*Happy Reading*
Dita yang di cekik Abyan berusaha memukul-mukul tangan pria itu yang kini membuatnya kesulitan bernapas. Dita masih tak mengerti kenapa Abyan bisa tiba-tiba marah begini padanya."Ab ... yhan ... lephas!" rontanya berusaha lepas.Namun, Abyan seperti sudah kesetanan dan malah memperkuat cekikannya. Wajah Dita seketika memucat dan megap-megap berusaha mencari udara."Ab ... yhan ... tohlong. Akhu ... ghak ... bisha ... naphas! Ab ... yhan!"Beruntung Abyan tak benar-benar membuat gadis itu mati. Melihat Dita yang lemas dan dan sudah hampir membiru, pria itu pun melepaskan cekikannya. Namun, dengan cara kasar sampai Dita tersungkur ke lantai. Dita pun terbatuk-batuk sambil berusaha mengisi rongga dada dengan udara sebanyak-banyaknya."Abyan. Kamu kenapa, sih? Kok kamu tiba-tiba marah gini? Salahku apa?" tanya Dita disela batuknyaBukannya menjawab, tangan Abyan malah kembali mencengkram dagu Dita dengan kuat dan memaksa wajah gadis itu menghadap padanya."Gak usah berbohong lagi, Dita. Aku sudah tahu semuanya. Kamu kan yang memulai kerusuhan tadi pagi?"Degh!Jangan bilang kalau Abyan ...."A-apa maksud kamu Abyan? Aku gak--""Diam!" hardik Abyan keras. Membuat Dita seketika menciut ketakutan. "Gak usah pura-pura lagi kamu, Dit! Aku sudah lihat cctv tadi pagi."Benar dugaan Dita. Abyan ternyata sudah tahu kebenarannya."Camkan ini baik-baik, Dit! Lain kali kalau kau masih berani menipuku. Kubuat kau benar-benar tak bisa bernapas lagi selamanya!" Ancam Abyan dingin seraya melempar wajah Dita ke samping.Dita pun menangis tergugu di tempatnya. Wajah dan tubuhnya sakit sekali akibat ulah Abyan barusan. Namun, hatinya lebih sakit lagi mendapat kemarahan Abyan barusan.Tak sampai di sana. Abyan juga mengusir Dita dari ruangannya. Tak ingin mendengarkan rengekan dan pembelaan gadis itu. Yang ada, bukannya iba dengan tangis Dita. Abyan malah mendorong kuat Dita hingga tersungkur di depan ruangannya. Membuat Dita malu sekali, karena kejadian itu disaksikan semua mata karyawan Abyan."Syukurin! Akhirnya kena karma juga!""Makan, tuh!""Muka dempulan kek badut aja belagu!""Pake sok-sokan nyaingin Mbak Nissa lagi? Ya pasti kalah jauh!"Nyinyiran dan tawa culas mereka pun segera terbit. Membuat Dita geram dan rasanya ingin sekali menghajar mereka satu-satu. Namun, gadis itu tahu ini bukan hal yang tepat dilakukan. Abyan bisa makin mengamuk jika melihat Dita berulah lagi di kantornya.Lebih dari itu, bukan mereka yang harus Dita perhitungkan saat ini. Karena dari pada mereka, Nissa lah yang lebih pantas diberikan perhitungan untuk semua rasa sakit dan malu ini."Lihat saja, aku akan membuatmu membayar semuanya."***Ponsel berdering tanpa henti. Nissa terus mengabaikan panggilan telepon itu, sebab orang yang menelepon adalah Abyan. Panggilan telepon itu membuat ia merasa agak pusing karena sedari pagi berusaha menahan amarah yang nyaris membuatnya meledak.Sejenak ia menghentikan kesibukannya dan melirik ponsel di atas meja, kemudian mendengkus seraya memutar bola mata, berusaha melupakan sejenak kekesalannya pada manusia menyebalkan itu."Mau apa lagi dia nelepon, sih? Mau minta maaf? Mustahil dia mau minta maaf setelah menampar dan mempermalukan aku kayak gitu." Nissa mendengkus, dia enggan untuk mengangkat telepon dari Abyan. Lelaki itu pasti mau mengajaknya ribut lagi seperti yang sudah-sudah.Seharusnya