"Menghitung beras, itu menyenangkan, hilang bosanku, hilang waktuku, jadi sia-sia.""Goblok."Devan mendengkus, ia melirik Laki, atau lengkapnya Laksamana Kiran, kakak pertamanya. Orangnya memang sangat laki, postur dan bentuk tubuh, suara, pemikiran, semuanya, tapi takut istri, padahal perbedaan umur mereka empat belas tahun. Kakak ipar Devan lebih muda tiga tahun darinya. Mereka menikah dua tahun lalu, dan sekarang sudah dikaruniai dua anak, satu dari istri pertama, satu lagi berumur setahun dari kakak ipar Devan yang sekarang. Mereka punya cerita yang sulit sebelum akhirnya bisa bersama.Laki mengambil beras yang dimainkan Devan lalu mencucinya. Mereka harus bergerak cepat, tapi Devan malah santai-santai memainkan beras dan bernyanyi. Tak lama Laki kembali dengan berasnya yang sudah di cuci, siap untuk membuat ketupat dan lontong. Mereka menyisihkan dua liter untuk dibuat burasa, lontong bersantan, atas permintaan Nyonya Azalea yang tengah hamil sebulan, sungguh mengagumkan.Sesek
"Mamaaa! Neneeek!" Eleanora berlari masuk ke dalam rumah dengan beberapa buku tulis tipis di tangannya. Senyum di wajahnya khas ceria anak-anak saat mendapat sesuatu yang besar. "Kamu dari mana, El, siang begini baru pulang?" Mama datang, ikut duduk di karpet, di samping Eleanora. Eleanora melihat jam dinding yang mengantung di atas tv tabung, sudah pukul dua siang. "Hehehe, ikut mereka masiara, dapat ini." Eleanora menunjukkan buku yang ia dapat, lebih dari selusin. Mereka yang dimaksud adalah teman-teman sebayanya. "Kamu ndak perlu sampai segitunya, Nak." Nenek muncul dengan sepiring berisi beberapa potong lontong dan daging ayam, ia memberikannya ke Eleanora. "Makan dulu."Eleanora mengangguk dan memakannya dengan lahap. "Bukunya lumayan, Nek, bisa dipakai sekolah nanti." Eleanora tertawa kecil, lalu melanjutkan makannya. Setiap lebaran Eleanora selalu berusaha keliling dari rumah ke rumah bersama teman-temannya untuk mencari buku. Selain karena menyenangkan dilakukan bersama
Paling asik dilakukan saat di desa adalah jalan subuh. Menyusuri jalan desa dengan berjalan kaki sembari menunggu matahari terbit. Menikmati sejuknya udara, merasakan derasnya embun yang datang. Walaupun tidak semenyenangkan yang dibayangkan, tapi Eleanora tetap menikmati. Semua itu karena nyeri di perut bawahnya sedikit mengganggu. Saat akan berbelok ke jalan menuju persawahan, Eleanora bertemu Devan yang ternyata juga tengah menikmati pagi. Eleanora tersenyum. "Mau ke mana?" tanyanya semangat.Devan diam tidak membalas, ia melanjutkan jalan ke arah persawahan. Eleanora segera berlari kecil, menyusul, lalu menggandeng tangan Devan yang langsung dilepaskan oleh yang punya. Eleanora tertawa saja, dan tetap ikut berjalan bersisian.Matahari mulai tampak, sinarnya menelisik lewat sela-sela pohon-pohon yang berdiri jauh di sisi kanan jalan. Beberapa orang desa lewat, ada yang berlawanan arah dengan Eleanora dan Devan. Mungkin hanya untuk memeriksa tanaman mereka, sebab masih hari kedua
Biasanya saat di rumah di jam sepuluh pagi, Devan masih asik tidur atau sekadar rebahan di kamar sembari bermain game. Namun, entah mengapa, pagi ini di saat matahari baru terlihat, Devan sudah sibuk seorang diri di teras belakang. Tangannya dengan gesit memarut singkong yang tadi ia cabut sendiri. Semuanya ia lakukan seorang diri, tanpa ekspresi, seperti tanpa semangat tapi semua beres dengan cepat. Setelah selesai, Devan membawa masuk parutan singkong itu. Masih ada beberapa potong singkong di baskom berbeda Devan masuk bertepatan dengan Azalea yang baru keluar dari kamar mandi. "Ini, terserah mau diapakan," ucap Devan lalu merebahkan diri tempat tidur yang ada di pojokan. Azalea dan Gabriella melihatnya aneh. Tidak biasanya adik ipar mereka seperti itu. Azalea kemudian berbisik, "Kayaknya dia lagi galau." Gabriella tertawa kecil dan mengangguk. Sudah empat hari berlalu sejak kepulangan Eleanora. Dan Devan berubah jadi pemurung dan tidak banyak bicara. "Kayak suami-sua
