Share

Hamil

Sudah seharian Almira berbaring saja dikamar, Ibunya dengan setia menyiapkan semua keperluan Almira, Ibunya juga tidak segan-segan untuk memijat anak semata wayangnya itu.

Almira memang anak satu-satunya, Bapak dan Ibunya mendapatkan dia saat usianya tidak lagi muda, Almira merupakan mukjizat yang diberikan Allah untuk kedua orang tuanya setelah puluhan tahun menantikan buah hati, jadi wajar Almira begitu sangat disayangi.

"Gimana nduk? masih mual terus?'' Tanya Ibunya sambil memberikan teh hangat untuk mengisi perut Almira yang dari tadi masih tidak mau makan, karena setelah mencoba makan, perutnya seperti keram dan kembali memuntahkan semua makanan yang ia makan.

Almira menganggukkan kepalanya, wajahnya sangat pucat.

"Jangan-jangan kamu lagi hamil ya nduk? tanda-tanda nya seperti orang sedang hamil muda''

Mata Almira melotot kearah Ibunya, Almira menggelengkan kepalanya.

"Mira cuma kecapekan aja dijalan kemarin Bu." Perasaan Almira menjadi campur aduk.

"Ya sudah untuk memastikan, Bapak mau panggil Bidan Indri, biar tahu kamu sakit apa." Ujar Pak Gandi bergegas keluar dari kamar Almira dan mendatangi Bidan Desa itu.

Tidak butuh waktu lama Pak Gandi sudah datang lagi bersama Bidan yang siap memeriksa Almira. Sebelum kerumah tadi, Pak Gandi sudah menceritakan keadaan Almira.

"Mbak Almira kapan datangnya kok saya baru lihat nih." Tanya Bidan Indri dengan senyum khasnya.

"Baru dua hari ini Bu Bidan." Ujar Ibu Endang yang merupakan Ibunya Almira, Bidan Indri pun mengangguk, dan tidak banyak tanya lagi karena melihat Almira sudah sangat lemas.

"Sekarang Mbak Almira pipis dulu ya, tampung disini." Bidan Indri menyerahkan tabung beserta satu buah tespack dan mengajari Almira cara penggunaannya, Almira pun melangkah kekamar mandi, Ibunya menunggu Almira dari pintu luar kamar mandi.

Setelah lima menit Almira dikamar mandi, Almira membawa tespack dan menyerahkan kepada Bidan Indri, karena Almira belum pernah menggunakan tespack dia tidak tahu apa maksud garis-garis yang ada di tespack itu.

Bidan Indri tersenyum sambil mengucap syukur saat tau tespack yang dibawa Almira mempunyai garis dua.

"Alhamdulillah Mbak Almira garis dua." Ujar Bidan Indri dengan penuh senyum, memberi selamat kepada Almira yang masih bengong tidak tahu maksudnya.

"Maksudnya Bu Bidan? Almira hamil?'" Tanya Ibu Endang penuh tanya, karena dia juga sama dengan Almira tidak tahu artinya, walaupun Ibu sudah pernah hamil ternyata beliau belum pernah menggunakan alat tespack.

Bidan Indri mengangguk pasti, Almira masih tidak menyangka, ia memilih berbaring, perasaannya saat ini campur aduk antara senang dan sedih.

"Diminum vitaminnya ya Mbak Almira, biar dedek sama Mbaknya sehat sampai lahiran, kalau ada apa-apa jangan sungkan-sungkan panggil saya lagi." Bidan Indri kemudian pamit pulang dengan buru-buru karena sudah mendapat telepon bahwa akan ada yang melahirkan.

Setelah Bidan Indri pulang, tangis Almira pecah.

"Kenapa saat Mas Damar tidak perduli sama Mira, Allah memberi Mira anak Bu." Protes Mira, sambil memeluk Ibunya yang tidak tahan juga melihat Almira menangis sesugukan.

"Jangan menyalahkan takdir nduk, ini merupakan anugerah terbesar untuk kamu dengan Damar, Allah mau menyatukan kalian berdua, dengan mempunyai anak Bapak dan Ibu yakin kalian akan rukun lagi, nanti Bapak mau nelepon Damar untuk menjemput kamu pulang ya."

"Bapak dan Ibu mau mengusir Almira?" Tanya Almira dengan muka polosnya.

"Yo ndak lah nduk, rumah ini selalu terbuka untuk kamu dan Damar, tetapi dengan keadaan kamu seperti ini, lebih baik kamu bersama dengan Suami, Bapak akan mewanti-wanti Damar untuk lebih memperhatikan kamu dibanding temannya, Damar itu penyayang kepada anak-anak jadi makanya dia deket sama anak temannya itu, kalau sekarang tahu kamu sedang hamil pasti dia akan berubah nduk, menjalani rumah tangga itu memang mesti sabar, kalau Suami keras kamu yang harus lunak begitu juga sebaliknya, jangan sama-sama keras yang ada ya pecah la nduk." Wejangan yang diberikan Pak Gandi mampu membuat Almira melunak, dan menuruti perkataan Pak Gandi.

