Share

01. Nama palsu

"Ditemukan sebuah mobil yang terbakar di jalan raya Gyeongju. Sampai saat ini polisi masih berusaha mengidentifikasi korban yang sudah dalam kondisi mengenaskan."

Kang Haeun tersenyum tipis sambil meminum kopinya. Ia merasa cukup terhibur dengan aksi polisi yang menjadi bagian dari bonekanya. Entah sudah berapa banyak kasus yang dibuat olehnya. Sampai saat ini polisi masih belum bisa menemukan siapa pelakunya. Haeun melirik jam yang menempel di dinding. Waktu sudah hampir jam 8 pagi, seharusnya ia sudah mendapatkan bayaran hasil kerjanya kemarin. Tapi sampai detik ini, uang itu masih belum masuk ke rekeningnya. Haeun mendengus pelan, ia memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Nampaknya Eunra yang bekerja sebagai penjaga toserba miliknya sudah datang. Suara keributan barang yang berjatuhan bisa terdengar di telinganya.

"Eunra-ya, tolong pelan-pelan!" teriak Haeun.

Haeun membuka pintu yang menjadi jalur penghubung antara rumahnya dengan toko toserba. Ia menghela napasnya dengan berat. Saat ini di depan matanya tengah berdiri tiga orang pria bertubuh besar tengah mengacak-acak tokonya. Haeun melangkah perlahan menghampiri ketiga tamu tak diundang itu. Ketiga pria itu langsung menoleh serentak ke arahnya.

"Apakah kau nona Haeun?" tanya salah satu pria tersebut.

Haeun menganggukkan kepalanya. "Siapa yang mengirim kalian ke rumahku?"

Salah satu dari pria itu mengambil sesuatu dari sakunya. Haeun bisa melihat pria itu mengeluarkan selembar kertas berwarna kuning. Ia sudah bisa menebak siapa yang mengirim mereka. Ia mengambil ponsel dari saku, lalu memberikannya pada pria tersebut.

"Tekan sesuai nominal yang tertera di kertas itu. Jika lebih, kalian bertiga bisa saja mati di sini," kata Haeun dengan ekspresi datarnya.

Ya, mereka bertiga adalah penagih utang yang sudah menghantui Haeun lebih dari 2 tahun. Haeun memang harus membayar semua utang yang ditinggalkan oleh ibunya. Padahal ia tahu jelas bahwa ibunya dibunuh oleh lintah darat tersebut. Apakah nyawa tidak cukup untuk membayar semua utang itu? Jawabannya tentu saja tidak cukup. Buktinya mereka masih terus mendatangi Haeun setiap bulannya.

Pria itu mengembalikan ponsel milik Haeun, lalu mereka keluar dari toko tersebut. Eunra yang sedari tadi bersembunyi akhirnya mulai menampakkan dirinya. Ia terlihat sangat ketakutan, tubuhnya gemetar parah. Haeun mendekatinya, lalu membawanya menuju kursi untuk beristirahat. Sedangkan ia memilih untuk merapikan barangnya yang berserakan di lantai.

Haeun menoleh sekilas ke arah pegawainya tersebut. "Lain kali kalau mereka datang, langsung hubungi aku."

Eunra mengangguk pelan tanpa bersuara.

"Mianhe, padahal biasanya aku selalu membayarnya tepat waktu. Tapi kemarin aku benar-benar lupa hingga membuat mereka datang ke sini," jelas Haeun.

Eunra tersenyum tipis, ia menghampiri Haeun yang sedang mengambil barang-barangnya.

"Biar aku saja," ujar Eunra sambil mengambil beberapa makanan yang masih berserakan di lantai.

"Lakukan bersama saja," ujar Haeun yang masih fokus pada aktivitasnya. "Kau sudah sarapan?"

Eunra menggeleng pelan. "Aku bangun terlalu siang."

Haeun bangun lalu mengambilkan dua buah gimbap yang ada di rak. Ia menyodorkan kedua buah gimbap tersebut pada Eunra.

"Jika kau tidak mau gimbap, kau boleh pakai uang ini untuk membeli makanan," ujar Haeun sambil memberikan beberapa lembar uang pada Eunra.

Setelah itu, Haeun langsung bangun dan bergegas keluar dari toko tersebut. Ia langsung menangkap pemandangan di luar toko yang cukup menghibur. Terlihat dua orang pria yang sedang bertengkar hebat. Salah satu dari mereka membawa pisau di tangannya. Haeun bisa bertaruh kalau pria yang membawa pisau itu pasti akan kalah.

"Bukan begitu cara memegang pisau, bodoh!" gumam Haeun dengan gemas.

Beberapa menit kemudian, pertarungan itu berakhir. Semua orang yang menyaksikan itu sangat histeris saat melihat salah satu dari pria itu tergeletak tak berdaya. Pisau menancap kuat di dadanya. Pria itu adalah orang yang membawa pisau. Haeun menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis. Ia mulai menghampiri kerumunan dan menerobos masuk ke tengahnya.

"Permisi," ujar Haeun sambil memaksa masuk ke kerumunan tersebut.

Setelah melihat keadaan korban, ia menganggukkan kepalanya pelan. Pria itu nampak masih hidup karena tusukan itu tak terlalu dalam. 

"Tolong hubungi ambulance," ujar Haeun.

Sialnya, tak ada satu pun yang merespon. Mereka sibuk menatap korban yang berlumuran darah tersebut. Bahkan beberapa dari mereka nampak seperti seorang reporter mengarahkan ponselnya pada korban. Ia menghela napasnya pelan, semua orang memang sama saja. Tak ada pilihan lain, ia yang akan menghubungi ambulance.

