Maryam pun berpikir. Dia harus melakukan sesuatu untuk melawan ayahnya itu. Bukan sesuatu yang durhaka, tapi dia ingin agar ayahnya mengerti bahwa dia juga perlu kebebasan untuk memilih dan menentukan sesuatu selama itu tidak melanggar ajaran agama yang dia anut. Maryam benar-benar ingin kembali pada kampus lamanya. Dia tidak sudah di kampus yang barunya. Maryam pun mengurung diri di kamarnya seharian. Dia bolos kuliah dan melewatkan makan siang dan makan malam. Ayah dan Ibunya heran. Ayahnya langsung mengetuk pintu kamar anak gadisnya itu.
“Maryam, buka pintunya, kau akan sakit jika terus-terusan mengurung diri di kamar!” teriak ayahnya. Ibunya menangis di dekat ayanya.
“Keluar lah, Maryam? Ada apa denganmu?” tanya ibunya sambil teriak.
“Aku ingin pindah ke kampus lamaku, ayah!” teriak Maryam di dalam kamar, “aku tak mau kuliah di kampus yang baru. Aku tak akan keluar kamar jika ayah tak mau mengembalikan aku ke kampus
David bangkit dari kursinya, melirik ke Maryam dengan gugup. Memastikan bahwa di dekatnya ada tempat kosong untuk dia duduki. Namun secepat kilat bangku-bangku yang kosong sudah terisi di dekat gadis itu. Ia pun kembali duduk di tempatnya semula. Dia seperti mendapatkan seteguk air setelah dahaga berkepanjangan saat melihat gadis berkerudung itu datang lagi ke kampusnya. Seteguk air dingin yang segar yang mengobati rasa rindunya pada perempuan berkerudung itu. Rasa senang yang menjalari tubuhnya kembali membuatnya semangat untuk belajar di kampusnya itu.Di bangkunya, Maryam tak bisa lagi meredam gejolak di dalam hatinya. Ia ingin sekali langsung bertegur sapa dengan lelaki yang dirinduinya itu. Namun dia mencoba menahannya. Ia sadar akan tatapan benci di sekelilingnya. Tapi keberadaan David segera membuatnya tenang. Ia melirik sekilas ke sisi kirinya dan segera mendapati wajah David yang membalas tatapannya. Maryam segera mengalihkan pandangannya dan berpura-pura sibuk denga
David mendekat ke Maryam yang masih tersenyum itu. Awalnya hanya seulas senyuman tipis. Lalu melabar, menampakkan giginya yang putih dan berderet rapi. Lesung pipi yang dalam tercipta di kedua pipinya. Membuat David salah tingkah.“Kau cantik sekali,” gumam David.Maryam terkejut, tapi berpura-pura tidak mendengar itu.“Aku mengkhawatirkanmu,” David berkata lagi,“teman-temanku, kau tahu?”Maryam mengangguk-anggukkan kepala. Tiba-tiba saja ia melihat gelagat David yang seperti ingin memeluknya. Maryam mundur selangkah.“Jika kau memelukku, maka butuh waktu empat puluh tahun bagi Tuhanku untuk mengampuniku,” Maryam berkata panik, “biarkan kita hanya sedekat ini. Hanya sebatas ini,” ucap Maryam gelagapan.“Jangan khawatir. Aku hanya ingin berbicara padamu,” David mencoba menenangkan Maryam.Maryam terdiam.”Aku… aku merindukanmu.” Agak gugup
"Kau mau kuantar pulang?" tawar David pada Maryam.Maryam terdiam, menunduk lalu mengangkat wajahnya, “Kamu adalah kali pertamanya yang membuat aku mau berdiri berdekatan dengan anak laki-laki,” ucapnya. “Dan sebenarnya aku tidak terbiasa dengan interaksi yang seperti itu. Tapi kau berbeda, David. Kau sangat berbeda dengan teman-teman Amerika-mu.”David menatap Maryam, tak mengerti sepenuhnya apa yang ingin dikatakan Maryam padanya.Maryam tersenyum lembut. “Baiklah, aku mau duduk di belakangmu, tapi jangan kencang-kencang, ya!"David membalas senyum Maryam. Ia mengayuh sepedanya pelan. Tak ada yang lebih membahagiakan dari waktu yang telah ia lewatkan sore itu bersama Maryam."Kau tidak ingin bercerita tentang Dubai padaku? " tanya David sambil mengayuh. “Bagaimana remaja-remaja di sana? Apa mereka semua seperti kau?” David memberi penekanan pada kalimatnya saat mengucapkan “seperti kau”.
