Zack menghela napas kasar. Pria berkulit hitam manis itu menatap ke arah Langit yang tampak bingung duduk di sampingnya.
"Apa Bos lupa semalam ke mana?" tanya Zack mencoba membuat Langit mengingat peristiwa semalam."Jangan membuat teka-teki. Saya tidak mengingat apa yang terjadi semalam sama sekali." Langit mulai kesal dengan pertanyaan Zack yang membuat kepalanya kembali berdenyut."Semalam Bos ke bar dengan saya. Lalu, mabuk berat. Nyonya Senja membawa Bos ke kamar dan mengurus Anda. Setelah itu saya pulang dan tidak tahu apa yang terjadi," jelas Zack dengan wajah serius."Ke bar? Mabuk?" Langit mencoba mengingat kejadian semalam sambil memegang kepalanya."Saya ingat. Kita ke bar selepas pulang kerja. Saat itu, saya habis terima telepon dari Violeta. Lalu, saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya hanya merasa tubuh saya panas dan pusing. Kemudian, saya ... ah sial! Pasti karena itu Senja seperti ini sekarang." Langit kembali berkata sambil sedikit menggebrak meja. Membuat Zack terperanjat. Langit mulai mengingat kejadian semalam meski belum sepenuhnya."Tuan, ada apa?" Zack bertanya bingung."Saya telah melakukan kebodohan, meski saya tidak ingat betul kejadiannya. Saya telah melanggar janji saya pada Senja." Langit tampak menyesali yang terjadi semalam. Lelaki itu meremas rambutnya kasar sambil tertunduk."Kalau bukan karena saya mabuk. Senja tidak akan seperti ini." Langit kembali berkata dengan penuh penyesalan.Langit berdiri dengan sedikit terhuyung karena masih merasakan sakit di kepalanya. Kemudian, berjalan pelan ke arah kamar Senja. Zack tidak berani menghalangi, hanya memperhatikan dari sofa.Ketika sampai di kamar Senja. Langit melihat wanita itu hendak bangkit dari ranjang. Dengan cepat lelaki tersebut mendekati dan menahannya."Jangan bangun! Istirahatlah." Langit berkata sambil berusaha membaringkan tubuh wanita itu."Lepaskan saya, Tuan! Saya harus pergi dari sini!" Senja menepis kasar tangan Langit dan berusaha bangun."Kau mau ke mana? Istirahatlah, tubuhmu masih lemah." Langit kembali memegang kedua pundak Senja. Meminta wanita itu untuk merebahkan tubuhnya."Tuan tidak perlu mengkhawatirkan saya. Saya baik-baik saja. Tolong, biarkan saya pergi." Senja kembali menepis kedua tangan Langit dan berkata sedikit ketus."Tetap di sini, Senja. Saya akan merawatmu.""Tidak perlu, Tuan. Saya bisa merawat diri sendiri."Rasa sakit kembali menyerang Senja. Menusuk hingga ke relung hati terdalam wanita itu. Saat Langit menyentuh pundaknya. Senja merasa tidak sudi disentuh oleh lelaki yang baru beberapa hari ia nikahi dan menodainya semalam.Senja kukuh ingin pergi meski Langit terus mencekalnya. Ia sudah tidak ingin tinggal di tempat itu lagi. Hatinya begitu sakit dan hancur. Senja ingin sekali mengakhiri hidup agar tidak melihat dan bertemu dengan Langit kembali."Kau masih istriku. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya. Maafkan saya, Senja." Langit berkata selembut mungkin agar Senja tidak semakin emosi. Ia paham, saat ini wanita itu sedang marah."Pernikahan kita hanya di atas kertas. Saya sudah memutuskan untuk mengakhirinya. Soal uang yang sudah Tuan berikan. Tenang saja, sisanya akan saya lunasi dengan mencicil. Sekarang, biarkan saya pergi." Kembali Senja berkata. Wajahnya begitu serius. Meskipun berbicara lembut. Namun, cukup membuat Langit kesal.Senja tidak lagi merasa takut