tersentak dalam hati. Kenapa aku baru menyadari ketampanannya sekarang? gumamnya pelan. Ada sesuatu di dadanya yang bergetar, perasaan asing yang menyelinap di hatinya.

Fikar menyadari tatapan itu dan menoleh. “Kenapa, Kak? Ada yang aneh di wajahku?” tanyanya polos sambil menyentuh pipinya sendiri.

Airin buru-buru menggeleng, wajahnya merona. “Nggak… nggak ada apa-apa. Aku cuma… lihat bintang jatuh barusan,” kilahnya cepat.

Fikar tersenyum cerah, menatap langit penuh antusias. “Kalau gitu, ayo kita sama-sama berdoa. Siapa tahu doa Kakak terkabul malam ini.”

Aku terdiam, menunduk. Dalam hati berbisik, andai saja kebahagiaan itu bisa benar-benar datang padaku. Rasanya tak mungkin. Mas Azzam sudah berhasil mengubah persepsiku mengenai kebahagiaan.

Lalu ku lirik Fikar tampak serius berdoa. "Apa yang kamu panjatkan di doamu?" tanyaku kepo.

Fikar membuka mata perlahan, menoleh pada Airin dengan senyum kecil yang misterius. “Kalau aku kasih tahu, nanti doanya nggak terkabul, Kak,” jawabnya ringan.

Aku mendengus pelan, pura-pura kesal. “Halah, itu cuma mitos. Aku penasaran, Fikar. Bilang aja, apa sih?”

Fikar tertawa kecil melihat sikapku yang tiba-tiba kepo ingin tahu. Ia menggaruk tengkuknya, lalu menunduk sebentar sebelum berani menjawab. “Ya udah… aku cuma minta semoga aku bisa mendampingi Kakak seterusnya," jawabnya.

Aku menoleh mataku membesar tak percaya dengan apa yang baru ia dengar. Jantungku berdegup kencang, seolah ada sesuatu yang menohok langsung ke relung hatiku. Mas Azzam saja ingin menyimgkirkanku. Tapi pemuda ini ...?

“F-Fikar… kamu tahu kan, hubungan kita ini hanya sementara,” ucapku terbata, mencoba menegaskan batas yang sejak awal sudah ditetapkan.

Namun Fikar tetap menatapnya dengan ketulusan yang membuat Airin semakin sulit bernapas. “Aku tahu, Kak. Tapi… bukan berarti aku nggak boleh berharap, kan?” katanya pelan, suaranya jujur dan lembut.

Aku terdiam. Kata-kata itu membuat dadaku terasa penuh. Ada rasa hangat, tapi juga rasa takut. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya. Aku merasa diperjuangkan, meski hanya dengan sebuah harapan sederhana dari seorang pemuda yang seharusnya bukan miliknya.

"Yuk, masuk ke dalam ini sudah terlalu malam," ajakku.

Namun baru saja melangkah Aku merasa sakit di kaki. Dan Fikar tahu, ada yang tidak beres dari raut wajahku yang menahan sakit.

"Kenapa Kak?" tanya Fikar.

"Nggak tahu, tiba-tiba kakiku sedikit sakit."

Tanpa menunggu lama Fikar segera membopongku. Membuatku terkejut ketika tubuhku tiba-tiba sudah di angkat Fikar.

Matamu terbelalak kaget, kedua tanganku refleks berpegangan pada bahu Fikar. “F-Fikar! Turunin Kakak, nanti orang-orang lihat!” kataku panik.

"Aku cuma ingin bantu Kakak ke tempat tidur," ucapnya pelan. Aku tak ada pilihan lain terpaksa mengalungkan kedua tangan di leher Fikar. Perasaannya campur aduk, yang jelas jantungku berdebar-debar aneh.

Fikar pun merebahkan Airin di ranjang. Ia kemudian meluruskan kakiku.

"Kakak tengkurap dulu. Untuk kali ini Kakak tidak boleh protes. Aku akan pijit kaki Kakak," kata Fikar sedikit memerintah.

Aku cukup segan, akhirnya tengkurap. Perlahan kurasakan telapak tangan Fikar merayap di kakiku. Memijitnya perlahan-lahan.

Aku menggenggam seprai erat, rasa canggung menyeruak dalam hatiku. Sentuhan itu lembut, penuh kehati-hatian, berbeda jauh dari yang ia bayangkan. Tidak ada maksud lain di baliknya selain ketulusan untuk membuatnya merasa lebih baik.

“Gimana, Kak? Masih sakit?” tanya Fikar pelan, suaranya serius, seolah benar-benar khawatir.

Aku menggeleng meski wajahku tertutup bantal. “Sudah agak mendingan… kamu pintar juga pijitnya,” jawabku lirih, berusaha terdengar tenang.

"Hehehe ...." jawab Fikar tersenyum tipis.

Tangan Fikar kembali memijit ke arah punggung. Namun yang di rasakan Airin justru lain. Tubuhnya menegang manakala tangan kekar itu mengusap punggungku perlahan. Jantungku berdegup tak karuan saat merasakan telapak tangan Fikar bergerak perlahan di sepanjang punggungnya. Itu bukan lagi pijatan biasa ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuat tubuhnya merespons tanpa bisa di kendalikan.

