Share

Bab 2 Menikah Dengan Pria Asing

Hari yang di nanti pun tiba, di mana Senja dan Langit akan menggelar pernikahan mereka pada sebuah aula masjid tidak jauh dari tempat tinggal wanita itu. Suasana pun tidak terlalu ramai dan hanya sebentar saja.

Pernikahan digelar secara sederhana. Hanya dihadiri kedua orang tua mereka dan empat orang saksi saja. Meski demikian, semua berjalan dengan lancar. Keluarga Senja yang termasuk golongan orang biasa juga tidak mempermasalahkan hal itu. Melihat putri satu-satunya menikah saja mereka sudah bahagia. Begitupun Mami dan papinya Langit yang tidak kalah bahagianya.

"Setelah menikah, Senja akan tinggal bersama saya di apartemen." Lelaki yang bernama Langit itu berkata di hadapan kedua orang tua mereka usai acara ijab kabul dan sungkeman selesai. 

"Terserah Nak Langit saja. Bapak sama Ibu tidak menghalangi." Safroni, Ayah Senja berkata dengan pelan dan sedikit gugup sambil menatap lembut ke arah kedua pembelai.

Binar bahagia tidak dapat terlukiskan di balik kedua bola mata pria tua itu. Meskipun awalnya kurang setuju karena dianggap terlalu terburu-buru, sedangkan mereka belum saling mengenal sebelumnya.

"Apa tidak sebaiknya tinggal di rumah Mami saja? Kami pasti senang ada Senja menemani. Iya, 'kan, Pap?" Lingga, Ibunda Langit berkata penuh harap. Wanita tua itu ingin mengenal sang menantu lebih dalam lagi.

Meskipun mereka tergolong kaya raya. Akan tetapi, tidak pernah mempermasalahkan dari golongan mana putranya harus mencari pendamping. Terpenting setia, Jujur, dan saling menyayangi.

"Iya, Langit. Kalau kamu kerja, Senja tidak akan kesepian bersama kami." Liam sang Ayah pun ikut berkomentar. 

"Tidak, Mam, Pap. Kami sudah menikah dan ingin hidup mandiri. Jika rindu ingin bertemu, saya bisa mengajak Senja ke rumah kalian." Langit menolak keinginan orang tuanya dengan cukup tegas.

"Ya sudah kalau begitu keinginanmu, tapi janji, ya sering-sering ajak Senja ke rumah." Lingga kembali berkata dengan penuh harap.

Sebenarnya wanita tua itu sedikit keberatan dengan keputusan Langit. Namun, tidak bisa memaksa karena itu hak sang putra sebagai suaminya.

"Iya, Mam. Baiklah, kami pamit dulu. Ayo, Senja," pamit Langit sambil menuntun sebelah tangan Senja.

"Bapak, Ibu. Senja pamit, ya. Jaga diri kalian baik-baik. Aku janji akan sering menemui kalian. Ibu, jaga kesehatan, ya." Senja pun pamit kepada Safroni dan Suningsih sambil memeluk erat mereka. Kemudian pergi dengan berat hati bersama lelaki yang kini sudah sah menjadi suaminya.

Senja langsung dibawa ke apartemen milik lelaki itu. Tidak ada resepsi, apalagi bulan madu seperti kebanyakan pengantin baru. Langit memang tidak ingin tinggal di rumah orang tuanya karena itu bisa merusak rencana yang sudah ia susun dengan rapi.

"Ini kamarmu. Saya ada di kamar sebelah. Jika butuh apa saja, telepon di sudut sana. Nanti akan ada yang datang. Ingat, rahasiakan pernikahan ini dari siapa pun! Saya tidak ingin orang lain mengetahuinya. Paham! Langit berkata dengan sedikit penekanan.

"Oh iya, soal pengobatan ibu dan modal usaha ayahmu, akan saya siapkan besok. Anda tidak perlu khawatir, ibumu akan mendapatkan pengobatan terbaik. Semua keperluan Anda ada di dalam lemari itu. Sekarang, bersihkan tubuh Anda dan kenakan pakaian yang ada di lemari itu. Saya ke kamar dulu," lanjut Langit kemudian.

Setelah panjang lebar memberikan penjelasan, Langit pun langsung melangkah keluar kamar meninggalkan Senja. Sungguh pernikahan yang tidak pernah terbayangkan oleh Senja sebelumnya. Wanita itu benar-benar akan terjebak dalam permainan Langit.

"Akhirnya, aku harus menjalani pernikahan yang tidak pernah aku harapkan. Menikah dengan orang asing yang bahkan tidak sesuai impianku." Senja bermonolog. Ia benar-benar pasrah akan nasib hidupnya sekarang.