dengan Langit. Justru yang ada dalam benaknya kini adalah kebencian terhadap pria tampan bermata elang yang telah menodainya semalam. Tidak peduli meski kini lelaki tersebut adalah suami sahnya."Saya tidak butuh uangmu. Tetaplah di sini. Jangan pernah pergi. Saya akan mempertanggung jawabkan apa yang sudah saya lakukan padamu." Langit menolak tawaran Senja.Lelaki itu terus membujuk Senja untuk tetap tinggal. Bahkan cekalan di kedua pundak wanita tersebut pun enggan ia lepaskan, meski Senja terus berusaha menepisnya."Tuan tidak perlu bertanggung jawab apa pun. Saya juga tidak akan menuntut apa pun dari Tuan. Tolong biarkan saya pergi." Senja berkata ketus dan masih bersikukuh dengan keinginannya.Ucapan Langit bukan menenangkannya, tetapi justru semakin menyulut emosi Senja. Membuat wanita itu semakin kukuh untuk pergi. Senja ingin membawa luka hati dan mengobatinya sendiri."Saya tidak akan mengizinkanmu pergi. Kalau terjadi sesuatu denganmu bagaimana? Kalau kau hamil bagaimana?""Tuan tidak perlu khawatirkan itu semua. Saya baik-baik saja. Jika saya hamil, maka saya akan merawat bayi ini tanpa menuntut Tuan.""Kau pikir Saya akan biarkan Anda melakukannya sendiri?""Sudahlah, Tuan. Saya tidak ingin berdebat dengan Anda.""Saya memintamu tetap di sini! Saya tidak akan membiarkan Anda jalani semua sendiri.""Tuan, saya ....""Jangan keras kepala, Nona Senja! Atau saya akan mengurung Anda di sini!"Langit mengancam Senja. Lelaki itu terpaksa melakukannya untuk membuat Senja tetap tinggal. Langit tidak ingin sesuatu terjadi pada Senja dan bisa membahayakan nyawa wanita itu seperti tadi saat ia menemukannya di kamar mandi.Pria itu sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya. Langit kesal karena Senja tetap bersikeras untuk pergi meski ia telah mengancam dengan penuh penekanan. Senja yang emosi tidak perduli lagi dengan gertakan Langit. Perbuatan sang suami padanya semalam telah menorehkan luka dalam yang sulit untuk terobati."Saya akan mengawasimu.! Jika berani melarikan diri, akan saya patahkan kedua kakimu! ucap Langit.Kembali Langit memaksa dan mengancam Senja. Pria itu mulai menunjukkan sikap dingin dan kejamnya. Meski hanya ancaman. Namun, cukup membuat Senja patuh. Langit memang bukan tipe orang yang mudah dikalahkan dan ditaklukan apalagi terhadap wanita. Justru malah para wanita itulah yang takluk dan bertekuk lutut di hadapannya."Tidurlah. Saya akan menjagamu."Langit memaksa Senja membaringkan tubuhnya di ranjang. Kemudian, ia menyelimuti tubuh Senja hingga ke dada. Perlahan, wanita itu mulai terlelap karena lelah.Langit menatap wajah Senja yang tampak sayu. Kedua mata wanita tersebut terlihat bengkak karena menangis semalaman. Pria itu mengusap lembut wajah Senja sambil merapikan rambut sang perempuan yang sedikit berantakan dengan gemetar."Maafkan saya, Senja. Saya akan mempertanggung jawabkan semuanya." Pria itu bergumam dalam hati.Kemudian bangkit dan melangkah keluar kamar. Menemui Zack kembali yang masih sibuk dengan ponselnya."Zack. Kau urus semua berkas pernikahan saya dengan Senja."Langit memberikan perintah kepada asisten pribadinya itu. Zack mengangguk paham dan langsung berdiri. Kemudian pamit undur diri tanpa banyak bicara.Pria itu tampak memijit pelipisnya. Rasa pusing di kepala kembali menyerang. Langit tidak menyangka semua rencana yang awalnya tersusun rapi dan berjalan mulus, kini