Share

Biarlah Kita Berakhir di Sini
Biarlah Kita Berakhir di Sini
Penulis: Macan

Bab 1

Penulis: Macan
"Bu Lea, kamu yakin mau donasi semua organ tubuhmu?"

"Ya, aku yakin."

Begitu kalimat itu terucap, Lea Leroy malah tersenyum, seperti seseorang yang akhirnya bebas dari beban.

Sang dokter terdiam sejenak, lalu mencoba membujuknya kembali, "Memang kankermu sudah memasuki tahap menengah hingga lanjut, tapi kalau kamu mau berobat serius, mungkin hidupmu bisa bertahan lebih lama."

Lea tersenyum makin lebar dan langsung menggeleng. "Nggak usah, Dok. Tiap hari aku sudah menantikan ini. Mungkin aku cuma punya waktu sebulan. Nanti pas sudah waktunya, aku akan kabari rumah sakit. Tolong bantu donasikan semua organ tubuhku ke orang-orang yang butuh, ya. Terima kasih."

Sambil berkata begitu, Lea tetap tersenyum dan bangkit meninggalkan ruangan.

Dokter itu hanya bisa menatap kepergiannya dengan kaget. Dia belum pernah menemui pasien yang begitu siap menerima ajalnya seperti ini.

Baru saja keluar dari rumah sakit, Lea mendapat telepon dari Aaron Skyler.

Suara pria itu terdengar dingin dan berat. "Hari ini kamu izin pergi ke mana?"

Jari-jari Lea yang menggenggam ponsel sedikit menegang. Dia berbohong, "Cuma flu biasa."

Jelas orang di ujung telepon sana juga tidak benar-benar peduli. "Datanglah ke klub Bello. Di ruang VIP nomor 314."

Lea juga tidak banyak bicara. Dia langsung bergegas ke sana.

Begitu masuk ke ruangan, di sana sudah ada banyak rekan bisnis Aaron.

"Wah, Bu Lea akhirnya datang juga. Aku sudah lama dengar tentangmu. Katanya kamu jago banget minum, nggak akan teler meski minum terus."

"Kabarnya kamu sering berhasil dapat kerja sama gara-gara jago minum. Hari ini kami ingin lihat langsung."

"Di meja ini ada 99 gelas minuman. Kalau kamu bisa habiskan semuanya, kerja sama hari ini akan langsung disepakati!"

Di sofa di samping, Aaron duduk dengan tersenyum samar. Dia berkata dengan nada santai, "Jangan buat aku kecewa."

Semua orang menatap penuh harap. Lea juga tidak menolak.

Lea tersenyum sambil mengangkat segelas minuman, lalu berkata, "Kalau begitu, aku akan mencoba sebaik mungkin."

Lea terus menenggak minuman satu per satu sampai perutnya terasa perih seperti terbakar. Dengan kondisi kanker lambung yang dia derita, rasa sakitnya jadi berkali-kali lipat lebih menyakitkan dari biasanya.

Wajahnya tampak pucat pasi, bahkan tangannya pun gemetar.

Meski begitu, dia terus saja meminumnya gelas demi gelas.

Sementara itu, dari awal hingga akhir, Aaron hanya memandanginya dengan tatapan dingin dan acuh tak acuh.

Akhirnya, di bawah tatapan takjub semua orang, Lea menghabiskan gelas terakhir dari total 99 gelas.

Seketika, ruangan bergemuruh dengan tepuk tangan. "Luar biasa! Hebat sekali!"

Keringat dingin muncul di dahi Lea. Dia hanya bisa tersenyum kaku.

Rekan kerja mereka sangat tertarik padanya dan berkata, "Bu Lea, kamu akan rugi mengikuti Pak Aaron. Lihat saja bagaimana dia memperlakukanmu. Dia nggak peduli padamu. Mending pindah kerja ke tempatku."

Lea menjawab dengan tenang, "Terima kasih, Pak Aaron sudah sangat baik padaku."

"Aku kasih gaji tiga kali lipat!"

Namun, Lea tetap teguh menolaknya dengan menggelengkan kepala.

Semua orang heran dan tidak mengerti. "Kenapa kamu nggak mau pergi?"

Lea tersenyum tipis. "Aku masih punya utang yang harus dibayar."

Rekan bisnisnya mengira Lea berutang uang pada Grup Skyler. Mereka merasa sayang, jadi mereka menyerah.

Akhirnya, kerja sama hari ini pun berhasil disepakati.

Acara itu selesai dan langit pun sudah gelap.

Seorang sopir datang menjemput. Lea langsung duduk di kursi depan seperti biasa.

Aaron tidak suka duduk bersamanya.

Mobil itu berhenti di depan apartemennya. Lea mengucapkan terima kasih dan turun dengan letih.

Karena terlalu lelah, dia tidak sadar kalau Aaron juga ikut turun.

