‘’Setelah semuanya dia dapatkan dariku. Dia secepatnya berubah. Dasar lelaki! Mau enaknya saja. Dia berjanji akan bertanggung jawab. Tapi mana janjinya itu?’’ ketusku sembari mondar-mandir di kamar kos. Perutku makin hari semakin membesar, namun tak ada tanda-tanda dia akan bertanggung jawab.
‘’Aarghh!!’’ Aku mengacak rambut frustasi. Aku menghenyak di ranjang seketika meraih ponsel yang di pinjamkan oleh Ayu kemarin. Ya, Ayu meminjamkanku ponsel kalau seandainya aku ingin menghubunginya. Aku bergegas mencari nomor kontak lelaki itu. Lalu aku mencoba menghubungi nomor ponsel tersebut. Berdering? Tetapi tak diangkat. Aku kembali mencoba menghubungi lelaki itu. ‘’Ayo angkat dong, Ndre!’’ ‘’Ma’af ini siapa?’’ ‘’Aku! Oh, jadi kamu lupa sama suara ini? Setelah kamu mendapatkan semuanya dari aku!’’ Kali ini amarahku sudah berada di ubun-ubun, kalau saja lelaki itu saat ini berada di depanku, akan aku jambak-jambak rambutnya dan bahkan ingin sekali aku menonjok mukanya itu. ‘’Mana tanggung jawab kamu? Bukannya kamu udah berjanji akan bertanggung jawab?’’ ketusku to the point. ‘’Hei! Kamu itu sudah membuat aku putus dengan pacar aku!’’ ucapnya dengan nada suara meninggi, tanpa merasa bersalah dan tanpa menjawab pertanyaanku. ‘’Hah, pacar? Semua wanita kamu pacari? Trus kamu ajak tidur bersama? Dasar lelaki bajing4n! Kalo kamu masih nggak mau tanggung jawab. Lihat aja apa yang akan aku perbuat nanti!’’ ketusku dan seketika kuputuskan sambungan telepon sepihak. Emosiku sudah berada di ubun-ubun. ‘’Arrrgggghhh! Dasar lelaki!’’ Seketika ponselku berdering kembali. Kulihat, ternyata itu adalah Andre yang mengulang untuk menelponku kembali. Aku membiarkan ponsel itu berdering. Dadaku terasa sesak dan buliran air mata lolos begitu saja. Teringat olehku kata-kata manis yang keluar dari mulutnya, ternyata itu semua hanyalah dusta. Dan teringat olehku bagaimana dia memperlakukanku ketika aku pacaran dengannya. Ternyata manisnya hanya ketika pacaran. Kini? Semuanya kandas begitu saja, dan semuanya seperti ditelan bumi. Seketika ponselku berdering kembali, kulihat ternyata Ayu. Lalu kuangkat. ‘’Assalamua’laikum, Yu!’’ ‘’Aku baik-baik aja kok. Tapi…’’ ‘’A—aku tadi sengaja menelpon Andre, aku mendesaknya karena aku takut dia ngga akan bertanggung jawab. Eh, dia malah bilang kalo aku penyebab dia putus dengan pacarnya.’’ ‘’Nggak usah, Yu. Kamu udah banyak banget membantu aku. Doakan aja ya, aku sekarang merencanakan sesuatu. InsyaaAllah, kalo berhasil akan aku kasih tau ke kamu.’’ ‘’Nggak apa-apa kok, Yu. Do’akan saja aku, ya?’’ ‘’Makasih, Yu. Apa? Mama menelpon kamu? Lalu kamu bilang apa?’’ Aku kaget seketika. Ternyata Mama masih peduli denganku. Tanpa sadar buliran air mataku menetes begitu saja. ‘’Aku menyesal atas semua yang terjadi sama aku, Yu. Aku udah buat kedua orang tuaku marah dan malu punya anak kayak aku.’’ ‘’Kamu tenang saja. Di sini aku baik-baik aja kok.’’ Aku menyeka buliran air mata yang terus membasahi pipi. Seketika aku teringat sesuatu. ‘’Btw, soal motor hadiah dari Andre aku titip dulu di rumah kamu. Bolehkan?’’ ‘’Ya udah. Selesaikan dulu pekerjaan kamu, Yu. Assalamua’laikum!’’ Aku bergegas menutup telepon. Aku termenung dengan tatapan kosong. Bunyi ketukan di luar sana membuyarkan lamunanku. Siapa? Ayu? Tidak, kalau Ayu pasti mengucapkan salam terlebih dahulu dan apalagi dia banyak kerjaan hari ini. Aku bergegas bangkit dan melangkah ke luar untuk membukakan pintu. Membuat aku menghela napas gusar. Ternyata pemilik kos. ‘’Kok kamu memandang saya seperti itu?’’ ketusnya berdiri di ambang pintu. ‘’E—enggak kok, Bu,’’ kilahku. ‘’Kamu ngapain aja sejak tadi? Udah beres-beres kos? Saya ngga mau ya kalo kos ini kotor dan berantakan.’’ ‘’I—iya, Bu. Tapi kemaren kan udah saya bersihkan juga.’’ ‘’Kemaren? Bersih-bersih itu setiap hari bukan sekali seminggu. Emang kamu di rumah nggak pernah bersih-bersih? Heran deh, kok bisa suami kamu memilih kamu jadi istrinya. Wanita pemalas,’’ hardiknya disertai bentakan yang membuat darahku terkejut. Allah! Sungguh susah tinggal di tempat rumah orang. Sudah membayar, masih saja dibentak begini. Apalagi tak membayar sepersen pun. ‘’Baik, Bu. Saya akan bersihkan hari ini juga.’’ Aku mengangguk perlahan. ‘’Nah, gitu dong. Jangan lupa juga tuh bunga-bunga di depan kos disiram semuanya!’’ ketusnya dengan tersenyum tipis. Aku seketika mengeluh. Begini amat punya ibu kost. Semuanya aku diperintah olehnya mengerjakan. Mana aku sedang hamil lagi. Seketika dia memandangiku dengan tatapan sinis. ‘’Kamu mau apa nggak? Mau tetap di kos saya kan?’’ Galak amat ini ibu kos ‘’Ma—mau, Bu,’’ sahutku terbata. ‘’Ya sudah! Kerjakan sesuai perintah saya. Lagian kamu sedang hamil juga harus bergerak!’’ titahnya dengan ketus dan melangkah keluar kembali. Seketika aku menggeleng sembari mengelus dada. ‘’Allah! Segitu amat punya Ibu kos. Nggak ada seenak di rumah kita sendiri. Mungkin ini teguran Allah untukku.’’ Aku mengusap mukaku, lalu bergegas mengambil sapu dan membersihkan semua ruangan kos dengan keringat dingin yang terus saja bercucuran. Beberapa menit kemudian, aku sudah selesai membersihkannya. Hanya tinggal menyirami bunga di luar. Aku bergegas mengambil ember dan gayung, lalu membawa seember air dengan langkah tertatih. Lalu kusirami setiap bunga itu. Seketika seorang wanita paruh baya lewat di depan kos. ‘’Kamu baru ngekost di sini, Nak?’’ Wanita berkerudung itu tampak tersenyum ramah menatapku. ‘’Iya. Emang kenapa, Bu?’’ tanyaku penasaran. Aku menghentikan pekerjaanku, lalu memandangi wanita yang mengenakan kerudung besar itu.‘’Bu, saya takut kalo penyamaran saya terbongkar. Sa...saya nggak mau masuk penjara.’’Membuat darahku mendidih dibuatnya mendengar ucapan wanita di seberang sana, orang suruhanku untuk melenyapkan Andre seminggu nan lalu. Sengaja aku bayar orang lain untuk membantu Andre agar nyawanya lenyap, tentunya dengan harga yang sangat mahal. Seperti ancamanku pada mamanya, kalau nyawa harus dibalas dengan nyawa. Anak semata wayangku, Nina.Anak yang sangat kusayangi kecelakaan dan merenggut nyawa. Gara-gara lelaki itu yang membawa anakku jalan-jalan ke luar pakai motor sportnya. Sejak awal aku tak pernah merestui hubungan mereka, namun suamiku bersikeukeh untuk menjodohkan lelaki itu dengan anakku. Dengan terpaksa aku menyetujuinya ketika itu, hingga Nina sering membawa lelaki itu ke rumah. Bahkan hingga larut malam, lelaki itu masih di rumahku.Aku yakin Nina hamil darah dagingnya Andre, atas perbuatan lelaki terkutuk itu. Sungguh miris, anakku meninggal dalam keadaan berbadan dua dan itu d
Mata Alisya melotot ke arahku. Sejak pertama kali dia tahu kalau aku ada hubungan spesial dengan Andre, sejak itu pula dia sering berkata ketus padaku, apa dia membenciku? Dan apa rasa benci itu masih membekas sampai saat ini?Buktinya dia menatap tajam ke arahku.‘’Terima kasih kalian udah datang ke pemakaman Andre. Hati-hati di jalan,’’ sahut Mama. Namun, mereka tak menoleh sedikit pun. Aneh! Tadinya begitu ramah dan sopan perlakuannya terhadap Mama Karni. Kini kenapa jadi begini? Apa karena Mama yang mengatakan aku masih berstatus sebagai istrinya Andre? Tapi apa hubungannya? Kan Andre sudah meninggal. Ah, sudahlah! Sepertinya pikiranku butuh istirahat sejenak.Mataku tertuju pada Mama yang tengah memeluk batu nisan anaknya dengan deraian air mata.‘’Semoga kamu tenang di sana ya, Nak. Maafkan Mama belum bisa jadi Mama yang baik untuk kamu.’’Membuat hatiku terenyuh memandangi wanita yang telah kuanggap sebagai orangtuaku itu. Entah kenapa, aku ikut merasakan apa yang dirasakan ole
