Share

7

Author: Rasyidfatir
last update Last Updated: 2025-11-04 12:03:56

Langit malam terasa begitu sunyi. Hanya detik jam dinding yang terdengar di kamar. Aku menggeliat gelisah di atas ranjang, napasku memburu. Entah kenapa, dadaku terasa sesak dan keringat dingin mulai mengalir di pelipis.

“Jangan… jangan dekati aku…” gumamku dalam mimpi yang menakutkan. Bayangan wajah Mas Azzam muncul begitu jelas, membuat tubuhku menggigil. “Aku benci kamu! Jangan ganggu keluargaku!” teriakku, hingga suaraku memecah kesunyian malam.

Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang hangat, seseorang memelukku, lembut tapi kokoh. Tubuh itu bergetar, namun menghadirkan rasa aman. Aku tak tahu apakah ini mimpi atau nyata. Dalam ketakutanku aku hanya bisa bergumam, “Jangan pergi… aku takut…”

Dan aku merasa pelukan itu mengerat, diiringi suara lembut di telingaku.

“Aku di sini, Kak. Jangan takut, nggak ada apa-apa.”

Pelan-pelan napasku mulai tenang. Kegelapan di dalam mimpiku perlahan memudar, dan aku pun terlelap lagi dalam kehangatan.

**

Saat mataku terbuka pagi harinya, sinar matahari sudah menembus tirai. Tubuhku terasa ringan. Tapi begitu aku menoleh, jantungku hampir berhenti dan aku sedang memeluk Fikar. Tanganku melingkar di tubuhnya. Dia menatapku polos dengan wajah yang seolah tak tahu harus bereaksi apa.

“Maaf… aku nggak ngapa-ngapain kan semalam?” tanyaku gugup.

“Nggak kok, Kak. Kakak tidur pules kayak bayi,” jawabnya sambil tertawa kecil.

Wajahku memanas. Aku buru-buru melepaskan pelukan itu dan menunduk dalam-dalam. Pipiku pasti sudah merah seperti tomat. Aku melangkah ke kamar mandi, mencoba menenangkan diri.

Di depan wastafel, aku menatap bayangan di cermin. Wajahku masih pucat, tapi pipi ini… masih menyisakan semburat merah.

Kenapa aku bisa merasa… senyaman itu? batinku.

Aku ingat hangatnya dada Fikar, aroma sabunnya yang lembut, dan bagaimana perasaanku tenang sesuatu yang bahkan tidak pernah kurasakan saat bersama suamiku sendiri.

“Tidak… ini pasti salah,” bisikku pelan.

Setelah mandi, aku keluar dengan rambut masih setengah basah, mengenakan bathrobe. Aku berjalan pelan, berusaha bersikap biasa, tapi jantungku masih berdetak tak karuan.

Fikar duduk di sofa, menatapku atau mungkin lebih tepatnya, menatap terlalu lama. Tatapannya langsung beralih, dan aku sadar sesuatu. Aku menunduk dan melihat bathrobe-ku sedikit terbuka. Spontan aku mencengkeram kainnya rapat-rapat, wajahku panas luar biasa.

“Ma… maaf…” kataku tergagap.

“Enggak… aku yang harus minta maaf, Kak. Aku tadi nggak sengaja liat…” jawabnya cepat, sama kikuknya denganku.

Kami sama-sama menunduk. Keheningan menggantung di udara, canggung tapi… anehnya tidak sepenuhnya tidak nyaman.

Ketukan pintu menyelamatkan suasana. “Permisi, sarapan sudah siap!”

Aku segera berdiri, menyambut petugas hotel yang membawa troli. Setelah dia pergi, hanya ada keheningan lagi. Aku menata piring-piring, menuangkan jus jeruk, mencoba mengalihkan rasa malu dengan aktivitas.

“Eh, kamu… duduk aja. Sarapan biar aku yang tata,” ucapku, menahan gugup. Padahal ini sebenarnya pengalihan suasana.

Fikar mengangguk cepat. “Iya, Kak. Makasih.”

Kami makan dalam diam. Aku sesekali melirik, dan tanpa sadar memperhatikan cara dia makan tapi rapi, sopan. Kenapa cowok itu bisa terlihat keren cuma karena cara makannya? batinku.

“Ada apa Kak? Ada yang salah denganku, aku keliatan rakus ya kalau makan?” tanyanya memecah lamunanku.

Cepat-cepat aku menggeleng. “Nggak, aku cuma heran aja. Kamu cara makannya rapi banget. Biasanya cowok seumuran kamu kan asal.”

Dia tersenyum kikuk. “Oh, itu kebiasaan aja, Kak. Ibu suka cerewet kalau aku makan berantakan.”

Aku tertawa kecil. “Berarti kamu anak yang patuh, ya?”

“Patuh sih… kalau lagi nggak males,” balasnya sambil tersenyum malu.

Kami tertawa pelan. Untuk pertama kalinya setelah semalam, suasana terasa ringan. Tapi saat dia bertanya.

“Ngomong-ngomong, tadi malam Kakak kenapa? Kelihatan ketakutan banget."

