Share

Biarkan Aku Bahagia
Biarkan Aku Bahagia
Penulis: Komang

Part 1. Kenyataan pahit.

Biarkan Aku Bahagia

Part 1.

"Sebaiknya kita jalani saja hidup kita masing-masing! Selama kita menikah 3 tahun lamanya. Bahkan Mas tidak pernah memberiku nafkah. Mas hanya mementingkan diri Mas sendiri tanpa memperdulikanku. Setiap aku meminta uang, selalu keturunan yang menjadi alasan," ucapku ketika Mas Wahyu membaringkan dirinya di atas tempat tidur.

Tatapan mengerikan itu langsun tertuju padaku. Seakan ada kemurkaan yang terkandung di dalamnya. Tapi, hal itu tak membuatku gentar.

"Silahkan jika kamu ingin bercerai dariku! Jangan pernah kamu berharap, aku akan memberikanmu uang sepeser pun. Seujung kuku bahkan aku tak rela jika uangku untukmu. Uangku terlalu berharga untuk diberikan padamu. Sedangkan kamu saja tak bisa memberiku keturunan. Apalagi untuk hal yang tidak penting seperti perceraian," ucapnya lantang sambil menunjuk wajahku.

Deg... g... g...

Bagaikan tersambar petir di siang bolong, kata itu mampu membakarku. Tubuhku terasa kaku. Mataku terasa memanas.

Tak terasa air mata yang selama ini kutahan, tumpah mengalir dengan begitu saja. Aku berusaha untuk membendungnya, tapi air mata ini tidak bisa di ajak kompromi hingga keluar tanpa permisi.

Sakit yang kurasa bukan karena ucapannya yang selalu mengatakan jika diriku tak bisa memberinya keturunan, melainkan karena tidak adanya rasa suamiku untuk bisa mempertahankan pernikahan yang kami jalani sudah 3 tahun lamanya.

Aku tak menyangka dengan ucapan orang yang selama ini sangat kucintai. Bahkan dirinya masih sah menjadi suamiku secara hukum dan agama. Aku mengira dirinya yang lama meninggalkanku akan berubah, ternyata dia semakin senang setelah mendengar aku mengucapkan kata cerai. Ya, aku lah yang meminta cerai. Lelah dan letih cukup kurasakan.

Aku menuntut cerai suamiku yang tak lain Mas Wahyu, tentunya memiliki alasan. Bukan segampang itu untuk bisa mengakhiri pernikahan yang sudah kami bina selama 3 tahun lamanya. Lika-liku rumah tangga bahkan sempat kami lalui bersama. Sayangnya, suamiku bahkan tak pernah memberiku uang sebagai nafkahku. 

Aku yang sudah cukup berkorban untuknya, akhirnya lelah untuk bertahan di pondasi yang sudah tidak kokoh lagi. Aku mengucapkan kata cerai yang awalnya untuk melihat reaksinya. Ternyata semuanya di luar dugaanku, suamiku bahkan semakin senang setelah mendengar kata cerai.

Aku mencoba ikhlas atas apa yang Mas Wahyu lakukan padaku. Besarnya cintaku bahkan tak berarti ketika kata cerai itu berucap.

"Bu...! Aku dan Mas Wahyu akan bercerai," ucapku di hadapan ibu mertuaku.

"Apa kamu sudah yakin ingin meninggalkan anakku?" tanyanya seakan ragu.

Tatapan sepele datang mengarah begitu aku mengatakan kata cerai. Terkadang aku geram melihat ibu kandung suamiku, ia bahkan tahu bagaimana anaknya padaku. Sedikitpun tak ada niatnya memberi nasihat untuk putranya. Ia menutup mata dan telinganya.

"Bu...! Sebelum perceraian ini terjadi. Aku lebih dulu menanyakannya perihal perceraian kepada Mas Wahyu. Semua yang kuharapkan bahkan tak sesuai dengan kenyataannya. Anak kesayangan Ibu telah ikhlas dengan perceraian ini," terangku di hadapan Ibu mertua.

"Lagian, kamu itu jadi istri kok matre sih! Kurang enak apa kamu dibuat anakku?" Ibu mertua bahkan membuang wajahnya dari pandanganku.

Kurang apa katanya? Kurang semua. Dalam segala hal Mas Wahyu kurang. Apa pantas disebut suami jika aku yang menjadi tulang punggung.

Oh, memikirkannya saja membuatku muak. Apalagi jika mengingat nafsu birahinya. Ingin rasanya kupotong itu benda pusaka, agar tak lagi kurasakan sakit karenanya. 

