Share

Part 5. Orderan.

Biarkan Aku Bahagia.

Part 5.

Aku mencoba mengikhlaskan semua yang telah terjadi. Menyesal pun tiada guna. Kaca yang rapi telah retak berkeping-keping tak akan mampu tersusun kembali. Aku harus mampu menghadapi kenyataan pahit yang mungkin di depan akan ada ombak besar menghadangku.

“Dik! Maafkan Mas!”

Di saat lamunanku datang, masuk kembali pesan dari Mas Wahyu. Jujur, aku bahkan terasa begitu hambar hanya untuk sekedar membaca pesan darinya. Entah lah? Hatiku terasa mati akan namanya laki-laki karena ulah Mas Wahyu. Cinta yang begitu tulus berubah menjadi dendam akan seorang laki-laki.

Tanpa berpikir panjang aku langsung memblokir akun samaran milik Mas Wahyu. Aku tak ingin dirinya kembali mengganggu ketenangan hidup baruku. Toh, kami sudah sah bercerai. Hanya tinggal menunggu akta cerai itu saja datang padaku.

Aku segera memutuskan untuk kembali beristirahat. Mungkin hari esok akan lebih baik dari hari ini. 

Keesokan harinya. Karena pesananku cukup lumayan banyak. Aku membereskan terlebih dahulu pesanan bolu. Untuk menghiasnya cukup membutuhkan waktu yang lama.

Aku yang sedang asyik mengerjakan pesanan boluku. Tiba-tiba mendengar suara panggilan dari ibu yang membuatku langsung menghentikan kegiatan.

“Ki.. Kila!” panggil ibu padaku.

“Ya, Bu.”

Ibu menghampiriku begitu tergesa-gesa. Aku yang sedang menghias bolu langsung segera menghentikan aktivitasku, takut terjadi sesuatu buruk. Menatap wajah ibu dengan penuh tanda tanya.

“Kila! Ada orang yang mencari kamu!”

“Siapa, Bu?” tanyaku.

“Nggak tahu. Orangnya mengatakan mau pesan bolu sama kue,” ungkap ibu padaku.

“Tunggu bentar ya, Bu! Kila simpan dulu bolu yang Kila kerjakan, takutnya disenggol kucing,” ucapku.

“Kalau disenggol kucing, minta ganti aja sama kucingnya,” ucap ibu dengan candaan. Aku langsung menautkan kedua alisku begitu kata unik itu keluar daei mulut ibuku.

“Emangnya kucing bisa mengganti bolu rusak, Bu? Yang ada bolunya rusak ditambah lagi bulunya pada menempel di bolu,” sahutku.

Ha.. ha..

Kami pun tertawa bersama karena kucing. Kemudian aku mengajak ibu untuk menghampiri orang yang datang mencariku. Hatiku penuh dengan pertanyaan, siapa dia?

Kulihat sekilas sepertinya seorang pria. Siapakah dia? Entah lah, aku juga belum melihat wajahnya. Sengaja ia membalikkan badan sambil meminum es teh di warung ibuku.

“Siapa ya?” tanyaku sambil berpikir.

Aku mencoba menghampirinya. Ia terlihat begitu sibuk memainkan ponselnya sambil sekali-kali menyeruput es tehnya. Kalau dilihat dari cara berpakaiannya, orangnya sangat rapi, bersih. Tipe wanita banget deh. Sayangnya, sedikitpun aku tak tertarik. Bagiku laki-laki itu sama. Sama-sama jahat.

“Apa kamu yang mencari saya?” tanyaku begitu menghampirinya.

Terlihat jelas pria itu langsung membalikkan tubuhnya dan wajahnya mampu membuatku terkejut hebat. Ternyata pria itu adalah Mas Zaki. Seseorang yang selama ini sudah cukup kukenal.

“Ya, Allah. Cobaan apalagi ini?” batinku ketika baru saja melihatnya.

“Lama nggak jumpa, sekarang Adik jauh lebih cantik ya!” puji Mas Zaki padaku.

Ternyata Mas Zaki pandai sekali menggodaku. Kemudian terlihat jelas senyuman manisnya. Oh, tidak! Sedikitpun aku tak tertarik. Melihatnya datang saja sudah membuatku geli. 

Selama ini, ibu tak pernah mengetahui yang namanya Mas Zaki. Tentu saja tak mengetahui bentuk parasnya. Ya, kami memang hanya sekedar kenal. Aku yang dulunya mengaguminya tak pernah mengungkapkan perasaanku padanya atau memberitahu kepada ibu. Mas Zaki juga tidak pernah datang ke rumah karena aku melarang keras. Perkenalan kami berlangsung jauh sebelum aku menikah dengan Mas Wahyu. Maka dari itu, ibu tak mengenalnya sama sekali.

