“Tidak ada yang serius, hanya asam lambungnya naik karena tekanan pikiran,” ucap dokter sambil menulis catatan. “Istirahat beberapa hari, jangan stres, dan jaga pola makan. Kalau dilakukan, dia akan cepat membaik.”Axel berdiri dari duduknya, tangan terlipat di dada. Tatapannya fokus ke dokter, tapi wajahnya tetap datar.“Baik, Dok,” jawabnya singkat.Dokter mengangguk, lalu menepuk bahu Axel. Setelah itu, Axel langsung keluar dari ruangan itu.Di ruang inap, Alana membuka matanya perlahan. Ia sempat tertidur setelah diberi obat penenang ringan. Saat pandangannya mulai jelas, ia melihat seseorang membuka pintu dan masuk.Axel.Dengan wajah yang datar, tapi sorot matanya menyimpan sesuatu yang sulit dijelaskan, campuran marah dan khawatir.Dia berjalan tanpa suara, meletakkan satu kantong plastik hitam-putih di atas meja kecil di dekat tempat tidur.“Istirahat yang benar,” katanya pelan tapi tajam. “Jangan mikir yang aneh-aneh.”Alana diam, hanya menatap. Suaranya belum keluar, tapi da
Ruangan UKS kampus terasa begitu sunyi. Hanya suara detak jam dinding dan bunyi napas lirih yang terdengar dari tubuh Alana yang terbaring di atas brankar putih.Wajahnya pucat pasi, rambutnya sedikit berantakan menutupi pipinya. Di sisi tempat tidur itu, Welda duduk sambil menatap temannya cemas.Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari luar. Pintu terbuka dengan kasar.“Pergi dulu, Welda,” suara dalam itu membuat Welda menoleh.“Axel…”“Aku yang jaga,” potong Axel datar. Tatapannya tajam, tapi nada suaranya menahan banyak emosi.Welda ragu sejenak, tapi akhirnya berdiri. “Kalau Alana bangun, kabari aku, ya.”Axel hanya mengangguk tanpa menatapnya. Begitu pintu tertutup, ruangan itu kembali hening. Ia menatap wajah Alana lama sekali — terlalu lama, hingga terasa waktu berhenti.Wajah pucat itu membuat dadanya sesak. Dia tahu apa yang terjadi. Semua orang di kampus tahu. Foto-foto masa lalu Alana tersebar di forum kampus, disebar oleh orang yang jelas ingin mempermalukanny
Bruk.Suara benturan keras ketika bahu Reina menghantam tembok halaman belakang kampus membuat beberapa orang di sekitarnya menoleh.“Aw!” Reina memekik, memegangi bahunya sambil meringis.Axel berdiri di depannya dengan napas terengah, dada naik-turun. Matanya menyala tajam. Ia menatap Reina seperti menatap sesuatu yang menjengkelkan sampai ke tulang.“Dengar, aku sudah bersabar,” suara Axel menggelegar, menahan kemarahan yang menggelembung. “Sebenarnya kamu mau apa? Kita sudah putus, bukankah itu sudah jelas?”Reina menoleh, bibirnya gemetar tapi ekspresinya cepat berubah jadi manja. “Axel… ayo dong, jangan gitu. Jangan serius amat. Kita bisa baikan, kan? Kamu tahu aku sayang kamu.”Axel mengernyit, hela napasnya panjang. “Reina, cukup. Aku udah bilang, aku nggak ada perasaan apa-apa lagi. Hubungan kita selesai.” Ia melangkah mendekat, suaranya jadi lebih dingin. “Dan satu lagi, jangan rusuhin rumahku. Buat orang-orang rumah nggak nyaman. Di rumah itu, nggak ada yang benar-benar te
Cahaya matahari pagi menembus tirai ruang makan, membuat aroma roti panggang dan kopi menguar di udara. Suara sendok beradu dengan piring terdengar pelan, menciptakan suasana khas pagi keluarga yang tampak damai, setidaknya di permukaan.Langkah kaki Alana terdengar menuruni tangga. Ia mengenakan kemeja putih dan celana jeans biru muda. Rambutnya yang masih sedikit basah terurai ke bahu.Begitu sampai di bawah, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuat langkahnya sempat terhenti.Ayah dan ibunya sudah duduk rapi di meja makan, dengan Reina di antara mereka, tertawa kecil sambil membantu Vivianne menuang jus jeruk. Sementara Nero duduk di sisi kanan meja, tampak tenang seperti biasa, tapi pandangannya langsung beralih begitu melihat Alana.Wajah dingin itu, untuk sesaat, melunak.“Pagi, Sayang.” Suara Vivianne memecah keheningan kecil. “Cepat duduk, sayang. Mama udah siapkan sarapan.”Alana menelan ludah. Ia berusaha tersenyum, tapi entah kenapa perutnya terasa menolak. Melih
Dengan tubuh mereka yang basah dan bersentuhan di bawah aliran air hangat, Axel merasa sangat "on". Gairahnya membara, dan dia tak bisa menahan diri untuk tidak menggesek-gesekkan miliknya yang sudah keras di sela-sela pantat Alana yang montok. Rintihan lembut terus terdengar dari mulut Alana."Kak... tolong, hentikan," pinta Alana, suaranya lemah dan penuh kebingungan.Tapi Axel justru semakin menggila. Bibirnya mulai menelusuri garis bahu Alana dari belakang, menciumi kulit yang halus sambil kedua tangannya dengan lancap meraih payudara Alana yang berukuran pas di genggaman."Ah! Jangan..." protes Alana, namun tubuhnya justru melengkung ke belakang, menyandarkan diri pada tubuh Axel.Axel tersenyum puas. Tangannya mulai meremas dan memelintir kedua puncak payudara itu dengan penuh hasrat. "Dadamu sangat cantik, Al. Pas sekali di tanganku.""Mmhh... ah..." Desahan kecil akhirnya terlepas dari bibir Alana.Sensasi yang sama, kenikmatan gila yang pernah ditimbulkan Axel sebelumnya, kem
Matahari pagi menyelinap lewat celah tirai, menyinari ruangan yang masih berantakan. Alana mengerjapkan matanya perlahan, menyesuaikan pandangan dengan cahaya.Yang pertama kali dilihatnya justru sepasang mata hitam yang sudah menatapnya dengan intens. Axel, yang bersandar di bantal sebelah dengan sikap santai, tersenyum."Pagi, cantik," suaranya serak dan berat, baru saja terbangun.Alana bergidik, rasa malu dan bingung menyergapnya."Apaan sih, Kak? Kok belum pergi dari sini?" protes Alana sambil menarik selimut hingga ke dagu. Wajahnya masih dipenuhi sisa-sisa kantuk.Axel hanya terkekeh pendek, senyum nakal mulai mengembang di bibirnya. "Lagi malas. Terus, aku baru sadar, kamu cantik banget pas bangun tidur, tau gak?" katanya, matanya menyapu seluruh wajah Alana yang masih semburat merah.Alana mendadak tersipu, pipinya memerah. Dia menunduk, menghindari tatapan Axel yang terasa membakar. "Apaan sih? Gak jelas.""Ayo mandi bareng?" usul Axel tiba-tiba, membuat mata Alana membelala