Share

Part 2. Berani?

Biarkan Aku Bahagia.

Part 2.

Dibalik rasa cinta yang mendalam akan terselip luka yang membekas. Ya, kata ini yang lebih pantas disematkan untukku saat ini.

Lika-liku rumah tangga masih membekas di lubuk hatiku yang terdalam. Jangan ditanya betapa besar kebencianku terhadap seorang laki-laki. Bahkan menimbulkan trauma yang mendalam.

Perlakuan kasar itu selalu terniang di benakku. Bagaimana suami yang kucintai mampu berperilaku seperti monster?

Ya, aku memang menyebutnya sebagai monster. Mengingat tingkah lakunya padaku yang begitu mengerikan.

"Sudah berapa kali harus kukatakan? Aku tidak puas jika kamu hanya memberikan pelayanan hanya sekali!" bentak Mas Wahyu yang ingin menyalurkan hasrat birahinya kembali setelah ronde pertama.

Aku yang masih lemas, berusaha untuk menolak ajakannya. Badanku terasa remuk. Sendi-sendiku terasa nyeri setelah mendapat pukulan darinya. Selangkanganku terasa sakit. Bukan kasih ssyang dsn kelembutan yang kudapat, melainkan kekasaran.

Mas Wahyu yang memiliki sifat aneh. Terbiasa memukul tubuhku lebih dulu, baru melampiaskan nafsunya. Hal seperti ini bahkan sudah terlalu sering kudapatkan sebelum bercocok tanam dengannya. Rasa takut terkadang menghantuiku setiap melihatnya. Tetapi, aku juga seorang istri yang harus menunaikan kewajibanku. Aku juga ingin menjadi yang terbaik di mata Allah dan juga suamiku. Walau terkadang terlalu sulit menerima kenyataan.

Bayangan akan perlakuannya, selalu datang menghantuiku ke manapun aku berada. Setiap melihat laki-laki yang terkadang tak ada sangkut paut akan apa yang kualami. Mengingatkanku kembali kejadian buruk itu.

Selama perpisahanku dengan Mas Wahyu. Aku lebih tepat seperti orang yang mudah emosi. Kemarahanku selalu tak terkendali setiap ada yang mengusik kenyamanku.

♡♡♡

"Jangan marah seperti itu lah, Kila! Apa karena sudah punya status baru langsung begitu jawabnya?" Bapak itu bertanya sambil meminum kopi di pojok warung.

Mendengar ucapan bapak itu kembali menyadarkan lamunanku. Selalu saja pikiran akan perbuatan Mas Wahyu membayang di benakku. Kesadisan dan kekeresannya meninggalkan bekas tersendiri.

Terlihat sekali bapak itu sangat menikmati kopi yang diminumnya. Seruput demi seruput diteguknya si kopi hitam buatanku.

"Bapak juga mau ikut-ikutan sama seperti Bu Imah?" tantangku langsung menatap ke arahnya.

"Entar lama loh, dapet jodohnya kalau judes begitu!" ledek salah satu bapak-bapak yang sedang minum es di warung ibuku.

Ya, warung ibuku kebanyakan bapak-bapak lah yang datang. Ibu-ibu hanya datang untuk membeli nasi dan juga lauk, selebihnya kebanyakan penghuninya kaum laki-laki yang mulutnya seperti perempuan.

Ibuku menjual banyak makanan. Ada pecal, mie pecal, soto, lontong sayur, lontong pecel, gado-gado dan juga gorengan beserta minumannya.

"Saya itu geram, Pak! Semua urusan orang, Bu Imah selalu saja mau tahu. Orang lain mungkin dia bisa gosipin, kalau sama aku langsung kugosok habis, biar itu mulut bersih kayak di iklan-iklan itu. Kinclong," sungutku sambil tersenyum.

"Maklumi aja loh! Namanya juga biang gosip," ucap bapak itu padaku.

"Sudah biasa kali, Pak. Namanya juga janda, ya pasti nggak baik di mata orang. Apalagi Bu Imah. Selalu saja mencari kesalahan orang," sahutku.

Lama akhirnya mereka tak lagi berbicara padaku. Kemudian, muncul lah Pak Samsul yang datang menyambung cerita yang sempat terpotong.

"Kenapa dengan Bu IMah?" tanya Pak Samsul begitu ia baru saja duduk.

"Kebiasaan kali mulutnya, suka ikut campur sama kehidupan orang lain. Mau aku punya suami atau aku janda itu kan urusan aku. Bukan urusan Bu Imah. Lagian ya, orang nggak minta makan sama dia aja kok repot," ketusku mendengar pertanyaan Pak Samsul.

"Ya namanya orang hidup, Kila... Kila! Kesalahan orang cepat kali terlihat, tapi kesalahannya ditutup serapat-rapatnya."

"Ya kan, Pak. Repot kali ngurusin hidup orang. Bukan anaknya yang diurus malah anak orang. Anaknya aja kegatela*. Aku nggak sibuk."