“Apa kamu mengenalnya, Kila?” tanya ibu menatap heran ke arahku

“Kenal sekilas saja, Bu,” elakku.

Aku kembali menatap Mas Zaki yang terus saja tersenyum ke arahku. 

“Ada urusan apa Mas datang ke sini?” tanyaku dengan cuek.

“Jangan judes-judes begitu! Entar cepat tua loh, Dik,” ejeknya sembari tersenyum padaku. Lagi-lagi senyuman sandiwaranya membuatku muak.

“Ibu mau melanjutkan pekerjaan dulu! Kamu silahkan mengobrol sama Kila ya!” Ibu berlalu meninggalkan kami berdua.

Rasa dag dig dug menghampiriku saat ini, takut apa yang akan dilakukannya?

“Apa kaki Adik nggak pegal berdiri terus? Duduk lah, Dik! Ada yang mau saya katakan.”

“Bisa nggak usah memakai kata 'saya', kebiasaan dari dulu,” ucapku masih cuek.

“Iya.. iya. Mas datang ke sini mau bertanya masalah bolu,” ujarnya.

Berhubung masalah bolu, mataku langsung hijau mendengar akan warna biru atau merah yang akan kudapat nantinya. Langsung kududukkan badanku di bangku tepat di hadapan Mas Zaki.

“Terus..?” tanyaku.

“Adik kalau udah menyangkut masalah uang, matanya langsung hijau ya.”

“Biarin! Namanya juga janda ya wajar dong! Mata duitan,” jawabku kesal.

“Loh! Adik udah janda!” Mas Zaki seperti terkejut dengan ucapanku. Matanya menatap tajam ke arahku. Tak lama ia tersenyum setelah mendengar kata janda. Entah apa maksud senyuman itu? Yang pasti aku merasa ada niat tak baik.

Ternyata Mas Zaki tak mengetahui tentang statusku. Aku kok sampai keceplosan. Bisa jadi Mas Zaki entar malah gangguin lagi.

“Nggak usah bahas janda. Sekarang bahas masalah bolu. Kalau nggak ada kepentingan, aku mau melanjutkan hias bolu,” tegasku.

“Begini, Dik! Mas mau pesan bolunya agak banyak, soalnya mau buat acara,” ucapnya sambil merapikan duduknya.

“Bukannya Mas punya toko bolu?” tanyaku penasaran. Penasaran akan maksud pesanannya.

“Toko bolu itu sudah menjadi milik mantan istri Mas. Malas aja kalau pesan sama dia. Berhubung waktu itu Mas lihat Adik posting bolu. Akan lebih baik pesannya sama Adik saja.”

“Emangnya mau pesan berapa?” tanyaku.

“Mas mau pesan 40 loyang. Bisa kan?” tanya Mas Zaki.

Seketika aku melihat ada warna merah dan biru bertaburan di bola mataku. Senang sekali hatiku mendengarnya. Nggak percuma promosi di media sosial.

“Bisa.. bisa! Kapan mau diambil?” tanyaku semangat.

“Langsung semangat begitu! Mas ambilnya 3 hari lagi. Ada sedikit acara syukuran di rumah. Bolu biasa aja ya, Dik. Kalau bisa langsung dipotong-potong ya! Biar nanti keluarga Mas tinggal meletakkan di piring,” ujar Mas Zaki.

“Alhamdulillah,” ucapku menyapu wajah dengan kedua telapak tanganku. Bersyukur akan rejeki yang baru saja kudapat.

“Entar Mas kasih bonus deh! Jangan lupa Adik juga datang ya!” pintanya menatap serius ke arahku.

Sepertinya aku mencium ada bau menyengat dari ucapannya. Seakan ada modus terselubung.

“InshaaAllah, kalau sempat,” jawabku cuek.

Kesepakatan pun terjadi. Ia memberikan DP sebagai tanda jadi. Sungguh, saat ini aku sangat bahagia sekali. Yang ada di pikiranku sekarang hanya uang dan uang. Malas untuk membahas laki-laki. Kalau ujung-ujungnya harus terluka.

Dengan hati senang, aku kembali melanjutkan menghias bolu yang sempat tertunda. Karena rasa senang di hatiku, hiasannya bahkan terlihat mewah. Padahal awalnya aku hanya mau menghias biasa-biasa saja. Eh, setelah jadi sangat menawan untuk dipandang.

Hari ke hari berlalu begitu cepat. Pesanan kue basah dan boluku semakin meningkat. Aku sengaja mengajak adik sepupuku untuk bisa membantuku.

