“Puas sudah ngerebut Bias dari Cia?”
Cinta berniat menutup pintu kamarnya kembali, tetapi Altaf menahannya. Pria itu merangsek masuk, lalu menutup kasar pintu kamar Cinta dari dalam.
“Masih butuh jawaban?” tanya Cinta memandang malas pada kakak laki-lakinya.
Dulu, Altaf dan Kiano adalah dua pria yang sangat menyayanginya karena Cinta adalah satu-satunya perempuan yang ada di rumah setelah ibunya tiada. Namun, setelah papanya menikahi Briana dan membawa Ciara di tengah-tengah mereka, semua berubah. Perlahan tapi pasti, kedua wanita itu menjadi duri dalam kehidupan Cinta.
Sejak saat itu, semua hanya berpusat pada Ciara. Gadis bermuka dua yang sudah membuat kehidupan Cinta berubah 180 derajat.
“Dasar nggak tahu berterima kasih!” Altaf mendekat dan mendorong kepala Cinta dengan telunjuknya. “Kalau bukan karena kebaikan Cia, kamu sudah diusir dari rumah sama papa!”
“Oh.” Cinta hanye merespons singkat.
“Cinta!”
“Apa?”
“Kamu itu betul-betul nggak tahu diri!” Altaf kembali menghardik. “Dari Cia masuk ke rumah ini, kamu selalu benci sama dia! Kamu hasut anak-anak sekolah untuk bully dia, kamu tiru semua yang dia lakukan, dan sekarang kamu rebut Bias dengan cara licik.”
“Oh.”
Mau dijelaskan seperti apa pun, orang-orang akan lebih percaya dengan cerita Ciara, bukan Cinta. Jadi, lebih baik diam, daripada membuang tenaga dengan percuma.
“Kalau bukan adek kandung, kamu sudah aku—”
“Tampar? Atau mau kamu bunùh sekalian,” sela Cinta segera menghabiskan jarak dengan Altaf. Mendongak dan memberi sisi wajahnya pada pria itu. “Silakan tampar,” ucapnya datar. “Cuma kamu satu-satunya orang di rumah ini yang belum nampar aku, kan? Oh! Sama adik kecil kita. Anak bungsu kesayangan semua orang, Farhan ... si pengecut kecil.”
“Cinta!” bentak Altaf mendorong tubuh Cinta menjauh. “Dari dulu, kamu selalu bicara yang nggak-nggak tentang Cia sama mama. Dan satu lagi, jangan pernah bilang kalau Farhan itu pengecut!”
“Dengarkan lagi kalimatku, baik-baik Altaf Naratama.” Cinta kembali menghabiskan jarak. Mengangkat tinggi dagunya tanpa ekspresi. “Tinggal kamu satu-satunya orang dewasa di keluarga ini yang belum pernah nampar aku. Paham sampai sini. Jadi, tampar aja. Nggak usah ditahan-tahan.”
Altaf mengerjap. Berpikir sesaat lalu membalas, “kalau papa sampai nampar kamu, itu artinya kamu memang sudah keterlaluan.”
“Ya sudah.” Cinta meraih tas kerjanya. Melewati Altaf dengan menabrakkan sisi tubuhnya pada pria itu, lalu membuka pintu. “Kalau nggak ada lagi yang mau kamu omongin, keluar dari kamarku!”
Altaf berdecih setelah berbalik. Berjalan perlahan keluar kamar, tanpa melepas tatapannya pada Cinta.
“Ingat! Cepat atau lambat, kamu akan dapat balasan atas semua sikap burukmu ke Cia!” ujar Altaf berhenti sebentar di hadapan Cinta. “What goes around comes around!”
~~~~~~~~~~~~~~~
“Cinta!”
Cinta tidak menggubris panggilan Kiano yang berasal dari lantai dua. Ia terus berjalan keluar rumah, karena sudah muak dengan seluruh anggota keluarga.
“Cinta!” Kiano menuruni tangga dengan segera. Berjalan cepat menyusul putrinya dan menghalangi langkah Cinta yang sudah berada di teras rumah. “Kamu tuli, ha!”
