Share

Bab 4 Mulai Ingat

Zack menghela napas kasar. Pria berkulit hitam manis itu menatap ke arah Langit yang tampak bingung duduk di sampingnya.

"Apa Bos lupa semalam ke mana?" tanya Zack mencoba membuat Langit mengingat peristiwa semalam.

"Jangan membuat teka-teki. Saya tidak mengingat apa yang terjadi semalam sama sekali." Langit mulai kesal dengan pertanyaan Zack yang membuat kepalanya kembali berdenyut.

"Semalam Bos ke bar dengan saya. Lalu, mabuk berat. Nyonya Senja membawa Bos ke kamar dan mengurus Anda. Setelah itu saya pulang dan tidak tahu apa yang terjadi," jelas Zack dengan wajah serius.

"Ke bar? Mabuk?" Langit mencoba mengingat kejadian semalam sambil memegang kepalanya.

"Saya ingat. Kita ke bar selepas pulang kerja. Saat itu, saya habis terima telepon dari Violeta. Lalu, saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya hanya merasa tubuh saya panas dan pusing. Kemudian, saya ... ah sial! Pasti karena itu Senja seperti ini sekarang." Langit kembali berkata sambil sedikit menggebrak meja. Membuat Zack terperanjat. Langit mulai mengingat kejadian semalam meski belum sepenuhnya.

"Tuan, ada apa?" Zack bertanya bingung.

"Saya telah melakukan kebodohan, meski saya tidak ingat betul kejadiannya. Saya telah melanggar janji saya pada Senja." Langit tampak menyesali yang terjadi semalam. Lelaki itu meremas rambutnya kasar sambil tertunduk.

"Kalau bukan karena saya mabuk. Senja tidak akan seperti ini." Langit kembali berkata dengan penuh penyesalan.

Langit berdiri dengan sedikit terhuyung karena masih merasakan sakit di kepalanya. Kemudian, berjalan pelan ke arah kamar Senja. Zack tidak berani menghalangi, hanya memperhatikan dari sofa.

Ketika sampai di kamar Senja. Langit melihat wanita itu hendak bangkit dari ranjang. Dengan cepat lelaki tersebut mendekati dan menahannya.

"Jangan bangun! Istirahatlah." Langit berkata sambil berusaha membaringkan tubuh wanita itu.

"Lepaskan saya, Tuan! Saya harus pergi dari sini!" Senja menepis kasar tangan Langit dan berusaha bangun.

"Kau mau ke mana? Istirahatlah, tubuhmu masih lemah." Langit kembali memegang kedua pundak Senja. Meminta wanita itu untuk merebahkan tubuhnya.

"Tuan tidak perlu mengkhawatirkan saya. Saya baik-baik saja. Tolong, biarkan saya pergi." Senja kembali menepis kedua tangan Langit dan berkata sedikit ketus.

"Tetap di sini, Senja. Saya akan merawatmu."

"Tidak perlu, Tuan. Saya bisa merawat diri sendiri."

Rasa sakit kembali menyerang Senja. Menusuk hingga ke relung hati terdalam wanita itu. Saat Langit menyentuh pundaknya. Senja merasa tidak sudi disentuh oleh lelaki yang baru beberapa hari ia nikahi dan menodainya semalam.

Senja kukuh ingin pergi meski Langit terus mencekalnya. Ia sudah tidak ingin tinggal di tempat itu lagi. Hatinya begitu sakit dan hancur. Senja ingin sekali mengakhiri hidup agar tidak melihat dan bertemu dengan Langit kembali.

"Kau masih istriku. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya. Maafkan saya, Senja." Langit berkata selembut mungkin agar Senja tidak semakin emosi. Ia paham, saat ini wanita itu sedang marah.

"Pernikahan kita hanya di atas kertas. Saya sudah memutuskan untuk mengakhirinya. Soal uang yang sudah Tuan berikan. Tenang saja, sisanya akan saya lunasi dengan mencicil. Sekarang, biarkan saya pergi." Kembali Senja berkata. Wajahnya begitu serius. Meskipun berbicara lembut. Namun, cukup membuat Langit kesal.

Senja tidak lagi merasa takut dengan Langit. Justru yang ada dalam benaknya kini adalah kebencian terhadap pria tampan bermata elang yang telah menodainya semalam. Tidak peduli meski kini lelaki tersebut adalah suami sahnya.

"Saya tidak butuh uangmu. Tetaplah di sini. Jangan pernah pergi. Saya akan mempertanggung jawabkan apa yang sudah saya lakukan padamu." Langit menolak tawaran Senja.

Lelaki itu terus membujuk Senja untuk tetap tinggal. Bahkan cekalan di kedua pundak wanita tersebut pun enggan ia lepaskan, meski Senja terus berusaha menepisnya.

"Tuan tidak perlu bertanggung jawab apa pun. Saya juga tidak akan menuntut apa pun dari Tuan. Tolong biarkan saya pergi." Senja berkata ketus dan masih bersikukuh dengan keinginannya.

Ucapan Langit bukan menenangkannya, tetapi justru semakin menyulut emosi Senja. Membuat wanita itu semakin kukuh untuk pergi. Senja ingin membawa luka hati dan mengobatinya sendiri.

"Saya tidak akan mengizinkanmu pergi. Kalau terjadi sesuatu denganmu bagaimana? Kalau kau hamil bagaimana?"

