Hari yang di nanti pun tiba, di mana Senja dan Langit akan menggelar pernikahan mereka pada sebuah aula masjid tidak jauh dari tempat tinggal wanita itu. Suasana pun tidak terlalu ramai dan hanya sebentar saja.
Pernikahan digelar secara sederhana. Hanya dihadiri kedua orang tua mereka dan empat orang saksi saja. Meski demikian, semua berjalan dengan lancar. Keluarga Senja yang termasuk golongan orang biasa juga tidak mempermasalahkan hal itu. Melihat putri satu-satunya menikah saja mereka sudah bahagia. Begitupun Mami dan papinya Langit yang tidak kalah bahagianya.
"Setelah menikah, Senja akan tinggal bersama saya di apartemen." Lelaki yang bernama Langit itu berkata di hadapan kedua orang tua mereka usai acara ijab kabul dan sungkeman selesai.
"Terserah Nak Langit saja. Bapak sama Ibu tidak menghalangi." Safroni, Ayah Senja berkata dengan pelan dan sedikit gugup sambil menatap lembut ke arah kedua pembelai.
Binar bahagia tidak dapat terlukiskan di balik kedua bola mata pria tua itu. Meskipun awalnya kurang setuju karena dianggap terlalu terburu-buru, sedangkan mereka belum saling mengenal sebelumnya.
"Apa tidak sebaiknya tinggal di rumah Mami saja? Kami pasti senang ada Senja menemani. Iya, 'kan, Pap?" Lingga, Ibunda Langit berkata penuh harap. Wanita tua itu ingin mengenal sang menantu lebih dalam lagi.
Meskipun mereka tergolong kaya raya. Akan tetapi, tidak pernah mempermasalahkan dari golongan mana putranya harus mencari pendamping. Terpenting setia, Jujur, dan saling menyayangi.
"Iya, Langit. Kalau kamu kerja, Senja tidak akan kesepian bersama kami." Liam sang Ayah pun ikut berkomentar.
"Tidak, Mam, Pap. Kami sudah menikah dan ingin hidup mandiri. Jika rindu ingin bertemu, saya bisa mengajak Senja ke rumah kalian." Langit menolak keinginan orang tuanya dengan cukup tegas.
"Ya sudah kalau begitu keinginanmu, tapi janji, ya sering-sering ajak Senja ke rumah." Lingga kembali berkata dengan penuh harap.
Sebenarnya wanita tua itu sedikit keberatan dengan keputusan Langit. Namun, tidak bisa memaksa karena itu hak sang putra sebagai suaminya.
"Iya, Mam. Baiklah, kami pamit dulu. Ayo, Senja," pamit Langit sambil menuntun sebelah tangan Senja.
"Bapak, Ibu. Senja pamit, ya. Jaga diri kalian baik-baik. Aku janji akan sering menemui kalian. Ibu, jaga kesehatan, ya." Senja pun pamit kepada Safroni dan Suningsih sambil memeluk erat mereka. Kemudian pergi dengan berat hati bersama lelaki yang kini sudah sah menjadi suaminya.
Senja langsung dibawa ke apartemen milik lelaki itu. Tidak ada resepsi, apalagi bulan madu seperti kebanyakan pengantin baru. Langit memang tidak ingin tinggal di rumah orang tuanya karena itu bisa merusak rencana yang sudah ia susun dengan rapi.
"Ini kamarmu. Saya ada di kamar sebelah. Jika butuh apa saja, telepon di sudut sana. Nanti akan ada yang datang. Ingat, rahasiakan pernikahan ini dari siapa pun! Saya tidak ingin orang lain mengetahuinya. Paham! Langit berkata dengan sedikit penekanan.
"Oh iya, soal pengobatan ibu dan modal usaha ayahmu, akan saya siapkan besok. Anda tidak perlu khawatir, ibumu akan mendapatkan pengobatan terbaik. Semua keperluan Anda ada di dalam lemari itu. Sekarang, bersihkan tubuh Anda dan kenakan pakaian yang ada di lemari itu. Saya ke kamar dulu," lanjut Langit kemudian.
Setelah panjang lebar memberikan penjelasan, Langit pun langsung melangkah keluar kamar meninggalkan Senja. Sungguh pernikahan yang tidak pernah terbayangkan oleh Senja sebelumnya. Wanita itu benar-benar akan terjebak dalam permainan Langit.
"Akhirnya, aku harus menjalani pernikahan yang tidak pernah aku harapkan. Menikah dengan orang asing yang bahkan tidak sesuai impianku." Senja bermonolog. Ia benar-benar pasrah akan nasib hidupnya sekarang.