jika ingin meminta maaf, pria itu datang menemuinya. Sayangnya, mana mungkin hal itu terjadi. Abyan terlalu egois. Dia tidak pernah mau disalahkan. Jadi, Nissa merasa akan sia-sia kalau dia mengangkat telepon dari pria itu, yang ada perang dunia kembali meletus."Ck, biarin ajalah. Mau dia nelepon seribu kali pun gak bakal aku angkat. Dasar menyebalkan!" Nisa mengabaikan panggilan telepon itu dan kembali sibuk dengan pekerjaannya.Sementara itu, Abyan uring-uringan karena Nissa tidak kunjung mengangkat telepon darinya. Padahal ada hal cukup penting yang ingin dia bicarakan dengan gadis itu. Sayangnya, Nissa tidak mau mengangkatnya sama sekali.Dia sedikit merasa bersalah pada Nissa karena sudah menyakitinya. Itu terjadi begitu saja sebab dia melihat Dita yang kesakitan. Seandainya dia percaya lebih awal pada Nissa, mungkin ini semua tidak akan terjadi. Ah, pada dasarnya penyesalan memang selalu berada di akhir. Kalau di awal namanya pendaftaran."Sialan. Kenapa gadis itu itu tidak mau mengangkat teleponku sama sekali?" omel Abyan, menyilangkan lengan di depan dada sambil memijit pangkal hidung. Batinnya terus menjeritkan rasa marah bercampur rasa bersalah karena kejadian tadi pagi. Padahal Nissa pun sama saja tengah marah padanya.Abyan mengembuskan napas panjang selagi netranya menyorot pemandangan di luar jendela. Sejujurnya, Abyan bosan melihat suasana di sekitar ruang kerjanya yang sunyi. Nissa marah padanya. Lalu, apa yang harus dia lakukan?***Nissa sedang duduk di sofa apartemen milik Naira, dia sendirian malam ini sebab Naira belum juga pulang. Dia ingin sekali bercerita tentang apa yang dialaminya tadi siang. Setiap kali mengingat hal itu rasanya sangat menyebalkan."Gak usah diingat-ingat juga. Gak penting banget," kata Nissa, bermonolog sendirian.Saat Nissa sedang menonton acara berita di televisi. Pintu apartemennya tiba-tiba diketuk. Dia pikir Naira sudah pulang, karena itu dia bergegas untuk pergi ke depan dan membukakan pintu. Namun, Hal yang tak pernah Nissa duga. Dua orang bersetelan hitam lengkap dengan topeng wajah, mereka menenteng sebilah pisau tajam di tangan keduanya.Ini salahnya. Kenapa dia tak mengintip melalui lubang di depan pintu ketika bell berbunyi? Alhasil, baru saja ia memutar kunci, tubuhnya langsung terdorong beberapa langkah ke belakang sambil mengaduh kesakitan pada perutnya karena benturan pintu yang didobrak dari luar."Kalian siapa?!" Nissa bertanya sembari memasang siaga untuk mewanti-wanti jika penyusup itu menyerangnya.Kedua sosok yang Nissa yakini adalah laki-laki jika dilihat dari postur tubuhnya, hanya tertawa meremehkan. Suara keduanya garang dan terdengar menakutkan. Nissa tidak pernah menghadapi musuh sehingga sempat membuat kedua lututnya terasa lemas."Apa yang kalian inginkan, hah?" Nissa mulai geram. Jika mereka maling, kenapa malah diam saja di depan pintu sembari mengawasinya?"Diam dan ikutlah dengan kami," kata salah satu penjahat itu membuat Nissa terhenyak. Ternyata dia hendak diculik?"Nggak! Siapa kalian, mau apa kalian ke sini?!""Duh, cerewet banget cewek ini. Udah, bawa aja dia sekarang!" titah salah satu penjahat seraya menunjuk Nissa.Aksi kejar-kejaran pun terjadi. Nissa berusaha untuk menghindari serangan dua penjahat tersebut. Dia meminta berseru minta tolong entah pada siapa sambil menangis ketakutan. Tidak tahan