Apakah di dunia ini ada perempuan yang bucin keterlaluan sampai goblok pada laki-laki? Ya, pasti ada. Dan Eleanora menjadi salah satunya.Eleanora tidak tahu apa yang membuatnya sampai seperti itu pada Devan. Awalnya ia hanya penasaran, lalu iseng mencari. Kemudian berakhir seperti penguntit. Tak puas mengamati dari jauh, Eleanora membuat keberadaannya terlihat. Bahkan sampai berlebihan. Sudah cukup banyak yang Eleanora ketahui dari Devan dan keluarganya. Dan keharmonisan keluarga Devan bikin Eleanora ingin menjadi bagiannya. Membuat Eleanora melakukan kebodohan dengan melamar laki-laki itu.Eleanora yakin Devan sudah tahu kalau ia telah melamar laki-laki itu pada orang tuanya. Namun, sikap laki-laki itu yang tampak tak peduli padanya cukup menyakitkan. Eleanora tidak menyesal, ia hanya kesal."Makanya, kan sa sudah bilang, jangan bodoh keterlaluan."Eleanora langsung menoleh cepat. Menatap Keenan tajam. "Apa kamu bilang?""Bodoh!" Keenan menekan ucapannya tanpa sungkan. Ia mengapit
"E, El, ayo nikah dulu!"Sesaat Devan terdiam, ia kaku, sadar akan ucapannya. "Hah? Apa?""A, anu." Devan tergagap, ia juga terkejut dengan ucapannya sendiri. Tak lama Eleanora tertawa lagi. Malam ini gadis itu banyak tertawa. Eleanora menjauhi Devan, ia duduk di atas tempat tidur. "Pintunya sudah dibuka, kamu bisa keluar sendiri. Jangan lupa tutup lagi." Eleanora tidak memedulikan Devan lagi dan memilih merebahkan diri. Sudah malam, lebih baik dia tidur daripada meladeni Devan yang berpotensi bikin sakit hati. Namun, satu jam Eleanora menutup mata, ia belum juga bisa tertidur. Dan lebih mencengangkan, Devan masih di tempatnya, tidak bergerak sedikitpun. Akhirnya Eleanora bangun, duduk menghadap Devan. "Aku hitung sampai tiga, aku nggak akan lepasin kamu. Dan akan aku pastikan kamu menyesal kalau kamu bilang menyesal sudah ajak nikah." Eleanora berdiri, sementara tatapan Devan tidak lepas darinya. "Satu … dua," Eleanora turun dari tempat tidur, duduk di depan Devan. Mereka tatap
Lama mereka terdiam, sama-sama berperang dengan pikiran masing-masing. Eleanora diam menunduk, tidak berani mengangkat kepala untuk bertemu pandang dengan orang tua Devan. Ia bingung harus bagaimana. "Ini, Diego Lim, tertulis jelas nama ayah Eleanora di situ." Devan memberikan Bapak selembar kertas berupa fotocopy kartu keluarga Eleanora dari dalam tasnya. "Itu berarti Eleanora lahir dari perkawinan yang sah, kan, Pak?' Bapak mengangguk, sebenarnya agak ragu juga. Zaman sekarang banyak orang yang secara agama nasab anaknya tidak jelas, atau anak itu hadir karena persetubuhan di luar nikah, tetapi dibuat jelas dalam akta kelahiran. "Akta lahir ada?" Bapak bertanya pada Eleanora. Eleanora yang sejak tadi menunduk akhirnya mengangkat kepalanya. Ia memeriksa tasnya, mengambil akta lahir, KTP, kartu keluarga asli, juga buku nikah orang tuanya. Bapak m
"Tapi El, Ibu mau tanya lagi, Ibu penasaran soal ini dari awal kamu datang ke sini." Raut wajah Ibu tiba-tiba berubah, buat Eleanora agak cemas. "Kenapa kamu panggil Devan langsung dengan nama? Padahal perbedaan usia kalian lumayan."Mampus, Eleanora mati kutu, secara memaksa bibir untuk tersenyum, kepala Eleanora berputar membuat jawaban. "Eee, itu karena Eleanora nggak ingin Devan merasa kalau Eleanora masih muda, Bu?"Ibu mengerutkan keningnya, kurang paham dengan ucapan blunder Eleanora."Eleanora ingin membuat seolah kami tidak berjarak, Bu. Eleanora tidak Devan memikirkan jarak usia kami, Bu. Apalagi Eleanora masih di bawah dua puluh tahun."Walaupun penjelasan Eleanora terkesan berbelit, Ibu mencoba memaklumi. Ia juga hanya penasaran kenapa Eleanora hanya pakai nama tanpa embel-embel yang lain.Setelah mengajukan beberapa pertanyaan lagi, Eleanora akhirny