***
Pagi-pagi, Senja sudah bangun seperti biasa saat di rumah. Melaksanakan salat subuh dan menyiapkan sarapan. Meskipun pernikahan mereka hanya di atas kertas. Namun, kini ia telah menjadi seorang istri dan harus melakukan kewajibannya mengurus suami.Langit baru saja keluar dari kamar. Pria tampan itu sudah begitu rapi dengan mengenakan jas biru laut dipadukan dengan kemeja putih dan celana berwarna senada dengan jasnya. Ia terkejut ketika melihat Senja sudah duduk di ruang makan dengan mengenakan kaos berwarna putih dan celana pendek. Pakaian santai sederhana yang paling ia sukai.
Lelaki itu mendekati Senja yang sedang memangku wajah dengan kedua tangannya. Ia menghela napas pelan.
"Apa ini semua kau yang menyiapkannya?" tanya pemuda itu sambil duduk di hadapan Senja.
"Iya, Tuan." Senja berkata sambil mengangguk dan sedikit terperanjat.
Wanita itu bangkit dari kursi dan mengambil piring di hadapan Langit. Lalu, mengisinya dengan nasi goreng, telur ceplok, dan ayam goreng. Menyiapkannya untuk sang suami.
"Silakan di makan, Tuan." Perempuan itu berkata Kembali dengan lembut kemudian kembali ke tempat duduknya.
"Terima kasih. Kenapa harus repot memasak? Sudah saya bilang, bukan? Jika kau butuh sesuatu atau ingin makan, bisa telepon. Akan ada yang menyiapkan." Langit menatap dalam Senja dan berkata lembut, meski pelan. Namun, tetap terasa aura dinginnya. Pria itu sudah terbiasa dengan Art. Berbeda dengan Senja yang selalu menyiapkan semua sendiri.
"Saya sudah terbiasa menyiapkan sendiri. Maaf, jika Tuan kurang suka. Hanya ada itu di dalam lemari es." Senja berkata dengan sangat lembut sambil tertunduk.
Senja takut, tidak berani menatap lelaki di hadapannya. Meskipun sudah menjadi suaminya. Namun, tetap saja ia masih merasa asing dan canggung. Apalagi jika sudah ditatap dengan tatapan maut itu. Siapa pun tidak akan mampu membalasnya.
"Tidak apa. Ini cukup enak. Bisakah kau masakan saya ini lagi besok?" ucap Langit.
Lelaki itu mengambil satu sendok nasi goreng dan memasukan ke dalam mulutnya. Kemudian, memuji masakan Senja yang meski sederhana. Akan tetapi, begitu enak. Belum pernah ia memakan makanan selezat itu selain makanan restoran. Masakan Art pun tampak biasa saja bagi Langit.
"Syukurlah kalau Tuan menyukainya. Besok akan saya masakan lagi untuk Tuan," ucap Senja.
Wanita berparas cantik itu tersenyum sambil tertunduk. Lagi-lagi Senja berkata tanpa menatap Langit. Meski pria itu terus memandangnya. Hanya anggukan kecil yang terlihat jelas oleh Langit.
"Jangan menunduk saat bicara denganku. Kau juga makanlah. Temani saya." Pria itu berkata dengan pelan, tetapi cukup tegas dan membuat Senja sedikit tersentak.
Langit menghela napas kasar melihat kelakuan Senja yang tampak ketakutan padanya. Pria itu pun berusaha melembutkan nada bicaranya agar Senja tenang dan biasa saja.
"Tuan, apa nanti siang saya boleh keluar untuk kuliah?" tanya Senja dengan ragu sambil berusaha menatap Langit.
"Tentu saja. Nanti supir akan mengantarmu." Langit berkata sambil merapikan dasinya.
"Tidak usah, Tuan. Biar saya naik kendaraan umum saja," tolak Senja dengan sangat hati-hati sekali karena takut Langit akan marah padanya.
Langit menatap dalam Senja. "Bagaimana pun juga, kau sudah menjadi istriku. Meski tidak ada yang tahu akan hal ini, kecuali orang tua kita. Saya tidak akan membiarkan Anda pergi sendiri, walau pernikahan kita hanya di atas kertas."
"Tapi, Tuan ...."
"Kau tahu saya tidak suka di bantah!"
"Baik, Tuan."
Senja pun menyetujui perkataan Langit meski dengan berat hati. Wanita itu tidak ingin membuat Langit menjadi marah dan merusak paginya. Lalu, ia segera berangkat ke kantor. Meninggalkan Senja yang sedikit kesal. Namun, tidak bisa menolak.
Langit, pria dingin bermata setajam elang. Meskipun jarang berkata keras. Namun, tidak ada yang berani menolak perintahnya. Apalagi untuk tipikal gadis lugu dan lemah-lembut seperti Senja yang belum mengenal Langit. Sudah pasti canggung dan dag, dig, dug meski Langit berkata pelan sekalipun.