"Selamat pagi. Ada korban penikaman di Mangwon, Mapugo, kota Seoul. Tolong segera datang karena jika lebih dari 10 menit korban akan tewas," ujar Haeun.

Tanpa menunggu jawaban, ia langsung menutup panggilan tersebut. Ia berlari menuju rumahnya untuk mengambil sesuatu yang bisa dijadikan untuk pertolongan pertama. Menunggu seseorang melakukan itu sama saja seperti menunggu uang jatuh dari langit. Haeun mengambil dua buah bantal dan selimut dari dalam kamarnya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung berlalu menuju lokasi kejadian. Tapi saat tiba di sana, korban sudah dibawa masuk ke sebuah mobil mewah.

"Tunggu!" teriak Haeun.

Pemilik mobil itu keluar dengan wajah bingung. "Ada apa, Agassi?"

Haeun berlari mendekati mobil itu masih dengan membawa bantal dan selimut. Lalu ia berusaha masuk ke mobil tersebut. Pemilik mobil itu berusaha menghalanginya dengan keras.

"Agassi, apa yang kau lakukan?" tanya pemilik mobil itu dengan bingung.

Haeun mengernyitkan dahinya. "Di mana kau menyembunyikan korban itu?"

Pemilik mobil itu seketika tertawa. "Oh, maaf. Aku mengira bahwa kau kabur dari rumah dan ingin menumpang denganku."

Pria itu membuka mobilnya lalu mempersilakan Haeun untuk melihat kondisi korban yang sudah melemah. Haeun langsung masuk dengan membawa bantal dan selimut tersebut.

"Aku akan ikut ke rumah sakit!" kata Haeun dengan tegas.

Pria itu menganggukkan kepalanya. Setelah itu mereka bergegas pergi menuju rumah sakit terdekat. Haeun memberikan pertolongan pertama menggunakan bantal yang dibawanya. Ia meletakkan satu bantal tepat di bawah bagian yang tertusuk pisau. Sampai saat ini ia masih tidak tahu tujuan dari tindakan tersebut. Ia hanya pernah melihatnya di televisi. Setelah itu ia menutupi bagian atas luka sampai ujung kaki menggunakan selimut. Ibunya pernah bilang, hal itu dilakukan agar suhu tubuh korban tidak menurun.

"Kau seorang dokter?"

Haeun menoleh ke arah pria yang sedang mengendarai mobilnya. Ia menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Dari mana kau mempelajari itu?" tanya pria itu.

"Televisi," jawab Haeun singkat.

"Pertolongan pertamanya cukup bagus," ujar pria tersebut.

Haeun tidak menjawabnya. Ia sibuk mengamati korban yang ada di sampingnya tersebut. Tubuhnya cukup pegal karena tidak mendapat tempat duduk. Saat ini posisinya setengah berjongkok di celah yang sempit. Semoga saja jarak ke rumah sakit tidak terlalu jauh. Ia merasa bisa mati karena pegal jika masih dalam posisi ini lebih dari 10 menit.

"Ahjussi, apa kau tidak terlalu santai?" tanya Haeun.

Pria itu sedikit menoleh dengan sorot mata tajamnya. "Ahjussi?"

"Ada sebuah rumah sakit di sekitar sini. Kita bisa menyelamatkan orang ini jika tiba dalam waktu 3 menit," gumam Haeun.

"Mengapa kau bertingkah sok pintar seperti itu?" tanya pria tersebut dengan seringainya.

Tanpa berpikir panjang, Haeun mengeluarkan pisau dari dalam sakunya. Ia langsung menodongkan pisau itu tepat di belakang kepala pria tersebut tanpa merasa takut.

"Ikuti perintahku atau kau akan mati?"

~~~

Pria itu tak bisa berhenti menatap Haeun yang berdiri di depan pintu ruang operasi. Ia tersenyum miring saat mengingat bagaimana wanita itu mengancamnya. Ia masih tidak mengerti mengapa seorang wanita berwajah lugu itu membawa senjata tajam. Pria itu berjalan menghampiri Haeun yang berdiri membelakanginya.

"Aku Lee Baekyung," ujar pria tersebut.

Haeun menoleh sekilas. "Aku Kim Haeun."

Begitulah Haeun. Setiap kali memperkenalkan diri, ia selalu mengganti marganya tanpa mengubah nama yang diberikan oleh ibunya. Hal itu dilakukan agar tidak ada yang bisa melacaknya.

Baekyung tersenyum tipis tanpa mengalihkan tatapan dari wanita di sampingnya tersebut. Untuk pertama kalinya ia bertemu dengan wanita berwajah seimut kucing tapi tingkah seperti harimau. Tatapan wanita itu bisa begitu lembut, tapi sedetik kemudian bisa setajam pisau. Baekyung mengambil ponsel dari sakunya. Ia menyodorkannya pada Haeun yang sedari tadi hanya diam. Ia berniat untuk meminta nomor telepon wanita tersebut.

"Sepertinya kita akan bertemu lagi," ujar Baekyung.

Haeun menoleh lalu berdecih pelan. "Tidak akan."

Baekyung terkekeh pelan lalu kembali memasukkan ponsel ke dalam sakunya. Ia menepuk bahu Haeun pelan lalu pergi tanpa mengucapkan apa pun. Ia menoleh sekilas ke arah wanita yang sama sekali tidak menatap ke arahnya. Setidaknya ia sudah mengetahui nama wanita tersebut. Hanya berbekal nama, ia akan mencari semua informasi wanita itu bahkan sampai titik terdalam. Ia mengambil ponsel dari saku celananya, lalu menghubungi seseorang.

"Tolong selidiki kasus penikaman di Mangwon, Mapugo, kota Seoul. Lalu, tolong selidiki wanita bernama Kang Haeun. Berikan semua informasi yang ada tanpa ada yang terlewat."

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status