Jantungku kembali berdebar. Aku diam. Karena aku sendiri belum tahu… apakah yang kutakuti hanyalah mimpi buruk tentang Azzam, atau justru kenyataan yang mulai kutemukan di dalam diriku sendiri.

"Cuma mimpi buruk saja. Tidak usah kamu pikirin," ucapku tersenyum datar.

Aku sadar tiap ancaman suamiku sampai masuk ke dalam alam bawah sadarku. Batinku tertekan hingga sampai terbawa ke dalam mimpi. Mas Azzam tidak pernah sepenuhnya menginginkan aku jadi istrinya. Aku hanya mesin pembuat anak baginya. Setelah itu aku akan di buang usai melakukan tugasku.

"Kak, kok diam? Ada yang di pikirin?" tanya Fikar lagi.

Aku pun menggeleng. "Eh, gimana tadi makanannya?" tanyaku mengalihkan perhatian.

"Enak, maklum kelas anak kos biasanya makan mie rebus di kasih makanan restoran. Cacing di perut langsung keroyokan," canda Fikar.

"Hahaha ... ha, kamu bisa aja."

"Perbaikan gizi dong," imbuhku.

"Iya, Kak."

Fikar menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, gerakannya tampak gugup tapi justru membuatnya terlihat lucu di mataku. Sekilas pandanganku tertuju pada wajahnya — kulitnya bersih, rahangnya tegas, hidungnya mancung sempurna.

Entah kenapa, hatiku sempat berdesir. Ia begitu muda, tapi ada ketenangan dalam sorot matanya yang jarang dimiliki pria seusianya.

Aku menelan ludah perlahan. Sulit dipercaya kalau pria seperti dia hanyalah seorang mahasiswa yang bekerja paruh waktu. Terlalu… menarik, terlalu memesona untuk sekadar itu. Bahkan kalau wajahnya di jadikan cover depan majalah dewasa pun pasti sangat menarik.

Dan tanpa kusadari, pikiranku membandingkan wajahnya, caranya bicara, bahkan senyum kecil yang sering ia tahan itu. Jauh berbeda dengan suamiku yang selalu bersikap kasar. Jauh dari kata lembut maupun perhatian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berondong Sewaan Pilihan Suamiku   9

    Hari ini kami pulang dari hotel. Akhirnya kembali ke dunia nyata. Dimana aku di hadapkan keadaan yang sering membuatku terasa sesak. Aku melangkah masuk ke rumah dengan langkah pelan. Bersama Fikar yang membantuku membawa koper. Sesuai rencana, Mas Azzam menyuruhku tinggal di rumah ini bersama Fikar. Dan tentu saja rumah ini jauh dari keramaian. Rumah baru yang sengaja di pilih Mas Azzam untuk menjalankan rencananya. Tiba-tiba langkahku terhenti ketika mendapati sosok yang tidak asing sedang berdiri di ruang tamu. Mas Azzam bersandar santai di kusen pintu dengan ekspresi dingin.“Kamu akhirnya pulang juga,” ucap Mas Azzam pelan, suaranya datar namun sarat makna."Iya ... meski aku tahu kamu tidak pernah menginginkanku," jawabku asal."Benar ... tapi yang ku inginkan kamu hamil anak Fikar. Dan kalau sudah lahir serahkan padaku," petingatnya.Fikar terdiam membisu mendengarkan perkataan Mas Azzam."Fikar ... kamu tahu kan tugasmu? Kalau kamu berhasil membuat istriku hamil maka kamu ak

  • Berondong Sewaan Pilihan Suamiku   8

    "Semalam aku kelihatan takut ya?" tanyaku, mencoba terdengar ringan padahal dalam dada ada gugup yang menyerang. Mengingat mimpiku semalam begitu menekan hatiku.Fikar mengangguk pelan. “Iya. Aku dengar Kakak sesenggukan, terus… wajah Kakak kayak orang ketakutan. Aku khawatir, tapi aku nggak berani bangunin. Jadi… aku cuma biarin Kakak tetap tidur sambil… peluk aku.”Aku menggigit bibir bawahku, menahan perasaan yang mendadak menghangat di dada. “Maaf, ya. Aku bikin kamu repot.”“Bukan repot, Kak,” sahutnya cepat, lembut sekali. “Aku cuma pengen Kakak nggak merasa aman.”Kalimat itu menancap pelan di hatiku. Aku menarik napas panjang, menunduk sebelum akhirnya berbisik lirih. “Aku… mungkin kelihatan aneh ya. Semalam itu aku mimpi buruk. Rasanya nyata sekali… kayak aku kembali ke masa-masa yang paling menyakitkan.”Fikar diam mendengarkanku dengan seksama. Aku bisa merasakan tatapannya hangat, penuh perhatian.Ia menggenggam jemariku di pangkuan, mencoba menahan getaran suaraku. “Aku

