Share

Part 6. Kecopetan.

Biarkan Aku Bahagia.

Part 6.

“Bu! Aku pamit dulu, sebentar aja!”

Ibu yang mendengar ucapanku langsung menghentikan pekerjaannya. Ia menatap heran ke arahku. Tatapan penuh tanda tanya? Ke mana kiranya aku ingin pergi?

“Mau ke mana sore-sore?” tanya ibu.

“Mau mengembalikan uangnya Mas Zaki,” ucapku.

“Kenapa dipulangkan? 'Kan itu untuk bayaran bolumu,” tanya ibu heran.

“Apa Ibu tahu berapa jumlah uang yang dikasih Mas Zaki?” tanyaku kembali.

“Emangnya berapa?”

“Mas Zaki kasih uang sebesar 3.000.000. Itu kan nggak hakku, Bu. Lagian ditanya bagus-bagus, malah jawabnya buat modal melamar aku. Rasanya bulu hidungku naik semua ketika Mas Zaki mengatakan itu,” ungkapku.

“Ya sudah, kalau itu menurutmu yang terbaik, lakukanlah,” ucap Ibu kembali. "Jangan lama-lama pulangnya!" tegasnya sebelum aku pergi.

Aku pun langsung bergegas pergi. Dalam perjalanan, bahkan hatiku terasa tak tenang. Malas sebenarnya berurusan dengannya. Tapi, mengingat uang yang kuterima, membuat hatiku terasa terbebani.

Ketika aku baru saja sampai di salah satu rumah makan, ternyata Mas Zaki lebih dulu sudah menungguku. Terlihat dari mobilnya. Aku sengaja mengajaknya jumpa di salah satu tempat makan karena mengingat kembali tentang pesan yang dikirim beberapa hari lalu. Ya, setelah mengembalikan uang ini, aku juga akan pergi dan tak akan berurusan dengannya. 

“Maaf!” ucapku begitu sampai di kursi tempatnya duduk.

“Santai aja! Lagian Mas juga baru datang. Mau pesan apa?” tanyanya antusias sambil membolak-balikkan menu makanan yang sudah di tangannya.

“Nggak usah, Mas! Aku mau cepat,” elakku.

Aku yang dalam keadaan berdiri,  langsung memberikan uang yang sudah kusiapkan di dalam amplop. Kukembalikan uang yang bukan menjadi hakku.

“Maaf, Mas! Ini sisa uangnya. Rasanya aku nggak berhak mendapatkan uang sebanyak ini. Apalagi Mas bilang sebagai tabungan buat melamarku. Aku bahkan belum kepikiran untuk menikah lagi,” ujarku menatap wajahnya.

Aku pun segera mengulurkan amplop yang berisikan sisa uang pembayaran bolu di tangannya. Seketika raut wajah Mas Zaki nampak sekali berubah. Yang awalnya senyuman dari bibirnya mengembang, sejenak berubah menjadi wajah penuh derita. Entah apa yang dirasanya? Yang jelas aku tak tahu pasti. Ia seperti kecewa dengan apa yang kuungkapkan.

Lama Mas Zaki terdiam di tempat duduknya sambil memandang amplop yang masih di tangannya, hingga akhirnya ia menatap ke arahku dan mengeluarkan kata-kata dari mulutnya.

“Mas hanya bercanda, Dik. Masalah uang sisanya ini, sebagai modal buat melamarmu. Uang ini memang Mas ikhlaskan untuk Adik. Mas tahu, Adik orangnya tidak akan menerima jika Mas sengaja memberi uang dengan begitu saja. Maka dari itu, Mas masukkan ke dalam amplop sebagai hadiah atas kerja kerasmu sudah membuatkan bolu pesanan Mas,” ungkap Mas Zaki tulus.

Seketika hatiku terasa lega dengan penuturan Mas Zaki. Ternyata dugaanku salah. Tapi, tak membuatku begitu saja percaya akan kata-katanya. Secara, ia kan mantan perayu wanita.

“Ya sudah kalau begitu, aku pergi dulu ya, Mas!” pamitku sambil menundukkan sedikit kepala. Paling tidak aku juga harus menghormatinya.

Aku pun segera berlalu meninggalkannya. Malas jika harus meladeni Mas Zaki si pria yang terkenal playboy dari dulu. Apalagi mengingat statusku sebagai janda, aku lebih baik menjaga jarak.

