LOGIN
“Ahh… sakit, Pak…” rintih gadis itu setengah sadar, suaranya serak dan hampir tak terdengar. Tubuhnya sedikit meliuk, berusaha menjauh dari rasa perih yang menusuk.
“Maaf, saya akan pelan-pelan,” ujar sang pria dengan suara tenang, meski sorot matanya jelas menyimpan kegelisahan. Reihan kembali duduk di samping Alya, menahan kain kompres di lengan gadis itu sambil berusaha menjaga tangannya tetap stabil. Dari dekat, kondisi Alya benar-benar memprihatinkan. Ia terbaring lemah dengan pakaian robek, sementara Reihan menunduk di atasnya. Dilihat sekilas, posisi itu bisa menimbulkan salah paham. Tapi kenyataan di baliknya jauh lebih gelap. Beberapa menit sebelumnya, Alya dibegal di jalanan sepi dekat kampus. Motor dan ponselnya dirampas, dan para pelaku sempat menyeretnya ke semak gelap untuk melecehkannya. Beruntung, Reihan sang dosen muda sekaligus kepala prodi di kampus Alya kebetulan lewat dan menghentikan mereka sebelum terlambat. Karena shock dan luka yang cukup parah, Reihan membawa Alya ke rumahnya yang paling dekat. Sekarang, jam hampir menuju angka 10, di ruang tamu remang dengan udara dingin menusuk, Reihan berusaha merawatnya sebisanya. Alya mencoba membuka mata, tapi pandangannya berputar. Napasnya tersengal, tubuhnya hampir tidak sanggup bergerak. Reihan menatap sobekan besar di baju bagian bahu gadis itu. Kain hangat di tangannya terhenti. Reihan menarik napas pelan, berusaha tetap tenang meski rasa khawatirnya jelas terlihat. “Alya…” panggilnya pelan. Gadis itu hanya memberi respons berupa gerakan mata, seperti anggukan kecil yang hampir tak terlihat. Reihan menelan ludah, suaranya tetap datar meski pikirannya penuh kekhawatiran. “Bajumu… sudah terlalu kotor dan sobek. Kita harus ganti. Kalau tidak, lukamu bisa makin iritasi.” Alya tidak menjawab. Hanya diam, tubuhnya sedikit bergetar karena dingin, juga rasa terkejut yang masih belum sepenuhnya hilang. “Alya … kamu dengar saya?” Reihan menunduk sedikit, memastikan gadis itu benar-benar sadar. Alya akhirnya mengangguk perlahan. “Saya gak ada baju ganti, Pak.” Reihan bangkit, pandangannya masih fokus pada Alya yang setengah melamun. “Saya pinjami baju saya, tunggu sebentar. Kamu minum dulu tehnya ya.” Reihan berbalik dan pergi ke arah kamar, dan begitu pria itu hilang di balik lorong, Alya menarik napas pelan dan mencoba bangun sedikit. Setelah mencoba beberapa kali dengan tenaga seadanya, akhirnya Alya berhasil duduk lebih tegak. Tangan gemetarnya meraih cangkir teh di meja. Saat menyesapnya, kepalanya sedikit tertunduk. Matanya kosong, masih memantulkan shock yang belum benar-benar hilang. Teh hangat itu membantu, tapi hanya sebatas membuat tenggorokan tidak terlalu kering. Tak sampai satu menit, suara langkah Reihan kembali terdengar. “Alya, saya cuma ada kaos dan celana training,” ujar Reihan sambil memberikan pakaian itu. “Terima kasih, Pak. Maaf merepotkan.” Tanpa banyak basa basi, Alya menerimanya. “Saya pinjam toilet sebentar ya, Pak.” Alya mencoba berdiri, tapi lututnya langsung goyah. Ia buru-buru memegang sandaran sofa, napasnya pendek. Reihan refleks maju, tangannya menahan lengan Alya sebelum gadis itu sempat jatuh, lalu berkata singkat, “Saya bantu.” Alya mengangguk pelan. Saat ini, ia seolah telah melupakan status mahasiswa dan dosen itu karena kondisi tubuhnya. Jika tidak, sudah pasti ia tidak akan berani