Bab 33
Aku duduk di kursi menghadap sebuah meja dengan komputer di atasnya. Saat ini, sesuai dengan amanah Papa, aku lebih mempelajari kembali bagaimana mendalami tugas dan tanggung jawab seorang Manager di perusahaan.
"Kembalilah seperti dulu, Kiara. jangan lagi terlalu mudah dipengaruhi dengan kata-kata yang disebut "cinta". tetaplah menjadi anak mama yang pandai dalam menghadapi segala situasi. Kembalikan dirimu yang dulu. Berlatihlah dengan giat," ujar Mama memberikan semangat.
"Nanti setelah kau melahirkan, kau akan menduduki posisi jabatan yang tidak bisa diremehkan di perusahaan Papamu,"
"Sepantasnya sedari dulu kau menempati posisi itu. Tapi sayangnya kau lebih memilih untuk hidup bersama Galih, dan mengabaikan nasehat Mama dan Papamu," ujar Mama Lagi.
Aku menelan saliva. Seketika rasa bersalah menyiksa batinku. Memang menyesal se
Bab 34 Drrrt ... drrt ... Getar handphone mengganggu konsentrasiku dari monitor. Sejenak aku memalingkan pandangan dari monitor laptop. Sebuah panggilan dari kontak wanita yang kukenal terpampang di sana. Ada apa perempuan itu menelpon? Malas membuang-buang waktu ku biarkan saja panggilan itu. Di angkat juga tidak akan ada maknanya. Ku lirik jam, sudah menunjukkan angka 21.00. Masih ada waktu setengah jam lagi buatku untuk mempelajari secara mendalam seluk beluk manajemen perusahaan. Ku seruput teh manis yang tadi disajikan Mama untuk menemani belajarku. Untuk sementara waktu, aku mempelajari secara teori. Rencananya besok aku akan berkunjung dan melihat-lihat perusahaan secara langsung ke lapangan. &nbs
Bab 35 Pernikahan antara Galih dan Celine telah diatur dengan sedemikian rupa. Sejumlah undangan telah disebar. Keduanya begitu antusias dalam menyambut rencana pernikahan tersebut. Raut muka kegembiraan. "Galih, Ibu berencana ingin membeli rumah baru. Ibu tidak ingin berlama-lama tinggal di rumah sewaan seperti ini. Atau bagaimana jika kita mengambil rumah dengan sistem kredit. Sebagai upaya agar uang tidak terbuang sia-sia," Bu Farah mencoba untuk berdiskusi soal tempat tinggal mereka. Iya mereka sekarang menyewa sebuah rumah yang lumayan besar. Namun lebih kecil dari pada rumah mereka sebelumnya. "Bu, maaf sebelumnya kalau saya memotong ucapan ibu. Begini, pernikahan saya dan Mas Galih belum dilaksanakan. Saya rasa lebih baik jika kita menyelesaikan masalah ini satu persatu. Bagaimana jika nanti saj
Bab 36 Bu Farah nampak sibuk di kamarnya. Jari jemarinya begitu lihai mengutak-atik layar pipih di tangan. "Tahu rasa kau Kiara!" Perempuan paruh baya itu senyum-senyum sendiri sambil mengirimkan sebuah undangan pernikahan antara Celine dan Galih dalam bentuk undangan digital. Bu Farah cukup bangga dengan video dalam undangan tersebut yang di desain sedemikian rupa cantiknya. "Huuh ... Kiara biar kau jantungan ketika tahu bahwa kau akan dimadu tanpa bisa kau elak. Supaya kau sadar bahwa tidak sulit bagi Galih untuk membuangmu ke tong sampah. Sedangkan Kiara, mana ada laki-laki yang ingin menikahi wanita polos dan kampungan kayak dia. Palingan juga dapat orang-orang dari kalangan pinggiran. salahmu sendiri mengapa tidak mau patuh pada keluargaku,' batin Bu Farah. &
Bab 37 Siang hari menjelang, aku menghampiri ruang kantor Papa. ada suatu hal yang mendorongku untuk meminta pendapat beliau. "Non Kiara, Pak Alfath sedang kedatangan tamu penting dari perusaaan lain. Tapi baiklah aku akan mencoba mengatakan pada beliau, bahwa Non Kiara ingin menemuinya," ucap Aldi, asisten pribadi Papa. "Ah tidak usah, tidak usah. Nanti saja. Biarkan mereka bicara, mungkin saja mereka sedang berdiskusi soal masalah penting," sahutku cepat. Aku tak ingin mengganggu kinerja Papa. Kulirik jam tangan Hermes yang melingkari pergelangan tanganku, ternyata hari sudah menunjukkan waktunya untuk makan siang. Kuputuskan untuk bersantap siang di sebuah kafe khusus area kantor. Entahlah menu lobster sangat menarik seleraku hari ini. Sembari berjalan, aku m
