LOGINPertanyaan Raven juga justru mengganggu pikiran Dean. Pekikkan suara kuda yang begitu nyaring, hentakkan sepatu kuda, semua bercampur dengan desiran suara angin. Pergerakan orang-orang di sekitarnya begitu jelas terbaca walau hanya dari suara yang di timbulkan.
Bahkan suara nafas Raven di sampingnya terdengar begitu jelas. Perubahan dalam dirinya begitu drastis tak ia mengerti. Raven menepuk bahunya, menyadarkannya dari hal yang membingungkan. Raven mengajaknya pulang menunggangi satu kuda. Hari sudah pagi, banyak orang semakin padat berlalu lalang. Tempat pasar malam kini telah bersih berganti dengan hiruk pikuk kendaraan kereta kuda. Dean sangat ingin duduk di kereta kuda sekarang, karena satu kuda ini di tunggangi dirinya dan Raven serasa sempit, mau tak mau Dean jadi harus menempel pada punggung Raven. Namun apa daya, Raven hanya mampu membeli satu kuda saat ini Dilihatnya keranjang belanjaan yang tampak penuh di genggamannya, ia duduk di belakang kemudi Raven dengan tak nyaman, keadaan ini harus ia tahan sampai ke tengah hutan. “Paman, apa kerja kerasmu memburu Vampir hanya di bayar sekedarnya begini?” “Ya, aku tak mematok harga untuk mereka. Bahkan aku melakukannya suka rela, jika mereka memberi uang, tentu aku terima. Jika tidak, aku tak memintanya.” “Wah bagaimana bisa begitu? Resiko paman sangat besar!” “Walikota sempat menawariku gaji untuk memburu Vampir di kota ini, tapi aku tolak. Ini bukan hanya masalah uang, tapi kebebasan. Aku memburu Vampir karena aku ingin. Untuk menutupi biaya sehari-hari akan kulakukan pekerjaan apa saja, termasuk jual beli senjata perak yang kita punya.” Dean mengangguk-angguk, “Ya, aku paham maksud Paman. Kau tidak ingin dikekang peraturan 'kan?” “Ya begitulah,” jawab Raven singkat sembari fokus mengemudi kuda. Dean diam tak membahas lagi tentang itu, yang ada di pikirannya sekarang adalah bagaimana membantu keuangan Raven Dari kejauhan suara derap kaki seseorang terdengar berlari dengan tergesa, benturan sebuah benda logam bergemericik, bergesekan dengan sebuah kain. Dean mengerutkan dahi dan menatap ke sebuah perempatan jalan, ia terus memperhatikan jalan di sebelah kanannya. Suara itu jelas dari sana, dan semakin dekat kemari, rupanya ada satu suara kaki lagi, mereka nampaknya saling berkejaran. Ketika kuda sampai di perempatan, seorang lelaki berlari cepat tanpa memperhatikan adanya kuda Raven yang hendak melintas, lelaki muda itu terkejut dan hendak terjatuh di depan kuda Raven hingga sebuah kantung kain ikut melayang ke udara dan menumpahkan biji-biji perak dari dalamnya. Dengan jelas Dean dapat melihat biji-biji perak itu berterbangan ke udara, dalam penglihatan ini serasa lambat, ia dengan cepat memungutnya sebelum sampai jatuh ke tanah. Raven bahkan tak sempat berkedip, tapi kantung perak itu sudah kembali terkumpul dalam sebuah kantung kain. Sementara kuda Raven memekik terkejut mengangkat kaki depannya, Raven berusaha mengendalikan kuda agar tetap tenang. Lalu Dean hendak menolong lelaki yang melintas tadi tapi terdengar teriakkan satu laki-laki lagi yang berlari menghampiri ke arah Dean berada. “Pencuri!” teriaknya. Dean menoleh dengan cepat pada lelaki muda yang hendak ia tolong ini, namun Dean malah di dorong dengan keras dan si pria muda ini hendak berlari. Seharusnya gerakan lelaki itu sangat cepat ketika mendorong dada Dean lalu kabur, namun dalam penglihatan