Share

Part 3. Pesan singkat.

Biarkan Aku Bahagia.

Part 3.

“Yang jualan, cantik ya!” ungkap salah satu pembeli yang sedang makan di warung ibuku.

“Cantik sih cantik! Salahnya janda,” sambut temannya sambil menyuap nasi di hadapannya.

“Masa iya, janda?! Udah bolong, dong!” bisiknya.

"Katanya sih, aku juga nggak tahu. Yang pasti dia pasti sudah berpengalaman."

Ha.. ha..

Terdengar jelas di pendengaranku, bagaimana mereka menghina statusku. Dadaku terasa berdebar tak menentu. Samar-samar mereka berbisik sambil melihat ke arahku sekedar untuk membicarakanku. Ya, aku yang terlalu sering mendengar omongan orang, hanya mampu mengelus dada. Mereka bahkan tak mengetahui bagaimana perjalanan rumah tanggaku hingga mengakibatkan perceraian.

Kata Sakinah Maw*ddah w* Rahmah yang kuharapkan berbanding terbalik dengan kenyataan saat ini menjadi seorang janda. Ya sakinah yang artinya tenang dan tenteram bahkan tak ada kudapati dari Mas Wahyu. Maw*ddah artinya cinta kasih, selama ini Mas Wahyu entah memiliki rasa itu padaku atau tidak? Rahmah artinya kasih sayang. Aku juga tak tahu apakah Mas Wahyu masih memiliki kasih sayangnya terhadapku? Semuanya terasa sia-sia.

Semua yang kuimpikan bahkan hanya khayalan semata. Jika kuingat tentang perjuanganku bahkan hati ini terasa sesak. Setiap kali aku meminta uang, “Kasih aku dulu seorang anak! Baru aku kasih kamu uang,” ucap Mas Wahyu setiap kali kupinta uang.

Kata itu yang selalu menjadi alasannya setiap aku meminta uang. Seorang anak yang aku sendiri sangat menginginkannya. Akan tetapi, apa aku harus menyalahkan Allah jika aku belum diberi kepercayaan untuk hamil. Wanita mana yang tak menginginkan keturunan dari pernikahannya. 

Akhirnya dengan berat hati, mau tak mau, aku memutuskan untuk bekerja dari pagi hingga malam hari. Mencoba mencari uang yang awalnya untuk kebutuhanku saja dan ternyata aku telah berubah jadi tulang punggung. Aku bekerja untuk membantu orang berjualan gorengan yang terbilang cukup ramai pembelinya. Pemilik gorengan tempatku bekerja bahkan sangat menyayangiku. Tak jarang memberiku uang lebih.

Uang yang sering kudapat dari bos tempatku bekerja sengaja kusimpan di celengan yang kusembunyikan di bawah rak piring yang sudah rusak. Setelah 5 bulan tabunganku terkumpul, berusaha membongkarnya untuk membeli kosmos untuk memasak. Betapa terkejutnya aku ketika melihat celenganku. Jangankan uang, bayangan uang itu bahkan tak terlihat. Kucoba membolak balik celengan itu. Bagaimana bisa uang yang selama ini kutabung tak ada sepeserpun. Entah lah! Tuyul sekalipun tak mungkin mengambil uang yang terbilang sedikit. Sekian lama, aku baru mengetahui ternyata Mas Wahyu yang sengaja mengambilnya. 

Semenjak aku bekerja, Mas Wahyu hanya enak-enakkan tidur. Tak jarang ia mengamuk ketika ingin meminta uang. Padahal ia terkadang mengatakan jika dirinya bekerja. Tapi, uangnya bahkan seujung kuku pun aku tak mengetahuinya. Jika ia membutuhkan uang, langsung meminta ke tempat kerjaku yang terkadang di hadapan orang ramai ia sanggup membentak untuk sekedar meminta uang. Ya, aku memang wanita yang dulunya mengalah demi cinta. Semua kulakukan hanya untuk bisa membahagiakannya.

“Makan lah itu cinta!” kata orang sekarang.

