Sabtu malam tiba. Meskipun Yoga sudah mengatakan jika dia akan futsal bersama teman-teman kantornya, Lana sama sekali tidak membantu suaminya berkemas. Dia membiarkan Yoga melakukannya sendiri. Yoga pun tampaknya paham jika istrinya masih marah dan enggan beramah tamah dengannya.
“Lan, aku berangkat dulu, ya. Kamu mau pesan sesuatu nggak? Nanti aku bawakan.”
Yoga sudah siap dengan pakaian futsalnya dan membawa serta tas punggungnya. Dia bahkan membawa sebotol air minum di tasnya. Benar-benar totalitas Yoga dalam berbohong tiada batas.
“Aku nggak pesan apa-apa.” Lana menjawab singkat sedikit jutek.
“Kaisar pesan apa, Sayang?” Kali ini Yoga bertanya kepada putranya.
“Kaisar juga nggak pesan apa-apa. Kalau dia butuh apa-apa, aku yang akan belikan nanti. Nikmati saja malam minggumu.” Begitu kata Lana tanpa menoleh ke arah Yoga.
Yoga yang mendapatkan penolakan dari sang itu menarik napas panjang. Lelaki itu mendekat pada istrinya kemudian menggenggam tangannya. “Jangan ngambek dong, Sayang. Aku janji kita besok benar-benar jalan-jalan.” Yoga menoleh menatap Kaisar. “Besok kita jalan-jalan, ya, Kai. Kaisar mau?”
Kaisar yang sejak tadi asyik dengan mobil-mobilannya itu mendongak menatap sang ayah. “Mau, Yah.” Bocah itu mengangguk semangat sambil memberikan senyum lebarnya.
Hal itu tentu saja berbanding terbalik dengan sang istri yang masih mengabaikannya. Lana melepaskan genggaman tangan sang suami sebelum melipat kedua tangannya di depan dada.
“Aku pergi dulu, ya.” Yoga pamit dan hanya dijawab gumaman oleh Lana. Bahkan perempuan itu sama sekali tidak mencium tangan sang suami.
Yoga beranjak dari sofa ruang keluarga setelah mengecup puncak kepala Lana. Berjalan sambil sesekali menoleh ke belakang untuk melihat reaksi Lana. Sayangnya, Lana sama sekali tidak menoleh ke arahnya.
Tak lama setelah itu, deruan mesin mobil terdengar tanda Yoga sudah pergi meninggalkan rumah. Buru-buru, Lana menggendong Kaisar dan membawanya ke luar rumah. Memasangkan helm untuk putranya, memastikan pintu rumahnya terkunci, Lana langsung tancap gas mengikuti sang suami.
Malam ini, dia akan mengetahui di mana rumah perempuan itu berada. Dia akan mendapatkan lebih banyak bukti perselingkuhan suaminya. Kaisar yang tampak terkejut itupun tidak dihiraukan oleh Lana. Yang terpenting adalah dia bisa mengejar mobil suaminya.
Sepuluh menit berkendara, mobil Yoga berbelok di sebuah perumahan tak jauh dari rumahnya. Jantung Lana berdebum tak karuan ketika mengikuti mobil Yoga dari belakang. Tubuhnya bahkan terasa bergetar membayangkan hal-hal apa saja yang akan dilakukan oleh sang suami di rumah tersebut.
Berhenti di depan rumah bercat putih, Yoga disambut seorang perempuan muda. Mereka bahkan saling berpelukan seolah saling melepas rindu. Mereka masuk ke dalam rumah setelah itu dengan saling memeluk.
“Bunda.” Fokus Lana buyar mendengar suara Kaisar. Bocah itu memeluk pinggang Lana dengan menempelkan kepalanya di punggungnya. “Kita mau ke mana, Bunda?”
Air mata Lana menetes begitu saja mendengar suara Kaisar. Ada banyak gejolak yang muncul di dalam hati Lana. Rasa sakit yang dirasakan bertambah berkali-kali lipat. Dia merasa gagal menjadi perempuan. Suaminya berpaling di saat usia rumah tangganya sudah berjalan tujuh tahun.