***

Pagi-pagi, Senja sudah bangun seperti biasa saat di rumah. Melaksanakan salat subuh dan menyiapkan sarapan. Meskipun pernikahan mereka hanya di atas kertas. Namun, kini ia telah menjadi seorang istri dan harus melakukan kewajibannya mengurus suami. 

Langit baru saja keluar dari kamar. Pria tampan itu sudah begitu rapi dengan mengenakan jas biru laut dipadukan dengan kemeja putih dan celana berwarna senada dengan jasnya. Ia terkejut ketika melihat Senja sudah duduk di ruang makan dengan mengenakan kaos berwarna putih dan celana pendek. Pakaian santai sederhana yang paling ia sukai.

Lelaki itu mendekati Senja yang sedang memangku wajah dengan kedua tangannya. Ia menghela napas pelan. 

"Apa ini semua kau yang menyiapkannya?" tanya pemuda itu sambil duduk di hadapan Senja.

"Iya, Tuan." Senja berkata sambil mengangguk dan sedikit terperanjat.

Wanita itu bangkit dari kursi dan mengambil piring di hadapan Langit. Lalu, mengisinya dengan nasi goreng, telur ceplok, dan ayam goreng. Menyiapkannya untuk sang suami.

"Silakan di makan, Tuan." Perempuan itu berkata Kembali dengan lembut kemudian kembali ke tempat duduknya.

"Terima kasih. Kenapa harus repot memasak? Sudah saya bilang, bukan? Jika kau butuh sesuatu atau ingin makan, bisa telepon. Akan ada yang menyiapkan." Langit menatap dalam Senja dan berkata lembut, meski pelan. Namun, tetap terasa aura dinginnya. Pria itu sudah terbiasa dengan Art. Berbeda dengan Senja yang selalu menyiapkan semua sendiri.

"Saya sudah terbiasa menyiapkan sendiri. Maaf, jika Tuan kurang suka. Hanya ada itu di dalam lemari es." Senja berkata dengan sangat lembut sambil tertunduk. 

Senja takut, tidak berani menatap lelaki di hadapannya. Meskipun sudah menjadi suaminya. Namun, tetap saja ia masih merasa asing dan canggung. Apalagi jika sudah ditatap dengan tatapan maut itu. Siapa pun tidak akan mampu membalasnya.

"Tidak apa. Ini cukup enak. Bisakah kau masakan saya ini lagi besok?" ucap Langit.

Lelaki itu mengambil satu sendok nasi goreng dan memasukan ke dalam mulutnya. Kemudian, memuji masakan Senja yang meski sederhana. Akan tetapi, begitu enak. Belum pernah ia memakan makanan selezat itu selain makanan restoran. Masakan Art pun tampak biasa saja bagi Langit.

"Syukurlah kalau Tuan menyukainya. Besok akan saya masakan lagi untuk Tuan," ucap Senja.

Wanita berparas cantik itu tersenyum sambil tertunduk. Lagi-lagi Senja berkata tanpa menatap Langit. Meski pria itu terus memandangnya. Hanya anggukan kecil yang terlihat jelas oleh Langit.

"Jangan menunduk saat bicara denganku. Kau juga makanlah. Temani saya." Pria itu berkata dengan pelan, tetapi cukup tegas dan membuat Senja sedikit tersentak.

Langit menghela napas kasar melihat kelakuan Senja yang tampak ketakutan padanya. Pria itu pun berusaha melembutkan nada bicaranya agar Senja tenang dan biasa saja.

"Tuan, apa nanti siang saya boleh keluar untuk kuliah?" tanya Senja dengan ragu sambil berusaha menatap Langit.

"Tentu saja. Nanti supir akan mengantarmu." Langit berkata sambil merapikan dasinya.

"Tidak usah, Tuan. Biar saya naik kendaraan umum saja," tolak Senja dengan sangat hati-hati sekali karena takut Langit akan marah padanya.

Langit menatap dalam Senja. "Bagaimana pun juga, kau sudah menjadi istriku. Meski tidak ada yang tahu akan hal ini, kecuali orang tua kita. Saya tidak akan membiarkan Anda pergi sendiri, walau pernikahan kita hanya di atas kertas."

"Tapi, Tuan ...."

"Kau tahu saya tidak suka di bantah!"

"Baik, Tuan." 

Senja pun menyetujui perkataan Langit meski dengan berat hati. Wanita itu tidak ingin membuat Langit menjadi marah dan merusak paginya. Lalu, ia segera berangkat ke kantor. Meninggalkan Senja yang sedikit kesal. Namun, tidak bisa menolak. 

Langit, pria dingin bermata setajam elang. Meskipun jarang berkata keras. Namun, tidak ada yang berani menolak perintahnya. Apalagi untuk tipikal gadis lugu dan lemah-lembut seperti Senja yang belum mengenal Langit. Sudah pasti canggung dan dag, dig, dug meski Langit berkata pelan sekalipun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status