Dean semuanya terasa lambat. Dengan mudah Dean menangkap lelaki yang di panggil pencuri ini dengan satu tangannya, anehnya lelaki ini malah tersungkur ke tanah karena Dean berhasil menahannya. Menurut Dean ia sama sekali tak memakai tenaga, tapi anehnya lelaki ini terjatuh dengan mudah hanya dengan sentuhan kecilnya. Di lihatnya Raven melongo dan warga yang lalu lalang memberikannya tepuk tangan. “Terima kasih Tuan, kau telah menangkap pencuri toko perhiasanku!” ujar lelaki yang terengah-engah mengejar pemuda dalam cengkraman Dean ini. “Tak masalah Paman.” “Cepat sekali, bagaimana gerakanmu bahkan hampir tak terlihat? Siapa sebenarnya dirimu?” tanya lelaki pemilik perak. Para warga yang menyaksikan keanehan dari Dean juga saling berbisik dan terheran-heran. Dean juga kebingungan dengan apa yang terjadi. “Apa maksud Paman?” Suara Dean nyaris tak terdengar, ditatapnya juga Raven yang masih duduk di atas kuda. Biasanya ia pasti ikut turun tangan. Namun Dean sudah melakukannya dengan kecepatan di luar nalar hingga Raven tak sempat turun dari kudanya. “Bagaimana mungkin manusia biasa bisa secepat itu?” Bisik-bisik para warga mulai terdengar di sekelilingnya, Dean bisa mendengar semua orang yang menyaksikan dirinya tadi. Bagaimana mungkin hal sederhana yang ia lakukan dapat menarik perhatian banyak orang, pikirnya. “Aku … Pemburu Vampir!” jawab Dean akhirnya. Lelaki pemilik toko perhiasan itu terkejut bercampur senang, dia bahkan melepaskan cengkramannya pada si pencuri dan fokus pada Dean dan Raven. Tak peduli si pencuri telah kabur. “Kalian berdua Pemburu Vampir yang di rumorkan itu?” tanya lelaki ini memastikan. Raven tak punya pilihan selain mengakuinya, apalagi Dean. Jiwa mudanya bergejolak ingin menunjukkan siapa dirinya. Kejadian semalam di pasar saja sudah tersebar dengan cepat, itu menjadi topik hangat di pagi hari, semua warga membicarakannya dan ingin di lindungi dari Vampir seperti Olea. “Tolonglah aku! Aku juga memilik anak perempuan yang bekerja sampai larut malam! Aku sangat khawatir dia jadi incaran Vampir!” pinta lelaki itu. Dean tersenyum simpul, lalu menatap Raven dan tersenyum lebar, pandangan matanya berbinar ketika ia menoleh pada lelaki yang memohon di hadapannya ini. Dean malah terdiam seperti orang yang sedang mempertimbangkan sesuatu, namun suara salah seorang wanita di tengah kerumunan juga terdengar lantang meminta perlindungan dari Dean. Di susul warga lainnya yang saling bersahutan agar di lindungi. Dean tersenyum smirk, “Baiklah, tapi jasa kami tidak gratis, Vampir takut dengan perak, jadi kami butuh senjata dari perak. Bayar kami dengan perak agar pekerjaan kami lancar, bagaimana?” “Dean!” Raven terdengar keberatan, tapi Dean mengisyaratkannya untuk tetap tenang. “Tentu! Apa pun akan ku berikan!” Dean tersenyum puas, ‘Baguslah, kami juga perlu bertahan hidup bukan?’ batin Dean. ** Seekor kelelawar bertengger di salah satu bangunan gelap terbengkalai di kota, tepat di seberang perempatan jalan di mana orang-orang sedang berkumpul meminta perlindungan Dean. Ia kemudian terbang mencari lubang yang telah di gerogoti tikus di bawah lantai kayu dan masuk ke lubang. Ia terbang jauh ke bawah tanah, perjalanannya begitu panjang hingga sampai di suatu tempat yang terisolasi, sebuah pemukiman di mana tembok besar berlapis perak di dirikan. Sang kelelawar keluar dari lubang di tanah, dalam rumah lain yang