Share

Part 4. Modus.

Biarkan Aku Bahagia.

Part 4

Malam hari di waktu senggang. Aku membuka kembali aplikasi di ponsel tersayangku. Wah.. betapa terkejutnya aku, saat mata ini seakan terbuka lebar ketika melihat pesan masuk untuk memesan bolu dan juga kue basah buatanku. Seakan semua terasa mimpi. Ya, berlipat ganda Allah berikan rejeki padaku seusai perceraianku dengan Mas Wahyu. 

Janji-janji manis itu masih saja teringat jelas di memori kepalaku. Janji akan menjaga dan melindungiku, dulu selalu diucapkannya. Setiap hari terasa indah jika tak bersamanya. Tetapi, semua sudah sirna seiring berjalannya waktu. Hanya sebuah perpisahan yang kudapat saat ini. Perpisahan yang menimbulkan bekas trauma akan pernikahan.

***

Aku berencana ingin menghampiri Mas Wahyu ke tempat kerjanya, sudah lebih dulu menyiapkan makanan kesukaannya ke dalam rantang. Ya, aku sengaja tak mengatakan padanya untuk pergi menemuinya ke tempat kerjanya. Sengaja naik angkot untuk bisa sampai di sana. Berhubung jalanan begitu macat, akhirnya sampai ke tempat kerja suamiku hingga jam 11.00 siang. Aku mencoba langsung menghampirinya ke dalam ruangan yang biasa ia tempati. Berharap kedatanganku menjadi kejutan untuknya.

Sekilas terdengar jelas suara bisik-bisik, aku yakin itu suara Mas Wahyu. Aku yang mulai curiga sengaja melengketkan telingaku ke pintu tempat suamiku bersemayam. Samar-samar kudengar ada suara mancis yang berbunyi-bunyi. Karena rasa penasaran, kucoba membuka pintu pelan cukup pelan. Hingga kulihat jelas, apa yang sudah suamiku lakukan beserta dua temannya. Mereka sedang asyik memakai barang haram dan tertawa riang. Layaknya menghisap udara sebanyak mungkin, begitulah mereka lakukan secara bergantian. Kemudian terlihat jelas mata mereka semua memerah dan langsung tekapar di tempat. 

Pemandangan yang membuat dadaku berdetak tak menentu. Apa ini pekerjaan suamiku selama ini? Apa karena ini, ia menjadi monster di atas ranjang. Tak ada kata lelah saat bersetubuh denganku. 

"Ya, Allah. Cobaan apa lagi ini?" batinku mengelus dada.

Aku yang tadinya ingin menghampiri Mas Wahyu, kembali mengurungkan niat. Takut, jika nantinya aku hanya sebagai pelampiasannya. Sengaja aku menutup kembali pintu itu secara pelan sekali dan langsung pergi tanpa mengatakan apapun. 

Tubuhku menggeletar saat melihat kenyataan tepat di hadapan mataku. 

Dalam perjalanan aku seperti merasakan mimpi dengan kenyataan yang ada. Kakiku terasa bergetar hebat. Suami yang selama ini kubanggakan ternyata sudah mengkonsumsi barang terlarang di belakangku. Tepat hari ini, bahkan aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, suamiku telah asyik menikmati barang haram itu di tempat kerjanya. Pantas saja selama ini tak pernah mau memberi uang ternyata ini alasannya. 

Aku yang masih di dalam angkot yang penuh dengan penumpang, tanpa sadar meneteskan air mataku begitu saja. Bahkan saat itu aku telah menjadi pusat perhatian orang-orang. Sedikitpun tak kuhirauan perhatian mereka yang tertuju padaku. Dadaku terasa begitu sesak membayangkan apa yang baru saja kulihat.

***

"Kenapa aku mengingat kembali hal buruk itu?"

Tiba-tiba saja pikiranku kembali normal. Langsung kulanjutkan untuk membalas satu per satu pesan orang. Akhirnya ada 10 pesanan yang kuterima. Bahagianya aku. Rezekiku mengalir begitu saja.

"Terima kasih ya, Allah," ucapku seorang diri sambil menciumi ponsel kesayanganku. Ponsel yang kudapat dari bos tempatku dulu bekerja.