Memang aku dulunya wanita penurut bahkan aku rela menghabiskan uang gajianku hanya untuk membahagiakan suami dan juga ibu mertuanya. Sedangkan aku, terkadang untuk membeli onderdil saja harus menunggu sampai benar-benar sudah tidak layak di pakai.

Perlakuan suamiku semakin lama semakin menjadi. Terkadang ia tak pulang ke rumah selama 2 hari. Setiap aku mencoba berbicara kepada ibu mertua, ia hanya pura-pura tidak mengetahuinya. Sampai akhirnya kabar angin berembus ke telingaku, tentang perilaku Mas Wahyu di belakangku.

Namun, rasa sayang yang begitu besar mampu menutup mata dan telingaku mengenai Mas Wahyu. Aku tetap percaya pada suami yang tak pernah memberiku uang. Bahkan tak jarang orang di sekeliling rumah ibu mertua, menyuruhku untuk mencari laki-laki yang lebih baik.

“Dik!” panggil salah satu pria yang tadi membicarakanku.

Seketika aku menoleh. Panggilan itu membuyarkan ingatan tentang masa laluku yang kelam.

“Saya, Bang. Apa ada lagi yang mau di pesan?” tanyaku menghampiri mereka.

Sementara ibu memilih terus melanjutkan gorengannya. Ya, kami berdua yang telah berjualan di warung ibu yang cukup ramai. Terkadang pembeli bahkan tak sabar ketika kami lama menjuali. Orang-orang bahkan mengantri untuk bisa membeli makanan.

“Ngomong-ngomong, katanya Adik statusnya janda ya?” tanyanya tiba-tiba.

Berhubung dia merupakan pembeli yang biasanya disebut pembeli adalah raja. Aku pun memutuskan untuk sedikit bisa menghargainya.

“Iya, Bang. Ada masalah sama Abang tentang statusku?” tanyaku balik menatap ke arahnya.

“Nggak ada masalah sih. Hanya saja...”

Pria itu sengaja menghentikan kata-katanya yang membuat jiwa penasaranku menggebu-gebu untuk mengetahui apa yang sebenarnya ingin dikatakannya. Sekilas ia melirik ke arah temannya.

“Maaf, Bang! Hanya saja, apa ya?” tanyaku balik. 

“Hanya saja, Abang ingin mengenalmu lebih dekat,” jawabnya dengan wajah serius.

“Apa ini alasan Abang memanggilku?” tanyaku ragu.

“Iya.” Dia terlihat tersenyum dan memainkan matanya ke arahku.

Kenapa semua laki-laki itu harus seperti ini? Apa tak ada 1 orang saja yang mampu menghargai seorang wanita? 

Aku langsung meninggalkan mereka tanpa berbicara apapun.  Rasanya aku merinding ketika melihatnya seakan mengejek statusku dengan menyenggol lengan temannya di hadapanku. Apa mereka pikir, aku menginginkan status ini? 

“Dik! Apa kamu marah?” tanyanya mencoba menahan langkahku.

“Aku sengaja meninggalkan pekerjaanku gara-gara panggilannya. Eh, ternyata! Dia Cuma mau kenalan. Di pikirnya, siapa dia? Apa nggak nampaknya namaku jelas terpampang di depan warung,” sungutku sambil berlalu.

“Bu! Anaknya kok galak banget sih!” ucapnya pada ibu.

“Memang begitu orangnya. Sebaiknya kalian jangan cari gara-gara sama dia. Semenjak perceraiannya, ia lebih sering marah. Ibarat harimau yang akan memakan mangsanya,” kata Ibu sambil melanjutkan menggoreng.

“Bilang sama dia, Bu! Jangan galak-galak. Entar nggak laku,” ejeknya sambil tertawa bersama teman-temannya.

“Andai saja kalian tahu, apa yang saat ini kurasakan? Mungkin kalian akan prihatikan ketika kutunjukkan bagaimana hatiku,” batinku.

Aku memilih untuk mendiamkan mereka. Dari pada emosiku meluap keluar, lebih baik aku diam.

Aku yang sedang kesal, mencoba mengalihkannya dengan membuka ponsel dan melihat Fac*boo* yang mungkin ada saja ada pemberitahuan penting.