begitu gelap juga terbengkalai. Sang kelelawar kemudian keluar rumah tersebut mengitari seluruh pemukiman sambil berdecit nyaring seolah memanggil kawanannya. Namun yang keluar adalah makhluk lain yang menyeringai berlindung dalam kegelapan, pagi yang mendung ini kesempatan bagi mereka untuk berkumpul tanpa terbakar matahari. Sang kelelawar kemudian bertengger di atap rumah yang lebih besar dari rumah-rumah pemukim lainnya. Dari sana keluarlah sesosok pria berkulit pucat, dengan rambut pirang yang begitu rapi. Bajunya terlihat lebih kuno dari era ini. Ia menyeringai mengeluarkan geraman di depan rumahnya, seolah sedang memanggil kawanan yang lain. Dan makhluk-makhluk lainnya pun keluar satu persatu dari rumah-rumah terbengkalai. Mereka berkumpul di depan rumah pria berambut pirang itu, lalu menyeringai bersamaan seolah menjawab panggilan Tuannya.Langit di atas Dawnshire kelabu, seolah matahari enggan menampakkan sinarnya. Kabut tipis merayap di antara rumah-rumah tua yang sebagian besar telah ditinggalkan manusia. Aroma tanah basah bercampur dengan bau samar darah yang masih melekat di jalanan berbatu. Di beranda sebuah rumah besar yang dindingnya mulai ditelan lumut, seorang pria tinggi berdiri tegak. Dracula, pemimpin para vampir, mengenakan mantel panjang berwarna hitam yang ujungnya hampir menyentuh tanah. Matanya bersinar merah redup di bawah langit mendung saat ia mengangkat tangannya dan berseru lantang, "Wahai kaumku, berkumpullah di Eldoria Sanctum, keadaan kita sedang genting." Suara beratnya menggema di seantero desa, bergema melalui angin yang berdesir. Para vampir yang bersembunyi di bayang-bayang mulai bermunculan. Sebagian menjawab panggilannya dengan erangan kecil, lalu membungkuk hormat sebelum menghilang dalam kabut hitam pekat. Ada yang m
Pertanyaan Raven juga justru mengganggu pikiran Dean. Pekikkan suara kuda yang begitu nyaring, hentakkan sepatu kuda, semua bercampur dengan desiran suara angin. Pergerakan orang-orang di sekitarnya begitu jelas terbaca walau hanya dari suara yang di timbulkan.Bahkan suara nafas Raven di sampingnya terdengar begitu jelas. Perubahan dalam dirinya begitu drastis tak ia mengerti.Raven menepuk bahunya, menyadarkannya dari hal yang membingungkan. Raven mengajaknya pulang menunggangi satu kuda.Hari sudah pagi, banyak orang semakin padat berlalu lalang. Tempat pasar malam kini telah bersih berganti dengan hiruk pikuk kendaraan kereta kuda.Dean sangat ingin duduk di kereta kuda sekarang, karena satu kuda ini di tunggangi dirinya dan Raven serasa sempit, mau tak mau Dean jadi harus menempel pada punggung Raven. Namun apa daya, Raven hanya mampu membeli satu kuda saat iniDilihatnya keranjang belanjaan yang tampak penuh di genggamannya, ia duduk di belakang kemudi Raven dengan tak nyaman, k
Wanita yang mematung terhipnotis perlahan kesadarannya kembali, sorot matanya kembali hidup, namun sayang ketika ia sadar malah di hadapkan pada pemandangan yang membingungkan.Seorang pria tengah berguling-guling di tanah berteriak kepanasan sementara pria paruh baya di depannya berusaha melakukan sesuatu namun tak berdaya.Raven menoleh pada wanita itu, “Nona anda sudah sadar?”“Apa yang terjadi?” tanya wanita itu kebingungan.“Akan kujelaskan nanti, bisakah kau menolongku untuk membawa pria yang menolongmu ini ke tabib?”Sang wanita mengerutkan dahi makin tak mengerti, namun ia mendekati Dean, dan mengecek suhu tubuhnya.“Kebetulan aku adalah seorang perawat, lebih baik kita bawa dia ke rumahku,” ujar wanita itu sambil membantu Dean duduk.Sementara wanita itu mengurus Dean, Raven masih sempat memulung belanjaannya yang berantakkan tadi, “Ya kebetulan yang menguntungkan, aku tak mengerti apa yang terjadi dengannya, dia tiba-tiba kepanasan seperti itu setelah ….”Raven tak meneruska