Dia yang dulu memiliki impian menjadi wanita karir harus disingkirkan jauh-jauh karena fokus dengan rumah tangganya. Dia ikhlas melakukannya karena dia tahu Yoga begitu sayang kepadanya. Ketika sekarang dia melihat pengkhianatan lelaki itu, semua hal yang dilakukan selama ini terasa percuma.
“Bunda!” Kaisar kembali memanggilnya. “Kai ngantuk.”
“Kaisar mau jalan-jalan?” tanya Lana mencoba bernego dengan putranya. Mengusap air mata yang meleleh dari netranya.
“Mau, Bunda.”
“Kalau begitu, tunggu sebentar ya.”
Lana hanya ingin tahu akan berapa lama Yoga berada di rumah selingkuhannya. Satu jam, dua jam, tiga jam, Lana menunggu, tidak ada tanda-tanda Yoga keluar dari rumah tersebut. Kaisar bahkan sudah tertidur di gendongannya karena kelelahan.
Lana melihat jam di ponselnya dan sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Dengan berat hati, Lana meninggalkan perumahan tersebut dengan Kaisar. Sepanjang jalan, air mata Lana tak hentinya berderai. Perasa sakit luar biasa tak bisa dideskripsikan.
Yoga memang tidak pernah menyakitinya selama pernikahan mereka, tetapi sekalinya lelaki itu melakukannya, dia menancapkan banyak pedang yang sulit untuk disembuhkan. Dan hal yang paling mengesankan malam ini adalah, Yoga tidak pulang ke rumah.
***
“Sayang, aku minta maaf. Semalam aku ketiduran. Setelah kami futsal, kami pergi ke rumah Ifan. Kami makan-makan di sana. Aku tadinya cuma mau istirahat sebentar, tapi Ifan malah nggak bangunin aku. Kami semuanya akhirnya tidur di rumah dia. Sayang, kamu nggak marah, kan? Aku benar-benar minta maaf karena aku nggak kabari kamu.”
Penjelasan itu Yoga berikan kepada Lana ketika dia baru saja sampai di rumah. Ini adalah kali pertama dia tidak pulang ke rumah setelah meminta izin keluar dengan teman-temannya. Yoga beranggapan, Lana pasti akan memarahinya. Terlebih lagi, seharusnya hari ini mereka keluar jalan-jalan bersama.
Alih-alih murka, Lana terlihat santai. Perempuan itu justru mengangguk. “Nggak papa. Oh, ya, Mas, hari ini temanku akan datang. Dia orang showroom. Aku udah hubungi dia dan bilang kalau aku mau beli mobil. Dia mungkin nanti jam sembilan sampai.”
“Apa? Kamu beneran ingin mobil, Lan?”
Yoga tidak siap dengan permintaan Lana yang buru-buru. Mereka bahkan baru membahas masalah mobil kemarin malam dan itupun dia tidak menyetujuinya. Namun, Lana sudah dengan cepat mengambil keputusan sediri.
“Iya,” jawab Lana dengan santai. Dia seolah tidak tahu tentang perselingkuhan yang dilakukan suaminya semalam.
Lana menatap Yoga dengan tatapan menilai. Lelaki itu ternyata belum mandi dengan rambutnya acak-acakan. Tatapan Lana terpaku tanda merah yang cukup kecil di leher Yoga tepat di bawah telinga. Tiba-tiba saja, perut Lana merasa mual dan cubitan di hatinya terasa menyakitkan.
‘Berapa kali kalian bermain semalam?’ batin Lana pada dirinya sendiri.
Lana menarik napasnya panjang, masih menekan semua sumpah serapah yang ingin keluar dari mulutnya.
“Lan, kita, kan sudah berunding kemarin. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu. Aku ini sayang sama kamu.”
“Simpan saja pikiran buruk yang ada di hatimu, Mas. Aku tetap akan membeli mobil.”
“Aku menolak!” Yoga terlihat tegas. “Aku nggak mau membelikan kamu mobil.”
Setelah mengatakan itu, Yoga berlalu begitu saja. Masuk ke dalam kamar sebelum menutup pintunya sedikit kasar. Lana menggeram marah, tapi lagi-lagi dia menahan kemarahannya. Permainan baru saja dimulai. Dia tak akan mundur dan membiarkan Yoga memperlakukannya seenaknya sendiri.