menjadi berantakan."Ini semua karena kau, Violeta! Tunggu saja, saya akan membalasmu!" Kedua tangan Langit mengepal. Ia begitu menyesali kejadian semalam yang telah menghancurkan semua rencananya.Satu bulan berlalu. Sejak peristiwa malam itu, Senja lebih banyak diam. Ia malas berbicara dengan laki-laki yang telah menodainya. Sementara Langit, selalu berusaha untuk terus berkomunikasi dengan Senja, meski sulit.Usai menyiapkan sarapan. Senja hendak melangkah menuju kamar. Namun, Langit mencegahnya. Lelaki itu dengan cepat meraih sebelah tangan Senja."Duduk dan sarapan bersamaku!" titah Langit sambil menatap tajam ke arah Senja. Wanita itu mendengkus kesal dan terpaksa mengikuti keinginan lelaki tersebut.Langit menghela napas kasar. Ia mengambil piring di hadapan Senja dan mengisinya dengan nasi goreng, telur ceplok, dan ayam goreng. Kemudian menyerahkan kepada Senja."Makanlah. Atau saya akan menyuapimu."Langit masih menatap Senja tajam. Ia meminta kepada wanita itu dengan sedikit mengancam. Lagi-lagi Senja tidak bersuara. Wanita itu menyedok nasi dan memasukan ke dalam mulutnya.Namun, saat ia hendak menelannya. Perut Senja terasa mual. Wanita itu pun segera berlari ke wastafel dan memuntahkan isi perut. Langit mengikutinya dan membantu Senja."Kau kenapa? Sakit?" tanya pria itu dengan panik."Saya tidak apa-apa. Permisi, saya mau ke kamar." Senja menyeka cepat mulutnya. Kemudian hendak melangkah ke kamar."Saya antar," ucap Langit sambil memapah Senja."Tidak perlu, Tuan. Saya ...."Tanpa banyak bicara, Langit langsung membopong tubuh Senja dan membawanya ke kamar. Kemudian merebahkan tubuh wanita itu dengan perlahan. Senja hanya bisa pasrah dengan perlakuan Langit.Pria itu tampak menelepon seseorang. Kemudian, tidak lama datang dan mulai memeriksa keadaan Senja. Langit mendekat setelah pria tua itu selesai menjalankan tugas."Bagaimana keadaannya?" tanya Langit dengan tidak sabar."Sebaiknya bawa Nyonya Senja ke dokter kandungan. Sepertinya Beliau mengandung," jelas pria itu sambil menepuk pelan pundak Langit."Apa?"Langit dan Senja berkata bersamaan. Keduanya terkejut dengan perkataan dokter itu. Terutama Senja yang sama sekali belum bisa menerima kenyataan dan melupakan kejadian satu bulan lalu. "Untuk memastikan, sebaiknya ke rumah sakit. Supaya diperiksa lebih lanjut." Dokter itu kembali berkata dengan wajah serius. "Baik, Dok." Langit mengangguk paham. Kemudian dokter pun pamit undur diri. "Tidak mungkin! Aku tidak mungkin hamil! Tidak mungkin!" Senja menggeleng sambil meremas kepalanya. Ia syok mendengar perkataan dokter tadi. Langit mendekat dan langsung meraih kedua tangan Senja. "Tenanglah. Kita ke dokter sekarang untuk mengetahui hasilnya." Langit berusaha menenangkan Senja, meski ia juga masih syok dengan perkataan sang dokter. Namun, tetap tenang agar tidak terbawa suasana. "Saya tidak mau. Tidak mau. Tidak mau!" Senja histeris dan menangis. Ia belum bisa menerima kenyataan jika ternyata dirinya benar-benar hamil. Bagai petir menyambar di siang bolong. "Senja, tenangkan dirimu