Sakit! Tentu sakit. Aku yang selama ini selalu berkorban untuk suami dan juga ibu mertua, sedikitpun tak ada dihargai. Bahkan aku rela menjadi tulang punggung di rumah ini sebagai rasa hormat kepada ibu mertuaku dan juga suamiku. 

"Bu...! Apa yang Ibu ucapkan tak sesuai kenyataannya. Aku lah yang selama ini bekerja dan membiayai anak Ibu. Aku berusaha membahagiakan Ibu dan juga anak Ibu, selagi aku mampu menuruti semua keinginan itu tak masalah. Tapi, kenapa kalian semakin tak menganggapku," ungkapku dengan kekesalan.

Aku mencoba menahan semua kekesalan ini di hadapan ibu mertua yang awalnya sangat kuhargai. Aku tak ingin sedikitpun melukai wanita yang telah melahirkan suamiku.

"Eleh...! Itu kan cuma alasan kamu saja untuk bisa pisah dari anakku kan! Atau jangan-jangan kamu selingkuh di belakang anakku, ya?" tuduhnya padaku.

"Astahfirullah," ucapku mengelus dada. Sedikutpun bahkan aku tak ada kepikiran untuk selingkuh apalagi di belakang suamiku. Ucapan yang tak ada dasarnya. Menuduh tanpa bukti. 

Aku memilih untuk pergi meninggalkan ibu mertuaku. Lebih baik aku mengalah, agar tak terjadi yang nama keributan.

Hati siapa yang tak sakit saat mendengar ibu mertua yang kita hormati bahkan rela mengucapkan kata di luar nalar akal sehat kita sebagai menantu.

Bahkan aku rela pergi bekerja dari pagi hingga malam hari untuk memenuhi isi perut mereka. Semua itu bahkan tak berarti di hadapannya. Ibu mertuaku bahkan menganggapku sebagai istri yang matre.

***

Awal pernikahan kami, Mas Wahyu sangat rajin bekerja. Seiring berjalannya waktu mencapai dua bulan pernikahan kami. Suamiku berubah layaknya bunglon.

Mas Wahyu terkadang jarang pulang dengan alasan lembur. Aku selalu percaya dan mengalah untuk tetap diam, menghindari keributan yang akan terjadi jika aku menanyakan itu semua padanya.

"Mas...! Adik sudah tidak memiliki uang sepeser pun. Semua yang ada di dapur juga sudah habis semua," ucapku di tengah duduk santainya.

"Aku baru memberimu uang 20.000 kemarin. Apa saja yang kau beli sampai tak memegang uang sepeser pun?" tanyanya yang menatap tajam ke arahku.

"Astahfirullah! Ampuni lah dosaku, ya Allah. Jika aku sedikit mengeluh atas nikmat-Mu," batinku.

Aku menatap ke arah Mas Wahyu duduk. Aku bahkan bingung dengan jalan pikirannya. Apa ia menganggap uang 20.000 itu cukup untuk mencukupi semua. Apalagi ia selalu menginginkan semua harus tersaji di depan matanya tanpa tahu uang dari mana yang kudapatkan.

"Lama-lama kamu semakin membuatku muak! Selalu saja uang yang kamu permasalahkan. Di luar sana, bahkan banyak istri yang nggak makan tapi mereka santai. Tidak seperti kamu! bentaknya sambil mendorong jidatku.

Mas Wahyu pun berlalu meninggalkanku. Aku yang melihatnya akan pergi meninggalkanku, langsung menarik lengannya.

"Mas...! Adik bahkan belum memakan apapun. Adik lapar, Mas!" ucapku meminta pengertiannya.

"Kamu puasa saja untuk hari ini! Aku sudah tidak mengantongi uang. Jadi lah seorang istri yang sabar dan bisa menerima keadaan," ucapnya dengan santai tanpa beban.

"Orang tuaku bahkan tak pernah membiarkan kami sebagai anaknya merasa kelaparan, sekalipun yang kami makan hanya sekedar ikan asin," bantahku.

Dia pergi meninggalkanku dengan membanting pintu.

Brak... k... k

Aku hanya mampu meneteskan air mata ketika menghadapi kenyataan seperti ini. Kenapa sepedih ini nasib pernikahanku?

"Aku harus kuat! Ini adalah cobaan awal pernikahan kami," ucapku sambil mengelus dada.

Jam pun berdetak menit ke menit. Terus berputar sehingga waktu sore. Aku yang menunggu kedatangan Mas Wahyu, berharap ia datang membawakan apapun yang bisa untuk kumakan.

Setiap aku melihat ke arah pintu, kehadirannya tak kunjung tiba hingga waktu tengah malam. Dari mulai pagi sampai malam aku hanya mampu meneguk air putih sebanyak mungkin sebagai penyanggal rasa laparku. Bahkan perutku terasa penuh dengan air.