Sekitar pukul setengah sepuluh pagi, teman yang dimaksud oleh Lana benar-benar datang. Lelaki itu memberikan banyak penawaran untuk beberapa model kendaraan beroda empat. Sejak tadi, Yoga tidak lagi keluar dari kamar dan tampaknya memang sengaja menghindari keinginan Lana untuk membeli mobil.
Obrolan itu berlangsung beberapa waktu. Lana menunjuk salah satu gambar yang diberikan oleh temannya tersebut.
“Aku pilih yang ini, Ran.” Begitu katanya mengambil keputusan.
Baru saja Randi akan bersuara ketika Yoga muncul, lalu mendekat ke arah mereka. “Pembelian mobil batal, Mas. Saya tidak mengizinkan istri saya menyetir mobil sediri.”
***
Satu bulan sudah pernikahan Tirta dan Lana berjalan. Mereka sudah menempati rumah baru Tirta yang didesign langsung oleh Lana. Takdir itu terkadang memang membingungkan. Siapa yang sangka kalau pada akhirnya, Lana lah yang menjadi nyonya di rumah besar dua lantai tersebut.Dengan tiga asisten rumah tangga termasuk Bu Tatik di dalamnya, kini Lana benar-benar hanya mengurus suami dan putranya saja. Masalah bersih-bersih dan hal-hal lainnya di rumah sudah ada yang mengurus. Namun, masak masih Lana yang kadang menangani. Pasalnya, baik Tirta atau Kaisar lebih suka jika makanan itu dimasak langsung oleh sang nyonya rumah.“Bunda, ayo kita renang.” Kaisar yang sudah berada di dalam kolam renang itu melambaikan tangannya agar ibunya bergabung bersama dirinya dan juga Tirta.“Kalian aja.” Lana memilih duduk di kursi malas setelah meletakkan sepiring muffin di atas meja.“Bunda bawa muffin?” Tirta mendekat di pinggir kolam renam. “Aaak, Bun.” Tirta memberikan kode kepada Lana agar menyuapinya.
Tirta menatap Lana dari belakang yang tampak begitu kewalahan menjinjing gaun panjangnya. Di belakangnya, Tirta memegangi ekor gaun tersebut yang menyapu lantai. Senyum laki-laki itu merekah lebar tak bisa ditahan.Perempuan yang ada di depannya itu adalah istrinya. Benar-benar istrinya yang baru saja dia nikahi secara sah beberapa jam lalu. Kini, mereka selesai pesta dan menuju ke kamar mereka dia hotel tersebut. Akhirnya setelah melalui hari yang panjang, mereka bisa menyelesaikan setiap rangkaian acara yang begitu melelahkan.“Mas, aku bersumpah kalau suatu hari nanti kamu selingkuh, aku nggak akan segan ngulitin kamu. Lihatlah betapa melelahkannya pernikahan kita ini.”Mereka sudah sampai di kamar dan Lana langsung merebahkan tubuhnya di sofa dengan meloloskan napas panjangnya. Demi Tuhan, dia bahagia hari ini bebarengan dengan rasa lelah yang begitu luar biasa.Mendengar ucapan istrinya, Tirta justru tergelak. Dia duduk di lengan sofa setelah mengambil air mineral yang sudah disi
Lana bilang jika dia ingin pernikahannya yang kedua ini hanya perlu dilakukan dengan sederhana. Namun, ini adalah pernikahan pertama dan diharapkan menjadi pernikahan terakhir untuk Tirta. Tentu saja pernikahan sederhana itu tidak akan pernah terjadi. Bagaimanapun juga, Tirta berasal dari keluarga pebisnis yang memiliki banyak partner.Ada banyak tamu undangan yang akan datang di acara resepsi pernikahan mereka yang diadakan di hotel milik Tirta. Hanya membayangkan berdiri berlama-lama di pelaminan saja, Lana merasa begidik ngeri.“Ini nggak bisa undangannya dikurangi, Mas?” tanya Lana saat itu ketika Tirta menunjukkan jumlah undangan dari keluarganya.Ada hampir seribu orang dan itu belum semuanya. Belum lagi dari pihak orang tua Lana. Kalau Lana sendiri tidak mengundang siapa pun. Dia juga tidak mengatakan apa pun kepada Yuda tentang pernikahannya.“Iya. Ini semua dari keluarga kami. Belum semua lho, Lan. Kalau teman-teman aku sih cuma dikit aja.”“Padahal aku pengennya yang sederha