Senja melalui hari-hari seperti biasa, meski kini ia sudah menjadi istri seorang CEO yang sangat tersohor di antreo negeri. Namun, tetap saja itu hanya di atas kertas dan untuk sementara. Jika bukan karena demi menyelamatkan kedua orang tua, wanita cantik itu tidak akan pernah mau menikah apalagi dengan pria asing yang tidak dikenal sebelumnya. Meskipun terlihat dingin dan acuh. Namun, Langit memenuhi janjinya dengan memberikan kebebasan pada Senja untuk menjalankan hari-hari seperti biasa ia lakukan. Begitupun dengan Senja, ia tidak pernah mau mencampuri urusan Langit. Mau ke mana pun pria tersebut pergi dan melakukan apa saja. Malam ini, Langit pulang larut dalam keadaan mabuk berat. Usai ke bar bersama asisten pribadinya. Lelaki itu tampak berantakan sekali. Rambut dan pakaian sudah tidak tertata dengan rapi, ia pun tidak berhenti merancau. Senja membukakan pintu saat Langit tiba dipapah oleh Zack, asisten pribadinya. Dengan cepat Senja meraih tubuh Langit yang terkulai membantu
Zack menghela napas kasar. Pria berkulit hitam manis itu menatap ke arah Langit yang tampak bingung duduk di sampingnya. "Apa Bos lupa semalam ke mana?" tanya Zack mencoba membuat Langit mengingat peristiwa semalam. "Jangan membuat teka-teki. Saya tidak mengingat apa yang terjadi semalam sama sekali." Langit mulai kesal dengan pertanyaan Zack yang membuat kepalanya kembali berdenyut. "Semalam Bos ke bar dengan saya. Lalu, mabuk berat. Nyonya Senja membawa Bos ke kamar dan mengurus Anda. Setelah itu saya pulang dan tidak tahu apa yang terjadi," jelas Zack dengan wajah serius. "Ke bar? Mabuk?" Langit mencoba mengingat kejadian semalam sambil memegang kepalanya. "Saya ingat. Kita ke bar selepas pulang kerja. Saat itu, saya habis terima telepon dari Violeta. Lalu, saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya hanya merasa tubuh saya panas dan pusing. Kemudian, saya ... ah sial! Pasti karena itu Senja seperti ini sekarang." Langit kembali berkata sambil sedikit menggebrak meja. Membuat Zack t
Langit dan Senja berkata bersamaan. Keduanya terkejut dengan perkataan dokter itu. Terutama Senja yang sama sekali belum bisa menerima kenyataan dan melupakan kejadian satu bulan lalu. "Untuk memastikan, sebaiknya ke rumah sakit. Supaya diperiksa lebih lanjut." Dokter itu kembali berkata dengan wajah serius. "Baik, Dok." Langit mengangguk paham. Kemudian dokter pun pamit undur diri. "Tidak mungkin! Aku tidak mungkin hamil! Tidak mungkin!" Senja menggeleng sambil meremas kepalanya. Ia syok mendengar perkataan dokter tadi. Langit mendekat dan langsung meraih kedua tangan Senja. "Tenanglah. Kita ke dokter sekarang untuk mengetahui hasilnya." Langit berusaha menenangkan Senja, meski ia juga masih syok dengan perkataan sang dokter. Namun, tetap tenang agar tidak terbawa suasana. "Saya tidak mau. Tidak mau. Tidak mau!" Senja histeris dan menangis. Ia belum bisa menerima kenyataan jika ternyata dirinya benar-benar hamil. Bagai petir menyambar di siang bolong. "Senja, tenangkan dirimu
Pagi hari, Langit sudah tiba di Yogjakarta menggunakan mobil. Setelah istirahat sebentar di hotel, ia dan Zack pergi mencari Senja. Mengelilingi sepanjang jalan Malioboro, kemudian ke Sleman, Gunung kidul, Kulon Progo, sampai ke Bantul. Namun, belum berhasil menemukan Senja, meski belum semua di kelilingi. Namun, setidaknya setengah dari kota itu telah di lewati hingga larut malam."Sial! Ke mana perempuan itu? Saya sudah berkeliling mencarinya tapi tidak ketemu. Apa informasi yang diberikan Roni salah? Ahh, tapi tidak mungkin. Dia selalu berhasil menyelesaikan kasus seperti ini. Senja! Kau buat saya geram!" Langit meremas rambutnya dengan kasar. Ia kesal karena tidak juga menemukan Senja."Tenanglah, Bos. Nyonya Senja pasti ketemu." Zack yang mulai mencemaskan keadaan Langit pun berusaha menenangkan pria itu."Bagaimana saya bisa tenang? Kau tahu Zack, Senja tidak punya cukup uang untuk bertahan. Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya? Dia pergi membawa calon anakku. Saya tidak ingin