seperti ini dengan dosennya. Mereka berjalan perlahan menuju toilet. Tangan Reihan masih terus menahan bahu Alya, seolah memberi topangan pada tubuhnya yang lemas. Di depan pintu, Reihan berhenti. “Kalau mau bersihkan badan, di dalam ada air hangat. Kalau pusing atau butuh bantuan, panggil saya,” katanya, suaranya tetap tenang meski jelas masih menahan cemas. Alya memeluk pakaian ganti itu erat-erat. “Iya, Pak… terima kasih.” Reihan mengangguk sedikit, lalu mendorong pintu toilet terbuka untuknya. Di dalam, Alya menatap cermin sambil melepas bajunya perlahan. Tubuhnya penuh memar, rambutnya kusut, wajahnya pucat, dan matanya masih kosong menahan shock. Alya menghela napas pasrah, lalu mulai membersihkan tubuh seadanya. Begitu selesai, ia langsung memakai pakaian yang diberikan oleh sang dosen. Pakaian itu menggantung longgar di tubuhnya, tapi justru membuatnya merasa sedikit terlindungi, ketimbang bajunya sebelumnya yang telah robek. Sejenak Alya merasa bersyukur karena ia masih selamat dari kejadian itu. Meskipun rasanya sulit dipercaya karena yang menolongnya justru dosen yang terkenal dingin, berwibawa, dan menjaga jarak interaksi dengan semua mahasiswanya. Setelah selesai, Alya melangkah keluar dari toilet dengan napas yang masih berat. Namun baru satu langkah, ia langsung terhenti kaku. Beberapa warga berdiri memenuhi ruang tamu, wajah-wajah mereka penuh kecurigaan. Pembicaraan langsung mengarah padanya, menusuk tanpa ampun. “Nah itu, perempuannya bahkan sudah pakai bajunya Pak Reihan. Kalau sudah begini, mau alasan apa lagi, Pak?” seru seorang pria, alisnya terangkat sinis saat melihat Alya yang mengenakan kaos kebesaran milik Reihan. “Sudahlah, Pak. Banyak warga lihat bapak gendong perempuan itu masuk rumah tengah malam,” timpal yang lain. “Bapak ini dosen, apa nggak malu?” “Pak Reihan, lebih baik terima saja konsekuensinya,” suara yang paling lantang itu akhirnya keluar dari pria berperut buncit yang berdiri di tengah kerumunan. Pak RT. Wajahnya tegang, nada bicara menggurui. “Kalian harus dinikahkan. Kalau tidak, nama komplek ini yang tercemar.” Reihan menghela napas panjang, tapi belum sempat bicara, Alya langsung menegakkan tubuhnya dan berjalan sedikit terseok ke arah ruang tamu meski lututnya masih lemah. “Tidak!” suaranya pecah, namun tegas. Semua kepala langsung menoleh padanya. “Sa–saya dan Pak Reihan tidak berbuat mesum!” bantah Alya lagi, kedua tangannya meremas ujung kaos kebesaran yang ia pakai. “Saya habis dibegal dan hampir dilecehkan, lalu … Pak Reihan menolong saya …” Namun, tatapan warga itu sama sekali tak menunjukkan rasa percaya. “Kalau memang dibegal, harusnya dibawa ke rumah sakit atau kantor polisi. Bukan malah ke rumah laki-laki yang bukan siapa-siapanya,” sahut ibu-ibu berkerudung ungu, matanya menatap Alya tajam dari atas ke bawah. Seorang lelaki tua yang sedari tadi menatap kaos kebesaran di tubuh Alya dan kemeja sobeknya yang tergeletak di sofa menggeleng pelan. “Beginilah jadinya kalau sudah malam-malam bawa perempuan, lalu perempuan itu pakai baju Bapak. Orang mau percaya dari mana?” Pak RT mengangkat tangan, menyuruh semua diam. “Pokoknya sudah jelas. Untuk menjaga nama baik komplek ini, kalian harus dinikahkan. Tidak ada opsi lain.” Alya membeku. Napasnya terputus-putus, tubuhnya sempat goyah. “Pa—Pak… itu nggak benar…” bisiknya, hampir menangis. Reihan