Share

Teka-Teki Tak Terjawab

Hari persidangan yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Sebenarnya, tidak ada ungkapan lain yang bisa menggambarkan situasi saat ini selain ‘mencekam’ dan ‘menegangkan’.

Kasus pembunuhan Wine banyak menarik perhatian masyarakat New York, bahkan seluruh dunia. Hampir setiap saluran televisi yang dapat diakses secara internasional memberitakan tragedi pilu tersebut.

Banyak orang berjejer di luar persidangan. Termasuk pula para wartawan dengan kamera dan notesnya. Hanya untuk melihat sosok ibu berhati dingin yang tega membunuh anaknya sendiri. Mereka seakan ingin menerkam iblis yang sedang menunggu putusan hakim di dalam ruang sidang.

Tak lama berselang, pengacara pembela dari Laura Blanchard keluar. Para wartawan yang sedari tadi memang sudah menunggu buruannya pun langsung menyerbu.

“Bagaimana hasil persidangannya? Apakah Laura akan dijatuhi hukuman mati?” Ungkap salah seorang wartawan.

“Apakah Laura menerima balasan yang setimpal?” Imbuh wartawan lainnya.

“Apa alasan yang membuatnya nekat membunuh anaknya sendiri?” Berbagai pertanyaan meluap di udara.

“Saya tidak bisa memastikan apapun. Hasilnya mungkin akan keluar di persidangan berikutnya. Terimakasih,” Setelah mengucapkan kata itu, Daniel -pengacara yang mewakili Laura Blanchard- bergegas menuju mobilnya yang terparkir di samping gedung dan langsung menancapkan gasnya untuk keluar dari kerumunan itu.

Sejurus kemudian, Laura muncul dari balik pintu gedung seluas 5012 meter persegi. Tangannya terikat borgol dan kedua tangannya dituntun oleh 2 pria tegap dengan pakaian berwarna hitam nan dibubuhi tulisan Police.

Laura akan dipindahkan ke kantor polisi sebagai tahanan sembari menunggu putusan sidang minggu depan.

Tidak ada jalan lain, Laura harus membelah kerumunan orang di depan gedung persidangan untuk bisa sampai di mobil yang bakal mengangkutnya menuju sel tahanan. Ia banyak menerima sorakan hinaan dari orang-orang. Segala jenis umpatan, cacian, bahkan plesetan buruk dari namanya pun ikut menggema di halaman luar.

“Dasar jalang biadab!” Sorak seorang ibu paruh baya yang melemparkan telur busuk ke arah Laura. Melihat aksi ini, beberapa orang turut bergabung dan melempar barang apapun yang ada pada jangkauannya.

***

Jalanan sibuk dengan langit yang menguning menjadi potret khas kota sejuta gemerlap, New York, kala senja tiba. Suara mesin kendaraan yang menderu, menjalar di setiap sudut jalan menjadi iringan pelipur penat bagi Sarah.

Ia terduduk di rooftop kantornya. Menatap langit yang mulai berubah warna secara perlahan. “Hari ini benar-benar melelahkan,” Keluhnya dalam hati.

Saat ini, hanya cola dan pizza yang menjadi teman akrab bagi Sarah.

Dia masih mencerna hasil persidangan siang tadi. Mengapa orang yang jelas-jelas telah mencelakai anaknya mengaku tidak melakukan apapun. Apakah itu masuk akal?

Sarah menarik napas panjang untuk mengeluarkan rasa frustasi yang bergumul dalam dirinya. Menghembuskannya secara kasar begitu saja.

“Makanan seperti itu tidak baik untuk kesehatanmu.” Sahut seseorang dari arah belakang.

Sarah menengok, mencari-cari sosok pemilik suara tersebut.

Dan ketemu! Bam? Untuk apa dia datang ke kantor Sarah? Jangan bilang dia ingin mengungkapkan kalimat konyol itu lagi?

“Bagaimana caranya kamu bisa kesini?” Tanya Sarah. Sejauh yang diketahuinya sejak bekerja di gedung ini, tidak sembarang orang bisa memiliki akses ke lantai teratas. Apalagi jika bukan karyawan.

“Aku meminta tolong Satpam.”

Remeh sekali jawabannya. Kenapa pula satpam mengizinkannya masuk? “Aneh! Biasanya satpam tidak mengizinkan orang lain untuk masuk.”

“Mungkin karena aku istimewa?”

“Sudahlah aku tidak peduli!” Acuh Sarah. “Ada apa? Kamu kesini karena ada hal yang ingin dibicarakan bukan? Tapi jika hal itu soal pernyataan konyolmu, sebaiknya kamu pergi saja. Aku cukup penat untuk menanggapinya.”