mendengar Nissa yang terus menjerit ketakutan. Salah satu penjahat itu pun menyerang Nissa.Mereka berhasil menyergap Nissa dan membekapnya dengan sapu tangan yang sudah dilumuri obat bius. Nissa masih berusaha melawan dan melepaskan diri. Namun, kuatnya obat bius membuat Nissa cepat lemas dan lalu kehilangan kesadarannya."Akhirnya diam juga dia!" desah lega salah satu penculik itu. "Buruan angkut ke mobil!" titahnya kemudian.Dengan enteng penculik lainnya memikul Nissa yang tak sadarkan diri, membawanya ke luar apartemen dengan hati-hati, dan memasukkannya ke dalam mobil. Sementara penculik lainnya mengekori sambil mendial sebuah nomor."Misi beres! Target sudah aman ditangan kita!" lapornya entah pada siapa.Suara sirene ambulans memecah keheningan malam, membawa Nissa yang tak sadarkan diri menuju rumah sakit terdekat. Raid mengikuti dari belakang dengan perasaan kalut, bayangan Nissa yang terbaring berlumuran darah terus menghantuinya.Di ruang tunggu rumah sakit, Raid mondar-mandir dengan gelisah. Setiap detik terasa seperti siksaan, menunggu kabar dari tim medis yang tengah berjuang menyelamatkan istrinya. Pikirannya dipenuhi penyesalan; andai saja ia tidak asal tarik tadi, mungkin semua ini tak akan terjadi.Faktanya yang terjadi hanyalah kesalahpahaman semata. Raid yang tadi sedang menunggu Nissa di ruang vvip, tiba-tiba matanya ditutup sebuah tangan yang lembut. Raid kira itu Nissa, makanya dia main tarik saja tangan itu hingga jatuh dalam pangkuan. Raid pun syok saat akhirnya tau tangan tadi ternyata milik Nichole, bukan istrinya.Sialnya, Nissa malah datang di saat tidak tepat. Raid yang masih syok pun butuh beberapa detik menyadari kesalahpahaman itu hingga akhirnya gegas mengej
"Sayang, hari ini Abang ada urusan di knightsbridge. Kamu mau ikut nggak?""Di mana itu, Bang? Jauh nggak dari sini?""Knightsbridge terletak di jantung kota London yang modis, menggabungkan jalur Hyde Park yang dilalui kuda, kedutaan besar Belgravia, museum Kensington, dan kediaman seniman Chelsea. Saat ini, lingkungan itu dipenuhi dengan berbagai toko, restoran, townhouse bersejarah kelas dunia, dan merupakan rumah bagi dua properti Jumeirah . Di sana, kita juga bisa melihat sejarah Knightsbridge dan bagaimana ia bisa mempertahankan reputasi yang dimilikinya saat ini." Raid menjelaskan dengan sabar dan panjang lebar. "Nggak tahu ah, Bang. Nggak ngerti juga. Udahlah, Abang aja yang pergi. Nissa lagi mager," sahut Nissa kemudian dengan malas. Raid mengerutkan keningnya bingung. Beberapa hari ini entah kenapa Nissa memang berubah jadi pemalas. Tak seperti biasanya yang selalu antusias jika di ajak ke tempat baru. Apa mungkin Nissa sudah bosan tinggal di sini? Akan tetapi, mereka baru
Sebenarnya enggan sekali untuk Nissa menerima tawaran Naira pergi ke London. Bukan hanya karena dia tidak suka naik pesawat, tapi juga karena malas ketemu Nichole. Gimana ya, jelasinnya? Semua orang memang bilang Nichole itu sudah berubah. Tetapi sebagai sesama wanita, jelas Nissa tahu dan bisa merasakan kalau sebenarnya Nichole itu belum menyerah tentang perasaannya pada Raid. Wanita itu masih mendamba Raid meski tidak terang-terangan seperti dulu. Di depan Naira dan suaminya, Nichole memang akan bersikap biasa saja dan seolah acuh pada keberadaan Raid. Tetapi Nissa tahu betul, kadang dia masih mencuri pandang pada Raid, dan mencoba mendekati pria-nya dengan gaya halus.Ah, pokoknya Nissa tidak suka sama Nichole!"Sayang, kita nggak akan lama, kok. Hanya mengantarkan Naira saja ke rumah mertuanya.""Abis itu langsung pulang, ya?""Uhm ... tinggal dulu beberapa hari, ya? Soalnya Abang juga ingin menengok Damien dan juga harus mengecek usaha Abang yang ada di sini. Kita juga bisa sek