Tring.. g..

Kembali masuk pesan yang ternyata dari seseorang yaitu Mas Zaki yang menanyakan soal bolu. “Tak masalah jika ia menanyakan tentang bolu, pasti akan kubalas pesannya,” pikirku.

“Bagaimana?” tanya Mas Zaki kembali.

“Ini orang punya toko bolu, kok sibuk kali mau pesan sama aku. Persis seperti orang kebakaran jenggot,” gerutuku.

Aku berusaha mengabaikannya. Malas rasanya melayani orang yang hanya modus. Dia pikir aku apaan? Sampai tumbuh jenggotnya pun tidak bakalan aku mau sama dia. Apalagi pakai acara pesan bolu. Modus.

Ya, dulunya aku memang sangat menyukai sosok Mas Zaki. Seseorang yang sangat kukagumi sikapnya. Belakangan aku baru tahu, ternyata ia juga menyukaiku. Dugaanku tentang dirinya yang baik dan bertanggung jawab, salah besar. Mas Zaki yang kukenal layaknya bunglon, bisa berubah di mana pun ia berada.

“Dik..!” masuk kembali pesan dari Mas Zaki.

Karena rasa kesalku, tangan ini terasa gatal untuk segera membalas pesan laki-laki bunglon seperti Mas Zaki.

“Sebenarnya mau pesan bolu, apa mau modus?” tanyaku singkat.

“Kok begitu ngomongnya. Saya 'kan niat baik mau pesan bolu buatan Adik,” balasnya.

Niat baik katanya? Niat baik dari mana? Bilang saja ada maunya.

“Sudah punya istri kok modus. Awas kena karma. Jadilah seorang laki-laki yang nggak kegatalan!” balasku.

Terlihat ia langsung membaca pesanku. Tak lama ia tak lagi online.

“Pasti situ kena marah 'kan?” pikirku.

Aku kembali berselancar di media sosial, melihat-lihat motif bolu ulang tahun sebagai ilmu untuk bisa kupelajari. Lagi dan lagi si pengganggu mengirimkan pesan padaku. Sekilas kubaca jika Mas Zaki seperti mengirimkan foto. Rasa penasaran begitu menghantuiku, ingin segera membuka foto apa yang sudah dikirimkannya?

“Itu foto surat perceraian saya. Sekarang statusnya sudah berganti dengan duda.”

Masuk kembali pesan dari laki-laki yang baru kutahu statusnya sudah menjadi duda.

“Urusannya sama aku, apa?” pikirku.

Aku mengabaikannya begitu saja. Lebih baik kumatikan data selulerku. Meladeni laki-laki seperti Mas Zaki hanya akan menguras tenaga dan pikiran saja.

Semenjak apa yang kualami selama pernikahanku dengan Mas Wahyu seperti memberikan trauma tersendiri bagi diriku sendiri. Mas Wahyu selama menikah denganku, seperti memiliki kelainan seksual. Ya, Setiap ingin berhubungan intim, ia lebih dulu memukul tubuhku. Hal itu yang mampu membuat nafsu birahinya memuncak. Hal itu membuat aku selalu takut jika ingin bersetubuh dengannya.

Untuk satu kali bercocok tanam, bukan sekali atau dua kali aku harus melayaninya. Tapi, berulang kali hingga tubuhku terasa lemas tak berdaya.

Semenjak perpisahanku. Aku seperti membenci yang namanya laki-laki. Ya, di pikiranku semua laki-laki itu sama. Tak bisa menghargai seorang wanita. Apalagi hatinya.

Cukup sulit untuk bisa bertahan dengan sikap Mas Wahyu dulunya. Ya, aku mencoba sabar walau terkadang hatiku terasa menangis. Aku sebagai istrinya layaknya binatang diperlakukannya.

Rahasia itu tak pernah kuungkap kepada siapapun, termasuk orang tuaku. Di pengadilan aku juga seorang diri menghadapi hakim tanpa membawa keluargaku ikut dalam kepedihan yang kurasakan.

