Nyesek banget jadi Sera... bukannya sadar diri kek. Dika malah kek gitu! Jangan lupa komen, like dan share ya... love u, thx sudah mampir. Tidak usah khawatir soal kunci bab, kalian bisa buka bab pakai iklan ajah. See u next part, readers!
Sera sakit. Tubuhnya lemas. Usai subuh tadi dia kembali tertidur dan kini bangun sudah hampir jam 8 pagi. Saat terbangun dari tidur kepalanya terasa pening. Pandangannya juga tak beres. Wanita itu menyentuh kepalanya yang terbungkus hijab. Sera bangkit mengambil duduk di tepian ranjang dengan rintihan kecil. Dia menarik napasnya sejenak, mengembuskan perlahan. Berjalan seraya berpegangan pada dinding-dinding agar tidak terjatuh. Kakinya tak dapat berjalan secara normal. Sera seperti tak memiliki tenaga, padahal kemarin dia tak merasa akan seperti sekarang, kondisinya baik-baik saja. Hidup memang tidak pernah bisa ditebak, bukan? Kemarin seseorang bisa saja masih kita dapat jumpai, kemudian esoknya dikabarkan sudah meninggal dunia. Sera pun begitu. Malang sekali nasibnya. Sera pun pergi membersihkan diri ke toilet. Memaksakan diri meskipun keadaannya tak seperti biasanya. Usai menyelesaikan aktivitasnya di kamar mandi, wanita itu memilih memakai pakaian muslim berwarna hitam. Pakaian
“Dika di mana kamu?” ucap Karina. Sedari tadi wanita itu belum meninggalkan rumah sakit. Ini sudah hampir jam 8 malam. Karina tidak berniat beranjak pulang. Kekhawatirannya kepada Sera melebih seperti anak menantu. Dia amat menyayangi Sera dan menganggap perempuan yang tengah terbaring di atas ranjang rumah sakit sebagai anak kandungnya. Sementara Karina menghubungi Dika, Rani menemani Sera. Beruntung Rani memiliki besan seperti Karina. Dia melihat putrinya dengan tatapan yang sendu. Berharap Sera akan cepat sadar. Rani terus berdoa demi kesembuhan anak perempuan satu-satunya itu. Sidik, papa Sera yang sempat akan berangkat ke pondok pun digagalkan karena tahu Sera masuk rumah sakit. Pria itu pun pergi ke masjid berdoa lebih lama untuk putrinya. “Nak, Sera, apa yang sebenarnya terjadi?” “Bangun, Sera. Mama di sini. Mama datang untuk temani Sera,” tutur Rani dengan suara yang lemah lembut. Dia meraih kedua tangan Sera, menggenggam pelan seraya memberi kecupan singkat. “Anak Mama, k
"Mas!" sebut seseorang di seberang telepon. "Mas di mana sekarang? Kenapa pergi tinggalkan Lia?" lanjutnya. "Lia, Mas sudah minta maaf. Mas sungguh ada urusan." Lelaki itu menjawab dengan nada berbisik lantaran dia sedang ada di rumah sakit. Dia tidak ingin mertua dan orang tuanya tahu. "Lia, sudah ya, Mas akan hubungi Lia lagi nanti," Dika melihat kedatangan Rani dan juga Karina yang sempat izin meninggalkan Sera. Dan dia yang berada di dekat pintu itu pun segera mematikan telepon di saat Lia belum selesai berbicara. "Mas jahat, Mas Dik-" Tut. Dika dapat melihat dari dalam jendela kamar bahwa Rani dan Karina sedang berbincang di luar ruangan. Dika buru-buru mematikan telepon tersebut. Urusan Lia marah, dia bisa atur dan jelaskan nanti. Dika datang ke rumah sakit hanya atas dasar perintah Karina dan agar kelakuannya tidak diketahui. Bukan benar-benar demi Sera. Ini semua demi melindungi Lia. Dia mau hubungannya tetap aman dan berjalan. Sementara itu, Dika tak tahu kalau dari be
3 hari kemudian. Sera sudah dalam keadaan membaik. Dia sudah sadar sejak beberapa jam yang lalu. Tetapi, tak ada orang yang tahu, tidak suster mengetahuinya. Namun, Sera meminta pada mereka untuk merahasiakan lebih dahulu. Pasalnya, Sera benar-benar tengah ingin sendiri. Dia lebih bertenaga, wajahnya juga tidak begitu pucat seperti kemarin-kemarin. Namun, meski begitu wanita dengan seragam pasien serta memakai jilbab berwarna coklat susu itu tidak diperbolehkan banyak bergerak atau beraktivitas lebih yang membuat kondisinya menjadi buruk. Dia hanya harus memperbanyak mengistirahatkan dan merebahkan dirinya di atas ranjang rumah sakit. Sera sedikit bosan, dia juga tidak berselera untuk menonton acara televisi. Wanita itu akhirnya memilih tidur mengistirahatkan diri dan juga pikirannya yang kacau di siang hari. Sera tidak ingin terus-menerus memikirkan kejadian yang membuat hatinya semakin sakit. Memiringkan posisi tubuh ke kanan usai mematikan televisi, Sera mencoba memejamkan mata