Tirta bahagia. Itu yang dia rasakan sekarang. Bagaimana tidak, setelah dia menunggu setelah bertahun-tahun yang lalu, ditinggal menikah, pada akhirnya dia benar-benar diterima oleh Lana. Keadaan memang sekarang sudah tidak sama lagi. Lana sudah memiliki satu anak dengan status janda. Namun, siapa yang peduli dengan itu? Yang terpenting perempuan itu adalah Lana.Anggap saja, Kaisar adalah bonus yang dia dapatkan karena akan menikahi Lana. Toh sekarang, dia juga benar-benar sudah sangat menyayangi Kaisar.“Kaisar ke mana?” Malam ini adalah malam minggu. Tirta datang ke rumah Lana untuk mengajaknya pergi berkencan.Ya, benar. Berkencan. Sebenarnya kata itu tidaklah aneh mengingat mereka sudah official jadian. Tak hanya itu, usia mereka juga masih cukup muda untuk melakukan hal-hal seperti itu.“Diajak keluar sama nenek kakenya. Sekalian kondangan.” Lana berdiri tepat di depan Tirta dan mendongakkan wajahnya. Keningnya mengernyit ketika melihat Tirta yang memasang senyum di bibirnya. “Ka
Tirta disibukkan dengan banyak pekerjaan yang harus ditangani. Mulai dari beberapa meeting, dan bahkan dokumen-dokumen penting yang harus ditanda tangani. Sudah hampir dua minggu setelah dia menyatakan keinginannya meminta Lana untuk menikah dengannya. Namun, setelah itu dia benar-benar tenggelam pada pekerjaan yang seolah tidak ada habisnya.Sejujurnya Tirta merindukan Lana. Dia ingin menemui perempuan itu, tetapi dia hanya bisa berkomunikasi lewat hand phone. Tirta tetap memberikan kabar kepada perempuan setiap harinya.“Tirta, Mama ingin datang ke rumah Lana. Nggak papa, ‘kan?” Pertanyaan itu ditujukan kepada Tirta ketika pagi sudah menggantikan peran sang malam.Lelaki itu kini tengah berada di ruang makan dan menikmati sarapannya. Sebentar lagi dia harus pergi ke hotel dan kembali tenggelam pada pekerjaannya.Ya Tuhan, Tirta tidak sedang mengeluh. Namun, kenapa akhir-akhir ini pekerjaan sangat banyak? Ini berkat hotelnya sedang digandrungi oleh pendatang. Banyak turis asing yang
Malam ini Lana tidak mampu sekedar mengistirahatkan matanya dan membawanya tenggelam ke alam mimpi. Isi kepalanya terus saja mengingatkan kalimat pendek yang dilontarkan Tirta siang tadi. Sebuah kalimat sederhana berupa ajakan yang terngiang sampai malam ini. Lana tidak memberikan jawaban apa pun, begitu juga dengan Tirta yang tidak mendesaknya. Lelaki itu hanya meminta kepada Lana agar mempertimbangkan dirinya untuk menjadi pendamping perempuan itu.Menatap langit-langit kamar, Lana menarik napasnya panjang. Sungguh, ini sangat membingungkan. Satu sisi hatinya ingin menolak, tetapi satu sisi hati yang lain mengatakan tak masalah untuk dicoba. Bukan hanya Tirta yang jelas-jelas mencintainya, tetapi orang tua lelaki itu juga menerimanya dengan kedua tangan terbuka. Bukan hanya itu, Kaisar pun sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka.Apalagi yang perlu diperhitungkan sekarang?‘Hei, Yoga bahkan sudah menikah lagi, Lana.’ Hatinya memeringatkan. ‘Tidak masalah sekarang giliranm