Aaron memperhatikan langkah Lea yang tersaruk-saruk. Sorot mata Aaron makin dalam.

Lea sama sekali tidak menyadarinya sampai dia naik ke lantai atas dan berhenti di depan pintu sambil mengeluarkan kunci.

Namun, tiba-tiba seseorang menarik pergelangan tangannya dan membalikkan tubuhnya, menekannya ke dinding.

Lampu sensor di koridor kebetulan menyala. Lalu, di detik berikutnya, Aaron menciumnya paksa.

Ciuman itu begitu intens dan penuh hasrat, membuat Lea nyaris tak bisa bernapas.

Setelah cukup lama, barulah dia melepaskannya. Padahal yang memaksa mencium adalah Aaron sendiri, tetapi justru matanya memerah, suaranya bergetar. "Selalu bersikap seperti ini, kamu sengaja membuatku merasa kasihan, ya? Waktu mereka mengajakmu pergi, kenapa kamu menolaknya? Kenapa kamu masih di sini, Lea?"

Lea berusaha mengendalikan napas dan emosinya. "Aku tetap di sini untuk menebus kesalahan."

Jawaban itu justru memicu amarah Aaron. Dia menghantam dinding dengan tinjunya.

Tatapannya penuh kebencian, tajam dan menyakitkan seperti pisau yang mengiris habis dirinya. "Kalau begitu kenapa kamu nggak mati saja? Mati saja sana!"

Lea tersenyum getir. Seperti yang Aaron inginkan, Lea memang sudah hampir mati.

Baru hendak bicara, tiba-tiba ponsel Aaron berdering.

Lea menunduk dan melihat nama yang tertera di layar.

Chloe Eleuther adalah tunangan Aaron yang sekarang.

Saat melihat panggilan dari Chloe, napas Aaron jadi lebih berat. Aaron balik badan, seolah mencoba menenangkan diri.

Begitu telepon tersambung, nada bicara Aaron kembali tenang dan lembut seperti citra dirinya yang biasanya; tenang dan sopan.

"Chloe."

Entah apa yang dikatakan dari seberang, ekspresi Aaron sedikit berubah. Detik berikutnya, dia melepaskan genggamannya pada Lea. Tanpa berkata sepatah pun, Aaron berbalik dan meninggalkannya.

Lea bersandar di dinding. Saat melihat Aaron telah pergi, Lea akhirnya tak bisa menahan diri lagi. Dia membuka pintu dan bergegas ke kamar mandi, muntah hebat.

Dia terus muntah sampai dunia terasa berputar. Setelah cukup lama, dia mendongak dan melihat isi kloset penuh dengan darah muntahannya.

Sangat banyak.

Warna merah yang mencolok.

Lea menekan tombol toilet dengan tangan gemetar. Dia berniat berdiri, tetapi tubuhnya sudah terlalu lemah hingga akhirnya jatuh pingsan.

Dalam pingsannya, dia bermimpi.

Dia kembali ke masa kuliah. Di bawah pohon angsana, dia berjalan bersama Aaron dan Maybell Skyler.

Maybell menarik-narik lengan Lea sambil terus merengek manja, "Lea, akhir pekan ini fakultas kita mau adakan acara gabungan sama Fakultas Hukum. Temenin aku, ya?"

Raut wajah Aaron langsung terlihat tidak senang. Aaron segera menarik Lea ke sisinya. "Maybell, memangnya aku akan mengizinkamu ajak pacarku begitu saja?"

"Kak, kamu kok pelit banget sih!"

Itu … masa-masa paling indah.

Lea sejak kecil adalah seorang yatim piatu. Saat sekolah, dia bertemu dengan Maybell, yang akhirnya menjadi sahabatnya.

Aaron, kakak dari Maybell, adalah idola kampus yang terkenal karena sikapnya yang dingin dan tidak tertarik pada perempuan. Setiap hari Aaron bisa menerima tumpukan surat cinta, yang semuanya langsung dia buang. Awalnya, Lea bahkan tidak berani berbicara dengannya.

Namun, entah kenapa, Aaron selalu muncul di hadapannya. Dia membantu merapikan catatan, menemani ke perpustakaan, bahkan mengantar jemput Lea pulang.

Pernah suatu kali, Aaron nekat menjemput Lea di tengah hujan deras karena Lea tak membawa payung.

Mereka berada di bawah satu payung. Lea tak tahan lagi dan akhirnya bertanya, "Kak Aaron, kamu baik sama aku cuma karena Maybell, ya?"

Dengan ekspresi dingin, Aaron menyudutkannya di sudut tembok. "Lea, kamu benar-benar bodoh. Sekarang, aku kasih tahu alasan sebenarnya kenapa aku selalu baik ke kamu."

Setelah berkata demikian, Aaron memegang tengkuknya dan menciumnya.

