"Kau mau kuantar pulang?" tawar David pada Maryam.
Maryam terdiam, menunduk lalu mengangkat wajahnya, “Kamu adalah kali pertamanya yang membuat aku mau berdiri berdekatan dengan anak laki-laki,” ucapnya. “Dan sebenarnya aku tidak terbiasa dengan interaksi yang seperti itu. Tapi kau berbeda, David. Kau sangat berbeda dengan teman-teman Amerika-mu.”
David menatap Maryam, tak mengerti sepenuhnya apa yang ingin dikatakan Maryam padanya.
Maryam tersenyum lembut. “Baiklah, aku mau duduk di belakangmu, tapi jangan kencang-kencang, ya!"
David membalas senyum Maryam. Ia mengayuh sepedanya pelan. Tak ada yang lebih membahagiakan dari waktu yang telah ia lewatkan sore itu bersama Maryam.
"Kau tidak ingin bercerita tentang Dubai padaku? " tanya David sambil mengayuh. “Bagaimana remaja-remaja di sana? Apa mereka semua seperti kau?” David memberi penekanan pada kalimatnya saat mengucapkan “seperti kau”.
<"Jadi itu yang membuatmu ingin kembali ke kampus Amerika itu?” kalimat itu menyambut kepulangan Maryam. Maryam terlambat menghindari ayahnya. “Semuanya karena anak Amerika itu, kan? Ayah sudah tahu semuanya!" ucap ayahnya dengan suara keras yang bernada penuh kemarahan.Maryam gemetar ketakutan. Ia masih ingat bagaimana nasib Asiyah, almarhumah kakak perempuannya. Ketika ayahnya mengetahui kakak perempuannya itu berciuman dengan kekasihnya, seorang pemuda asal Pakistan, Asiyah menerima pukulan yang keras di wajah dan tubuhnya. Tekanan dari ayahnya membuat Asiyah stress dan memutuskan untuk bunuh diri.Maryam sudah siap dengan pukulan seperti yang pernah diterima Asiyah. Tapi kemudian ia melihat ayahnya tiba-tiba menangis. Maryam menunduk, tak tahu harus berbuat apa. Dia merasa sangat bersalah."Maryam, apa yang akan ayah katakan pada Allah ketika ayah ditanyai di pengadilan terbesarnya nanti? Aku yang lemah ini tak mampu mengurusmu dan menjagamu dari
David mondar-mandir di lapangan basket yang sedang kosong. Sesekali ia berdiri, duduk, berjalan mondar-mandir lagi, duduk lagi, lalu berdiri lagi mematung. Setelah bel masuk berbunyi, ia memukul tiang ring basket hingga tangannya kesakitan karena Maryam tak memenuhi undangannya saat itu. David berlari ke kelas, ia kesal pada Maryam yang tidak menemuinya. Namun setelah Mrs. Violen masuk untuk mengajar, dan ia tak menemukan Maryam di kelas, David merasa ada yang tidak beres. David keluar mencari Maryam ke seantero sekolah. Ia gelisah dan bertanya-tanya ke mana perginya Maryam? Ia tak menemukan Maryam di mana pun. Dengan putus asa dan harapan yang tipis, David menuju atap gedung sekolah. Meski kecil kemungkinan Maryam berada di sana. Dan ternyata dugaannya benar. Maryam memang berada di sana. Gadis itu sedang berdiri menghadap hamparan kota Washington dengan kerudung berkibar diembus angin."Maryam," panggil David lembut. Dia memang kecewa karena Maryam tidak menemuinya di lapan
David menyirami bunga-bunga di halaman belakang gereja. Jardon datang dengan bola basket di tangan, lengkap dengan kostum basketnya. Sambil memeluk bola basket di bawah ketiaknya, ia menyapa David."Pagi, Dave? Masih ingat kapan terakhir kali kita bermain?" Jardon mengangkat bola basket lalu memutar bola itu di ujung jarinya."Aku sedang tidak berselera. Kau ajak saja yang lain," jawabnya acuh."Ayolah, akhir-akhir ini aku melihat kau banyak melamun, diam, sedih dan serius. Come on, don’t act like a baby," ejek Jardon. “Jangan bilang, kalau kau patah hati.” Jardon tergelak.“Lalu kalau iya, kenapa?” balas David ketus.“Apa? Kau bercanda? Dia biarawati, malaikat, atau apa? Kau jatuh cinta pada siapa?" Jardon mendekati David yang sudah mematikan keran air dan duduk bangku dekat taman kecil gereja. Jardon duduk di sisi David, menatap temannya itu dengan raut penasaran yang tidak dibuat-buat