Begitu pula dengan Mas Zaki yang jelas-jelas aku sudah mengetahui sepak terjangnya sebagai seorang laki-laki. Selalu tebar pesona setiap ada wanita cantik. Rasanya aku risih untuk berhadapan dengannya. Hanya karena ia ingin memesan boluku, mencoba untuk menjawab pertanyaannya. Tidak. Hal itu tidak akan terjadi.

Semua lelaki di mataku semua sama, tidak ada bedanya. Mata keranjang, tidak bisa menghargai hati seorang wanita yang tulus.

Pagi harinya, aku membuka ponselku dan mengaktifkan datanya. Aku menanyai satu per satu orang yang memesan kue basah dan juga bolu. Supaya gampang mempersiapkan bahan-bahannya.

“Eh.. perempuan kegatalan! Jangan lagi kamu chatt suamiku.” Tiba-tiba saja ada pesan masuk di aplikasiku.

Terkejut, tentu. Aku yang baru saja membuka ponselku sudah disambut dengan pesan yang terbilang membuatku memanas.

Seketika panas dingin badanku ketika membaca pesan tersebut. Aku bahkan tak pernah kegatalan. Apa dia pikir aku main air comberan sampai-sampai kegatalan.

Bulu hidungku terasa berdiri begitu membaca pesan singkat yang sama sekali tak kutahu, siapa pengirimnya?

“Eh.. orang aneh! Kau pikir, aku ini apa? Bilang kegatalan segala. Sorry ya, saya bahkan lebih bersih dari dugaan Anda,” balasku sambil cengar-cengir.

Pesanku langsung dibaca. Kulihat ia sedang menulis untuk membalas pesanku. Sudah lama rasanya jiwa usilku tak keluar.

“Aku siap meladeni situ,” pikirku.

Kutunggu balasan darinya? Jiwa galakku langsung menggelegar untuk bisa melayani orang seperti ini.

“Makanya jadi cewek jangan suka chatt suami orang. Apa kamu nggak laku? Sampai suami orang kamu embat?”

Kubaca pesan itu kembali hingga rambutku terasa berdiri semua. Ya, aku paling tidak suka di tuduh yang bukan sama sekali kulakukan. Terlalu rendah untuk mengganggu suami orang. Apa dipikirnya aku nggak laku? Anak onces sekalipun bisa kudapatkan.

“Ternyata kamu cewek ya? Dengar ya, Nona nggak waras! Nggak level kalau ganggu suami orang. Lebih terhormat lagi cari kakek-kakek yang kaya raya daripada sama suami orang. Apa kamu pikir suamimu itu sudah tampan? Sampai berani mengatakan aku kegatalan.”

Pesanku akhirnya sudah terbaca. Tak lama kemudian, akunku langsung di blokirnya. Merasa kalah kali ya? Aku tertawa lega. Tunggu dulu! “Apa suami yang dimaksudnya adalah Mas Zaki?” pikirku tiba-tiba.

Masa bodoh! Mau itu Mas Zaki, Mas Wahyu atau Mas-Mas karat. Aku tak peduli. Jika perlu Mas-Mas itu kujual sama orang yang jual emas putus.

Begini lah menjadi seorang janda. Banyak godaan dan cobaan. Semua itu tak sedikitpun membuatku gentar. Aku yakin Allah akan ganti semua yang kualami dengan kebahagiaan yang berlipat ganda.

Beruntung rasanya memiliki orang tua seperti ibu dan ayah. Ya, mereka sangat sayang dan perhatian kepada anaknya. Mereka tak pernah ikut campur urusan rumah tanggaku. Mereka menutup telinga setiap anaknya berkeluh kesah.

“Semuanya sudah menjadi pilihanmu. Apapun yang kau hadapi, jalani sendiri tanpa harus mengadu ke sana dan ke sini,” ucap ibu dan ayah jauh sebelum aku menikah.

Terkadang aku sedih, ketika mengingat perilaku Mas Wahyu padaku. Sebagai seorang anak, tentu ingin rasanya setelah menikah berkunjung ke rumah orang tua yang melahirkan kita. Sayangnya, suami bahkan melarang setiap kali aku mengajak pulang ke rumah orang tuaku.

♡♡♡♡

“Mas, kita tempat Ayah dan Ibu ya!” ajakku di waktu senggangnya setelah makan.