Bab 38 Di sebuah klinik swasta dengan dokter kandungan yang sudah tidak diragukan lagi kualitasnya, Kiara merasakan perutnya semakin mulas. Sudah beberapa jam yang berada dalam ruangan klinik bersalin tersebut. Bu Aliyah, ibunda Kiara tidak puas-puasnya memberikan dorongan semangat kepada sang putri. Menguatkan hati Kiara supaya tidak lemah, meski melahirkan dalam kondisi tanpa kehadiran suami. Sebagai sesama wanita, Bu Aliyah bisa merasakan apa yang ada dalam benak anak perempuan semata wayangnya. Dimana seharusnya dalam kondisi seperti Kiara saat ini, seorang wanita membutuhkan dampingan, dan perhatian penuh dari seorang suami. "Yang kuat ya, Nak. Mama yakin kamu bisa menghadapi semuanya. Berprinsiplah bahwa kau akan lebih kuat apabila kekuatan itu berasal dari dalam dirimu sendiri, bukan dari orang lain. Di sini Mama akan selalu ada untukmu," uca
Bab 39 "Apa ..? Kau memberiku kado? Kado apa?" Tanya Galih seperti orang linglung. Sedang mulutnya berbicara, pandangan matanya masih harus memperhatikan sosok Kiara yang sama sekali tidak seperti yang ia kenal selama ini. "Tak perlu aku menjelaskan padamu apa isinya! Nanti kau bisa cek sendiri!" Jawab Kiara terkesan biasa namun menyiratkan arti yang dalam. "Kiara, kau ... Kau sudah melahirkan? Mana bayinya? Mana anakku?" Galih berujar ketika tersadar jikalau perut Kiara tak lagi membuncit. Spontan ucapan itu membuat Kiara jijik. "Kau tidak pantas di sebut ayah untuk bayiku!" jawab Kiara. "Jangan bilang begitu Kiara. Walau bagaimanapun, anak yang kau lahirkan merupakan darah dagingku juga," ucap Galih. Sesungguhnya, penampilan dan kecantikan Kiaralah yang menaklukk
Bab 40 "Kiara? Kiara? Mengapa ada namanya Kiara di sini? Tidak ...! Ini pasti surat rekayasa," "Tapi ... Tapi stempel ini ... Asli dari perusahaan, apa mungkin seseorang seperti Kiara bisa berbuat sejauh ini ...?" Galih bicara kebingungan, tidak percaya dan gelisah berbaur menjadi satu. "Mas ...! Aku tidak percaya surat ini ...!" sergah Celine cepat. "Sebentar, sebaiknya kita beritahukan sama ibu!" ujar Galih. Pria itu berjalan dengan cepat menemui sang ibu. "Bu ...!" "Ya, ada apa lagi, Galih?" sahut Bu Farah jutek. "Coba Ibu lihat surat ini," Galih mendekat dengan nafas setengah ngos-ngosan. "Surat apa memangnya?" "Surat pemutusan hubungan kerja dari perusahaan, Bu ...!" Ucap Galih dengan bingung t
Bab 41 "Sejak kapan saya di pecat? saya tidak pernah memintamu untuk menggantikan posisiku, jangan sembarangan bicara ya," Galih yang baru saja tiba tersulut emosi. "Aku tidak sembarangan bicara justru yang aku katakan adalah suatu kebenaran. Untuk apa aku datang ke kantor ini kalau cuma untuk berbohong?" Imbuh pria itu dengan bersungguh-sungguh. Galih semakin bingung. Di samping kebingungannya emosi juga turut menggebu. "Tidak bisa begitu! Aku sudah bertahun-tahun bekerja di kantor ini. Selama itu pula tidak ada satupun seseorang yang berani bicara padaku seperti kamu. Terlebih-lebih menggantikan posisiku. Anda tidak bisa bicara seenaknya terhadap saya!" Galih membentak-bentak tidak karuan. Tingkah Galih membuat geleng-geleng kepala lelaki yang diajak bicara. "Maaf Pak, saya sebagai karyawan baru di sini, mohon jangan memb