Almira membuka Handphonenya yang beberapa hari ini memang sengaja ia matikan untuk menenangkan dirinya, sudah banyak sekali panggilan tidak terjawab dari Damar beberapa hari ini. Tetapi mata Almira tertuju pada pesan masuk dari Danira.

"[Bocil-bocil, kalau belum siap nikah jangan nikah dong kan kasian Damar nggak ada yang ngurusi, atau kalau kamu tidak mau biar untuk aku saja lah Damarnya, sudah pasti akan aku rawat]" Pesan itu dikirimkan Danira dua hari yang lalu, tepatnya dimana Almira pergi dari rumah.

Niatnya menghubungi Damar diurungkan oleh Almira, ia mulai stalking status di aplikasi chat berwarna hijau itu, terlihat Danira mengupload video sedang jalan-jalan ketaman bersama dengan Amora dan Damar, tawa bahagia terlihat jelas ketiganya, Almira hanya bisa menahan air matanya, ia sudah bertekad sudah tidak ingin lagi menangisi semua yang sudah terjadi.

Almira juga sudah menyiapkan kemungkinan terburuknya, jika harus berpisah dengan lelaki yang sampai saat ini masih berstatus Suami nya itu.

Almira menghela nafas panjang.

"Sudah menghubungi Damarnya nduk? Kok Bapak ndak denger kamu ngomong-ngomong?"

"Ndak usah lah Pak percuma, biarkan Mas Damar senang-senang disana, buktinya dia bukan inisiatif jemput Almira kesini malah habisin waktu liburnya untuk jalan-jalan bersama teman kesayangannya itu."

"Tau dari mana kamu nduk? jangan berpikir yang macam-macam kalau ndak ada bukti itu sama aja suudzon, nggak baik lo." Ibunya menimpali.

Almira menyerahkan handphonenya dan menunjukkan video Danira tadi, terlihat Pak Gandi menghela nafas panjang, dan mengalihkan pandangannya, terlihat jelas wajah kecewa disana, orang tua mana yang mau melihat anaknya dinomor dua kan seperti ini.

Tanpa meminta izin, Bapak langsung menghubungi Damar, Pak Gandi Almira walaupun terlihat sangat lembut tetapi jika berhubungan dengan Almira dia sangat tegas.

"[Kalau kamu tidak datang sekarang juga, lebih baik kamu tidak usah melihat Almira lagi, kalau cuma memberi makan Bapak sama Ibu dikampung masih bisa kok, sekarang bapak hanya butuh pertanggung jawaban kamu sebagai lelaki, bukannya datang menemui Istri malah enak-enakan jalan-jalan]" Emosi terlihat jelas diwajah lelaki yang sangat Almira sayangi itu.

Almira mengelus-elus punggung Pak Gandi, Almira tidak ingin darah tinggi Pak Gandi kambuh karena terlalu emosi.

"Tenang nduk, yang paling penting saat ini kamu pikirin bagaimana tetap sehat bersama cucu Bapak ya, biar masalah Damar bapak yang urus." Almira pun mengangguk dan bersandar dipundak Pak Gandi, kepala Almira dielus-elus penuh sayang.

"Terimakasih ya Pak, maaf Mira masih terus ngerepotin Bapak, padahal Almira kan sudah dewasa."

Pak Gandi mengusap air mata Almira.

"Sampai kapanpun Mira tetap menjadi anak kecilnya Bapak sama Ibu, Bapak dan Ibu tidak merasa direpotkan malah seneng kalau Mira mau cerita sama Bapak dan Ibu." Seharian ini Almira banyak menghabiskan waktunya bersama kedua orang tuanya, Almira dari dulu bermimpi mempunyai pasangan hidup seperti Bapaknya yang sangat sayang kepadanya.

Jam lima pagi Almira seperti biasa membuka pintu dan jendela rumahnya, kata orang tuanya bangun itu mesti pagi dan pintu langsung dibuka, agar rezekinya masuk kerumah, Almira kaget saat membuka pintu, di halaman rumahnya sudah ada mobil berwarna silver, Almira langsung memanggil Bapaknya untuk bertanya siapa yang berada didalam mobil itu.

Pak Gandi pun langsung mencoba mencari tahu mobil siapa pagi-pagi sudah numpang parkir didepan rumahnya itu, tetapi betapa kagetnya Pak Gandi setelah jendela mobil itu terbuka.

"Damar!"

BERSAMBUNG...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status