“Fi ...Fikar…” suaraku terdengar pelan, nyaris bergetar. “Cukup sampai sini, ya…”

Fikar menghentikan gerakannya seketika. Ia terdiam, lalu menarik napas panjang. “Maaf, Kak. Aku… nggak bermaksud bikin Kak Airin nggak nyaman,” ucapnya dengan nada menyesal.

Aku mengambil posisi telentang, ia menatap ke arah Fikar. "Tidak, pijitan kamu enak kok. Hanya saja ini sudah terlalu malam. Kita istirahat dulu. Lagian aku juga sudah ngantuk."

Ia takut kalau keterusan akan merembet  ke yang lainnya. Jujur ia sempat terbuai dengan pijitan Fikar. Tapi ia segera mengendalikan situasi agar tidak terbawa perasaan.

"Oh, ya. Kalau begitu aku tidur di sofa saja. Kak Airin santai saja. Aku tidak akan ganggu."

Aku langsung menoleh, menatap Fikar yang sudah bangkit dan berjalan ke arah sofa. Ada rasa aneh menyelinap di hati sedikit lega namun… kecewa.

“Kamu nggak usah tidur di sofa, Fikar. Kasur ini kan luas,” ucapku cepat, meski nada suaranya terdengar canggung.

Fikar berhenti, menoleh dengan senyum tipis. “Aku tahu, Kak. Tapi aku nggak mau bikin Kak Airin nggak nyaman. Lagipula, aku janji akan jaga jarak.”

“Ya sudah terserah kamu deh. Tapi jangan salahkan aku kalau besok badan kamu pegal-pegal karena tidur di sofa.”

Fikar tersenyum tipis. Ia lalu mengambil satu bantal dan tidur di sofa tak jauh dari ranjang.

Dan entah kenapa aku merasa malu tadi menawarkan Fikar tidur di sebelahku. Hanya karena tadi dia sudah memijitku. Apakah benar aku memang begitu merindukan sentuhan gara-gara Mas Azzam sama sekali tidak pernah menyentuhku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berondong Sewaan Pilihan Suamiku   9

    Hari ini kami pulang dari hotel. Akhirnya kembali ke dunia nyata. Dimana aku di hadapkan keadaan yang sering membuatku terasa sesak. Aku melangkah masuk ke rumah dengan langkah pelan. Bersama Fikar yang membantuku membawa koper. Sesuai rencana, Mas Azzam menyuruhku tinggal di rumah ini bersama Fikar. Dan tentu saja rumah ini jauh dari keramaian. Rumah baru yang sengaja di pilih Mas Azzam untuk menjalankan rencananya. Tiba-tiba langkahku terhenti ketika mendapati sosok yang tidak asing sedang berdiri di ruang tamu. Mas Azzam bersandar santai di kusen pintu dengan ekspresi dingin.“Kamu akhirnya pulang juga,” ucap Mas Azzam pelan, suaranya datar namun sarat makna."Iya ... meski aku tahu kamu tidak pernah menginginkanku," jawabku asal."Benar ... tapi yang ku inginkan kamu hamil anak Fikar. Dan kalau sudah lahir serahkan padaku," petingatnya.Fikar terdiam membisu mendengarkan perkataan Mas Azzam."Fikar ... kamu tahu kan tugasmu? Kalau kamu berhasil membuat istriku hamil maka kamu ak

  • Berondong Sewaan Pilihan Suamiku   8

    "Semalam aku kelihatan takut ya?" tanyaku, mencoba terdengar ringan padahal dalam dada ada gugup yang menyerang. Mengingat mimpiku semalam begitu menekan hatiku.Fikar mengangguk pelan. “Iya. Aku dengar Kakak sesenggukan, terus… wajah Kakak kayak orang ketakutan. Aku khawatir, tapi aku nggak berani bangunin. Jadi… aku cuma biarin Kakak tetap tidur sambil… peluk aku.”Aku menggigit bibir bawahku, menahan perasaan yang mendadak menghangat di dada. “Maaf, ya. Aku bikin kamu repot.”“Bukan repot, Kak,” sahutnya cepat, lembut sekali. “Aku cuma pengen Kakak nggak merasa aman.”Kalimat itu menancap pelan di hatiku. Aku menarik napas panjang, menunduk sebelum akhirnya berbisik lirih. “Aku… mungkin kelihatan aneh ya. Semalam itu aku mimpi buruk. Rasanya nyata sekali… kayak aku kembali ke masa-masa yang paling menyakitkan.”Fikar diam mendengarkanku dengan seksama. Aku bisa merasakan tatapannya hangat, penuh perhatian.Ia menggenggam jemariku di pangkuan, mencoba menahan getaran suaraku. “Aku