‘Aku nggak tahu. Kapan aku akan menyusul. Tapi, aku berharap aku menghadap-Nya setelah aku punya banyak amal dan diampuni segala dosaku'Aku menyeka buliran air mata yang sejak tadi menetes. Kedua lelaki asisten Mama Karni itu tiba menyodorkan berbagai macam jenis bunga. Saatnya menaburkan bunga di tempat peristirahatan Andre. Aku juga ikut menaburkan bunga.‘’Kamu tenang saja, Ndre. Soal Mama, aku udah anggap sebagai orangtuaku. Aku akan selalu ada buat Mama,’’ gumamku dalam hati. Mama Karni terus saja mengalir air matanya sambil menaburkan bunga untuk terakhir kalinya di pemakaman Andre. Membuat hatiku kembali teriris.Pemakaman Andre terlihat sangat cantik karena ditaburi bermacam jenis bunga di atasnya, aku tersenyum menatap pemakaman itu. Namun, air mata tetap kembali menetes.‘’Saatnya kita mengirim doa untuk almarhum,’’ titah lelaki yang biasa dipanggil ustad itu. Semuanya pun menengadahkan tangan, doanya dipimpin oleh seorang ustadz yang berkata tadi. Tak hentinya air mata mem
Beberapa saat kemudian, jenazah Andre selesai dimandikan lalu dibawa kembali ke tempat biasanya. Dari tadi sudah terletak pakaian jenazah yang sudah disiapkan oleh orang yang ahli dalam bidang itu. Saatnya memasangkan baju, sarung, sorban dan membungkus tubuhnya dengan kain putih. Tentu yang melakukannya adalah orang yang ahli dalam bidang ini. Aku yakin para lelaki yang ikut menyelenggarakan jenazah adalah mereka sudah paham agama, sudah ahli dalam menyelenggarakan jenazah. Tampak begitu telaten dan sigap para lelaki itu mengurus jenazahnya Andre.Setelah jenazahnya di bungkus kain kafan, saatnya untuk menyalatkan. Tadi terdengar olehku, katanya jenazah almarhum akan disalatkan di masjid terdekat. Aku dan Mama Karni berwuduk lebih awal di rumah, kalau di masjid takutnya lama menunggu antrian.Tak berselang lama, aku sudah selesai berwuduk. Tampak beliau sedang menenteng dua mukenah.‘’Ini untuk kamu, Monik.’’ Mama menyodorkan padaku. Aku bergegas mengambil dan memakai mukena itu. K
‘’To—tolong bantu Bu Karni, Pak,’’ kataku pada bodyguard Mama Karni yang jarang sekali kulihat kehadirannya di rumah sakit. Aku langsung mengikuti langkah lelaki yang tengah memopong tubuh Mama Karni itu menuju kamarnya.‘’Pelan-pelan, Pak.’’ Bapak itu langsung membaringkan Mama di tempat tidur. ‘’Bi, tolong ambilkan minyak kayu putih.’’Wanita itu bergegas meraih minyak kayu putih yang terletak di lemari lalu menyodorkan padaku,’’Makasih, Bi.’’ Aku langsung memoleskan sedikit minyak kayu putih di hidung Mama Karni, lalu ke keningnya.‘’Maaf ya, Ma.’’ Dengan pelan kubuka kerudung yang melilit kepalanya.‘’Kasihan sekali Ibu,’’ gumam Bibi lirih dan menghenyak di sebelah Mama.‘’Iya, Bi. Aku nggak tega ngeliat Mama kayak gini.’’ Tanganku masih sibuk memegang minyak kayu putih lalu mengoleskan ke kening beliau.‘’Sama, Monik. Bibi juga kayak gitu. Apalagi ketika mendengar kabar kalo Mas Andre udah nggak ada lagi,’’ katanya dengan suara bergetar. ‘’Iya, Bi. Yang bisa kita lakukan sekar
‘’A...Andre meninggal barusan, Ma,’’ kataku dengan tenggorokan tercekat.‘’A...apa? Siapa yang mengabarkan kamu?’’ ‘’Pihak rumah sakit, Ma. Barusan aku dapat kabar. Aku yakin karena itu si Dedek menangis.’’ Aku membelai kepala mungilnya yang mulai berkeringat karena terus menangis. Aku melirik sejenak ke Mama, sangat lama beliau termenung sambil meneteskan air mata.‘’Biar Mama yang bujuk si Dedek ya. Kamu siap-siaplah sekarang. Nanti biar Mama yang jagain si Dedek di rumah. Kamu pergilah ke rumah sakit. Mama Karni pasti membutuhkanmu, Nak,’’ kata Mama lirih dan langsung mengambil alih Rafi di gendonganku. Aku menyetujui ucapan Mama dan langsung bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit.***‘’Sus, apa pasien atas nama Andre benaran meninggal?’’ Aku tergesa-gesa menghampiri wanita berseragam itu.‘’Benar, Mba. Barusan meninggal dan sudah dibawa ke ruang jenazah.’’ Membuat aku termenung dengan jawaban wanita itu.‘’Makasih ya, Sus.’’ Aku langsung bergegas ke ruang ICU yang pernah d