Pagi hari, Langit sudah tiba di Yogjakarta menggunakan mobil. Setelah istirahat sebentar di hotel, ia dan Zack pergi mencari Senja. Mengelilingi sepanjang jalan Malioboro, kemudian ke Sleman, Gunung kidul, Kulon Progo, sampai ke Bantul. Namun, belum berhasil menemukan Senja, meski belum semua di kelilingi. Namun, setidaknya setengah dari kota itu telah di lewati hingga larut malam."Sial! Ke mana perempuan itu? Saya sudah berkeliling mencarinya tapi tidak ketemu. Apa informasi yang diberikan Roni salah? Ahh, tapi tidak mungkin. Dia selalu berhasil menyelesaikan kasus seperti ini. Senja! Kau buat saya geram!" Langit meremas rambutnya dengan kasar. Ia kesal karena tidak juga menemukan Senja."Tenanglah, Bos. Nyonya Senja pasti ketemu." Zack yang mulai mencemaskan keadaan Langit pun berusaha menenangkan pria itu."Bagaimana saya bisa tenang? Kau tahu Zack, Senja tidak punya cukup uang untuk bertahan. Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya? Dia pergi membawa calon anakku. Saya tidak ingin
Setibanya di rumah sakit, Langit langsung membopong tubuh Senja dan membawanya ke IGD. Dengan tidak sabar ia mendobrak pintu ruangan itu dan berteriak memanggil petugas yang ada."Siapa pun, tolong istri saya!" teriak pemuda itu sambil mendekati perawat yang tengah terkejut dengan kedatangan Langit yang tergesa dan mendobrak pintu dengan cukup keras."Kenapa diam saja? Cepat tolong dia!" Langit yang panik sedikit membentak para perawat itu. Membuat mereka tersentak dan kembali ke alam sadar.Seorang perawat langsung mengambil brankar yang berada di dekat pintu masuk ruangan itu dan petugas lain membantu Langit merebahkan tubuh Senja. Wanita itu langsung di dorong menuju pintu masuk ruang pemeriksaan."Maaf, Tuan tidak bisa ikut masuk. Silakan tunggu di sini." Seorang perawat mencegah Langit yang ingin ikut masuk ke dalam."Tolong selamatkan istri dan calon anak saya." Pria itu meminta dengan penuh harap."Kami akan melakukan semaksimal mungkin untuk menyelamatkan istri dan calon anak T
Hari ke dua Senja di rawat di rumah sakit pasca kejadian malam itu. Kondisinya sudah mulai membaik. Suasana ruang sakit tampak sepi. Langit harus ke kantor pagi-pagi hingga tidak bisa menemani wanita itu.Senja bangkit dari ranjang dan duduk. Kemudian menghela napas sedikit kasar. Ia kembali berpikir untuk melarikan diri dari Langit."Langit tidak ada di sini. Sepertinya Zack pun tidak mengawasi. Situasi rumah sakit juga sepi. Sebaiknya, aku pergi dari sini sekarang. Aku tidak ingin kembali pada laki-laki itu." Senja mencabut paksa selang infus di tangannya. Ia sedikit meringis menahan sakit. Darah menetes dari punggung tangan, tetapi ia tidak peduli. Dengan cepat Senja turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu. Mengintip dari sela jendela. Memastikan situasi aman hingga ia bisa lari. Wanita itu berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit sambil sesekali memegang perutnya yang masih sedikit nyeri.Namun, langkahnya terhenti saat di rasa ada yang memeluknya dari belakang. Ia berus
Satu Minggu berlalu, Senja sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Langit memapah Senja dengan hati-hati dan membantu wanita itu merebahkan diri di kamar. Namun, bukan di tempat Senja biasa tidur. Melainkan di kamar Langit."Kenapa membawa saya ke kamarmu, Mas?" tanya Senja yang terkejut karena tidak di bawa ke kamarnya oleh Langit.Langit menghela napas kasar. "Mulai sekarang, kamu tidur di kamar ini bersama saya karena tidak baik suami istri tapi tidur terpisah." Pemuda itu berkata sambil mengusap kepala Senja yang terbaring."Saya ingin tidur di kamar saya saja. Saya ....""Tidak! Kau harus tidur di sini! Jangan membantah!" Langit berkata dengan penuh penegasan sambil menatap tajam ke arah Senja seolah mengintimidasi. Senja mendengkus kesal sambil menelan ludah. Lagi-lagi tidak bisa membantah perintah Langit."Istirahatlah, saya mau mandi. Jangan macam-macam. Atau saya akan menghukummu!" Lagi-lagi kalimat ancaman yang keluar dari mulut tajam Langit. Membuat Senja tidak bisa berkutik da