  • Berondong Sewaan Pilihan Suamiku   7

    Langit malam terasa begitu sunyi. Hanya detik jam dinding yang terdengar di kamar. Aku menggeliat gelisah di atas ranjang, napasku memburu. Entah kenapa, dadaku terasa sesak dan keringat dingin mulai mengalir di pelipis. “Jangan… jangan dekati aku…” gumamku dalam mimpi yang menakutkan. Bayangan wajah Mas Azzam muncul begitu jelas, membuat tubuhku menggigil. “Aku benci kamu! Jangan ganggu keluargaku!” teriakku, hingga suaraku memecah kesunyian malam. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang hangat, seseorang memelukku, lembut tapi kokoh. Tubuh itu bergetar, namun menghadirkan rasa aman. Aku tak tahu apakah ini mimpi atau nyata. Dalam ketakutanku aku hanya bisa bergumam, “Jangan pergi… aku takut…” Dan aku merasa pelukan itu mengerat, diiringi suara lembut di telingaku. “Aku di sini, Kak. Jangan takut, nggak ada apa-apa.” Pelan-pelan napasku mulai tenang. Kegelapan di dalam mimpiku perlahan memudar, dan aku pun terlelap lagi dalam kehangatan. ** Saat mataku terbuka pagi harinya, sinar

  • Berondong Sewaan Pilihan Suamiku   6

    "Bagaimana?Kalian sudah melakukannya?" tanya Mas Azzam di telepon. "Sudah," jawabku pendek."Kalau begitu bagaimana hasilnya? Kamu beli tespek, kan?" tanya Mas Azzam lagi."Belum," jawabku malas."Tunggu apa lagi! Beli sekarang di apotek!" perintah suamiku di telepon."Oke."Aku pun mengakhiri telepon. Malam-malam suamiku sudah menggangguku. Aku merasa Mas Azzam itu bodoh, misal aku melakukannya dengan Fikar tidak mungkin juga sehari langsung ada garis merahnya. Bodo amat! Lama-lama tahu begini dia jadi makin enggan pulang ke rumah. Pria itu makin lama makin gila saja."Ada apa Kak? Mengapa Kakak cemberut?" tanya Fikar."Tidak ada apa-apa, kamu tidur saja," jawabku. "Kak, kita ini teman. Kakak tidak boleh menyimpan masalah sendiri. Sekarang Kakak punya teman cerita yaitu aku. Aku tidak akan membiarkan Kak Airin tenggelam dalam kesedihan sendirian," ucap Fikar.Aku terdiam sejenak. Kata-kata Fikar membuat dadaku terasa hangat, tapi sekaligus perih. Aku tak terbiasa ada seseorang yang

  • Berondong Sewaan Pilihan Suamiku   5

    Aku membuka pintu perlahan. Seorang petugas hotel berdiri dengan troli makanan lengkap dengan penutup peraknya. Senyumnya ramah, tapi mataku tak benar-benar fokus padanya. Aku hanya ingin semuanya cepat selesai. “Silakan taruh di sini,” ucapku pelan sambil menunjuk meja kecil di dekat jendela. Petugas itu menata semua dengan rapi sebelum pamit. Begitu pintu tertutup, aroma sup hangat dan lauk menggoda memenuhi kamar. Suasana mendadak terasa berbeda hangat tapi juga asing. Aku melihat Fikar menelan ludah, matanya berbinar seperti anak kecil. “Wah, enak banget keliatannya,” katanya dengan nada polos. Aku tersenyum kecil. “Ya sudah, ayo kita makan. Nanti keburu dingin.” Ia buru-buru menarik kursi, canggung, seolah takut bersikap salah. “Silakan duluan, Kak. Aku nanti aja.” Aku menatapnya sekilas, geli melihat sikap sopan yang berlebihan itu. “Santai aja, Fikar. Kita makan bareng.” Begitu ia duduk, kami mulai menyendok makanan masing-masing. Aku memandangi sendokku yang penu

  • Berondong Sewaan Pilihan Suamiku   4

    “Siapa namamu?” tanyaku setelah Mas Azzam pergi. Aku mencoba tenang meski suasana kamar ini terasa begitu canggung. “Namaku Fikar,” jawabnya lirih. Pemuda itu terlihat tidak nyaman menatapku. Ia buru-buru memilih melihat ke arah lain. Mungkin aku terlihat menyedihkan sekali. Suamiku saking tidak inginnya menyentuhku sampai menyuruh pria lain menghamiliku. Ironis bukan? “Baiklah, Fikar… aku harap kamu tidak memintaku melakukan hal di luar kehendakku,” ucapku pelan. Aku menoleh sebentar ke arahnya, lalu kembali mengalihkan pandangan. Bibirku mengerjap pahit. Senyum getir yang bahkan aku sendiri tak yakin artinya apa. “Aku tahu… situasi ini aneh untukmu.” Ia mengangguk gugup dan memilih duduk di sudut kamar, menjaga jarak. “Iya… jujur aja, aku nggak pernah bayangin bakal kenalan dengan cara seperti ini. Apalagi dengan seseorang yang….”Kalimatnya terhenti. Aku bisa menebak sisa ucapannya. “Dengan seseorang yang lebih tua darimu, begitu?” tanyaku tersenyum tipis. Ia buru-bur

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status