Aku yang sering mengutang, rasanya malu harus hutang dan hutang. Sementara ibu mertuaku sedang pergi ke tempat saudaranya hampir satu bulan lamanya.

Keesokan harinya. Mas Wahyu pulang setelah pukul 09.00 pagi. Aku yang sehari-semalam menahan lapar, sampai tertidur setelah menunggu kehadiran Mas Wahyu. Ketika kulihat bahkan dirinya pulang tanpa membawa apapun.

"Mas...! Apa Mas membawa makanan untukku?" tanyaku berharap suamiku sedikit perduli dengan kelaparan yang masih menghampiriku.

Namun, Mas Wahyu bahkan tak menjawab pertanyaanku. Ia lebih memilih membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.

"Mas... Mas!" panggilku mencoba menggoyang-goyangkan tubuhnya. Agar ia tidak lupa atas apa yang kurasakan saat ini.

"Apa lagi? Aku capek jika harus mendengar kamu membahas uang dan uang. Jangan ganggu aku! Pergi sana!" bentaknya sambil menunjang kakiku.

Lagi dan lagi aku hanya mampu meratapi nasibku. Berharap ini hanya sebuah mimpi belaka, ketika membuka mata suami yang kucintai akan memberikan apa yang kuinginkan. Ternyata, hingga aku terjaga semua tak seperti impianku. Pahit yang saat ini kurasakan, bukan hanya di alam mimpi melainkan di dunia nyata yang penuh dengan tipu-tipu.

*****

Tok... tok... tok...

Hakim pun telah memukul palu petanda sidang telah usai. Dengan berakhirnya sidang ini, aku pun sudah menyandang status baru sebagai janda. Lebih tepatnya janda kembang.

Mulai hari ini, awal mula kehidupan baruku dengan status baruku yang akan memiliki banyak cobaan ke depannya akan dimulai.

Namaku Syakila. Biasa dipanggil Kila. Semenjak perpisahanku, aku ikut berjualan bersama ibuku di warung nasi miliknya. Aku berjualan kue basah, jus dan juga gorengan. Untuk mencukupi kantong yang sudah kosong akibat mengurus perceraianku.

"Sudah sah jadi janda lah kamu sekarang ya, Kila?" tanya Bu Imah salah satu pembeli langganan ibuku yang bisa dibilang geng biang gosip emak-emak.

"Iya, Bu. Baru kemarin sidang terakhirnya. Ini masih masa aidahku, Bu," jawabku sambil menjualinya nasi bungkus yang dipesannya.

Bu Imah merupakan salah satu pelanggan tetap yang hampir setiap harinya membeli apa saja yang ada di warung ibuku.

"Enaklah ya! Udah jadi janda sah. Lebih tepatnya janda kembang. Upppsss.. keceplosan jadinya," ucapnya tersenyum sambil menutup mulutnya.

"Ya, iyalah, Bu. Mending aku yang sudah sah menjadi janda, daripada ada anak tetangga yang belum jelas statusnya sudah berani jalan bareng sama laki-laki dan lebih mengerikannya itu suami orang loh. Uppss... saya ikut keceplosan, Bu," ucapku sambil melirik ke arah Bu Imah.

"Kamu nyindir anak saya, ya?" tanyanya.

"Loh..! Emangny anak Bu Imah ada yang janda ya?" tanyaku balik.

Sengaja aku pura-pura tidak mengetahui tentang status anaknya.

"Sudah...! Jangan malah bahas orang lain, kita ini 'kan sedang bahas kamu," ucapnya sambil memasukkan nasinya ke dalam plastik kresek.

"Kalau sudah sah, Bu Imah. Aku bisa bebas mau ngapain. Lagian, buat apa punya suami yang tidak ada tanggung jawabnya malah tahunya jualin barang," timpalku tak mau kalah.

Entah karena ucapanku sehingga membuat Bu Imah menutup mulutnya rapat-rapat. Atau karena malu. Ia hanya sibuk memasukkan nasi yang dibelinya, setelah itu langsung membayar dan pergi begitu saja.

"Kila... Kila! Berani kamu buat Bu Imah mati kutu seperti itu. Nanti dia gosipin kamu loh," ucap ibuku yang baru saja datang menghampiriku.

"Biarin aja! Siapa suruh mancing-mancing. Orang seperti Bu Imah itu memang harus seperti itu mengatasinya, Bu. Kalau nggak bisa ngelunjak," jawabku.

Ibuku hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya ketika melihat ulahku.

Emang dia pikir aku siapa? Berani sama aku, langsung aku jabanin sampean. Aku ini bukan kaleng-kaleng.

Bersambung...

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status