“Sudah kubilang aku ingin memulai cinta sepihak. Ini adalah langkah awalku, hehe,” Kekeh Bam.

“Konyol sekali!”

“Sebenarnya aku membawakanmu beberapa makanan.” Bam menunjukkan sekotak bekal berisi sandwich dan salad segar.

“Tidak perlu,” Tolak Sarah.

“Aku memaksa,” Bam menyerahkan bekal itu dengan senyum di wajahnya.

“Dasar keras kepala!”

“Kamu juga,”

“Huh! Oke. Kali ini aku terima, tapi tidak ada lain waktu untuk hal seperti ini. Ingat itu baik-baik,” Jelas Sarah.

“As you wish, My Queen.”

“Aku harus kembali, ada pekerjaan yang perlu kuselesaikan. Terimakasih untuk makanannya.”

Bam masih terduduk di sudut pembatas rooftop. Memandangi punggung Sarah yang secara perlahan menjauh dari pandangannya. “Tunggu!” Cegat Bam sedikit berteriak.

“Ada apa?” Sarah memutar tubuhnya, menatap Bam yang tampak ragu.

“Orang yang aku maksud,” Kalimatnya terhenti, sepertinya Bam tidak yakin apakah ia harus mengatakannya atau tidak.

“Orang yang aku maksud tempo hari itu kerabatku.”

“Kamu sudah mengatakannya,”

“Tidak, bukan sebatas kerabat jauh. Tapi hubungan kami benar-benar dekat!”

Sarah kebingungan dengan perkataan Bam, “Sebenarnya apa yang ingin kamu katakan? Bicaralah yang jelas.”

“Amagama.”

Sarah terkejut bukan main. Siapa sebenarnya lelaki yang berada di depannya ini? Kenapa dia bisa tahu soal Amagama?

“Tony Amagama.” Lanjut Bam.

“Bagaimana kamu tahu nama itu?”

“Dia ayahku.”

Mendengar jawaban itu, tubuh Sarah menjadi lemas. Rasanya ia tak lagi memiliki tenaga untuk berdiri.

Selama ini, Sarah sudah berusaha keras untuk melupakan kasus besar pertamanya. Kasus yang melibatkan Tony Amagama, seorang CEO perusahaan IT paling populer di daratan Amerika. Pencurian berkas kompetitor, penggelapan dana, hingga pencucian uang menjadi fokus utama pada persidangan kala itu.

Saat itu Sarah masih berusia 27 tahun. Untuk pertama kalinya setelah lulus dari sekolah magisternya, Sarah ditunjuk untuk mendakwa Tony Amagama di kursi sidang.

Tuntutan penjara 15 tahun yang diajukan Sarah disetujui oleh hakim, membuat Tony mendekam di dalam penjara dan harus meninggalkan segala hingar bingar kehidupannya berikut keluarga yang dimilikinya.

“Kenapa kamu menuntutnya?” Tanya Bam memecah lamunan Sarah.

Sarah tidak memberikan jawaban. Mulutnya terkunci rapat, tak membiarkan sedikitpun kata keluar dari pita suaranya.

“Kenapa diam saja? Apa kamu tidak memiliki hal untuk diucapkan?

“Sebentar-sebentar! Beri aku waktu untuk mencerna ucapanmu.” Tutur Sarah setelah berhasil menguasai dirinya kembali. “Jadi maksudmu, kamu adalah Brain? Brain Amagama?”

“Benar.”

“Woah! Dunia benar-benar sempit, ya?” Ada banyak sekali hal mengejutkan yang terjadi dalam hidup Sarah akhir-akhir ini. Termasuk mengencani pria satu malam yang malah membuka tabir ingatannya soal kasus terdahulunya. “Aku nggak tahu apa sebenarnya alasanmu menemuiku, tapi kurasa ini soal Amagama Corp?”

“Aku tidak peduli dengan perusahaan ayah. Aku hanya ingin tahu kebenaran kasus itu,”

Siapapun yang mendengar Amagama Corp pasti tahu, sebesar apa perusahaan itu berdiri di Amerika. Dan bagaimana rumitnya persaingan bisnis yang dihadapinya bersama CEO perusahaan serupa bernama Loyal Guard.

Banyak orang menduga kasus ini hanyalah manipulasi persaingan yang diketuai oleh Loyal Guard. Tapi hingga saat ini belum ada bukti pasti yang mengarah pada pernyataan itu.

“Kebenaran apa? Bukankah kamu sudah tahu semuanya?”

“Aku ingin memastikan beberapa hal,” Jawab Bam seadanya.

“Ada beberapa teka-teki yang belum bisa aku jawab.” Lanjutnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status