Diam seribu bahasa. Mas Wahyu bahkan tak menjawab pertanyaanku. Ia asyik menghisap rokok yang ada di tangannya tanpa memperdulikanku.

“Mas!” panggilku.

“Apa nggak ada kerjamu selain mengajak ke rumah orang tuamu,” ucap Mas Wahyu menatap tajam ke arahku.

“Ya, Allah. Adik rela tinggal di rumah orang tua Mas. Kenapa Mas sanggup berkata seperti itu?” tanyaku.

“Kamu mau pulang ke rumah orang tuamu?” tanya Mas Wahyu padaku.

Aku pun menjawab dengan anggukan. Kukira, Mas Wahyu bersedia untuk mengantarkanku. Dengan senang hati aku tertawa riang.

Ternyata aku salah. Ia yang berusaha bangkit dan menuju kamar yang biasa kami tempati. Tak lama kemudian ia sudah membawa tas pakaian. Senangnya hati ketika melihat suamiku berbaik hati akan mengantarkanku.

“Kamu mau pulang 'kan ke rumah ayah dan ibumu?”

Mas Wahyu melewatiku dan berjalan cepat menuju lubang sampah. Dengan teganya, ia langsung membuang semua bajuku yang sengaja dimasukkannya ke dalam tas ke dalam lubang sampah. Ingin rasanya aku menjerit sekuat-kuatnya. Menghantam alat kelaminnya hingga hancur berkeping-keping.

Jantungku berdebar, badanku terasa menggigil ketika melihat semua pakaianku bercampur aduk dengan sampah dan kotoran yang ada di lubang sampah yang bau busuk.

Aku bahkan tak mampu untuk melawannya. Mencoba memungut pakaianku yang sudah bercampur dengan kotoran yang ada di lubang sampah. Hanya air mata yang mampu menjawab betapa perihnya hatiku saat itu.

Mas Wahyu bahkan pergi tak lama kembali dengan membawa ember yang berisi air. Ia langsung menyiramku yang masih berada di lubang sampah. Dalam sekejap aku basah beserta pakaian yang ada di tempat sampah itu. Ya, sakit bukan main yang kurasakan. Film sinetron bahkan kalah dengan adegan yang saat itu kualami.

“Sengaja aku siram kamu dengan air, biar kamu sadar. Jangan tahunya minta ke rumah orang tuamu saja,” ucapnya langsung membuang ember yang di pegangnya tepat di kepalaku.

Jangankan mengungkapkannya, mengatakannya saja sudah sangat sulit untuk kulakukan. Allah masih sayang kepadaku. Allah menjauhkanku dari orang seperti Mas Wahyu.

“Assalamualaikum,” ucap seseorang tanpa foto di sebuah akun.

Ucapan salam itu, membuyarkan ingatanku akan masa lalu.

“W*’alaikum salam,” jawabku. Aku tak tahu siapa yang sudah mengucapkan salam. Yang pasti aku berusaha menjawab salamnya.

“Ini Mas, Dik!” hatiku bahkan berkata “Mas siapa?”

“Maaf! Mungkin anda salah orang,” balasku.

“Ini, Kila kan?” tanya orang itu kembali.

“Ya.”

Tiba-tiba hatiku merasakan sesuatu kejanggalan. Entah bagaimana? Perasaan ini menjadi tak menentu. 

“Ini, Mas. Mas Wahyu. Mas mohon kembali lah, Dik! Mas nggak mau kehilangan kamu,” ungkapnya.

Ternyata dugaanku benar. Lelaki yang selama ini kucintai telah mengirimkan pesan untukku. Rasanya hatiku sudah mati rasa untuknya. Apalagi setelah membaca pesan yang ternyata darinya. Kebencianku sudah lebih besar daripada rasa kasihanku.

“Ngimpi lah di parit-parit!” Kubalas pesannya.

“Enak kali mulutnya berkata. Sandiwara apa yang sudah dimainkannya. Mendengar apa yang ditulisnya saja aku ingin muntah. Jangan harap kamu akan mendapatkanku kembali. Untuk mengenalmu kembali, butuh berpikir ribuan kali bagiku. Apalagi untuk bersamamu,” batinku.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status