"Tuan tidak perlu khawatirkan itu semua. Saya baik-baik saja. Jika saya hamil, maka saya akan merawat bayi ini tanpa menuntut Tuan."

"Kau pikir Saya akan biarkan Anda melakukannya sendiri?"

"Sudahlah, Tuan. Saya tidak ingin berdebat dengan Anda."

"Saya memintamu tetap di sini! Saya tidak akan membiarkan Anda jalani semua sendiri."

"Tuan, saya ...."

"Jangan keras kepala, Nona Senja! Atau saya akan mengurung Anda di sini!"

Langit mengancam Senja. Lelaki itu terpaksa melakukannya untuk membuat Senja tetap tinggal. Langit tidak ingin sesuatu terjadi pada Senja dan bisa membahayakan nyawa wanita itu seperti tadi saat ia menemukannya di kamar mandi.

Pria itu sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya. Langit kesal karena Senja tetap bersikeras untuk pergi meski ia telah mengancam dengan penuh penekanan. Senja yang emosi tidak perduli lagi dengan gertakan Langit. Perbuatan sang suami padanya semalam telah menorehkan luka dalam yang sulit untuk terobati.

"Saya akan mengawasimu.! Jika berani melarikan diri, akan saya patahkan kedua kakimu! ucap Langit.

Kembali Langit memaksa dan mengancam Senja. Pria itu mulai menunjukkan sikap dingin dan kejamnya. Meski hanya ancaman. Namun, cukup membuat Senja patuh. Langit memang bukan tipe orang yang mudah dikalahkan dan ditaklukan apalagi terhadap wanita. Justru malah para wanita itulah yang takluk dan bertekuk lutut di hadapannya.

"Tidurlah. Saya akan menjagamu."

Langit memaksa Senja membaringkan tubuhnya di ranjang. Kemudian, ia menyelimuti tubuh Senja hingga ke dada. Perlahan, wanita itu mulai terlelap karena lelah.

Langit menatap wajah Senja yang tampak sayu. Kedua mata wanita tersebut terlihat bengkak karena menangis semalaman. Pria itu mengusap lembut wajah Senja sambil merapikan rambut sang perempuan yang sedikit berantakan dengan gemetar.

"Maafkan saya, Senja. Saya akan mempertanggung jawabkan semuanya." Pria itu bergumam dalam hati.

Kemudian bangkit dan melangkah keluar kamar. Menemui Zack kembali yang masih sibuk dengan ponselnya.

"Zack. Kau urus semua berkas pernikahan saya dengan Senja."

Langit memberikan perintah kepada asisten pribadinya itu. Zack mengangguk paham dan langsung berdiri. Kemudian pamit undur diri tanpa banyak bicara.

Pria itu tampak memijit pelipisnya. Rasa pusing di kepala kembali menyerang. Langit tidak menyangka semua rencana yang awalnya tersusun rapi dan berjalan mulus, kini menjadi berantakan.

"Ini semua karena kau, Violeta! Tunggu saja, saya akan membalasmu!" Kedua tangan Langit mengepal. Ia begitu menyesali kejadian semalam yang telah menghancurkan semua rencananya.

Satu bulan berlalu. Sejak peristiwa malam itu, Senja lebih banyak diam. Ia malas berbicara dengan laki-laki yang telah menodainya. Sementara Langit, selalu berusaha untuk terus berkomunikasi dengan Senja, meski sulit.

Usai menyiapkan sarapan. Senja hendak melangkah menuju kamar. Namun, Langit mencegahnya. Lelaki itu dengan cepat meraih sebelah tangan Senja.

"Duduk dan sarapan bersamaku!" titah Langit sambil menatap tajam ke arah Senja. Wanita itu mendengkus kesal dan terpaksa mengikuti keinginan lelaki tersebut.

Langit menghela napas kasar. Ia mengambil piring di hadapan Senja dan mengisinya dengan nasi goreng, telur ceplok, dan ayam goreng. Kemudian menyerahkan kepada Senja.

"Makanlah. Atau saya akan menyuapimu."

Langit masih menatap Senja tajam. Ia meminta kepada wanita itu dengan sedikit mengancam. Lagi-lagi Senja tidak bersuara. Wanita itu menyedok nasi dan memasukan ke dalam mulutnya.

Namun, saat ia hendak menelannya. Perut Senja terasa mual. Wanita itu pun segera berlari ke wastafel dan memuntahkan isi perut. Langit mengikutinya dan membantu Senja.

"Kau kenapa? Sakit?" tanya pria itu dengan panik.

"Saya tidak apa-apa. Permisi, saya mau ke kamar." Senja menyeka cepat mulutnya. Kemudian hendak melangkah ke kamar.

"Saya antar," ucap Langit sambil memapah Senja.

"Tidak perlu, Tuan. Saya ...."

Tanpa banyak bicara, Langit langsung membopong tubuh Senja dan membawanya ke kamar. Kemudian merebahkan tubuh wanita itu dengan perlahan. Senja hanya bisa pasrah dengan perlakuan Langit.

Pria itu tampak menelepon seseorang. Kemudian, tidak lama datang dan mulai memeriksa keadaan Senja. Langit mendekat setelah pria tua itu selesai menjalankan tugas.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Langit dengan tidak sabar.

"Sebaiknya bawa Nyonya Senja ke dokter kandungan. Sepertinya Beliau mengandung," jelas pria itu sambil menepuk pelan pundak Langit.

"Apa?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status