Sejak hari itu, hubungan mereka resmi dimulai.

Hingga lima tahun lalu, tepat di malam sebelum pernikahan mereka.

Lea dan Maybell pergi menonton film. Hari itu, malam sudah larut dan mereka melewati sebuah gang kecil dan bertemu dengan beberapa pria mabuk.

Kelompok itu jelas sedang dalam pengaruh alkohol dan kata-kata yang mereka ucapkan sangat tidak sopan. Mereka menghadang dua gadis itu di ujung gang, tidak membiarkan mereka pergi.

Kedua gadis itu ketakutan dan gemetaran. Akhirnya, Maybell berusaha sekuat tenaga menghentikan orang-orang mabuk itu sambil berteriak, "Lea, cepat lari!"

Lea tahu bahwa mereka berdua bukan tandingan kelompok pemabuk itu, jadi dia pun berlari.

Dia lari ke seberang jalan untuk mencari bantuan.

Namun, saat dia kembali, gang itu sudah sunyi. Para pemabuk itu pergi dan yang tersisa hanya Maybell yang penuh luka, tergeletak tak bernyawa, tubuhnya bersimbah darah, jelas telah dilecehkan berkali-kali.

Ketika Aaron tiba di tempat kejadian, yang dilihatnya adalah tubuh adiknya yang sangat mengenaskan.

Siapa pun tahu, penderitaan macam apa yang sudah Maybell alami.

Aaron merasa pikirannya kosong. Dia tiba-tiba menggenggam tangan Lea dengan erat, lalu bertanya dengan rasa sakit dan keputusasaan, "Kenapa kamu harus lari? Kenapa kamu meninggalkan dia sendirian? Lea, kenapa kamu lari?"

Lea tak bisa menjawab. Tak ada yang lebih membenci dirinya selain dirinya sendiri.

Setelah itu, Keluarga Skyler tak pernah mau memaafkan Lea.

Lea kehilangan sahabat terbaiknya, juga menjadi musuh bagi pria yang paling dia cintai.

Syukurlah, kini dia hampir mati.

Dia bisa pergi dan meminta maaf secara langsung kepada Maybell. Aaron juga bisa benar-benar terbebas.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 25

    Satu keluarga itu berkendara ke utara. Masih ada waktu sebelum hari pernikahan, jadi mereka sambil berjalan sambil berwisata. Saat kuliah dulu, Lea sangat iri pada teman-teman yang bisa bepergian ke mana-mana karena sebagai anak yatim piatu, ia hanya bisa bertahan hidup dengan susah payah.Walaupun hubungannya dengan Maybell sangat baik, Lea tetap merasa tidak enak hati menerima ajakan jalan-jalan yang sepenuhnya ditanggung orang lain.Kondisi tubuh Lea sudah pulih dengan baik. Saat melewati provinsi yang terkenal dengan pegunungan, Berg juga mengajak Seline dan dia mendaki gunung. Walaupun prosesnya sangat melelahkan, tetapi ketika berdiri di puncak, mereka merasa sangat lega dan lapang.Rasanya seperti kehidupan baru yang dijalaninya selama setengah tahun terakhir.Setelah tiba di ibu kota, Brielle dengan antusias menjemput mereka ke vila kecil yang mereka beli dengan cara mencicil. Selama beberapa tahun terakhir, Gino bekerja sebagai sales di perusahaan Aaron dan kariernya berkemban

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 24

    "Belum secepat itu. Dokter menyarankan agar aku tetap tinggal di ibu kota selama setengah bulan lagi. Kalau hasil pemeriksaan ulang nggak ada masalah, barulah bisa dibilang sembuh."Aaron mengangguk pelan.Tatapan Aaron terus jatuh di wajah Lea, seolah tidak pernah merasa bosan melihatnya. Ia menatap dengan ekspresi sedih dan murung, seakan ingin mengukir wajah itu dalam-dalam. Lea mengulurkan tangan, menarik tangan Aaron yang mengenakan jam, lalu perlahan membuka pengaitnya dan memandangi luka yang mengerikan itu.Seakan sisi dirinya yang paling buruk terbuka di hadapan gadis itu. Pada saat itu, Aaron justru merasa takut. Aaron ingin menarik kembali tangannya, tetapi Lea menggenggam erat pergelangannya. Tatapan matanya terasa nyata, panasnya seolah membakar sampai ke tulang."Kenapa kamu melakukan ini?""Karena aku membenci diriku sendiri," ucap Aaron lirih. "Kalau bukan karena aku, selama ini kamu nggak akan menderita sebanyak ini."Lea tersenyum dan melepaskan genggamannya."Aaron,