akhirnya berdiri lebih dekat, memberi jarak antara Alya dan kerumunan. “Kita nggak bisa menang lawan mereka, Alya,” ujar Reihan dengan suaranya rendah. “Semakin kita bantah, semakin mereka yakin kita menyembunyikan sesuatu. Warga sini memang keras.” Alya menggeleng kecil, napasnya patah, “Tapi… Pak… kita nggak…” “Saya paham, tapi sekarang kita gak bisa berbuat apa-apa,” sahut Reihan lagi, tapannya tampak serius ke arah Alya. “Alya… untuk sekarang, kita ikuti dulu kemauan warga. Nggak apa-apa ya?” Alya terpaku. “Maksudnya… kita harus… menikah?” Reihan menarik napas panjang, lalu akhirnya menjawab dengan tegas, “Ya. Itu satu-satunya cara biar keadaan nggak makin kacau.”“M-men… menyentuh apa?” bisik Alya, rasa gugup membuat suaranya tercekat. Ia benar-benar tidak paham kenapa Reihan tiba-tiba menghentikannya dengan cara seperti itu.Reihan menatapnya dengan intensitas yang membakar. Matanya menyiratkan perjuangan batin yang dalam. Rahangnya masih mengeras, dan napasnya terdengar semakin berat. Lalu menggenggam kedua tangan Alya dan menariknya untuk menjauh dari area yang sudah Alya sentuh.“Kamu tidak perlu menggosoknya lagi,” kata Reihan, suaranya serak menahan gejolak. “Sudah saya bilang, tidak apa-apa.”Alya menggeleng cepat, rasa bersalah membuatnya keras kepala. “Tapi, nodanya, Pak. Saya tidak mau celana Bapak kotor. Kalau tidak dibersihkan sekarang, nanti… nanti nodanya susah hilang…”Tanpa sadar, ia kembali menunduk, dan tangannya sudah meluncur lagi ke area yang sama. Ia mengusapnya lagi, kali ini lebih fokus, berniat menghilangkan jejak kopi yang baru tumpah.Reihan memejamkan mata, menahan erangan yang hampir lolos dari bibirnya. Gadis ini
Langit sudah mulai gelap ketika mobil yang dikendarai Reihan akhirnya berhenti di pelataran rumah besar itu. Lampu-lampu halaman memantulkan cahaya lembut pada bangunan megah tersebut, menciptakan bayangan tenang yang kontras dengan gejolak di hati Alya.Malam kian larut, namun Alya masih duduk termenung di tepi ranjang kamarnya. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencerna apa yang baru saja mengguncang hidupnya. Semuanya terjadi begitu cepat, terlalu cepat, hingga kini ia bahkan masih sulit percaya bahwa statusnya telah berubah menjadi istri dari pria yang dulu hanya ia panggil “Pak Reihan” di ruang kelas.Di tengah lamunannya, suara ketukan terdengar pelan dari balik pintu.“Alya, saya boleh masuk?” suara Rehan terdengar dari luar, tenang namun penuh kehati-hatian.Alya tersentak kecil. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab pelan,“Iya… silakan.”Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan Reihan yang sudah berganti memakai pakaian santai. Rambutnya masih sedikit basah, beberapa helai
Salim terdiam sejenak mempertimbangkan ucapan istrinya, lalu mengangguk mantap. “Benar,” ucapnya tegas.Alya membeku, matanya membesar.“Ayah… tidak! Kami nggak ngapa-ngapain! Itu semua cuma salah paham warga! Kenapa malah minta uang ke Pak Reihan yang udah nolong Alya…?” Suaranya bergetar, terdengar lebih terluka daripada marah.“Maling mana ada yang ngaku, Alya…” gumam Sari pelan tapi menusuk, membuat Alya menunduk semakin dalam.Reihan menepuk bahu Alya lembut, mencoba menenangkannya. “Sudah… tidak apa-apa,” ucapnya pelan. Lalu ia menoleh ke Salim dan Sari. “Berapa yang kalian minta?”Sari langsung menjawab, cepat dan tanpa ragu. “Lima puluh juta.”Reihan terdiam. Ia menatap Alya sebentar, memperhatikan wajah gadis itu yang pucat, matanya memohon agar ia tidak menuruti permintaan itu.Alya menggeleng kecil, nyaris tidak bersuara. “Pak… jangan… ini nggak bener…”Namun Salim memotong, suaranya dingin, “Apa yang nggak bener? Kamu pikir bapak membesarkanmu supaya kamu bisa bikin malu