“Oh!” Cinta memasukkan jari telunjuknya ke telinga dan menggoyangkannya sebentar. “Sepertinya iya. Telingaku rada bermasalah sejak Papa mukul aku. Oia, ngapain aku ngomong? Paling juga nggak didengar.”
“Kamu memang nggak tahu diuntung!” hardik Kiano sudah mengepalkan kedua tangan. “Sekarang masuk! Temui Cia dan minta maaf!”
“Untuk?”
“Masih tanya untuk apa!” Kiano mengeraskan suaranya. “Dari dulu kamu itu selalu cari masalah sama Cia! Dan ini yang paling parah! Bisa-bisanya kamu berbuat hal yang kotor sama pacarnya Cia dan merebut Bias!”
“Kenapa Papa nggak marah seperti ini waktu Bias dan keluarganya datang siang tadi?” tanya Cinta maju satu langkah mendekati Kiano. “Harusnya, Papa juga seperti ini ke Bias, bukan cuma ke aku. Iya, kan?”
“Dasar anak kurang ajar!”
“Di mana letak kurang ajarku, Pa?” tanya Cinta tetap memelankan suaranya. “Karena aku barusan tanya baik-baik.”
Kiano mencengkram siku Cinta, membawanya kembali masuk ke dalam rumah dengan paksa. “Gara-gara kamu, Cia dari tadi cuma ngurung diri di kamar! Jadi, sekarang datangi Cia dan minta maaf!”
Cinta mencoba mengimbangi langkah lebar Kiano. Terlebih ketika pria itu menaiki tangga. Sementara Altaf, hanya berdiri di ujung tangga, menjadi penonton.
“Cia!” Kiano mengetuk pintu kamar Ciara. “Cinta mau minta maaf.”
Cinta tersenyum miring dan melepas tawa sinis. Ia menatap kamar yang dulu pernah menjadi milikinya sebelum terusir dari sana.
Tidak lama setelah Kiano menikah dengan Briana dan membawa wanita itu ke rumah, Cinta bertengkar dengan Ciara. Pertengkaran pertama mereka, yang membuat hidup Cinta berubah seketika.
Karena keributan tersebut, Ciara jatuh dari tangga lantai dua. Kakinya terkilir dan bahunya bergeser. Yang lebih parah adalah, Ciara mengadu jika Cintalah yang telah mendorongnya.
Sejak saat itu, Cinta tidak lagi diizinkan menginjakkan kaki di lantai dua dan kamarnya seketika menjadi milik Ciara.
“Diam, Cin!” desis Kiano saat pintu kamar Ciara terbuka dan Briana berdiri di antara celahnya.
“Cia nangis terus dari tadi,” keluh Briana menatap dingin pada Cinta. “Dia nggak mau makan.”
“Masuk!” Kiano membuka pintu kamar dengan lebar, lalu membawa Cinta masuk untuk menemui Ciara. “Minta maaf!” ucapnya sambil melepas kasar tangan putrinya.
“Cia ...” Cinta duduk di tepi tempat tidur, tepat di samping Ciara yang duduk terpekur. “Kali ini, aku nggak akan minta maaf.”
“Cinta!” hardik Kiano menghampiri dan menarik tubuh Cinta menjauh. “Keluar kamu dari rumah ini.”
“Ini rumah mamaku.” Cinta tersenyum miring. “Rumah ini, rumah pemberian opa, ayah mama. Jadi, papa nggak berhak ngusir aku dari sini karena rumah ini bukan rumah Papa.”
“Dasar anak kurang—”
“Tampar,” Cinta mendongakkan wajah pada papanya. “Bela terus anak TIRI papa itu! Dan ingat—”
“Pergi dari sini.” Altaf buru-buru menarik tubuh Cinta, sebelum ayah mereka benar-benar menampar gadis itu. “Keluar! Dan nggak usah kembali kalau keadaan belum tenang.”
“Nggak usah sok jadi pahlawan!” Cinta menghentak tangan Altaf begitu berada di luar kamar dan menunjuk tajam pada sang kakak. “Kalian semua sama aja! Dan ingat ini baik-baik, Al. Aku, nggak akan pernah nyerahin rumah ini ke tangan Cia!”