"Jadi itu yang membuatmu ingin kembali ke kampus Amerika itu?” kalimat itu menyambut kepulangan Maryam. Maryam terlambat menghindari ayahnya. “Semuanya karena anak Amerika itu, kan? Ayah sudah tahu semuanya!" ucap ayahnya dengan suara keras yang bernada penuh kemarahan.Maryam gemetar ketakutan. Ia masih ingat bagaimana nasib Asiyah, almarhumah kakak perempuannya. Ketika ayahnya mengetahui kakak perempuannya itu berciuman dengan kekasihnya, seorang pemuda asal Pakistan, Asiyah menerima pukulan yang keras di wajah dan tubuhnya. Tekanan dari ayahnya membuat Asiyah stress dan memutuskan untuk bunuh diri.Maryam sudah siap dengan pukulan seperti yang pernah diterima Asiyah. Tapi kemudian ia melihat ayahnya tiba-tiba menangis. Maryam menunduk, tak tahu harus berbuat apa. Dia merasa sangat bersalah."Maryam, apa yang akan ayah katakan pada Allah ketika ayah ditanyai di pengadilan terbesarnya nanti? Aku yang lemah ini tak mampu mengurusmu dan menjagamu dari
David mondar-mandir di lapangan basket yang sedang kosong. Sesekali ia berdiri, duduk, berjalan mondar-mandir lagi, duduk lagi, lalu berdiri lagi mematung. Setelah bel masuk berbunyi, ia memukul tiang ring basket hingga tangannya kesakitan karena Maryam tak memenuhi undangannya saat itu. David berlari ke kelas, ia kesal pada Maryam yang tidak menemuinya. Namun setelah Mrs. Violen masuk untuk mengajar, dan ia tak menemukan Maryam di kelas, David merasa ada yang tidak beres. David keluar mencari Maryam ke seantero sekolah. Ia gelisah dan bertanya-tanya ke mana perginya Maryam? Ia tak menemukan Maryam di mana pun. Dengan putus asa dan harapan yang tipis, David menuju atap gedung sekolah. Meski kecil kemungkinan Maryam berada di sana. Dan ternyata dugaannya benar. Maryam memang berada di sana. Gadis itu sedang berdiri menghadap hamparan kota Washington dengan kerudung berkibar diembus angin."Maryam," panggil David lembut. Dia memang kecewa karena Maryam tidak menemuinya di lapan
David menyirami bunga-bunga di halaman belakang gereja. Jardon datang dengan bola basket di tangan, lengkap dengan kostum basketnya. Sambil memeluk bola basket di bawah ketiaknya, ia menyapa David."Pagi, Dave? Masih ingat kapan terakhir kali kita bermain?" Jardon mengangkat bola basket lalu memutar bola itu di ujung jarinya."Aku sedang tidak berselera. Kau ajak saja yang lain," jawabnya acuh."Ayolah, akhir-akhir ini aku melihat kau banyak melamun, diam, sedih dan serius. Come on, don’t act like a baby," ejek Jardon. “Jangan bilang, kalau kau patah hati.” Jardon tergelak.“Lalu kalau iya, kenapa?” balas David ketus.“Apa? Kau bercanda? Dia biarawati, malaikat, atau apa? Kau jatuh cinta pada siapa?" Jardon mendekati David yang sudah mematikan keran air dan duduk bangku dekat taman kecil gereja. Jardon duduk di sisi David, menatap temannya itu dengan raut penasaran yang tidak dibuat-buat
”Jadi kalian resmi berkencan?”“Bisa dibilang begitu.”Jardon tertawa dengan nada ragu dalam suara David. “Lalu, apa rencanamu?” Tanya Jardon lagi. “Ayahmu, maksudku. Dia akan tahu. Kau juga tidak ingin berbohong selamanya, kan? Kau bisa mengungkapkannya sekarang, atau menunggu dia mengetahui itu dengan menyakitkan. Apa kau sudah siap dengan semua risiko yang akan kau hadapi nanti?”David menggeleng lemah tampak terlalu lelah hanya dengan mendengarkan Jardon bertanya. “Kepalaku hanya dipenuhi Maryam sekarang. Dia menghindariku. Dia ingin aku tidak berbicara padanya.”“Apa?” Jardon spontan menoleh pada David.“Hey! Perhatikan jalanmu, anak muda! “ tegur David.“Maafkan aku. Tapi apa itu benar? Hubungan seperti apa yang tidak ada interaksinya? Bagaimana kau bisa menciumnya kalau berbicara saja tidak boleh?” setelah mengucapkan itu, Jardon segera men
Pandangan Maryam tidak lepas dari sosok David. Dalam hatinya ia tertawa saat mendengar David berbicara pada anjingnya. Ia masih ingat betul kalimat yang diucapkannya bahwa suatu saat nanti anjingnya akan serumah dengan Zahara. Namun ketika mengingat perbedaan agama mereka, senyum Maryam menyusut.Benarkah? Benarkah suatu hari nanti aku bisa hidup bersamanya? bisik hati Maryam. Dilihatnya David yang sedang beraksi di lapangan basket, betapa lelaki itu telah mencuri perhatiannya akhir-akhir ini.Setelah permainan basket selesai, tubuh David berkeringat deras. Ia mengelap keringatnya dengan sesekali memandangi Maryam dari kejauhan. Maryam pun melakukan hal yang sama, terkadang pandangan mereka saling bertubrukan, lalu mereka segera membuang muka dengan pipi bersemu merah.Sementara Pinokio terus mengintai Zahara yang terkurung di dalam mobil. Zahara ingin sekali keluar, sesekali dia mencakar kaca jendela mobil, seolah ingin menemui anjing milik teman majik