Langit tersentak. Ia meraih wajah Senja dan menangkupkannya. Menatap dua buah bola mata indah milik Senja yang tampak berkaca dan sedikit memerah."Maaf, maafkan saya Senja. Saya belum bisa melupakannya." Langit berkata dengan lembut sambil terus menatap Senja.Jleb. Hati Senja semakin sakit. Bagai tertusuk belati tajam. Dengan gamblangnya Langit mengatakan itu tanpa memikirkan sedikitpun perasaan Senja.Senja menghela napas kasar. Menelan pahit ludahnya. "Kalau kau masih mencintainya, kenapa tidak melepaskanku? Saya ikhlas kau bersamanya karena memang seharusnya dia yang mendampingimu, bukan saya." Senja berusaha kuat menahan sakit. Wanita itu berusaha berkata meski mulut terasa berat bersuara. "Saya memang masih mencintainya. Namun, Saya juga mencintaimu, Senja. Saya tidak bisa melepaskanmu." Langit kembali berkata meski pelan. Namun, kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut lelaki itu begitu tajam terasa menembus jantung."Kau egois, Mas. Bagaimana bisa kau mencintai saya, semen
Pagi-pagi sekali Langit sudah bersiap ke kantor. Ia sengaja pergi karena semalam tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pria itu tidak terbiasa dengan kehidupan yang Senja rasakan. Meski tempatnya bersih. Akan tetapi, terlalu kecil untuk seorang Langit.Pria itu pun beralasan ada pekerjaan pagi supaya bisa cepat pergi dari sana dan tidak menyinggung perasaan sang mertua. Setibanya di kantor, Langit langsung merebahkan tubuh pada sofa di ruangan tempat ia bekerja. Begitu nyenyak Langit tertidur sampai tidak mengetahui kedatangan Zack.Pria manis bertubuh tinggi itu menggelengkan kepala melihat Langit yang tertidur pulas seperti itu. Ia pun mendekat dan berusaha membangunkan dengan menggoyang-goyangkan pelan tubuh lelaki itu."Bos, Bos. Bangunlah. Ini sudah pagi. Apa kau tidak ingin bekerja?" Zack berkata dengan pelan takut membuat Langit terkejut.Pria itu membuka mata perlahan dan sedikit terkejut melihat Zack yang sudah duduk di sampingnya. "Zack! Sejak kapan kau datang?" Langit berkata cu
Langit terpaksa menjemput dan membawa Senja pulang. Sudah satu minggu wanita itu berada di rumah orang tuanya. Namun, tidak sekalipun mengabari Langit untuk dijemput. Senja kesal, tetapi dia tidak bisa menolak. Perempuan tersebut paham sekali sifat sang suami yang suka semaunya dan sulit dibantah."Mau menguji kesabaran saya?" Langit berkata kesal karena Senja sempat menolak diajak pulang. Bahkan kini ia merajuk.Senja bergeming. Bahkan enggan menatap Langit meski wajah pria itu sangatlah tampan. Langit bertambah kesal. Ia meraih wajah Senja dan memaksa untuk menatapnya."Kenapa selalu memalingkan wajah saat saya berbicara denganmu?" geram Langit sambil sedikit mencengkeram wajah Senja. Namun, wanita itu tetap diam. Hanya embusan napas bergemuruh terdengar."Senja! Bisakah kau hargai saya sebagai suamimu?" Langit semakin emosi. Ia menaikan nada bicaranya. Membuat Senja sedikit tersentak.Senja menelan ludahnya. Wanita itu menatap Langit tajam. "Kenapa memaksaku untuk pulang? Saya masi