Setibanya di rumah sakit, Langit langsung membopong tubuh Senja dan membawanya ke IGD. Dengan tidak sabar ia mendobrak pintu ruangan itu dan berteriak memanggil petugas yang ada."Siapa pun, tolong istri saya!" teriak pemuda itu sambil mendekati perawat yang tengah terkejut dengan kedatangan Langit yang tergesa dan mendobrak pintu dengan cukup keras."Kenapa diam saja? Cepat tolong dia!" Langit yang panik sedikit membentak para perawat itu. Membuat mereka tersentak dan kembali ke alam sadar.Seorang perawat langsung mengambil brankar yang berada di dekat pintu masuk ruangan itu dan petugas lain membantu Langit merebahkan tubuh Senja. Wanita itu langsung di dorong menuju pintu masuk ruang pemeriksaan."Maaf, Tuan tidak bisa ikut masuk. Silakan tunggu di sini." Seorang perawat mencegah Langit yang ingin ikut masuk ke dalam."Tolong selamatkan istri dan calon anak saya." Pria itu meminta dengan penuh harap."Kami akan melakukan semaksimal mungkin untuk menyelamatkan istri dan calon anak T
Hari ke dua Senja di rawat di rumah sakit pasca kejadian malam itu. Kondisinya sudah mulai membaik. Suasana ruang sakit tampak sepi. Langit harus ke kantor pagi-pagi hingga tidak bisa menemani wanita itu.Senja bangkit dari ranjang dan duduk. Kemudian menghela napas sedikit kasar. Ia kembali berpikir untuk melarikan diri dari Langit."Langit tidak ada di sini. Sepertinya Zack pun tidak mengawasi. Situasi rumah sakit juga sepi. Sebaiknya, aku pergi dari sini sekarang. Aku tidak ingin kembali pada laki-laki itu." Senja mencabut paksa selang infus di tangannya. Ia sedikit meringis menahan sakit. Darah menetes dari punggung tangan, tetapi ia tidak peduli. Dengan cepat Senja turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu. Mengintip dari sela jendela. Memastikan situasi aman hingga ia bisa lari. Wanita itu berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit sambil sesekali memegang perutnya yang masih sedikit nyeri.Namun, langkahnya terhenti saat di rasa ada yang memeluknya dari belakang. Ia berus
Satu Minggu berlalu, Senja sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Langit memapah Senja dengan hati-hati dan membantu wanita itu merebahkan diri di kamar. Namun, bukan di tempat Senja biasa tidur. Melainkan di kamar Langit."Kenapa membawa saya ke kamarmu, Mas?" tanya Senja yang terkejut karena tidak di bawa ke kamarnya oleh Langit.Langit menghela napas kasar. "Mulai sekarang, kamu tidur di kamar ini bersama saya karena tidak baik suami istri tapi tidur terpisah." Pemuda itu berkata sambil mengusap kepala Senja yang terbaring."Saya ingin tidur di kamar saya saja. Saya ....""Tidak! Kau harus tidur di sini! Jangan membantah!" Langit berkata dengan penuh penegasan sambil menatap tajam ke arah Senja seolah mengintimidasi. Senja mendengkus kesal sambil menelan ludah. Lagi-lagi tidak bisa membantah perintah Langit."Istirahatlah, saya mau mandi. Jangan macam-macam. Atau saya akan menghukummu!" Lagi-lagi kalimat ancaman yang keluar dari mulut tajam Langit. Membuat Senja tidak bisa berkutik da
Langit tersentak. Ia meraih wajah Senja dan menangkupkannya. Menatap dua buah bola mata indah milik Senja yang tampak berkaca dan sedikit memerah."Maaf, maafkan saya Senja. Saya belum bisa melupakannya." Langit berkata dengan lembut sambil terus menatap Senja.Jleb. Hati Senja semakin sakit. Bagai tertusuk belati tajam. Dengan gamblangnya Langit mengatakan itu tanpa memikirkan sedikitpun perasaan Senja.Senja menghela napas kasar. Menelan pahit ludahnya. "Kalau kau masih mencintainya, kenapa tidak melepaskanku? Saya ikhlas kau bersamanya karena memang seharusnya dia yang mendampingimu, bukan saya." Senja berusaha kuat menahan sakit. Wanita itu berusaha berkata meski mulut terasa berat bersuara. "Saya memang masih mencintainya. Namun, Saya juga mencintaimu, Senja. Saya tidak bisa melepaskanmu." Langit kembali berkata meski pelan. Namun, kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut lelaki itu begitu tajam terasa menembus jantung."Kau egois, Mas. Bagaimana bisa kau mencintai saya, semen