Akhirnya janji akan pesanan bolu Mas Zaki tepat hari ini. Semua sudah kusiapkan dengan rapi. Setelah beberapa menit bolu itu kusiapkan, Mas Zaki datang dengan mobilnya. Ketika ia keluar, orang-orang di warung pun mulai berbisik-bisik. Mulai menebar gosip tentangku si janda yang di datangi pria tampan dengan mobil mewahnya.

Oh, tidak! Sedikitpun aku tak tertarik. Aku hanya mau uang dari hasil kerja kerasku. Kucoba menutup telinga berpura-pura tak mendengar omongan orang tentangku.

“Apa sudah siap, Dik?” tanyanya begitu menghampiriku yang sudah menunggunya mengambil bolu.

“Ini, sudah disiapkan semua!” tunjukku ke arah bolu yang sudah terdusun rapi.

Aku pun mulai menyusun satu per satu bolu itu. Sekilas kulihat Mas Zaki menghampiri Ibu. Entah apa yang dikatakannya, yang jelas mereka tertawa bersama. Tak lama Mas Zaki kembali menghampiriku.

“Ganti baju sana! Ikut Mas!”

Seketika aku paham, kenapa Mas Zaki mendatangi ibu? Ternyata ia berusaha meminta izin kepada ibu untuk mengajakku pergi. Kulihat ibu seperti mengizinkanku pergi bersamanya.

Berhubung aku memikirkan tentang kejadian yang beberapa hari lalu tentang seorang wanita yang menuduhku mengganggu suaminya. Berpikir, Mas Zaki lah orang yang dimaksud. Aku mencoba jaga jarak dengannya. Hubunganku hanya sebatas penjual dan pembeli bolu. Titik.

“Maaf, Mas! Aku masih harus menyiapkan kue basah untuk pesanan orang,” elakku.

Aku mencoba mengelak darinya. Rasanya malas untuk menerima niatnya. Entar ujung-ujungnya berabe lagi. Apalagi aku harus pergi berdua dengannya. Apa kata orang?

Sempat terlintas di pikiranku, membalas dendam kepada siapapun yang mencoba mendekatiku. Rasa benci akan sikap Mas Wahyu dulu selalu membayang di benakku. Hingga membuatku ingin memperalat orang lain sebagai kambing hitam untuk dendamku.

“Pergi sana, Kila! Ada yang ngajak, kok ditolak,” ucap Pak Ucok padaku.

Orang-orang di warung banyak yang mengatakan aku harus menerima ajakan Mas Zaki. Sedikitpun aku bahkan tak tertarik. Lebih baik aku jualan di rumah dari pada harus ikut dengannya.

Karena aku menolak keras ajakan Mas Zaki. Ia pun segera pergi. Berhubung acaranya akan dimulai sebentar lagi. Ia pergi dengan raut berbeda. Senyuman bahkan tak terukir dari raut wajahnya.

Ketika aku menerima uang yang sengaja dimasukkan Mas Zaki ke dalam amplop. Hatiku dag dig dug ketika memegangnya. Rasanya tak sabar untuk membukanya. Tapi, kenapa perasaanku ada yang ganjil? Jumlah uang dari penjualan boluku terlalu tebal ketika kupegang.

Rasa penasaran membuatku tak sabar untuk membuka amplop itu. Ketika aku menghitungnya, jantung terasa berolahraga. Ya, berdetak cukup kencang dan semakin kencang.

Uang yang harusnya kudapat hanya Rp. 1.200.000 menjadi Rp. 3.000.000. Aku langsung sujud syukur akan rezeki yang Allah berikan melalui Mas Zaki. 

“Ya, Allah. Kenapa banyak banget Mas Zaki memberi uangnya?” Uang yang ada di amplop itu membuat hatiku tak tenang.

Aku langsung mengambil ponsel untuk menanyakan perihal uang. Aku mengirim pesan, ya walaupun Mas Zaki nggak online. Paling tidak, nanti ia akan baca chatt dariku.

Berselang waktu 2 jam. Mas Zaki baru membalas chatt dariku. Sungguh di luar dugaanku ketika melihat jawabannya.

“Mas sengaja lebihkan uangnya. Hitung-hitung buat tabungan Mas buat melamar kamu,” ucapnya dengan tanda tertawa.

Merinding seketika aku membacanya. Lebih seram daripada melihat hantu. Aku pun memutuskan untuk mengembalikan uangnya. Agar hatiku lega. Jujur, ini seperti beban bagiku. Apalagi setelah mendengar kata lamaran. Terasa sesak.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status