Cus.. aku langsung pulang menyusuri setiap jalanan kota yang sudah lama tak kupandangi. Sejak menikah, aku bahkan tak pernah keluar apalagi jalan-jalan. Yang ada ke dapur, sumur, kasur.

Namun, itu kan dulu! Jauh sebelum aku sebahagia ini. Semuanya sudah menjadi masa lalu yang harus kusimpan rapat-rapat jangan sampai ada kecoak yang masuk.

Di dalam perjalanan, sekilas kulihat dari kaca spion, sepertinya seseorang yang membuntutiku. Ke mana pun arahku? Orang yang ada di sepeda motor itu terus saja mengikutiku. Seketika aku seperti artis, dibuntuti seseorang yang mungkin saja penggemarku.

Ha.. ha..

Serasa jadi artis tiba-tiba. 

Aku pun menghentikan sepeda motorku di sebuah toko untuk membeli bahan-bahan membuat bolu dan juga kue. Cukup banyak belanjaanku. Ketika kulihat, ternyata orang yang mengikutiku masih ada di ujung seberang jalan.

Jiwa penasaranku pun meronta-ronta ingin mengetahui siapa sebenarnya seseorang yang di atas sepeda motor itu? Terlihat jika badannya seperti seorang laki-laki.

Untuk menghilangkan rasa ketakutan yang kurasakan. Aku pun melajukan kembali sepeda motorku dengan kecepatan cukup laju. Sialnya, orang tersebut lebih dulu memotong jalanku dan menghadangku. Rasa panik dan ketakutanku begitu bergejolak, saat sepeda motornya berdekatan dengan sepeda motorku. Kulihat kiri dan kanan tak ada kutemui siapapun. Apa mungkin orang-orang lagi mengungsi ya? Kok nggak ada kelihatan.

“Ya, Allah. Lindungilah aku,” batinku sambil menggigit bibir.

“Serahkan dompetmu!” pintanya paksa. Ia mencoba menarik dompet kesayanganku. Sungguh, rasanya tak tega harus kehilangannya. 

“Ya, Allah. Bagaimana bisa aku memberikan dompetku? Sementara isinya saja hanya bersisa 20.000. Aku malu untuk memberikannya,” gerutuku dalam hati.

Perasaan cemas datang seketika. Panik akan kehilangan dompet kesayanganku. 

“Bawa sini, dompetmu!” tariknya paksa.

Dengan terpaksa aku pun memberikan dompet kesayanganku yang hanya berisikan uang 20.000 di dalamnya. Justru aku malu, ketika saat pencopet ini mengetahui berapa jumlah uang di dalam dompetku? Mungkin ia merasa menyesal telah merampas dombetku. Pasti ia seketika langsung kejang-kejang melihatnya. Rasanya aku mau tertawa tapi takut dosa. Ingin hati kecilku memanggilnya dan mengatakan “Bang! Sebenarnya dompet itu hanya berisi 20.000.” Berhubung aku dirundung ketakutan, kubiarkan waktu yang akan menjawabnya.

“Untung saja orang itu hanya mengambil dompet, nggak sepeda motor ini!" batinku mengelus sepeda motor kesayanganku. "Aku ikhlas kok dompetku diambil. Toh harganya juga 10.000,” ucapku sambil merenungi si pencopet.

Sesampainya di rumah. Aku sudah disambut manis oleh ibu dan juga ayah.

“Tadi.. ada orang yang datang! Katanya mau menempah bolu pernikahan,” ucap Ibu.

“Siapa, Bu?” tanyaku sambil meletakkan barang-barang belanjaanku.

“Ibu nggak kenal. Ayah sudah memberikan nomormu. Biar orangnya nanti ngomong langsung masalah bolu dan juga uangnya,” tutur Ibu.

Seketika ayah menghampiriku. “Kenapa wajahmu seperti orang ketakutan, Kila?” Ayah pun bertanya.

“Ada sedikit insiden mengerikan tadi, Yah,” ungkapku.

“Insiden apa?” tanya ibu penasaran.

 Ayah dan ibu saling pandang-pandangan, bingung akan ucapanku.

“Ada copet yang ngambil dompet, Kila.”

“Terus! Kamu nggak kenapa-kenapa kan?” tanya ayah panik sambil membolak-balikkan tubuhku.