“HEI!” Altaf menepis tangan Cinta dengan kasar. “Siapa yang mau nyerahin rumah ini ke tangan Cia? Rumah ini—”
“Nggak usah drama!” desis Cinta memotong ucapan Altaf. “Bilang ke papamu itu, langkahi dulu mayatku kalau mau nyerahin rumah ini ke anak kesayangannya! BYE!”
“Kami sadar, apa yang terjadi bukanlah hal yang pantas ditiru. Untuk itu, kami dengan tulus memohon maaf atas kegaduhan yang ada, dan menegaskan bahwa kami telah mempertanggungjawabkan semuanya dengan cara yang sepatutnya. Terima kasih.”Bias mematikan televisi yang baru ditontonnya dengan remote. Bersandar pada sofa, lalu menatap Danuar yang juga baru menyaksikan pernyataan Cinta di televisi.“Kenapa Cinta nggak ngomong sama aku, kalau dia melakukan wawancara kemarin?” celetuk Bias merasa kesal sendiri.“Lupakan itu sebentar, Bi,” ujar Danuar meraih cangkir kopinya, lalu menyesapnya sebentar. “Tapi melihat sikap Cinta, Papa sepertinya percaya kalau kamu dijebak.”“Itu dia!” seru Bias memukul keras pahanya sendiri. “Sudah kubilang, aku dijebak, tapi Papa sama mama nggak percaya. Mama justru bilang wajar kalau Cinta minta kunikahi karena kami sudah ‘tidur’ berdua malam itu.”“Tapi kamu memang ‘tidur’ dengan Cinta, kan?”“Aku nggak ingat, Pa!”“Kita singkirkan itu dulu,” pinta Danuar me
“Bang! Cinta masuk!” seru Dion, berdiri di ambang pintu ruang Kepala Departemen Produksi Suara Media, Raksa. “Ada di mejanya!”“Panggil dia.” Raksa menjentikkan jari lalu menunjuk Dion. “Dan kamu, siapkan kamera. Kita akan wawancara eksklusif dengan dia 15 menit lagi.”“Di mana, Bang?”“Di ruangan saya,” jawab Raksa. “Biar saya yang wawancara.”“Sip!” Dion mengacungkan ibu jari pada Raksa, lalu pergi menghampiri Cinta yang sibuk dengan layar komputernya. “Wei! Pengantin baru, nih! Eh, gue masih nyimpan foto sama video lo dengan Bias.”Cinta menatap Dion sambil memangku wajah. Tidak mau peduli dan memikirkan skandal yang sudah diciptakannya satu minggu yang lalu. “Simpan baik-baik. Karena yang di internet sudah di-take down sama orangnya Manggala.”Dion tertawa keras. “Nggak ada malu-malunya lo, ya!”“Nasi sudah jadi bubur.” Cinta pun ikut terkekeh. “Jadi, ya, sudah. Sekalian aja dibikin bubur ayam biar enak.”“Ah! Gila lo.” Dion kemudian menunjuk ruangan Raksa. “Lo dipanggil air raksa
“Sayang …” Ciara langsung berlari menghampiri Bias yang baru memasuki unitnya. Memeluk erat dan menumpahkan tangisnya.Sementara Bias, hanya bisa terpaku di tempat dan membiarkan sang kekasih meluapkan semua kesedihan di pelukannya. Menunggu Ciara menghabiskan tangisnya, barulah ia membawa gadis itu menuju sofa. Duduk dan memangkunya.“Sekali lagi maaf,” ucap Bias setelah melepas topi dan maskernya. Ia merapikan anak rambut yang terhambur di wajah Ciara, lalu memberi kecupan singkat pada pipi gadis itu. “Aku nggak pernah bermaksud untuk menyakiti kamu.”“Aku tau.” Ciara merebahkan diri di tubuh Bias. “Aku yakin kamu dijebak dan semua ini salahnya Cinta.”“Andai mamaku nggak maksa, aku juga nggak bakal nikahin dia,” ujar Bisa mengusap lembut lengan kekasihnya. “Masalah foto sama video yang tersebar juga masalah gampang. Tapi, mamaku …”“Tapi aku tetap nggak rela kalau kamu tidur satu kamar, apalagi satu ranjang sama dia.”“Itu nggak akan terjadi,” ujar Bias penuh keyakinan, karena Cint