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 23

    Kakak perempuan Berg dulu meninggalkan posisinya yang dengan susah payah ia raih tanpa ragu sedikit pun, lalu pergi bergabung dengan militer dan menjadi dokter tentara. Ia tidak peduli meski harus memutuskan hubungan dengan keluarganya. Brielle selalu menganggap kakaknya sangat berani, jadi ketika mendengar kabar kematian sang kakak, Brielle merasa sedih untuk waktu yang cukup lama."Kakakku memilih jadi dokter tentara karena suaminya adalah seorang tentara. Seline adalah anak mereka. Nggak lama setelah suaminya meninggal, Seline pun dititipkan padaku."Barulah sekarang Brielle tahu kebenarannya. Mendengar kisah seberat itu membuat hatinya ikut sedih. Ia melirik ke arah Seline yang sedang diam berbaring di samping Lea di ruang rawat."Sekarang, Lea sudah merawat Seline dengan sangat baik, bukan?" Berg tersenyum ringan. "Nggak perlu merasa kasihan padanya. Sekarang, dia sudah punya ibu yang sangat baik dan ke depannya juga akan punya ayah yang baik, yaitu aku. Meskipun Seline mungkin su

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 22

    Brielle memandang sisi rapuh yang diperlihatkan oleh Aaron dengan bingung. Entah kenapa, dia benar-benar tidak ingin melihat Aaron yang begitu sedih dan putus asa. Dia terdiam sejenak, lalu berkata, "Mungkin kata-kataku ini agak lancang, Pak Aaron, tapi apa Anda pernah berpikir untuk menjelaskan semuanya dengan baik pada Kak Lea? Apa mungkin Seline adalah anak Anda?""Bukan." Aaron tersenyum pahit dan menggelengkan kepala. "Andai saja memang begitu."Brielle masih terlalu muda. Dia tidak bisa memahami betapa dalamnya penderitaan dan penyesalan yang tersembunyi di balik helaan napas itu, penyesalan yang akan dibawa Aaron sepanjang hidupnya dan yang takkan pernah bisa dia maafkan pada dirinya sendiri."Patah tulang," ucap dokter setelah membuat diagnosa awal terhadap cedera Aaron, lalu melirik wajahnya. "Kamu masih demam, ya?"Dokter mengulurkan tangan untuk meraba dahinya, tetapi Aaron dengan sopan menahan tangan itu. Dia tahu demamnya disebabkan oleh penyalahgunaan obat dini hari tadi

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 21

    "Kak!" Terdengar teriakan panik Brielle dari arah tangga. Suaranya bergetar seperti sedang menangis. Dia berlari sambil menggendong Seline yang jelas-jelas sudah pingsan. "Kak, Seline tiba-tiba pingsan!""Tenang," kata Berg dalam hati meski pikirannya kosong. Dia menatap Brielle yang kehabisan tenaga sampai berlutut di depannya serta Seline yang wajahnya merah dan tidak sadarkan diri, sambil terus mengulang dalam hati, "Aku harus tetap tenang."Aaron sepertinya memang belum pergi dari sekitar situ. Begitu mendengar teriakan Brielle, dia langsung berjongkok dan memperhatikan wajah Seline yang merah padam. "Brielle? Jangan menangis! Ini rumah sakit. Ayo, ikut aku ke bagian IGD!""Brielle." Berg membuka pakaian bagian perut Seline dan melihat ruam merah besar di sana. Tiba-tiba dia sadar. "Kamu tadi ajak Seline makan apa?"Kakak perempuan Berg memiliki riwayat alergi, tetapi sebelumnya Seline tidak pernah menunjukkan gejala alergi terhadap apa pun. Karena itu, Berg dan Lea tidak terlalu w

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 20

    Semalam, Aaron bermimpi buruk. Mimpi yang terasa sangat tidak menguntungkan. Saat cahaya pagi baru mulai muncul, dia pun terbangun. Di luar jendela dinginnya seperti sedang melewati zaman es, suhu musim hujan yang puluhan derajat di bawah nol. Dia membuka jendela, membiarkan hujan jatuh membasahi dirinya tanpa ampun.Seolah-olah itu adalah bentuk hukuman untuk dirinya sendiri.Aaron sangat iri pada Berg. Berg bisa berdiri di sisi Lea dengan terang-terangan, menemaninya melewati berbagai masa sulit, dan membesarkan seorang anak yang manis dan menggemaskan bersama. Itu adalah impian yang sangat dia dambakan saat masih muda, tetapi sekarang sudah mustahil terwujud.Dalam mimpinya, bibir lembut yang pernah Aaron cium berkali-kali, kini mengucapkan kata-kata dingin dan penuh penolakan."Aaron, kamu mau membuatku mati untuk kedua kalinya, ya? Kalau kamu mendekat lagi, aku nggak akan menjalani operasi ini.""Seperti keinginanmu, aku akan mati sekali lagi di depanmu."Wajah Aaron tampak pucat.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status