”Jadi kalian resmi berkencan?”“Bisa dibilang begitu.”Jardon tertawa dengan nada ragu dalam suara David. “Lalu, apa rencanamu?” Tanya Jardon lagi. “Ayahmu, maksudku. Dia akan tahu. Kau juga tidak ingin berbohong selamanya, kan? Kau bisa mengungkapkannya sekarang, atau menunggu dia mengetahui itu dengan menyakitkan. Apa kau sudah siap dengan semua risiko yang akan kau hadapi nanti?”David menggeleng lemah tampak terlalu lelah hanya dengan mendengarkan Jardon bertanya. “Kepalaku hanya dipenuhi Maryam sekarang. Dia menghindariku. Dia ingin aku tidak berbicara padanya.”“Apa?” Jardon spontan menoleh pada David.“Hey! Perhatikan jalanmu, anak muda! “ tegur David.“Maafkan aku. Tapi apa itu benar? Hubungan seperti apa yang tidak ada interaksinya? Bagaimana kau bisa menciumnya kalau berbicara saja tidak boleh?” setelah mengucapkan itu, Jardon segera men
Pandangan Maryam tidak lepas dari sosok David. Dalam hatinya ia tertawa saat mendengar David berbicara pada anjingnya. Ia masih ingat betul kalimat yang diucapkannya bahwa suatu saat nanti anjingnya akan serumah dengan Zahara. Namun ketika mengingat perbedaan agama mereka, senyum Maryam menyusut.Benarkah? Benarkah suatu hari nanti aku bisa hidup bersamanya? bisik hati Maryam. Dilihatnya David yang sedang beraksi di lapangan basket, betapa lelaki itu telah mencuri perhatiannya akhir-akhir ini.Setelah permainan basket selesai, tubuh David berkeringat deras. Ia mengelap keringatnya dengan sesekali memandangi Maryam dari kejauhan. Maryam pun melakukan hal yang sama, terkadang pandangan mereka saling bertubrukan, lalu mereka segera membuang muka dengan pipi bersemu merah.Sementara Pinokio terus mengintai Zahara yang terkurung di dalam mobil. Zahara ingin sekali keluar, sesekali dia mencakar kaca jendela mobil, seolah ingin menemui anjing milik teman majik
Setelah masuk kamar dan menutup pintu kamarnya, Maryam terduduk bersandar di depan pintu kamarnya. Ia mencerna dengan baik ucapan ayahnya barusan, mencoba menerka-nerka maksudnya, ”Tidak, tidak mungkin kalau maksud ayah akan seperti itu.” Ia menepis jauh-jauh pikiran buruknya.Dari balik pintu kamar itu, samar-samar Maryam mendengar percakapan antara ayah ibunya di ruang tamu. Maryam berusaha mempertajam pendengarannya, ia pun menempelkan teliganya di pintu."Apa yang kau siapkan untuk Maryam, Ayah Maryam?” dengan gelisah, ibu Maryam bertanya pada suaminya.”Kurasa, setelah lulus kuliah nanti, anak kita harus menikah. Aku khawatir melihat tingkahnya akhir-akhir ini. Aku takut dia tak mampu menjaga diri,” jawab Ayah Maryam.Di balik pintu kamarnya, Maryam tersentak demi mendengar percakapan orangtuanya. Ia seakan kehabisan napas.“Dia masih belia, biarkanlah dulu dia mengenyam dunia pekerjaan," b
Saat melihat Anggel membuka pintu rumahnya, Maryam langsung memeluknya dengan derai air mata. Dengan wajah mengantuk, Anggel menuntunnya masuk ke dalam kamar dan meminta Maryam menceritakan hal yang menimpa sahabat barunya itu. Maryam menceritakan prihal perjodohan itu.“Aku tidak mau, Anggel. Aku tidak mau!” Ucapnya di antara isaknya.“Aku tahu, tapi kabur seperti ini tak baik untukmu, Maryam.” Anggel berusaha menenangkan sahabatnya.“Aku tak punya pilihan lagi. Aku tidak mau dijodohkan.””Kau bisa menjelaskannya pada ayahmu, kan, kalau kau tak mau.” Anggel sebisa mungkin memberi solusi aman.”Kau tidak tahu betapa keras kepalanya ayahku, Anggel. Aku tidak akan bisa menolak keinginannya. Tidak ada yang bisa membantah ayahku.”Anggel sedikit takut melihat kenekatan Maryam untuk kabur dari rumahnya. Ia membuatkan secangkir teh hangat dan memberikannya pada Maryam. Mr Stone dan Mrs. M
David menantikan kehadiran Maryam di kampusnya. Mahasiswa dan mahasiwi sudah berdatangan, hanya Maryam yang belum muncul. Anggel ragu ingin menceritakan semuanya pada David. Ia tak sanggup melihat David sedih. Tapi tak lama kemudian Maryam muncul. Sebuah sunggingan terulas di wajah David.Mrs. Violen memasuki kelas. Maryam memandangi David dari bangkunya dengan perasaan penuh penyesalan dan rasa bersalah. Ia mengambil secarik kertas lalu menuliskan sesuatu untuk David.Terkejut David saat menerima tulisan itu. Ia membacanya dengan seksama, seakan tak ingin satu hurufpun luput dari pandangannya.Aku ingin bicara denganmu istirahat siang ini di tempat terakhir kalinya kita bicara.Jantung David berdebar membaca isi surat itu. Ia dikuasai firasat aneh.Ada apa ini? Apa sesuatu yang salah sudah terjadi?Saat jam istirahat siang berlangsung, David berlari ke atas gedung dan menghampiri Maryam yang sudah lebih dulu menunggunya.”Marya