Suara nyaring seperti hewan yang kesakitan begitu sulit di jelaskan menggema di dalam gua yang dijadikan rumah ini. Dean menutup kupingnya karena suara itu menyakiti gendang telinganya.Perlahan ia membuka mata untuk melihat apa yang terjadi. Di sana Raven menusuk jantung makhluk itu bersamaan dengan air mata yang mengalir di pipi tirusnya.Seperti ibu dan ayah Dean yang terbakar saat di tusuk, makhluk itu pun perlahan berubah jadi abu. Raven terkulai di tanah setelah berhasil menusuk makhluk itu. Tangisnya pecah.Dean mendekat pada Raven, “Paman, laki-laki tidak boleh cengeng.”Dean berdiri di depan jeruji perak itu menggenggam batang jeruji dengan kedua tangannya sambil memandangi Raven yang masih menangis.Raven menghapus air matanya dan tertawa melihat Dean, “Kau meledekku sekarang?”Dean tersenyum lalu terkekeh, “Paman juga bilang begitu padaku.”Raven bangkit dan tersenyum tipis menatap Dean, “Ayo kita mulai berlatih memburu Vampir!”Binar mata Dean begitu terpancar mendengar it
Dean mengemas barang-barang yang di perlukan, dan membawa beberapa barang berharga untuk di jual.Di pandangnya Raven sambil mengemasi barang-barang, sosok tinggi tegap dengan janggut tipis itu begitu tergesa-gesa membantu Dean.“Kenapa Paman terburu-buru?” tanya Dean.“Cepatlah! Sebelum kawanan Vampir lain mengendusmu! Ketika satu vampir mati itu sama saja memberikan sinyal bagi kawanan Vampir lainnya!”Raven mengobrak-abrik lemari orang tua Dean, ia menemukan perhiasan perak di sana, dan tersenyum lega seolah menemukan harapan.Sebuah kalung liontin perak kesayangan ibu Dean, anak itu menatap kalung itu nanar.“Pakailah perhiasan perak ini, Vampir melemah bila terkena perak.” Raven mengalungkan liontin itu pada Dean lalu mereka bergegas pergi dari rumah orang tua Dean.Rumah yang penuh kenangan bersama orangtuanya, rumah di tepi hutan yang indah, kebun di belakang rumah yang menjadi tempat favoritnya untuk mencari cacing, kini hanya tinggal kenangan.Ia ingat saat bersenda gurau ber
Seribu tahun lalu, di suatu negara bernama Auroria, tepatnya di desa Dawnshire yang makmur dan tenang, seorang nenek penyihir tua sedang bereksperimen dengan ramuan dan muridnya yang berbaring di depan sebuah kuali.Sang penyihir menambahkan beberapa jeroan binatang purba serta tumbuhan aneh lainnya. Terakhir ia teteskan darah dari sayatan telapak tangannya sambil melafalkan mantra, berharap ramuan ini dapat menjadikannya makhluk yang abadi.Satu sendok pertama ramuan itu dia berikan pada murid laki-lakinya yang sudah paruh baya. Tiga detik kemudian tubuh sang murid bereaksi, wajahnya perlahan tampak segar dan muda, namun ia bergumam “haus”.Ia lihat tetesan darah dari telapak tangan sang penyihir masih tampak segar dan basah. Ia mencengkram penyihir yang telah menjadi gurunya beberapa belas tahun itu.Sang penyihir yang sudah tua renta tak dapat mengelak dari cengkraman muridnya sendiri, telapak tangannya di gigit dan darahnya di hisap hingga habis.Sang penyihir tewas, namun 5 menit