  • Berondong Sewaan Pilihan Suamiku   7

    Langit malam terasa begitu sunyi. Hanya detik jam dinding yang terdengar di kamar. Aku menggeliat gelisah di atas ranjang, napasku memburu. Entah kenapa, dadaku terasa sesak dan keringat dingin mulai mengalir di pelipis. “Jangan… jangan dekati aku…” gumamku dalam mimpi yang menakutkan. Bayangan wajah Mas Azzam muncul begitu jelas, membuat tubuhku menggigil. “Aku benci kamu! Jangan ganggu keluargaku!” teriakku, hingga suaraku memecah kesunyian malam. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang hangat, seseorang memelukku, lembut tapi kokoh. Tubuh itu bergetar, namun menghadirkan rasa aman. Aku tak tahu apakah ini mimpi atau nyata. Dalam ketakutanku aku hanya bisa bergumam, “Jangan pergi… aku takut…” Dan aku merasa pelukan itu mengerat, diiringi suara lembut di telingaku. “Aku di sini, Kak. Jangan takut, nggak ada apa-apa.” Pelan-pelan napasku mulai tenang. Kegelapan di dalam mimpiku perlahan memudar, dan aku pun terlelap lagi dalam kehangatan. ** Saat mataku terbuka pagi harinya, sinar

  • Berondong Sewaan Pilihan Suamiku   6

    "Bagaimana?Kalian sudah melakukannya?" tanya Mas Azzam di telepon. "Sudah," jawabku pendek."Kalau begitu bagaimana hasilnya? Kamu beli tespek, kan?" tanya Mas Azzam lagi."Belum," jawabku malas."Tunggu apa lagi! Beli sekarang di apotek!" perintah suamiku di telepon."Oke."Aku pun mengakhiri telepon. Malam-malam suamiku sudah menggangguku. Aku merasa Mas Azzam itu bodoh, misal aku melakukannya dengan Fikar tidak mungkin juga sehari langsung ada garis merahnya. Bodo amat! Lama-lama tahu begini dia jadi makin enggan pulang ke rumah. Pria itu makin lama makin gila saja."Ada apa Kak? Mengapa Kakak cemberut?" tanya Fikar."Tidak ada apa-apa, kamu tidur saja," jawabku. "Kak, kita ini teman. Kakak tidak boleh menyimpan masalah sendiri. Sekarang Kakak punya teman cerita yaitu aku. Aku tidak akan membiarkan Kak Airin tenggelam dalam kesedihan sendirian," ucap Fikar.Aku terdiam sejenak. Kata-kata Fikar membuat dadaku terasa hangat, tapi sekaligus perih. Aku tak terbiasa ada seseorang yang

  • Berondong Sewaan Pilihan Suamiku   5

    Aku membuka pintu perlahan. Seorang petugas hotel berdiri dengan troli makanan lengkap dengan penutup peraknya. Senyumnya ramah, tapi mataku tak benar-benar fokus padanya. Aku hanya ingin semuanya cepat selesai. “Silakan taruh di sini,” ucapku pelan sambil menunjuk meja kecil di dekat jendela. Petugas itu menata semua dengan rapi sebelum pamit. Begitu pintu tertutup, aroma sup hangat dan lauk menggoda memenuhi kamar. Suasana mendadak terasa berbeda hangat tapi juga asing. Aku melihat Fikar menelan ludah, matanya berbinar seperti anak kecil. “Wah, enak banget keliatannya,” katanya dengan nada polos. Aku tersenyum kecil. “Ya sudah, ayo kita makan. Nanti keburu dingin.” Ia buru-buru menarik kursi, canggung, seolah takut bersikap salah. “Silakan duluan, Kak. Aku nanti aja.” Aku menatapnya sekilas, geli melihat sikap sopan yang berlebihan itu. “Santai aja, Fikar. Kita makan bareng.” Begitu ia duduk, kami mulai menyendok makanan masing-masing. Aku memandangi sendokku yang penu

  • Berondong Sewaan Pilihan Suamiku   4

    “Siapa namamu?” tanyaku setelah Mas Azzam pergi. Aku mencoba tenang meski suasana kamar ini terasa begitu canggung. “Namaku Fikar,” jawabnya lirih. Pemuda itu terlihat tidak nyaman menatapku. Ia buru-buru memilih melihat ke arah lain. Mungkin aku terlihat menyedihkan sekali. Suamiku saking tidak inginnya menyentuhku sampai menyuruh pria lain menghamiliku. Ironis bukan? “Baiklah, Fikar… aku harap kamu tidak memintaku melakukan hal di luar kehendakku,” ucapku pelan. Aku menoleh sebentar ke arahnya, lalu kembali mengalihkan pandangan. Bibirku mengerjap pahit. Senyum getir yang bahkan aku sendiri tak yakin artinya apa. “Aku tahu… situasi ini aneh untukmu.” Ia mengangguk gugup dan memilih duduk di sudut kamar, menjaga jarak. “Iya… jujur aja, aku nggak pernah bayangin bakal kenalan dengan cara seperti ini. Apalagi dengan seseorang yang….”Kalimatnya terhenti. Aku bisa menebak sisa ucapannya. “Dengan seseorang yang lebih tua darimu, begitu?” tanyaku tersenyum tipis. Ia buru-bur

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status