Raid mengulas senyum manis sambil menatap Nissa yang terlelap paska percintaan panas mereka. Panas dan menegangkan seperti permintaan wanita itu. Sungguh, Raid selalu dibuat kagum setiap kali bercinta dengan Nissa. Wanita itu banyak kejutan. Gadis alim itu sudah tidak ada. Wanita polos, cengeng, dan menyusahkan itu sudah sirna. Berubah menjadi wanita dewasa yang mengagumkan.Ia adalah Anissa fatih Zhakia. Wanita lemah yang awalnya tak pernah Raid inginkan dan terus ia hindari. Merepotkan! Beban! Titel itu sering Raid sematkan pada Nissa. Apalagi jika Nissa sudah mulai menunjukan sifat cengengnya. Rasanya ingin Raid cekik saja lehernya agar berhenti menangis selamanya. Namun, siapa sangka? Gadis yang awalnya tak pernah Raid inginkan ini justru mampu mencuri hatinya. Membuat seorang Raid bertekuk lutut hingga rela menyerahkan seluruh hidupnya hanya untuk seorang Nissa yang cengeng. Terlebih setelah berhasil memiliki Nissa seutuhnya, Raid dibuat tergila-gila. Jatuh cinta setiap hari da
Setelah urusan ngisi perut kelar, maka waktunya ... tidur. Eh, ya enggak, dong! Itu mah kaum rebahan yang makin menggemoy kayak Amih. Kalau Nissa sama Raid mah, abis makan mereka belanja. Soalnya, inget kan, kalau mereka perginya tadi dadakan dan tanpa tujuan. Jadi ya mereka nggak ada persiapan apa pun sebelumnya. Bahkan baju saja, mereka hanya bawa beberapa lembar. Raid membawa Nissa ke salah satu pusat pembelanjaan yang ada di sana. Membeli keperluan yang dibutuhkan sekaligus jalan-jalan cuci mata. Ya, anggap aja ng'date setelah nikah."Abang, cukup! Ngapain sih beli sebanyak ini? Abang mau buka toko atau gimana?" tegur Nissa saat melihat Raid memasukan banyak sekali barang. Bukan barangnya yang membuat Nissa keberatan, tapi jumlahnya. Masalahnya, Raid beli satu jenis barang dalam jumlah besar. Padahal, mereka di sana hanya akan liburan, bukan menetap. Tetapi Raid belanja seolah mereka akan lama saja. "Nggak papa, sayang. Abang sanggup kok bayarnya.""Ck, ini bukan masalah sanggu
Brak!Nissa terkesiap kaget saat tiba-tiba saja Nita menggebrak meja. Wajahnya merah padam menatap Raid. Pasti dia sangat marah sekali saat ini. Tentu saja, ucapan Raid barusan memang terlalu kejam. Bahkan Nissa yang mendengarnya saja merasa sakit hati barusan. Ah, suaminya ini kalau sudah mode julid memang tak kaleng-kaleng. Akibat ulah Nita barusan. Kini, mereka jadi pusat perhatian di tempat makan tersebut. "Kurang ajar!" sentaknya keras. "Berani sekali kamu menghinaku seperti itu. Apa kamu tidak tahu siapa aku?!""Tahu, kok. Kamu sampah, kan?" Raid tak gentar sama sekali. Berucap santai sambil sebelah tangannya mengusap lembut punggung Nissa demi menenangkan kekagetan yang sempat dirasakan. "Diam!""Ah, atau kau lebih suka ku panggil jalang?""Kurang ajar!"Grep!"Akh!"Nita yang murka pun berniat melayangkan tangannya. Namun, dengan cepat Raid tahan dan gantian mencekal tangannya hingga wanita itu meringis kesakitan. "Bang?" Tahu keadaan sudah tak kondusif. Nissa pun mencoba