Aku lebih memilih menawarkan jualan melalui media sosial. Ya, bisa dibilang jualan online. Aku yang juga bisa berjualan bolu ulang tahun tentu langsung promosi di ponsel jadulku. Berharap ada yang membeli dan memesan bolu buatan tanganku.

Tanpa diduga, sekilas aku melihat foto seseorang yang masih jelas di ingatanku. Ya, foto Mas Wahyu yang sedang berselfi ria bersama seorang wanita yang sengaja ditandai oleh wanita tersebut.

Darahku mendidih saat menatap foto tersebut. Tanpa berpikir panjang, aku langsung memblokirnya. Meski aku belum membuka nama yang tertera di akun itu. Rasanya malas hanya untuk sekedar mengingat tentangnya. Biarlah dia dengan urusannya begitu juga aku.

Aku terus memposting segala jualan yang bisa kujual. Tanpa diduga, ada 3 pesanan yang masuk ke ponselku.

Tring.. g..

Tring.. g..

Tring.. g..

Pesan itu masuk secara bersamaan. Hingga berteter pesan masuk. Hatiku yang sedikit kesal kembali riang ketika melihat ada orang yang ingin memesan bolu jualanku.

Rasa syukurku tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ya, dibalik semua kesulitan pasti ada kebahagiaan yang akan kudapatkan. 

Namun, ada satu pesan dari orang yang dulunya pernah menyukaiku. Aku langsung membeliakkan bola mataku ketika melihat namanya. Aku benar-benar tak percaya ketika melihat orang yang ada di foto itu. Kuperhatikan lebih jelas lagi, ternyata benar itu adalah Mas Zaki. Seseorang yang pernah singgah dalam hidupku.

“Kenapa Mas Zaki memesan bolu padaku? Bukannya ia memiliki toko bolu. Apa ia sengaja mengejekku?”

Begitu banyak pertanyaan yang terlintas di benakku ketika membaca pesan yang ternyata Mas Zaki yang mencoba memesan.

“Apa ini, Mas Zaki?” tanyaku ragu dengan membalas chatt darinya.

“Iya. Ini saya,” balasnya dalam hitungan detik.

Aku bahkan tak melihat dirinya sedang online. Hatiku terasa dag dig dug tak menentu. Aku bahkan tak pernah tahu tentang kabarnya setelah pernikahanku.

“Bagaimana kabar Adik sekarang?” tanyanya.

Aku yang membacanya pesan darinya, memilih untuk tidak membalasnya. Aku takut jika istrinya mengetahui dan menganggapku sebagai pelakor. Oh, no! 

Aku memilih mematikan dataku, agar tak lagi bunyi notifikasi pemberitahuan dari ponselku. Aku lebih memilih berjualan lebih dulu. Mengingat pesanan boluku 2 hari lagi.

Malam hari di waktu senggang, aku kembali membuka aplikasi di ponselku. Wah.. mataku seakan terbuka lebar ketika melihat pesan yang masuk untuk memesan bolu dan juga kue basah. Tak menyangka antusias orang yang akan memesan. Kucoba membalas satu per satu pesanan mereka. Akhirnya ada 10 pesanan. Bahagianya aku. Rezekiku dilipat gandakan Allah dalam waktu singkat.

Tring.. g..

Masuk kembali pesan yang ternyata dari Mas Zaki yang menanyakan soal bolu. “Tak masalah jika ia menanyakan bolu, pasti akan kubalas,” pikirku.

"Apa pesanan saya bisa ditambah lagi?" tanya Mas Zaki.

"Boleh! Mau pesan berapa?" jawabku singkat.

"Apa saya juga boleh mengenal Adik kembali?"

Seketika bola mataku rasanya ingin keluar. Bagaimana tidak? Lain yang kupertanyakan, lain yang dijawab Mas Zaki.

"Nggak nyambung," pikirku.

Aku kembali mematikan ponselku. Malas rasanya melayani hal yang nggak penting dan nggak berbobot seperti pertanyaan Mas Zaki. Masih banyak yang lebih penting yang ingin kupikirkan, termasuk pesanan orang.

Bersambung...​

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status