“Nggak. Kila nggak kenapa-kenapa? Lagian bisa pulang berarti kan aman.”

Dret.. t..

Drett.. t..

Tiba-tiba di tengah percakapan kami, ponselku bergetar. Tanpa berpikir panjang aku langsung menerima telepon tersebut. Walaupun nomornya merupakan nomor baru. Pikiranku, mungkin saja yang ingin memesan bolu.

“Assalamualaikum,” sapaku.

“W*’alaikum salam,” jawab seseorang di ujung sana.

“Ini siapa ya?” tanyaku.

“Maaf, Kak! Apa benar ini Kak Kila?” tanyanya dengan lembut.

“Iya. Saya sendiri.”

Sempat lama ia terdiam. Terdengar seperti ada bisik-bisik orang di sampingnya. Tak lama ia menarik nafasnya sebelum mengeluarkan kata-kata yang akan di ucapkannya. Siapa kiranya? Kenapa seperti misterius?

“Kak, ini aku Evi,” ucapnya.

Seketika mataku melotot ketika mendengar namanya. Aku mencium seperti ada bau busuk ketika mendengar nama Evi. Ya, ia adalah adik Mas Wahyu yang selalu menghina dan mencaciku sewaktu aku menjadi kakak iparnya. Sedikitpun tak ada rasa hormatnya padaku sebagai istri dari abangnya. Ia juga pernah meludahi wajahku tepat di hadapan Mas Wahyu. Sungguh disayang, suamiku bahkan tak sedikitpun membelaku dan memarahi adik kandungnya. Justru ia diam seribu bahasa.

“Ada perlu apa kamu meneleponku?” tanyaku penuh penekanana. Rasanya aku malas untuk sekedar basa-basi padanya. Pasti ada anak udang dibalik bakwan. 

“Kak! Ada yang ingin kusampaikan. Ini hal penting!” Evi berucap seakan berbisik.

Hal penting? Sandiwara apa lagi ini? Aku bahkan tak lagi menjadi kakak iparnya.

Dugaanku benar. Pasti ada niat terselubung, ia meneleponku. Dulu, jangankan memanggilku kakak, kalaupun bertemu denganku tanpa sengaja ia langsung membuangkan mukanya. “Dasar mandul,” kata-kata itu yang selalu keluar dari mulut manisnya.

“Maaf ya! Aku masih banyak urusan. Lain kali saja kamu menelepon jika aku sudah tidak sibuk.”

Aku langsung mematikan telepon itu. Merinding bulu romaku ketika mengingat perilakunya dulu padaku. Layaknya kotoran yang menjijikkan diriku dianggapnya. Padahal jika mengingat dirinya, bahkan jauh lebih buruk dariku. Bukannya aku tak tahu apa yang dilakukannya. Pekerjaannya saja membuatku jijik. Ya, ia bekerja sebagai penggoda suami-suami orang yang lagi kesepian. Suami yang terkadang ditinggal istrinya pergi lama, atau merantau ke negeri seberang. Miris, tentu sangat miris. Tapi, aku mencoba  menutup mata dan telingaku. Semua itu kututup rapat-rapat. Aku seperti tak mengetahui apapun mengenai pekerjaannya.

“Siapa?” tanya Ibu sambil mendekat ke arahku. Aku yang sedang melamun, langsung tersadar ketika suara ibu bertanya.

“Evi, Bu,” jawabku menyimpan ponsel ke dalam kantong celanaku. Ya, aku yang biasa memakai gamis, sengaja memakai celana panjang untuk menyimpan ponsel.

"Evi?”

Wajah ibu dan ayah persis terkejut ketika aku menyebut namanya. Bahkan mereka pandang-pandangan lalu memandang ke arahku kembali.

“Ngapain lagi itu orang nelpon? Kan status abangnya dan kamu sudah putus,” protes Ibu.

“Makanya Kila langsung matikan, Bu. Pasti ada udang di balik perkedel,” sahutku.

Daripada mengambil pusing. Aku langsung menyuruh ibu dan ayah untuk makan malam. Ngapain juga bahas sesuatu hal yang nggak penting dan bisa menguras tenaga. Kami pun menikmati makan malam hanya bertiga. Berhubung adikku belum pulang. Ya, adikku sifatnya sangat cuek. Hanya ada hal penting, ia baru mengeluarkan kata-katanya.