Mendengar ucapan itu, Alya cukup terkejut. Status kepala prodi mungkin sudah tidak asing di telinga Alya. Tapi menyebut Reihan sebagai suaminya, jelas ini masih menjadi sesuatu yang aneh baginya.Namun, akhirnya Alya hanya bisa mengangguk pasrah. “Baik, Pak.”“Kamu tunggu di gang samping kampus ya, nanti saya lewat sana,” ujar Reihan lagi.Alya paham dengan arah ucapan itu. Kalau ia langsung naik ke mobil Reihan di parkiran, pasti akan banyak orang yang melihat. Itu jelas akan menimbulkan gosip.Alya mengangguk lagi dan langsung meninggalkan ruangan Reihan. Ia berjalan ke arah gang samping kampus untuk menunggu Reihan.Sambil menunggu Reihan, Alya meremas tali tasnya erat-erat. Angin siang itu memang terasa panas, tapi kedua telapak tangannya justru dingin.Perasaan Alya campur aduk antara takut dan khawatir. Ia takut saat ayahnya bertemu dengan Reihan dan tahu fakta soal pernikahan mereka, amarah ayahnya akan lebih besar dari pagi tadi. Selain itu, ia juga tidak siap menyeret Reihan
Alya sempat terdiam, matanya sedikit melebar karena terkejut mendengar ucapan Reihan barusan. Ia tidak menyangka pria itu akan mengusulkan hal seperti itu.Namun selang beberapa detik, keterkejutannya perlahan mereda. Ia mulai memikirkan ucapannya dan memang, apa yang Reihan katakan ada benarnya. Jika pernikahan itu tersebar di kampus, apalagi dengan alasan yang memalukan, hidup mereka akan semakin sulit.Alya menghela napas pelan, lalu mengangguk.“Baik… saya mengerti,” jawabnya lirih.Akhirnya, Alya kembali melangkah masuk ke kamar. Malam itu, rasanya pikirannya sangat campur aduk. Shock perkara dibegal dan hampir dilecehkan belum sepenuhnya pulih, tapi sudah harus menerima masalah baru.Alya merebahkan tubuhnya yang masih lemah di ranjang sederhana itu. Sekarang, statusnya sudah berubah menjadi istri dosennya sendiri. Apa jadinya kalau orang-orang tahu ini.Tak mau semakin pusing, Alya mulai memejamkan matanya. Berharap esok hari semua bisa lebih normal untuknya.***Pagi itu, Alya
Kini, di ruang yang luas itu, Reihan dan Alya duduk bersebelahan. Di hadapan mereka, seorang penghulu yang dipanggil secara mendadak oleh warga sudah bersiap memulai prosesi. Beberapa warga lain berdiri di sekitar mereka, menjadi saksi dari kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.Sebelumnya, penghulu telah meminta Alya dan Reihan menyerahkan kartu identitas sebagai syarat pernikahan.Alya hanya bisa duduk kaku. Kedua tangannya saling meremas erat, mencoba menahan ketakutan yang terus mengguncang hatinya. Ia baru saja mengalami nasib buruk, nyaris diperkosa oleh begal, dan kini ia malah dituduh berzina oleh dosennya sendiri. Semua terasa begitu tidak adil.“Apa… harus sampai seperti ini?” tanya Alya lirih pada Reihan yang duduk di sampingnya. Suara nya bergetar, hampir tak terdengar.Reihan menarik napas panjang sebelum menjawab, “Mau bagaimana lagi? Kita tidak punya pilihan lain. Percuma membela diri mereka tetap tidak akan percaya.”Penghulu itu kemudian menatap mereka.