Rasanya hatiku geram melihat ulah-ulah orang sekarang. Suka kali ngurysin hidup orang. Apa untungnya coba ikut campur urusan orang? 

"Jangan judes-judes kamu, Kila. Entar nggak laku loh! Nggak ada yang mau sama kamu," ejeknya kembali.

"Lah... Bapak. Apa hubungannya nggak laku gara-gara judesku?" tanyaku heran.

"Ya laki-laki takut sama kamu karena sifat judesmu itu!" 

"Udah, Bapak habisin aja kopinya! Jangan malah ngurusin hidupku," tampikku.

Pembicaraan kami pun akhirnya terhenti ketika ada salah satu bapak-bapak yang datang kembali. Warung ibuku bahkan semakin hari semakin ramai. Entah karena ada janda atau karena rejeki ibuku yang sedang naik daun. Aku pun tak mengetahuinya. Yang jelas, aku sangat menikmati hariku seperti sekarang. Beban yang selama ini kupikul bahkan sudah hilang.

"Kila..! Bikinkan, Uwak kopi! Yang kolat, yo."

(Kila..! Buatkan, Uwak kopi! Yang kelat, ya)" pinta salah satu pelanggan setia di warung ibuku dengan bahasa khasnya.

Begini lah keseharianku yang selalu menghabiskan waktu bersama bapak-bapak di warung. Terkadang bisa tertawa, emosi bahkan menangis dengan kekonyolan mereka.

Pak Amat yang merupakan salah satu pelanggan tetap di warung ibuku, boleh di bilang hampir kesehariannya menghabiskan waktu di warung. Terkadang hanya bermodal Rp. 5.000, mampu menghabiskan waktu sampai petang.

"Tunggu sebentar ya, Wak!" Aku langsung bergegas membuatkannya kopi. Jika tidak, bisa jadi suaranya menyusuri seisi kampung karena jeritannya.

"Lambat kali kau membuatnyo. Ondak jam berapo lagi, aku meminumnyo."

(Lama kali, kau membuatnya. Mau jam berapa lagi, aku meminumnya)," bentaknya dengan khas bahaya daerah kami.

"Sabar lah, Wak! Banyak yang mau kukerjakan. Satu-satu dulu kubuat," jawabku menuangkan air panas itu ke dalam gelas.

"Enak lah yang udah jadi janda sah itu!" ledek Pak Amat mengutarakan kata-kata janda yang baru kusandang.

"Apa yang enak, Wak? Yang ada banyak gosip. Malah semakin banyak yang membicarakan tentangku. Padahal orang nggak tahu bagaimana sulitnya perjalanan hidupku? Kalau kuceritakan nanti jadinya sinetron," jawabku kesal.

Ibu pun menghampiriku dan berusaha menyenggol lengan pertanda kode agar tak melayani ucapan mereka. Tentu saja aku tak bisa terima. Ucapan orang seperti mereka harus dilawan. Kalau tidak, bisa habis aku jadi olok-olokan mereka karena status janda.

"Nggak sedih kau, Kila?" tanya Pak Amat.

"Ngapain sedih, Wak. Aku itu udah bebas dari laki-laki benalu seperti mantan suamiku," jawabku sambil mengaduk kopi dalam gelas.

"Lagian janda kembang masih kayak gadis belum mengeluarkan anak," potong Pak Ucok yang baru saja datang. 

Mereka tertawa puas setelah mengejekku. Aku yang sudah terbiasa menghadapinya hanya mampu membalasnya dengan senyuman. Buat apa diambil pusing jika membuat pikiran kita menjadi tambah pusing. Bagus kita nikmati perjalanan hidup seperti sekarang. Terbebas dari seorang suami yang hanya berpangku tangan terhadap seorang istri. Oh, no! Itu tak akan pernah terulang kembali. Kebodohan itu tak akan kulakukan kembali.

Aku yang katanya tulang rusuk, berubah seketika menjadi tulang punggung setelah menikah dengannya. Cukup lama aku bertahan, hingga akhirnya pondasi yang kubangun roboh seketika saat mengetahui suami yang kubela selama ini mengkonsumsi barang terlarang dan berani menyimpan wanita lain di belakangku.

Sakit rasanya sendi-sendi tulangku, apalagi hatiku. Jangan di tanya? Mungkin kalau ciptaan manusia sudah hancur berkeping-keping.

"Udah, Kila! Jangan terlalu kau dengarkan kali orang-orang ini ngomong. Terhormat lagi janda daripada gadis tapi tak perawa*," saran bapak yang pertama datang kepadaku.

"No coment," jawabku.

Aku tak ingin menanggapi cerita mereka. Mau gadis mau janda itu kembali lagi ke diri orang masing-masing. Yang pasti, aku hanya ingin berubah lebih baik dari sebelumnya.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status