Tiba-tiba di tengah makan malam kami. Ponselku berbunyi kembali. Pikiranku hanya tertuju ada orang yang menempah bolu atau kue. Aku langsung menghentikan makanku sejenak dan melihat siapa yang meneleponku. Ternyata oh ternyata. Si Evi mantan adik iparku kembali menghubungi nomorku.

“Ngapain lagi sih ular siluman ini?” batinku.

Kubiarkan ponselku berdering hingga 5 kali panggilannya tak kuladeni. Malas berurusan dengan keluarga parasit seperti mereka. Ini hari mungkin Evi, hari esok mungkin ibu mertua selanjutnya mantan suami. Oh, tidak! Itu tak akan kubiarkan.

“Siapa, Kila?” tanya Ayah menatap heran. 

Mereka telah usai makan malam. Sementara aku, selera makanku bahkan hilang ketika melihat nomor yang tak lain nomor Evi menelepon.

“Evi,” jawabku kesal.

“Sini! Biar Ibu saja yang ngomong. Sebenarnya mau ngapain lagi sih!” seru Ibu.

“Biarkan saja, Bu! Paling entar capek sendiri,” cegahku.

Akhirnya ponselku tak lagi berdering. Berhubung waktu semakin larut malam, kami pun segera istirahat. Besok akan kembali ke aktivitas biasa.

❤❤

“Kila! Ibu beli lontong sayur 3 bungkus ya,” pesan Bu Imah yang baru saja datang.

Tak terasa waktu cepat berlalu. Tidurku bahkan sangat nyenyak. Tidur seorang diri tanpa ada yang mengganggu. Hingga pagi hari kami kembali beraktivitas jualan. Pagi-pagi kami baru membuka warung, Bu Imah sudah datang lebih dulu.

“Sebentar ya, Bu! Kami keluarkan semua jualannya dulu!” seruku sambil kembali melanjutkan pekerjaan.

“Ibu dengar semalam ada cowok naik mobil datang ke sini ya?” tanya Bu Imah sambil duduk di kursi yang ada di dekat dinding.

Jiwa gosipnya mulai menggerogoti pikirannya. 

“Emang kenapa, Bu?” tanyaku balik menatap wajahnya.

“Ngeri sekarang mainanmu ya, Kila! Naiknya mobil,” cibir Bu Imah sambil melirik ke arahku.

Apa maksud ucapannya? Ini orang masih pagi udah cari gara-gara sepertinya. Lalat-lalat seperti omongannya Bu Imah harus dibasmi agar tidak merusak pemandangannya.

“Ibu iri!” seruku.

“Ngapain Ibu iri. Toh, si Zilla juga bisa dapat cowok naik mobil,” ketus Bu Imah yang sibuk mengatur duduknya. Sepertinya tempat duduk yang didudukinya nggak nyaman atau mungkin ada yang gatal dirasakannya yang mengakibatkan duduknya pun tak tenang.

“Si Zilla apa punya cowok?” tanyaku kembali seolah mengejek.

“Ada, dong! Emang kamu pikir kamu aja yang bisa punya cowok naik mobil!” seru Bu Imah membuang wajahnya.

Dalam hatiku, sepertinya Bu Imah mulai kebakaran jenggot. Akan lebih sedap kalau keusilannya sedikit kutabur garam biar ada rasanya sedikit.

“Apa si Zilla masih sama suami orang, Bu?” tanyaku langsung.

Seketika wajah Bu Imah bak kepiting rebus. Aku melihatnya seakan menahan tawa. Rasanya ada kesenangan tersendiri melihatnya seperti itu.

“Emang enak aku sekak kudanya,” batinku.

“Itu duda bukan suami orang. Enak aja kamu ngomong!” bentak Bu Imah. Ia langsung berdiri menghampiriku. Tatapan mengancam diberikannya padaku.

“Oh, duda," ucapku. "Ini, Bu, pesanannya!” sambungku sambil mengulurkan lontong sayur pesanannya.

Bu Imah nampak cemberut sambil memberikan uangnya. Ia menghempaskan kakinya ketika akan melewatiku.

“Kamu lihat ya, Kila! Akan Ibu buat kamu kalah saing sama Zilla!” pekik Bu Imah sebelum berlalu pergi meninggalkanku.

“Emang gue pikirin,” ejekku.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status