“Apa yang Mas tuduhkan itu sama sekali tidak benar, Mas.” “Untuk apa aku cari perhatian, Mas Dika?” Sera lantas bangkit dari duduknya. Tubuhnya yang masih belum sekuat biasanya dipaksakan untuk berdiri. Kakinya terasa lemas. Tapi, Sera tak bisa berbicara sambil berdiam terus di atas ranjang. Menyipitkan mata, Sera lantas berkata, “seharusnya Mas tanya ke diri Mas sendiri, yang cari perhatian itu aku atau perempuan simpanan Mas Dika?!” Dika mengeratkan gigi-giginya kala sang kekasih dihina simpanan. Kedua tangannya di samping badan saling mengepal kuat. Dika murka sekaligus memasang wajah garang. Tampak menakutkan, tapi Sera tetap berani menatap wajah sang pria. “Kenapa Mas diam? Apa karena perkataanku itu benar?” Sial. Wanita di hadapannya terlalu banyak bicara. Ini sudah malam. Tapi, mereka berdua justru ribut. Dika kesal bukan main. Tangannya pun bermain, melayang dan mendarat sempurna mengarah ke wajah Sera. Plak! “Akh!” Sera menjerit sakit seraya memegang pipinya. Perih. Bun
Lagi-lagi Sera diuji. Rumah tangganya terus-menerus mengalami masalah. Seharusnya dia hari ini pulang dari rumah sakit. Tetapi, dia harus menetap lantaran tanpa diduga Dika mengalami kecelakaan. Kepalanya cukup mengalami pendarahan yang bisa dibilang parah. Tadi, Rani datang ke kamar Sera lalu langsung memeluk Sera begitu saja. Dan itu sempat membuat Sera kebingungan. Hingga akhirnya, Rani membuka suara bercerita bahwa kedatangannya ke rumah sakit lantaran dia mendapatkan kabar bahwa Dika tengah dibawa menuju ke rumah sakit karena kecelakaan mobil. Sera pun berlari keluar kamar. Entah mendapatkan tenaga dari mana. Dia begitu panik. Bertepatan itu, tak jauh dari posisinya Dika baru saja akan dibawa menuju UGD segera. Kepalanya berlumuran darah. Sera lantas berlari menghampiri Dika seraya menangis kencang. Diikuti Rani yang mendampingi bersama beberapa suster dan juga dokter. “Mas Dika!” “M—mas Dika, ba-bangun!” “Mas… Dika!” “Hiks… Mas kenapa kau seperti ini?” “Hiks… hiks, Mas Dik
Sera terbangun dalam keadaan sepi. Dia sedikit meringis lantaran tangannya lemas. Sera membenarkan sedikit posisi tubuhnya mengarah ke belakang. Matanya terlihat sekali begitu sayu. Sambil mengusap lengannya, dia memikirkan dan bergumam nama sang suami. “Mas Dika.” “Bagaimana keadaan Mas Dika sekarang, ya?” Sera baru saja sadar. Yang dia pikirkan tidak lain tidak bukan adalah Dika. Apakah perempuan itu sadar kalau dirinya egois karena terlalu mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri. Tidak. Dika bukan orang lain, Dika adalah suaminya, kan? Suami yang menyia-nyiakan kebaikannya. Itu yang benar. Apakah setelah donor darah yang dilakukan Sera itu akan membuahkan hasil? Ya, memang membuahkan hasil. Namun, hasilnya tetap saja buruk. Tidak ada yang berubah. Dika tetaplah Dika yang keras kepala serta angkuh. Sera sudah merelakan dirinya kesakitan, tetapi sialnya Dika sama sekali tak menghargai pengorbanan Sera. Usai Karina keluar dari kamarnya dan bercerita tentang Sera saat dia t
Berita Dika atau CEO hotel CQ itu yang mengalami kecelakaan sudah tersebar. Para karyawan hotel turut sedih karena CEO yang mereka anggap idola tersebut mengalami musibah. Beberapa karyawan serta sekretaris pribadi Dika bernama Fendi akan menjenguknya sepulang kerja. Ah, mengenai Fendi, dia adalah pemuda yang lucu, usianya hanya terpaut beberapa bulan dari Dika. Dia adalah pemuda tampan, bisa dibilang memiliki wajah baby face. Namun, ada kalanya pria lucu dan manis itu bersikap lebih dewasa dari bosnya. Kembali lagi pada suami Sera, para karyawan yang akan mengunjungi Dika di rumah sakit itu pergi mengenakan satu mobil. Hanya sekitar 4 orang dan itu termasuk sekretaris Dika sendiri. Dika lantas segera meminta seorang petugas mencari Sera agar datang ke kamarnya. Sera lantas panik dan takut terjadi sesuatu pada sang suami, maka dari itu dia buru-buru menemui Dika. Lagi dan lagi, Sera masih saja mengkhawatirkan Dika. “Assalamualaikum, Mas, apa Mas mencari Sera?” ujar Sera membuka pintu