“Apa ini?” tanya Bias saat menerima sebuah tas ransel dari Yosep di ambang pintu kamar.“Tas mbak Cinta,” jawab Yosep. “Kata Denok, cuma ini barangnya di apart yang kemarin malam diantar temannya. Obat-obatnya juga sudah ada di dalam.”“Tas ini …” Bias menatap ke dalam kamar sekilas. Kemudian, ia membuka cepat resletingnya. Melihat ke dalam, lalu melihat pakaian yang jumlahnya hanya beberapa potong saja. “Ini semua bajunya Cinta? Nggak salah? Tasnya lusuh dan … yakin? Telpon Denok lagi.”“Sudah saya pastiin, Mas,” jawab Yosep mantap. “Kata Denok, Mbak Cinta, kan, nggak ada pulang ke rumah sejak datang ke apart. Jadi, barangnya, ya, cuma yang ada di dalam tas itu.”“Oke, pergilah.”Bias menutup pintu. Kembali memasuki kamar dan meletakkan tas milik Cinta di tempat tidur. Ia mengeluarkan ponsel, lalu berbaring perlahan dan menghubungi Ciara. Kekasihnya itu pasti sangat bersedih dan mengurung diri di kamar menangisi nasib hubungan mereka.Namun, panggilannya tidak kunjung diangkat.Tatap
Alma menghempas hasil rontgen yang sudah dilihatnya di meja. Menatap Bias yang duduk di hadapannya di lobi apartemen. Sementara Cinta, sudah lebih dulu pergi ke atas atas titahnya, ditemani oleh seorang asisten rumah tangga.Setelah mendengar keterangan Bias, ternyata kondisi Cinta memang seperti yang terlihat. Bahkan, seharusnya gadis itu berjalan dengan bantuan kruk, agar kakinya tidak dipaksa menopang beban sebelum benar-benar pulih.“Hubungi pak Kiano sama bu Briana,” titah Alma memijat pelipisnya sebentar. “Pastikan mereka besok datang ke tempat acara, supaya semua berjalan lancar. Bilang ke Cia supaya nggak usah datang, karena Mama nggak mau ada drama.”“Tapi … bagaimana kalau nanti Cinta ternyata nggak hamil?” tanya Bias bersedekap dan duduk tegak.“Kamu mau cerai?” tebak Alma tersenyum miring. “Baru sebulan nikah tapi sudah mau cerai? Begitu maksudmu, kan?”“Kalau memang dia nggak hamil, untuk apa pernikahan ini diteruskan?”“Yakin dalam satu bulan kamu nggak akan ‘nyentuh’ Ci
“Kita pergi sebentar lagi,” ujar Bias ketika memasuki ruangannya. Ia berdiri tepat di depan Cinta yang masih duduk di tempatnya. Menatap selidik, pada wanita licik yang sudah memainkan drama yang begitu epik. “Untuk sementara, kamu ada dalam pengawasan kami.”“Pengawasan?” tanya Cinta agak bingung.“Ya!” Bias bersedekap. “Kami khawatir, ada yang mau mencelakakan kamu lagi sebelum pernikahan kita dilaksanakan.”“Nggak ada bu Alma di sini.” Cinta menoleh sebentar ke arah pintu yang sedikit terbuka. “Jadi, nggak usah pura-pura baik. Jujur aja, kamu yang nyuruh orang buat nabrak aku? Karena—”“Jangan pernah menuduh tanpa bukti!” Bisa menunduk cepat. Kedua tangannya bertumpu pada lengan sofa yang diduduki Cinta. “Dan jangan main-main denganku, apalagi keluargaku.”“Aku memang nggak punya bukti apa-apa,” sahut Cinta tidak gentar sedikit pun. Meski sempat terkejut dengan sikap Bias yang menunduk secara tiba-tiba. “Karena pesuruhmu sepertinya cukup pintar.”“Heh dengar!” Bias menepuk pelan pi